Aku segera menggeleng kepala kuat-kuat demi mengusir Changmin dari pikiran. Awalnya kupikir, benteng yang kubangun begitu kokoh. Nyatanya aku salah. Hanya karena tindakan kecilnya saja, jantungku berdebar tiga kali lebih cepat dari biasanya. Sedangkal itukah aku?
Kubalikkan tubuh untuk kesekian kalinya. Sejak dua jam yang lalu, entah berapa posisi tidur telah kucoba, namun tak satu pun yang membuatku nyaman. Pikiranku berkelana memikirkan berbagai spekulasi mengenai masa depan.
Akankah hati ini kembali memilih Changmin? Ah, entahlah. Aku benci dikhianati. Ia pernah berbohong satu kali, artinya tidak akan sulit untuk berbohong untuk yang kedua kalinya.
"Hyuna-ya, jangan pernah terjebak pada pusaran luka yang sama," gumamku seraya menarik selimut menutupi seluruh tubuhku, termasuk wajah.
*
Aku telah bersiap saat jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku memang meminta Sungmin menjemputku lebih awal untuk menghindari Changmin.
Cukup satu hari aku membolos karena kedatangan Changmin yang tak diharapkan.
Aku tidak ingin menjadi bahan gosip seisi kampus. Rasanya seperti berjalan di tengah lautan duri setiap kali berjalan di sekitar kampus. Tatapan-tatapan sirik disertai bisikan mahasiswi lain membuatku benar-benar gerah. Kampus bukan lagi tempat yang nyaman untukku berkeliaran.
Lagi pula, pukul delapan nanti, aku harus menemui Park Songsaengnim untuk mengundurkan diri - yah, walau aku tahu, namaku sudah pasti dicoret dari daftar peserta kompetisi kala berita kecelakaanku tersebar.
"Kau menghindari Changmin?" tanya Sungmin ketika kami telah di dalam mobil.
Aku mengangguk.
Jujur saja, aku pun takjub dengan responku sendiri. Bukankah biasanya aku akan menjawab 'bukan urusanmu' dengan nada acuh tak acuh? Mengapa kali ini bertindak begitu polos?
Tanpa berniat untuk bertanya lebih lanjut, Sungmin menyetel lagu The Beatles dari audio mobil.
Aku terperanjat. Apa dia tahu aku menyukai lagu-lagu The Beatles?
Aku menoleh kala lagu I Want to Hold Your Hand mengambil alih keheningan kami. Sungmin tersenyum tipis sambil tetap fokus menyetir.
"Ini salah satu lagu favoritku. Kuharap kau tidak terganggu."
"Ini juga lagu favoritku," gumamku tanpa sadar.
"Benarkah?" tanya Sungmin memastikan. Dapat kulihat kedua bola matanya berbinar.
Lagi-lagi aku mengangguk.
Sungmin tersenyum lebih lebar. Memamerkan deretan giginya yang putih.
"Aku senang ternyata kita punya selera musik yang sama."
*
Landasan lari berwarna merah bata itu telah menemani sepasang kakiku menantang angin. Landasan berbentuk oval dengan delapan jalur merupakan obat terbaik bagiku.
Sayang, akibat kecelakaan itu, persahabatanku dengan landasan lari harus putus untuk sementara.
"Sayang sekali, padahal kami sangat berharap kau ikut pertandingan kali ini."
Aku meringis ketika mengingat ucapan Park Songsaengnim.
"Semua ini gara-gara Kyuhyun," desisku kesal.
Tatapanku menerawang. Kepalaku sibuk menayangkan suasana pertandingan yang tak dapat kuikuti. Tentang betapa berharganya setiap moment pacuan kakiku menantang angin. Teriakan pemberi semangat dari penonton. Ah, aku bahkan dapat mendengar bunyi letusan pistol tanda pertandingan dimulai.
Tanpa sadar, mataku memanas. Spontan, segera kusapu air mata dengan punggung tangan. Aku benci terlihat lemah di depan siapa pun.
"Kau bolos?" tanya seseorang dari arah belakang. Suaranya familiar.
Aku segera membalikkan tubuh. Memastikan suara dan wajah orang itu.
Benar saja. Kyuhyun. Untuk apa dia ke kampus di jam segini?
"Dosen yang mau kutemui tidak di tempat," katanya, menjawab tanda tanya yang bergelantung di keningku yang berkerut.
"Bukankah kau ada kelas jam sembilan?" tanyanya.
Lagi-lagi dahiku berkerut. "Tahu dari mana?"
"Sungmin," jawabnya cepat.
"Istri Kim Songsaengnim mengalami perdarahan. Kelas langsung dibubarkan."
Kyuhyun mengangguk paham. Kemudian hening mengambil alih. Rasanya tidak ada hal yang perlu kami bicarakan.
"Kau tidak penasaran kenapa aku ke sini?" tanyanya seraya menyunggingkan senyum miring yang begitu menyebalkan.
"Tidak," jawabku singkat.
Kyuhyun terkekeh.
Tanpa berniat berlama-lama dengannya, aku segera beranjak. Kuangkat kaki kiriku yang begitu kaku. Aku meringis ketika menaiki dua anak tangga yang memisahkan lapangan dan jalur ke luar. Untung saja tangganya tak sebanyak tangga kursi penonton.
Aku terkejut kala tiba-tiba saja Kyuhyun meraih lenganku.
"Jangan terharu, ini masih tugasku," katanya ketika aku menoleh.
"Cih. Untung saja kau masih ingat apa yang dinamakan tanggungjawab," sindirku.
"Kau mau ke mana?"
"Pulang."
"Pulang?" tanyanya memastikan.
"Aku malas ikut mata kuliah berikutnya."
"Atau karena kau ingin pulang bersamaku?" godanya dengan senyum miring yang menyebalkan.
Emosiku terpancing. "Ya! Tanpa membolos pun aku tetap pulang denganmu!"
"Hahaha. Mungkin karena kau tak sabar menunggu."
Aku menghela napas kasar. "Terserah," ujarku pasrah. Bukan karena ingin mengalah. Terlebih karena terlalu sia-sia menguras energi untuk debat kusir hal sepele seperti ini.
"Oh ya, ini untukmu dan Haelmoni," kata Kyuhyun seraya menyerahkan dua lembar tiket SM Town saat kami telah di mobil.
Mataku membulat. "Lagi?"
Kyuhyun mengangguk sambil menyalakan mesin mobil dan membelah jalanan.
*