“Mata kami saling bertemu pandang
Kurasa dunia sempat berhenti sejenak
Jantung ini berdebar tak karuan,
Ketika kucoba untuk menahan
Tapi, entahlah. . . . .
Mungkin ini bukan arti apa-apa” no-name.
Chapter 3 – The Only Person.
Rumah Sakit Myung Woo.
“Dr. Keum, tolong bantu disini sebentar.” Seorang perawat dengan tergesa-gesa memanggil Dr. Keum. Ia sedang memeriksa seorang pasien bersama asistennya. Kemudian ia memberi arahan pada asistennya yakni seorang dokter baru yang sedari tadi membantunya, untuk melanjutkan menangani pasien. Dr. Keum kemudian mengikuti perawat itu memeriksa pasien yang berada di ujung koridor.
Di sisi lain, Dr. Oh sedang memberikan CPR kepada seorang pasien yang tidak sadarkan diri. Di sampingnya berdiri seorang dokter baru yang mencatat setiap perkembangan pasien. Dr. Oh menekan dada pasien yang tidak sadarkan diri itu dan memberikannya nafas buatan. Beberapa saat kemudian, pasien itu sadar. Dr. Oh bernafas lega dan mengarahkan dokter baru di sebelahnya untuk membersihkan luka-luka pasien dibantu seorang perawat. Ia lalu bergegas untuk melihat pasien lain yang juga dalam keadaan darurat.
“Dr. Oh!” Seseorang memanggil Oh Soohyun dengan suara cukup keras dan tergesa-gesa, ia menoleh kebelakang. “Kita harus menyiapkan operasi, salah satu pasien penyakit jantung dari ruangan 102 tidak sadarkan diri.”
Soohyun mendapati orang yang memanggilnya itu adalah Dr. Kim dan ia mengangguk setuju. “Baiklah siapkan ruang operasi secepatnya.” Katanya. Dr. Kim membalas anggukannya dan pergi untuk menyiapkan segala keperluan operasi.
Oh Soohyun berlari kecil kearah pasien lainnya. Ia melihat salah seorang perawat kesulitan mengobati pasien. Pasien itu adalah seorang anak perempuan kecil dimana bagian dahi dan pinggangnya terluka.
“Perawat Chunhee, biar aku tangani.” Perawat itu menyerahkan perban serta perlengkapan lainnya ke tangan Soohyun. Anak perempuan kecil sekitaran umur 6 tahun itu terus meronta dan menangis kesakitan. Soohyun berusaha secara perlahan mengobati dan perawat Chunhee membantunya memegangi anak kecil itu sehingga ia tidak terlalu meronta kesakitan. “Aku akan membalut lukamu, tahan sebentar ya.” Soohyun berkata lembut sembari membalut bagian pinggang anak itu yang sudah dibersihkan lukanya.
Di sisi lain, dokter-dokter dibantu para perawat juga sedang sibuk menangani pasien. Siang itu, sebuah kecelakaan bis terjadi dan seluruh korban dilarikan ke rumah sakit Myung Woo. Memang bukan kecelakaan besar, hanya beberapa dari mereka yang terkena luka parah, dan yang lainnya hanya mengalami luka-luka kecil. Meskipun tidak ada korban tewas, tapi UGD siang itu terlihat sangat sibuk dan tampak sedikit tidak terkendali karena beberapa dokter sedang dipindahtugaskan ke Rumah Sakit cabang. Begitu juga dengan ketidakhadiran Dr. Park dan Dr. Han, ruangan itu terlihat kosong tanpa mereka.
Dr. Oh beserta timnya meninggalkan ruang UGD dan masuk ke dalam ruang operasi. Dr. Ahn mengangguk padanya dan operasi dimulai. Soohyun terlihat tegas dan sudah jauh berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Ia sudah menjadi dokter handal seperti yang dikatakan Hoon. “Kalau kau mau berjuang keras dan lebih gigih selangkah daripada yang lain. Aku jamin kau pasti bisa menjadi dokter yang hebat.” Kata-kata ini terus terngiang di kepala Soohyun. Sejak saat itu, ia berusaha untuk menjadi dokter hebat dan ingin membuat Rumah Sakit Myung Woo menjadi Rumah Sakit nomor satu di Seoul.
Seorang dokter yang sedang menjahit terlihat gemetaran. Sepertinya ia adalah dokter baru yang ikut dalam tim operasi Dr. Oh kali ini. Ia saling tatap dengan Dr. Oh, kemudian beberapa saat berikutnya Dr. Oh meyakinkannya dengan anggukan. “Jahitlah dengan perlahan seperti yang kukatakan. Jangan terburu-buru dan yakinkan dirimu. Kau sudah melakukannya dengan benar.” Ia meyakinkan dokter baru itu dengan tegas.
“Ya.” Dokter itu menjawab dan melanjutkan jahitan dengan perlahan seperti yang diarahkan Soohyun.
Dr. Ahn yang berada disana juga memberitahu dokter ahli anestesi yang baru untuk tetap fokus pada pasien. Ia kagum melihat Oh Soohyun yang sudah banyak berubah. Padahal dulu, ia meremehkan wanita itu dan mengatakan bahwa dia tidak akan mampu menjadi dokter kepala untuk melakukan operasi. Tetapi ternyata, Soohyun menunjukkan padanya bahwa ia memang mampu.
Operasi berjalan dengan baik berkat Dr. Oh, Dr. Ahn dan tim operasinya. Mereka keluar dari ruang operasi dan saling tersenyum satu sama lain.
“Bukankah kau bilang akan mengambil cuti? Kapan itu dimulai?” Soohyun bertanya padanya. “Kau akan kembali setelah melahirkan bukan? Well, aku tak memaksamu. Hanya saja, kami akan kehilangan dokter ahli anestesi hebat lagi jika kau tidak kembali.” Ia tertawa kecil.
Dr. Ahn tersenyum dan menjawab. “Aku masih belum tau. Aku akan bilang pada Dr. Keum bahwa kau akan merindukan bertengkar denganku.” Ia menggoda. “Hari cutiku sudah diputuskan. Kira-kira sekitar seminggu lagi. Aku pastikan akan sering main kesini. Kau tenang saja.”
Soohyun mengangguk. Mereka bersama-sama kembali ke ruang UGD untuk melihat keadaan disana. Ruang UGD sudah tampak lebih terkendali. Banyak sanak saudara datang melihat keadaan keluarganya yang mengalami kecelakaan, memastikan apakah mereka baik-baik saja.
“Ini aneh.” Dr. Ahn menoleh ke arah Soohyun dengan tatapan tidak yakin. “Bagaimana bisa, mereka menangani pasien secepat ini? Ini tidak pernah terjadi sejak kepergian Dr. Han dan Dr. Park. Apalagi dengan tidak adanya bantuan dari kita.”
Soohyun berjalan ke arah pasien-pasien itu dan menemukan luka mereka sudah dibalut perban. Beberapa dari mereka pun sedang beristirahat. Ia menelusuri semua sisi UGD dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi mengenakan jas dokter Rumah Sakit Myung Woo sedang bercakap-cakap dengan pasien mengenai lukanya. Ia berkata bahwa luka pasien itu akan sembuh setelah diganti perban dan dioleskan obat selama 3-4 hari. Pria itu berdiri di samping pasien membelakangi Soohyun. Ia kenal betul suara siapa itu. Seselesainya berbicara dengan pasien, ia berbalik dan melihat Soohyun menatapnya senang.
“Dr. Han.” Soohyun tersenyum. Ia mendapati seseorang yang sudah berkali-kali menolak ajakannya untuk kembali bekerja di Rumah Sakit Myung Woo itu berdiri di hadapannya. Perasaan lega menyelimuti hatinya. “Kau disini.”
Han Jaejoon berjalan kearah Soohyun sambil tersenyum. “Bisakah aku kembali? Aku sudah mendapatkan izin dokterku lagi.” Katanya. “Itu pun kalau kau masih menginginkan aku kembali dan belum berubah pikiran.”
“Tch.” Soohyun menyeringai. “Ternyata kau yang membuat UGD menjadi lebih tenang di hari seperti ini. Sepertinya aku memang tidak bisa kalau tidak menerimamu kembali hm?” Dia menggoda dan mendapati Jaejoon tersenyum kecil saat mereka berjalan keluar dari ruangan UGD.
####### <3
“Kau lihat tadi?” Soohyun bertanya, saat mereka berjalan berdampingan. “Seluruh dokter dan perawat sangat senang dengan kepulanganmu. Dr. Han Jaejoon yang terkenal hebat itu, akhirnya kembali ke rumah sakit ini.” Katanya lega.
Jaejoon berhenti sejenak dan memposisikan dirinya berhadapan dengan Soohyun. “Makanya, sudah kubilang bukan kalau pekerjaan di firma hukum tidaklah cocok untukmu. Kau lebih pantas menjadi dokter Jaejoon-ssi.” Ucap Soohyun menambahkan.
Jaejoon mendapati Soohyun terlihat sangat senang dengan kedatangannya. Ia merindukan tatapan dan senyuman itu. Senyuman dan tatapan yang hanya melihat kearahnya sebelum Park Hoon datang dan mencuri hatinya. Meskipun begitu, masih ada perasaan bersalah karena kelakuannya di masa lalu terhadap wanita itu. Ia berpikir, sebaiknya menjaga jarak sedikit lebih lama daripada harus terlibat dalam hubungan percintaan dengan Soohyun lagi seperti dulu. Jaejoon merasa bahwa sikapnya yang buruk di masa lalu, tidak akan pantas untuk mendapatkan hati Soohyun lagi.
“Kuharap aku tidak mengecewakanmu.” Kata Jaejoon.
Soohyun menggeleng cepat. “Kau tidak pernah mengecewakanku Jaejoon-ssi.” Bantahnya. “Kau salah satu dari kami yang terbaik.” Ia tersenyum dan menepuk lengan Jaejoon pelan. “Aku harus memeriksa pasien, nanti kita bicara lagi ok? Ceritakan padaku apa saja kegiatan yang kau lakukan selama setahun belakangan ini.”
Jaejoon menatap kepergian Soohyun. Kini, yang bisa ia perbuat hanyalah memperlakukan Soohyun dengan sebaik-baiknya untuk menebus kesalahan di masa lalu.
Pria itu kemudian berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Ia memutuskan untuk menyapa Dr. Moon dan mengatakan padanya bahwa ia ingin kembali menjadi dokter disana. Ia tahu bahwa Dr. Moon adalah kepala rumah sakit yang baru. Jaejoon berdiri di depan pintu ruangan Dr. Moon. Sudah hampir beberapa menit ia berdiri disana tanpa mengetuk pintu. Tiba-tiba Dr. Moon dengan segala ke-riangannya keluar dari ruangan itu dan kaget mendapati Jaejoon disana.
“Dr. Han?” Jaejoon membungkukkan badan, memberikan hormat kemudian kembali menatap Dr. Moon. “Aigoo! akhirnya kau kembali!” Dr. Moon memeluk Jaejoon dan menepuk punggungnya dengan ceria.
Reaksi yang berbeda dari Dr. Moon membuat Jaejoon kebingungan. “Ya! Satu tahun itu terasa lama sekali saat kau belajar di luar negeri. Kau tidak tahu bahwa rumah sakit ini membutuhkanmu? Kau tidak perlu datang menemuiku, kapan saja kau kembali aku akan senang menerimamu.” Dr. Moon mulai berceloteh. Ia memang masih Dr. Moon yang riang dan bawel seperti yang dikenal Jaejoon.
“Terimakasih, Dr. Moon. Terimakasih karena mau menerimaku kembali. Dan juga, aku minta maaf atas kelakuan burukku terhadap Dr. Moon di masa lalu.” Ia membungkukkan kepalanya lagi sebagai permintaan maaf.
Dr. Moon menggeleng. “Aniya, kau adalah salah satu dokter terbaik yang pernah aku kenal. Kau tidak perlu minta maaf. Tidak ada yang perlu dimaafkan, aku juga minta maaf karena tidak pernah mau mendengarkanmu.” Ia kemudian mengulurkan tangan. “Nah, sekarang aku harus ucapkan selamat datang kembali untukmu, Dr. Han.”
Han Jaejoon menjabat tangan Dr. Moon. Setelah itu, ia berlalu dari pandangannya.
“Syukurlah dia kembali.” Dr. Moon menatap kepergian Jaejoon. “Akan lebih baik jika Park Hoon bisa kembali juga.” Satu helaan nafas panjang terlihat dari Dr. Moon. Ia merindukan sosok Park Hoon. Ya, Park Hoon.
####### <3
“Aku mengerti. Informasi terbaru pasti akan aku update secepatnya. Tidak usah khawatir. Iya, baiklah. Sama-sama.” Ahn Yena berjalan memasuki rumah sakit itu, masih sibuk menjawab panggilan telefon ke-38 nya di siang yang menyengat. Sudah sejak ia mengemudi dari TKP sampai di rumah sakit, media berdatangan menanyakan informasi terbaru.
Kebetulan kafe “UPTOWN” menyewanya menjadi Public Relations freelance untuk menangani kasus ini. Sebagai seorang Public Relations, memiliki relasi yang baik dengan media adalah yang terpenting. Karena media merupakan sarana publikasi berita yang kita miliki. Jangan sampai media yang mengontrol kita. Harus dipikirkan untuk meminimalisir kemungkinan terburuk yang bisa merusak citra perusahaan atau organisasi. Sebagai orang PR (Public Relations) tentu kita yang paling tahu semua kebenaran informasinya. Maka dari itu pastikan kalau kita – sebagai kunci informasi lah yang akan mengontrol media. Itulah yang selalu ada dipikiran seorang Ahn Yena.
Jika sudah menyangkut soal reputasi, citra dan kebenaran informasi saat menghadapi krisis, ia tidak pernah main-main. Dirinya percaya bahwa semua itu harus ditangani sendiri. Meskipun memiliki tim untuk membantu tapi wanita itu lebih peka pada keadaan dan yang terpenting dia punya segudang rencana. Yena mendapat kabar bahwa korban Park Youngjae akan di otopsi di rumah sakit tersebut. Makanya ia bergegas datang untuk mengecek hasil analisa dokter.
Seketika berita mengenai Park Youngjae yang bunuh diri itu menjadi ramai dibicarakan orang banyak. Apalagi, pria itu menjatuhkan diri dari sebuah kafe ternama. Layar TV di rumah sakit pun terlihat memberitakan hal yang sama meskipun datang dari berbagai stasiun TV berbeda. Tragis? Ya. Tentu saja.
Ia berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Tidak yakin dimana sebenarnya ruang otopsi. Ia melihat sekeliling mencari papan arah sebelum bertanya pada salah seorang yang mengenakan jas dokter berlalu dihadapannya.
“Maaf,” Yena menahan lengan dokter itu sebentar untuk menghentikan langkahnya. Dokter itu sedaritadi membaca kertas-kertas yang sepertinya merupakan laporan kesehatan. Merasa seseorang menahannya, ia mendongak. “Boleh aku tau dimana ruang otopsi?” Ucapnya kemudian saat sudah mendapat perhatian penuh dari dokter itu.
Dokter itu tidak menjawab. Dalam diam mengamati wanita yang berdiri di hadapannya ini. Ia seperti melihat sesosok yang sudah lama tak dilihatnya ada dalam diri wanita itu, tapi samar-samar tidak begitu yakin. Jelas-jelas caranya memandang sangat berbeda, mengingatkannya pada seseorang. Mirip, sekilas memang mirip.
Bayangan akan sesosok gadis cantik berambut panjang kecokelatan menghampiri pikirannya. Sudah sekian lama pikiran ini tak pernah merasukinya lagi. Tapi, ia mengingat gadis itu sepertinya sangat mengenalnya. Dia mengenakan seragam sekolah sedang tertawa dan mengganggunya saat mereka berada di sebuah taman. Rambutnya yang tertiup angin, membuat bayangannya di kala senja menjadi lebih mempesona. Suara nyaringnya yang memanggil dari kejauhan. Entah apa maksudnya ini. Tetapi, sesaat kemudian gadis cantik itu seperti mengulurkan tangan dan memberikan senyuman manisnya. Memori itu kini kembali di beberapa titik.
“Maaf,” Ulang Yena sambil mengernyitkan alis, membuyarkan lamunannya. “Dr..” Ia melirik sekilas ukiran nama yang tertera pada jas dokter pria itu. “Dr. Han,” katanya melanjutkan. “Bisa beritahu aku dimana ruang otopsi?” Ulangnya.
“Oh.” Han Jaejoon. Dokter itu mengangguk. Tersadar bahwa sudah kembali ke situasi nyata. “Ruang otopsi, ada di ujung koridor ini.” Dia menunjuk ke kejauhan di ujung sana. “Disana tidak bisa dimasuki sembarang orang. Anda ada keperluan apa?” Tanyanya.
“Aku ada keperluan. Aku mau mengambil hasil otopsi, untuk keperluan perusahaan.” Sahutnya cepat. “Ini pertama kalinya aku mengambil hasil otopsi di rumah sakit ini. Hampir saja kehilangan arah,” Yena mendengus lega. “Oh, iya. Ini kartu namaku kalau kau ingin tau lebih lanjut apa kepentinganku datang mengambil hasil otopsi itu.” Dia mengambil sebuah kartu nama dari tas tangannya dan menyodorkannya kepada Jaejoon. Pria itu mengambilnya. “Apa kau bisa bantu aku mendapatkan hasilnya?”
Ahn Yena. Jaejoon membaca nama yang tertera pada kartu nama itu dalam diam, mengulangnya lebih dari dua kali. Memastikan apa dia pernah mengenal wanita di hadapannya ini, sebelum kembali menatap wajah wanita itu.
"Baiklah." Jaejoon menyimpan kartu nama wanita itu di saku celananya. "Ayo." Ajaknya kemudian.
"Gomawo." Ucap Yena tulus menyunggingkan senyum manisnya. Mereka berjalan berdampingan. "Maaf merepotkanmu." Katanya lagi. "Well, kuharap aku tidak mengganggu jam kerjamu."
"Aku tidak keberatan." Ia menganggkat sebelah tangan, melihat ke arah jam yang melingkar di pergelanggan tangannya. "Masih banyak waktu sebelum operasi selanjutnya dimulai." Jawabnya santai.
Yena mengangguk-anggukan kepalanya pelan tanda mengerti sambil membulatkan huruf O dalam diam. "Kau menangani operasi apa?" Ia bertanya, sembari melirik sekilas pria disebelahnya ini.
"Jantung." Sahut Jaejoon cepat. "Aku dari departemen bagian jantung."
Jantung, gumam Yena dalam hati beberapa saat. Mereka sama-sama diam sekitar beberapa detik selanjutnya sampai wanita itu kembali membuka pembicaraan. "Apakah operasi nya akan sulit? Jam berapa dimulai?" Ia tentu tidak mau menjadi beban dan mengganggu jam kerja orang disebelanya ini.
"Tidak. Itu hanya operasi sederhana." Jaejoon kembali memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Sekitaran jam 6. Sekarang baru pukul 5 lewat. Aku masih banyak waktu."
Mereka berdua hampir sampai di depan ruang otopsi. Namun, langkah Yena melambat. Ia menundukkan kepalannya sedikit ketika melirik pintu ruang otopsi itu terbuka. Jaejoon mendapati hal tersebut tidak aneh. Dia mungkin takut. Jelas saja, melihat jenazah. Bagaimana bisa tenang. Apalagi dia seorang wanita, pikir Jaejoon dalam hati. Ia menyeimbangkan langkahnya dengan wanita itu perlahan. Kemudian menghentikan langkah terakhirnya saat mereka sampai di depan pintu ruang otopsi. Ia melihat gadis itu berkali-kali menelan ludah, bingung, mungkin malu dan enggan mengatakan kalau dia takut.
Jaejoon mendekat padanya dan memposisikan gadis itu membelakangi ruang otopsi. Sontak Yena kaget, menatapnya dan tidak bergeming, hanya menurut. Ia membuat wanita itu berdiri di salah satu sisi meja resepsionis terdekat. "Siapa namanya? Orang yang kau cari itu." Tanya Jaejoon.
Yena memutar sedikit tubuhnya. "Park Youngjae." Jawabnya singkat.
"Tunggu disini. Akan kutanyakan hasil otopsinya." Ucap Jaejoon kepadanya. Belum sempat mengatakan "ya" pria itu sudah berlalu dari pandangannya.
Kebetulan sekali Ia bertemu dengan seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. Jaejoon mendekat dan bertanya padanya mengenai Park Youngjae. Dokter yang bertugas itu mengatakan bahwa korban Park Youngjae baru bisa mendapatkan hasil otopsinya besok. Jaejoon mengangguk dan berterimakasih padanya. Ia menoleh ke tempat Yena berdiri sebelumnya dan menemukan wanita itu sudah tidak ada disana.
Heran, kemana perginya dia? Jaejoon bergumam dalam hati. Dia menanyakan keberadaan wanita itu pada perawat disana. Tapi perawat itu tidak tahu. Memang tadi ia tahu bahwa ada seorang wanita berdiri seperti sedang menunggu sesuatu disana, tapi saat tak memperhatikan lagi wanita itu sudah menghilang.
Jaejoon melihat sekeliling, mencoba menemukan sosoknya lagi. Tak ditemukannya. Mungkin belum berjodoh. Lain kali pasti bisa bertemu lagi.
Ponsel Yena berbunyi saat ia sedang menunggu Dr. Han. Panggilan dari ajumma. Dipasangnya earphones dan ditekannya tombol on pada benda itu. "Oh, ajumma. Bagaimana?" Tanyanya langsung. Ia melihat ke kiri dan kanan. Terlalu riskan untuk bicara soal itu di sekitar sini, pikirnya. Kemudian, ia berjalan pergi dari sana sambil mencari tempat sepi.
"Aku sudah melacak latar belakang Park Youngjae beserta daftar panggilan ponselnya terakhir kali. Sudah kukirimkan padamu datanya." Jawab ajumma di seberang telepon. "Ada beberapa nama pada panggilan telepon terakhirnya. Tapi ada juga tertera nomor pribadi yang belum bisa kulacak. Secepatnya kukirimkan padamu lagi." Lanjutnya.
"Baiklah, ajumma. Terimakasih banyak. Aku akan mengeceknya nanti." Yena menyelesaikan panggilan itu. Percakapan singkat antara dia dengan ajumma. Ya, dia minta tolong ajumma melakukan background check untuk Park Youngjae. Setiap orang punya alasan untuk hidup dan bahkan bunuh diri. Yena tidak bisa begitu saja lega sebelum menemukan jawabannya.
Ia meneruskan pesan berisikan background check yang dikirimkan ajumma pada tim perencanaannya. Menyisipkan pesan bagi mereka untuk berbagi tugas mencari tahu lebih lanjut tentang Park Youngjae dan mendatangi keluarganya untuk diwawancarai. Harus bergerak cepat, sebelum media datang mengambil alih.
####### <3
When I look into your eyes, my trembling heart flutters Ketika Aku menatap matamu, Jantungku yang mulai berdebar
When I look at you, I feel like the world has stopped Ketika Aku menatapmu, Aku merasa dunia berhenti berputar
My one and only person Satu-satunya orang
My treasure-like person who is like a dream Hartaku yang seperti mimpi
My first person who blossoms like a flower Orang pertamaku yang mekar seperti bunga
Just looking at you makes me tear Hanya dengan melihatmu membuatku hancur
When I try to write a poem Ketika ku mencoba menulis sebuah puisi
I can only write your name Aku hanya dapat menulis namamu
Just like how winter passes and spring comes Sama halnya dengan musim dingin yang berganti ke musim semi
I believe you will come to me as well Aku percaya kau akan datang pula kepadaku
My one and only person Satu-satunya orang
My treasure-like person who is like a dream Hartaku yang seperti mimpi
My first person who blossoms like a flower Orang pertamaku yang mekar seperti bunga
Just looking at you makes me tear Hanya dengan melihatmu membuatku hancur
It might hurt and be hard Itu bisa membuatmu terluka dan sulit
But I promise to protect you Tapi Aku berjanji untuk melindungimu
I only have you Aku hanya memilikimu
I’ll be okay if only I have you Aku akan baik-baik saja meskipun hanya kau yang kumiliki
My first person, the only one in my life Orang pertama dan satu-satunya dalam hidupku
Just looking at you makes me tear Hanya dengan melihatmu membuatku hancur
K.Will – The Only Person // Translation.