Kehadiranmu singkat tapi selalu berhasil menghancurkan duniaku.
Tatapanmu tajam seakan akulah sumber kekacauan semua ini.
Tidak ada tatapan lembut tidak ada sapaan indah yang terjadi.
Saling berpaling adalah caramu dan caraku untuk bertahan hidup.
Aku pikir aku telah berhasil melupakanmu dan merelakanmu tapi kenyataannya tidak sama sekali.
Antara rasa kesetiaan dan kebodohan.
Brenda menghentikan langkahnya dan menatap kakaknya yang berada tak jauh dibelakangnya.
Dia benar-benar merasa frustasi. Diusaplah keringat disisi telinganya.
“Bang! Buruanlah! Lihat jam berapa ini? “ perintah Brenda tanpa bisa dilawan
“Berisik amat. Bentarlah, ini juga mau kelar.” dengan nada santai tanpa menyadari sebenarnya ia sudah menabuh genderang perang.
“Satu…”
“Brenda! Hentikan omelan omong kosongmu. Ayo berangkat.” Alexpun menarik tangan adiknya dengan kasar dan Brenda hanya tertawa melihat perlakukan kakaknya.
Tempat itu tenang dan nyaman seperti biasanya. Suasana teduh selalu tercipta ketika berada tempat diseperti ini. Beberapa lilin menyala memancarkan sinarnya, orang- orang berlutut sambil berdoa.
Kecuali dua kakak beradik yang selalu beradu mulut dimanapun mereka berada. Mereka berjalan beriringan disertai omelan tidak masuk akal mereka.
“Hai bro, apakabar?” sapa Alex pada seorang temannya dan menghentikan langkahnya.
“Hai bro, baik. Sama adek lu aja ini?” tanya pemuda itu.
“Iya, heh sini lu, kenalin temen gue namanya Rafael. Rafael kenalin nih adek gue namanya Brenda.”
Rafelpun mengulurkan tangannya ke Brenda dan Brendapun meraih tangannya.
Tidak ada yang mengetahui jika itu adalah awal semua kekacauan ini.
