Ketololanku semakin menjadi-jadi ketika mengiyakan ajakan Sungmin untuk jalan-jalan di tepian sungai Han. Rasanya, lama-lama pertahananku untuk tidak berteman dengan seseorang dari kalangan artis mulai goyah.
Oke, anggaplah aku terlalu baik hati sehingga membiarkan akting sempurna Sungmin memengaruhiku.
Tapi alasan sebenarnya, karena aku juga sudah hampir mati kebosanan. Sejak kaki kiriku cedera, hidupku hanya berkutat di lingkungan kampus dan rumah. Lebih suntuk lagi karena selalu berhadapan dengan Kyuhyun yang menyebalkan dan Changmin yang henti-hentinya menerorku.
Walau aku pun tak tahu apa Sungmin sebaik yang terlihat, setidaknya aku bersyukur masih ada yang mengambil peran protagonis dalam drama yang sedang berlangsung. Paling tidak, jika bersama Sungmin, tensi darahku tak menanjak naik.
"Terima kasih," ujar Sungmin ketika kami baru saja keluar dari sedannya. Pria itu menggandengku.
Angin malam musim dingin dengan perkasa langsung menyergap tubuh kami yang telah dibungkus rapat dengan mantel dan syal tebal. Sialnya, suhu dingin tersebut tetap saja mampu menyelinap masuk menikam kulit.
Aku tak menjawab. Kuanggap itu bukan hal penting yang harus kutanggapi.
Dengan sangat hati-hati, Sungmin membantuku duduk di salah satu kursi panjang yang menghadap ke arah sungai.
"Tunggu di sini sebentar ya," katanya dengan nada tenang setelah selesai membantuku duduk.
Tanpa menanti jawabanku, Sungmin langsung beranjak kemudian berlari kecil meninggalkanku. Entah ke mana. Aku pun tak berniat bertanya.
Kunikmati udara dingin yang menerpa wajah. Walau suhu mulai tak bersahabat, rasanya dengan melihat sungai Han yang tenang saja sudah mampu membuatku hangat.
Kuangkat sedikit kedua sudut bibirku kala tiba-tiba saja memikirkan perbedaan yang begitu kontras antara Sungmin dan Kyuhyun. Mereka berasal dari dunia yang sama. Grup idola yang sama. Tetapi sikap keduanya bertolak belakang.
Sungmin terlihat baik dan perhatian. Pembawaan diri yang lembut dan menenangkan. Sayangnya, kesempurnaan yang terlihat malah mencurigakan. Kebaikan-kebaikannya terkesan palsu. Pasti ada sesuatu yang mendasarinya berlaku baik.
Apa mungkin di dunia ini ada sesuatu yang baik tanpa dilandasi keuntungan yang diinginkan? Apa masih ada yang namanya ketulusan di dunia ini? Rasanya semua selalu serba perhitungan. Tentang kebaikan apa yang kuberikan, harus setimpal dengan kebaikan yang akan kuterima.
Sementara Kyuhyun, aku tak mengerti mengapa ia harus selalu bersikap kasar. Kurasa, nyaris setiap percakapan kami selalu dibumbui teriakan. Ia selalu memintaku untuk mengidolakannya, tetapi sikapnya sama sekali tak menunjukkan sosok yang patut diidolakan. Ada kesan apa adanya ketika bersama Kyuhyun. Sikap kasarnya membuatku tak mencurigainya. Tetapi jika bersamanya, kurasa aku akan menderita hipertensi.
"Maaf, terlalu lama." Suara Sungmin membuyarkan lamunanku.
Pria itu menyodorkan segelas kopi hangat ke depan hidungku.
Segera kuterima gelas karton tersebut. Hangatnya kopi langsung menjalar di kedua telapak tanganku yang terbungkus sarung tangan. Kuhirup wangi kopi yang dibeli dari mesin otomatis tersebut lalu menyesapnya perlahan.
"Terima kasih," kataku pelan.
"Sama-sama," sahutnya seraya tersenyum kecil lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku.
Demi keamanan, Sungmin mengenakan kacamata bening berbingkai hitam, menyisir ke samping rambutnya yang biasa ditata berdiri lalu menyembunyikan sebagian wajahnya dengan syal.
Satu lagi perbedaan Kyuhyun dan Sungmin. Jika Kyuhyun selalu memperlihatkan statusnya sebagai artis, Sungmin justru berusaha untuk tidak mencolok dan menikmati hidupnya sebagai orang biasa.
"Aku senang kau mau ke sini bersamaku," katanya lalu menyerumput kopi yang sedari tadi digenggamnya.
"Kebetulan aku bosan," sahutku tanpa menoleh ke arahnya. Mataku masih setia pada pemandangan sungai di malam hari.
Kemudian kami diam. Menikmati hembusan angin musim dingin seraya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Eh? Bukankah dia perempuan yang bersama Kyuhyun Oppa?"
Jantungku seakan berhenti berdetak ketika mendengar celetukan seorang gadis remaja berambut panjang dengan temannya yang berkacamata.
"Sepertinya benar. Tapi kenapa dia besama laki-laki lain?" sahut gadis berkacamata.
Aku meneguk ludah. Mengapa rasanya seperti tertangkap basah tengah berselingkuh? Sial! Tolol sekali!
Ragu, kedua remaja itu mendekati kami. Sungmin yang sepertinya mendengar percakapan mereka langsung merapatkan jarak duduk di antara kami.
Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba saja Sungmin meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Di arahkannya wajahku membelakangi kedua remaja tersebut.
Aku tak dapat memberi reaksi apa pun kecuali menahan napas sambil terus mengerjapkan kedua kelopak mataku.
"Ya, sudahlah, akan sangat memalukan jika kita salah mengenali orang!" Terdengar suara salah satu di antara mereka.
Aku menahan napas.
"Mereka sudah pergi," kata Sungmin sembari melonggarkan dekapannya.
"..." Aku yang masih terkejut dengan pelukan itu, tak mampu meresponnya.
"Untung saja mereka sepertinya tidak terlalu yakin," kata Sungmin seraya tersenyum.
Aku masih diam. Masih berusaha meredakan amukan ombak yang secara tiba-tiba menghantam dada.
Sungmin yang sepertinya mulai mengerti, mendadak merasa tak enak hati. Ia menggaruk tengkuknya. "Maaf, tadi hanya itu satu-satunya cara yang terpikirkan olehku agar kau tak dikenali orang."
*
Kepalaku mendidih. Aku sebal terus diteror Changmin. Muak dengan kebaikan Sungmin yang mencurigakan. Tetapi aku paling benci setiap tiket acara musik yang diberikan Kyuhyun pada Haelmoni.
Sejak kutolak tiket yang diberikannya padaku di lapangan, Kyuhyun selalu menyerahkan setiap tiket VIP langsung pada Haelmoni yang pasti tidak akan menolak. Kau tahu sendiri jika Haelmoni akan menonton acara musik, siapa yang akan menjadi tumbal keantusiasannya? Ya, benar, aku.
Satu kali, aku diam. Dua kali, aku mengomel. Tiga kali, aku mengomel, lagi. Empat kali, aku kembali diam karena ocehanku sama sekali tak mempan bagi Haelmoni maupun Kyuhyun.
Yang membuatku naik darah, Kyuhyun selalu narsis dengan menanyakan bagaimana penampilannya di atas panggung. Hah! Apa dia pikir aku ini Eomma-nya yang selalu memantau perkembangan performanya?!
"Sudah kubilang, aku tidak suka nonton acara musik apa pun!" pekikku seraya melempar dua lembar tiket yang kucuri dari lemari Haelmoni ke atas dasbor mobil ketika Kyuhyun menjemputku.
Untung saja kemarin aku melihat Kyuhyun menyodorkan tiket tersebut pada Haelmoni.
"Kau harus nonton!" jawab Kyuhyun ngotot.
Kutiup poni dengan kasar, menahan amarah yang telah di puncak ubun-ubun. Atas dasar apa dia berani memerintahku?
"Aku bilang tidak ya tidak!" pekikku penuh emosi.
Mataku membelalak ketika tiba-tiba saja Kyuhyun menginjak rem dengan kuat. Untung saja sabuk pengaman benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik. Jika tidak, mungkin tubuhku akan terlempar keluar dari kaca depan.
"Ya! Kau mau membunuhku?!" marahku dengan mata membulat. "Belum cukup membuat kakiku pincang?!"
Kyuhyun menatapku tajam. Seolah hanya dengan tatapannya saja ia mampu membunuhku. Ia memicingkan mata, memberi sinyal seakan ingin menerkamku hidup-hidup. Untuk pertama kalinya aku terdiam. Ekspresinya mengerikan.
"Apa kau pikir aku senang seperti ini?!" Ia balik meneriakiku. "Aku benci terus memikirkanmu sepanjang hari! Kau sangat mengganggu konsentrasiku!"
"Apa?" ucapku dengan dahi berkerut sebagai respon.
"Kumohon, nontonlah konser kami, jadilah fans kami. Karena hanya itu cara agar aku tidak terus memikirkanmu." Ia mengecilkan suaranya. Nada bicaranya terdengar frustrasi.
Aku terdiam. Hanya kelopak mataku saja yang mengerjap. Sementara anggota tubuhku yang lain membeku kaku seperti mendadak diterpa badai salju hingga minus derajat.
Dia menyukaiku?
Astaga, petaka macam apa ini?!
"Ya! Sadarlah! Aku tidak mungkin menyukaimu!" ketusku setelah berhasil meredakan badai salju dalam diri.
Kyuhyun tampak tak terima. Ia melotot, nyaris mengeluarkan kedua bola matanya. "Aku tidak menyukaimu! Aku hanya benci selalu diganggu olehmu!"
"Cih. Lalu menurutmu, aku harus menonton penampilan kalian hanya karena kau terus memikirkanku?"
"Iya!" sahutnya tegas.
Aku melotot. Sungguh menyebalkan!
"Maaf Tuan Cho Kyuhyun yang terhormat, aku tidak peduli dengan keluhanmu. Jika kau terganggu denganku, kau bisa berhenti menjemputku. Sungmin bisa menjemputku selama kakiku cedera. Aku-"
"Sungmin?" Potong Kyuhyun sambil menaikkan sebelah alisnya. "Jadi maksudmu, pergi dan pulang kuliah, Sungmin yang menjemputmu? Kau pikir dia pengangguran?!"
Gerahamku bergemeletuk geram. Menahan amarah. Sial! Aku benar-benar benci terus bersama pria ini. Dia membuatku berisiko menderita hipertensi dan jantungan.
"Dia yang mengatakan padaku kalau sementara jadwal pagi dan siangnya masih longgar."
Kyuhyun menghela napas dengan kasar lalu menatapku tajam.
"Baiklah kalau begitu!" katanya kasar. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di dasbor lalu menekan salah satu tombol. Ia menempelkan ponsel ke telinga kanannya.
"Hyeong, jemput Hyuna di halte bis dekat kampusnya sekarang," kata Kyuhyun dengan nada datar lalu memutuskan sambungan telepon. Aku yakin, penerima telepon - yang pasti adalah Sungmin - terheran-heran menerima panggilan tersebut kemudian terputus begitu saja tanpa sempat merespon.
"Kau boleh turun dari mobilku sekarang. Aku sibuk. Sungmin akan menjemputmu." Kyuhyun menekan tombol di sisi kirinya untuk membuka kunci pintu mobil.
Aku mendengus. Kubuka pintu mobilnya dengan kasar. Sialnya, kaki kiriku benar-benar tak berguna. Kukeluarkan kaki kanan lalu dengan kedua tangan mengangkat kaki kiriku dengan hati-hati keluar dari mobil. Kyuhyun sialan itu sama sekali tak membantuku.
Begitu tubuhku keluar lalu menutup pintu mobilnya, Kyuhyun segera melesat pergi.
"Dasar Kyuhyun bodoh! Menyebalkan!" desisku kesal.