home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Hallucination

Hallucination

Share:
Author : yongshin1004
Published : 28 Feb 2015, Updated : 03 Mar 2015
Cast : Kim Jiwon & Park Haejin
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |29148 Views |0 Loves
Hallucination
CHAPTER 4 : Another Day

 “Kubuka jendela itu

Wangi embun menyelimuti

Ku menghela nafas panjang

Sehari lagi Aku hidup

Kumenerawang jauh ke langit

Kebiruan yang nyaman di hati ini

Entah bagaimana selanjutnya,

Hidup ini berlalu tanpamu. . . . .” no-name.

Chapter 4 – Another Day .

Rumah Sakit Myung Woo.

Kemarin malam sebelum merebahkan diri di kasur, Yena sempat mengecek bahan-bahan yang dikirimkan ajumma padanya. Kalau hasil analisisnya benar, kemungkinan hal ini bukanlah sekedar bunuh diri biasa. Ia berjalan memasuki rumah sakit Myung Woo siang itu, berniat mengambil hasil otopsi disana. 

Seorang dokter memberikan file hasil sementara otopsi padanya. "Disana sudah tertera hasilnya. Korban sepertinya sudah sering mengalami gangguan mental sehingga hal itu mengontrol pikirannya dan menyebabkan perasaan putus asa yang mendalam. Sepertinya memang Park Youngjae sedang mengalami stress berat.” Jelasnya. “Itu memungkinkan di saat seperti apapun terlintas pemikiran untuk menjatuhkan diri. Kami baru bisa memberikan kesimpulan seperti itu sejauh ini.Karena, masih banyak yang harus diteliti.”

Yena mengucapkan terimakasih dan membungkukkan badan sedikit kepada dokter tersebut saat ia tersenyum dan berlalu pergi. Memang benar ada yang mengganjal. Pikirannya mulai menyatukan banyak hal, memilah-milah yang mana argumen dan fakta-fakta yang harus didahulukan, sambil melihat berkas hasil otopsi yang dipegangnya.

Tadi sebelum mengambil hasil otopsi, Yena sempat mampir ke kafe terlebih dahulu. Kafe “UPTOWN” tidak tutup dan beroperasi seperti biasanya. Kau pasti heran, bukan? Padahal baru kemarin ini terjadi kasus bunuh diri. Mengapa tidak ditutup? Coba sekarang bayangkan apa yang akan dipikirkan publik jika kafe itu ditutup sementara? Bukankah itu terlihat seperti mereka mengakui memang ada sesuatu yang salah terjadi disana, baik itu kelalaian atau bukan, baik itu bunuh diri atau bisa jadi bukan meninggal secara wajar. Tidakkah mereka akan lebih takut, curiga dan ragu untuk mendatangi tempat itu di lain waktu? Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada citra kafe tersebut? Reputasi kafe tentu akan menurun dengan adanya kasus seperti ini.

Tapi, sebagai seorang Public Relations, Ahn Yena harus tahu apa yang harus dilakukan. Membiarkan kafe itu tetap beroperasi seperti biasanya adalah salah satu yang harus dilaksanakan. Dengan dibukanya kafe itu seperti biasa, maka pihak kafe menentang adanya isu-isu buruk tentang kafe tersebut. Justru disini, kafe “UPTOWN” lah yang sebenarnya dirugikan. Karena, kebetulan saja kasus bunuh diri itu terjadi disana. Mengapa harus menutup kafe jika tidak ada yang salah? Publik pasti akan lebih curiga. Kemudian, kecurigaan mereka selanjutnya berakar menjadi gosip. Gosip itu akan menyebar menjadi isu-isu yang memperburuk citra perusahaan. Lalu bagaimana nasib kafe tersebut? Ahn Yena tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Tidak akan ada yang berani datang kesana lagi.” Pernyataan ini pasti sering kita dengar jika hal-hal seperti ini terjadi. Yena percaya pandangan itu hanyalah sementara. Meskipun mungkin tidak akan ada pengunjung yang datang selama beberapa hari kedepan, tapi tetap lebih baik kafe tersebut beroperasi daripada tidak sama sekali.

Meskipun ada yang aneh, semua ini masih dalam proses penyelidikan. Semua bukti-bukti belum terkumpul sepenuhnya. Kita tidak bisa hanya menduga saja, karena dugaan tanpa bukti hanyalah menimbulkan kecurigaan yang berlanjut dan memperburuk citra perusahaan. Sehingga, yang baiknya dilakukan adalah sebisa mungkin mengembalikan kepercayaan publik terhadap citra kafe tersebut.

Ahn Yena membawa amplop cokelat berisi berkas hasil otopsi di gengamannya. Ia duduk di salah satu bangku panjang berderet di rumah sakit itu. Membuat perencaan singkat apa yang harus dilakukannya terlebih dahulu setelah ini. Sehabis menelepon beberapa media, memberikan informasi terbaru, ia merebahkan dirinya di senderan kursi itu, bertumpu pada dinding dibelakangnya. Kemudian dia, menutup matanya sejenak. Semalam Yena menghabiskan banyak waktu menganalisa kasus-kasus, matanya butuh ketenangan sebentar. Baru saat subuh Yena jatuh tertidur selama kurang lebih 2 jam.

“Kau sudah mengambil hasil otopsinya?” Seseorang terdengar berbicara sembari duduk tepat di sebelah Yena. Wanita itu tidak menjawab. Terlalu lelah dan tidak yakin siapa yang ditanya. Beberapa saat kemudian, seseorang itu memanggil. “Ahn Yena-ssi?” Katanya sambil melirik wanita disebelahnya.

Suara pria, batinnya. “Kau siapa?” Yena terlalu lelah untuk membuka matanya, dengan suara pelan ia tanpa sadar menjawab. “Ya. Sudah kuambil.”

Mereka sama-sama diam. Lalu, Yena membuka pembicaraan lagi, masih dalam keadaan mata tertutup. Entah bicara pada diri sendiri atau pada pria disebelahnya itu. “Bagaimana rasanya ketika ingin bunuh diri?” Ia bergumam kecil.

Pria disebelahnya yang tadinya menatap lurus kedepan sontak memutar kepala ke samping menatapnya. “Bunuh diri..” gumamnya lagi. “Apa alasan seseorang ingin bunuh diri. Aku benar-benar ingin tahu.”

“Kau kenapa?” Sahut pria itu cepat. “Kau bicara apa?” Ia memperhatikan wanita disebelahnya bicara sambil mengernyitkan alis.

“Tidakkah kau pikir, semua orang punya alasan untuk hidup?” Katanya lagi tanpa menggubris pertanyaan sebelumnya. “Bahkan ketika kau mati pun, bagaimana dengan orang-orang disekitarmu? Apakah mereka akan menangis? Atau hanya berpura-pura? Aku benar-benar ingin tahu.” Lanjutnya pelan.

“Semua orang punya alasan untuk hidup. Tapi bunuh diri itu sesuatu yang lain.” Pria itu berkata kemudian. “Depresi, misalnya. Pasti ada sesuatu dibalik semua yang memberikan dorongan kuat bagi seseorang melakukan hal tersebut. Orang yang mengalami depresi berkepanjangan sangat berisiko bunuh diri. Gangguan bipolar. Kau tau? Gangguan ini adalah gangguan perubahan suasana hati yang ekstrim. Sehingga, orang tersebut mungkin akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara seperti itu. Kebanyakan alasan belakangan ini karena masalah keluarga atau sekitarnya yang membuat orang tersebut merasa terisolasi dari lingkungannya.” Ujarnya panjang lebar. “Ada ap...” Pria itu menoleh kesamping untuk kesekian kalinya ingin bertanya. Disaat yang bersamaan, Ahn yena – yang duduk disebelah jatuh tertidur bertumpu pada bahunya.

“Aku juga berpikir begitu.” Gumamnya tidak sadar perlahan menyetujui penjelasan panjang lebar pria itu. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman kecil.

Pria itu duduk dalam diam. 5 menit, 10 menit. Tidak hampir setengah jam berlalu. Membiarkan wanita disebelahnya jatuh tertidur di bahunya. Entah apa yang dipikirnya, justru ia tidak menolak wanita ini ada disisinya seperti itu. Kalau kau bilang penasaran? Terlalu mudah untuk merasa penasaran dengan orang yang baru beberapa kali kau temui. Atau jangan-jangan memang iya? Ah, belum pasti. Justru, bukan belum pasti. Tetapi, itu tidak mungkin, pikirnya. Hanya saja ia tidak bisa menjelaskan, mengapa wanita yang baru ditemuinya berapa hari itu, ketika bersandar di bahunya – semuanya justru terasa benar.

“Han Jaejoon –ssi.” Seseorang memanggil dari kejauhan. Ya, memanggil pria yang duduk bersebelahan dengan Yena. Dia, Han Jaejoon menoleh mendapati wanita itu memanggilnya kemudian berjalan ke arahnya. Sambil tersenyum dia mendatangi Jaejoon. Namun, langkahnya melambat ketika melihat seorang yang tidak dikenalnya bersender pada bahu Jaejoon. Sekilas senyum itu menghilang.

“Siapa.. dia?” Dia – wanita itu, Oh Soohyun. Seseorang yang pernah singgah di hati Jaejoon dulu, sebelum wanita itu berpindah kelain hati. “Kenalanmu?” Bisiknya. “Kelihatannya dia kelelahan.”

“Ya.” Sahut Jaejoon cepat, saat mendengar Soohyun bertanya. Ia hanya menjawab sekedarnya. Karena, tidak pernah ada niat di hati untuk mengatakan pada Soohyun bahwa wanita di sampingnya ini tidak ia kenal. “Dia kenalanku.” Katanya lagi. “Kau mencariku?”

Soohyun mengangguk pelan. “Ya, aku mau memberikan laporan soal pasien di kamar 105.” Ia menempatkan laporan itu di kursi kosong sebelah Jaejoon. Tapi, tunggu.. Sejak kapan Jaejoon kenal dengan wanita ini? Batin Soohyun. Seorang Han Jaejoon yang dikenal Soohyun, seseorang yang sulit didekati dan hatinya sedingin es itu, punya kenalan yang bahkan adalah seorang wanita dan Oh Soohyun tidak mengenalnya.Seberapa dekat sampai pria dihadapannya ini, membiarkan wanita itu bersender pada bahunya. Ini aneh. Ya sungguh aneh. Jaejoon hanya memiliki sedikit kenalan dan hampir semuanya ia kenal. “Baiklah, aku pergi dulu.” Katanya kemudian memecah keheningan.

Seulas senyum tipis tersungging di bibir Soohyun. Namun, lebih terlihat seperti sebuah senyum yang dipaksakan. Seharusnya ia tidak merasa aneh jika ada wanita lain yang mungkin memiliki sebuah hubungan dengan Jaejoon ketika mereka sedang tidak bersama. Toh, hubungan mereka – Han Jaejoon dan Oh Soohyun sudah lama berlalu. Sudah lebih dari satu tahun, mereka hanya menjadi teman. Tetapi, mengapa hati Soohyun terasa seperti belum siap? Bukan belum siap bagaimana maksudnya. Hanya saja, ia tidak ingin Jaejoon berubah dalam memperlakukannya. Tidak, tidak ini tidak benar. Aku seharusnya tidak memikirkan yang aneh-aneh. Mereka hanya sebatas kenalan, batinnya lagi.

 

####### <3

 

“Aish.” Yena mengacak rambutnya pelan. “Ah, jinjja.” Ia terlihat menyesali sesuatu. “Sudah jam berapa sekarang, mengapa bisa-bisanya aku jatuh tertidur bersender pada dinding seperti itu? Aku bahkan seharusnya tidak punya waktu untuk tidur. Bisa-bisanya, aish.” Ia beranjak pergi dari bangku panjang yang tadi didudukinya. Sambil menggerutu pada diri sendiri, wanita itu berlari kecil ke arah pintu keluar rumah sakit.

Han Jaejoon baru saja keluar dari Unit Gawat Darurat (UGD) dan mendapati wanita yang tadi bersender padanya sudah berlari kecil ke arah pintu keluar rumah sakit. Padahal beberapa lama sebelumnya, mereka masih duduk berdampingan. Melihat ekspresi Yena yang sedang menggerutu kesal pada dirinya sendiri, membuat Jaejoon tersenyum simpul tanpa sadar. Namun, tidak lama. Sebentar kemudian ia sudah berubah menjadi Han Jaejoon  yang semua orang kenal. Dingin, tidak banyak bicara dan jarang tersenyum sembari menatap punggung wanita itu dari belakang berjalan menjauh.

Ahn Yena masuk ke dalam mobilnya. Memegang kendali setir dan menyalakan mesin, lalu berlalu dari rumah sakit Myung Woo. Ia mengenakan earphones  dan menjawab telepon. Ya, media masih berdatangan memberikannya panggilan. “Ah ya. Begitulah. Kemungkinan besar alasan Park Youngjae menjatuhkan diri adalah karena korban depresi dan mengalami stress, sehingga mendorongnya untuk melakukan aksi tersebut. Berdasarkan hasil laporan otopsi sementara, ia sering mengalami gangguan perubahan mood yang ekstrim. Makanya mungkin hal itu memicu dirinya untuk mengakhiri hidup.” Jelas Yena panjang lebar. “Ya, baiklah. Terimakasih banyak.” Penjelasan yang sama untuk telepon ke-14 kalinya sampai siang itu.

Wanita dibelakang kendali mobil mendengus, menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan beberapa kali. “Apa?” Katanya sontak saat seseorang di panggilan berikutnya berbicara. “Ajumma,” nadanya meninggi. “Aku sekarang harus kembali ke kafe. Aku tidak bisa mengerjakan pekerjaan itu.” Bantahnya.

“Ayolah. Kau kebetulan sedang berada di daerah sekitar sana. Hanya tinggal mengambil foto sebentar. Kali ini bayarannya double! Kau masih menolak mengerjakan?” Ajumma di seberang mendesaknya. Sepertinya, ada pekerjaan lain lagi untuk Yena hari ini. “Beloklah ke kanan di lampu merah depan. Setelah itu ke kanan lagi dan carilah rumah berukuran sedang dengan halaman besar di depannya. Sambungkan koneksi teleponmu pada layar mobil. Aku sudah kirimkan data pekerjaan hari ini.”

Ahn Yena mulai menggerutu. Ia menghentikan mobilnya sebentar dan menunggu lampu merah berubah hijau. Lalu, menyambungkan koneksi telepon pada layar mobil dan mengecek data yang diberikan ajumma padanya. Ingin sekali langsung melesat lurus dan tidak membelokkan mobil ke kanan. Tetapi, meskipun pikirannya setuju namun hatinya tetap mengatakan jangan. Dia membelokkan mobilnya ke kanan dan mencari rumah yang dikatakan ajumma.

Sambil melihat ke arah kiri dan kanan di sebuah gang perumahan, Yena mengambil kacamatanya dan menyambungkannya dengan ajumma di seberang sana. “Ya, itu dia rumahnya.” Kata ajumma saat ia memantau lewat layar komputernya. “Masuklah kesana dan ambil beberapa foto.”

Ia menekan sebuah tombol dekat layar mobilnya. Sesaat kemudian, semua jendela mobil berubah gelap dan tidak dapat terlihat dari luar. Diambilnya sebuah tas berisi beberapa helai baju dan digantinya pakaian formal yang menempel pada tubuhnya itu dengan pakaian kerjanya sebagai healer. Tak lama setelahnya ia sudah siap. “Ajumma, aku akan masuk.” Katanya pada suara diseberang. “Double. Kalau aku tidak tergiur aku, aku sudah kembali ke kafe sekarang.” Ujarnya sembari melangkah turun dari mobil.

Ia melemparkan pandangan ke sekeliling rumah dihadapannya ini. Sepi. Ya, waktu yang tepat untuknya masuk ke dalam secara diam-diam. Ia berlari kecil lalu memanjat gerbang samping rumah itu. Halaman yang indah, pikirnya. Dengan mudah ia melesat masuk ke dalam. Diambilnya bobby pin yang menempel pada salah satu sisi bagian rambutnya. Tak lama kemudian, pintu rumah itu telah berhasil dibukanya dengan bobby pin tersebut. Perlahan dan hati-hati ia memandang sekeliling bagian dalam rumah itu.

Rumah yang indah. Interiornya yang sederhana dan keadaan rumah yang tertata rapi disertai dengan cat dinding putih, membuat rumah tersebut terlihat sangat indah. Sama dengan rumah-rumah lainnya, tv, sofa dan beberapa hiasan ada di ruang tamu. Tidak ada yang benar-benar istimewa. Disana terlihat 7-8 bingkai foto diletakkan di meja tv secara beriringan dan yang lainnya dipaku pada beberapa bagian dinding ruang tersebut.

Yena melangkahkan kakinya ke arah dapur, mengendap-endap. Saat dilihatnya seorang wanita setengah abad waktu itu, ia secepat kilat bersembunyi di balik dinding. Ya, Choi Sora. Wanita itu lagi. Wanita setengah abad yang belum lama ini ditemuinya di dalam toko TOUS Les JOURS. Terlihat Choi Sora sedang memotong sayuran dan sepertinya sedang menyiapkan makan siang. Ia tersenyum sembari mengeluarkan beberapa bahan lainnya dari dalam kulkas. Kembali memotong sayuran di hadapannya dan sesekali melihat ke arah kompor untuk memastikan apakah sup-nya sudah cukup panas.

Ahn Yena melirik kearahnya dengan sebelah mata, masih sambil menyembunyikan tubuhnya di balik dinding. Ditekannya beberapa kali bagian ujung atas kacamata yang dikenakannya. Secara otomatis memberikan capture-an yang menghasilkan foto-foto. Beberapa foto yang diambilnya langsung terhubung pada ajumma di seberang sana.

Sebentar kemudian, wanita bernama Choi Sora itu mendengar suara telepon berbunyi dari ruang keluarga. Sontak, Yena melompat ke belakang sofa dan bersembunyi. Wanita itu mengangkat ponselnya dan membawanya ke dapur lagi. Yena mendongakkan kepalanya, memeriksa keadaan. Ia meringis dalam diam saat hendak bangun dari sana. Pergelangan kaki kirinya sepertinya terkilir karena melompat dan menginjak lantai secara tiba-tiba. Ia mengerjap beberapa kali sambil memegangi pergelangan kakinya.

“Ya, Ahn Yena. Kau tidak apa-apa?” Suara ajumma di seberang memecah keheningan di telinga Yena. “Kaki kirimu terkilir?” Kejadian itu baru saja terjadi tapi ajumma sudah bisa mengetahuinya saat mengecek keadaan Yena yang tertera pada layar monitornya. Tampak ada bagian merah yang terus berkedip pada pergelangan kaki kiri Yena di layar.

“Oh, aku tidak apa-apa. Hanya terkilir sedikit. Beberapa hari sudah bisa sembuh.” Sahutnya pelan. Ia bertumpu pada kaki sebelahnya dan berjalan keluar dari rumah itu perlahan-lahan. Yena terlihat sedikit pincang pada kaki sebelah kirinya. Ia berusaha untuk dengan cepat keluar dari rumah itu dengan hati-hati.  Tak berapa lama ia, sampai di gerbang samping. Sebelumnya ia masuk dengan memanjat kemudian melompat pada pagar. Kakinya yang terkilir membuatnya tidak dapat melakukan hal itu lagi. Ia mengambil bobby pin dan membuka gembok menggunakan  benda kecil itu dengan cepat. Dengan sebelah kaki sedikit terseret, ia masuk ke dalam mobil.

Yena melepaskan topi dan kacamata yang dikenakannya. Meskipun sepertinya hanya terkilir ringan, wanita itu memejamkan mata dan menggertakkan gigi, menahan sakit beberapa kali. Beruntungnya hanya kaki kiri yang cedera. Ia lebih sering bertumpu pada kaki kanannya saat berjalan, dan juga mobilnya diyakini adalah matic, sehingga bukan masalah besar saat menyetir. Namun, tetap saja rasanya darah-darah pada pergelangan kaki kirinya sedang bermain kasar didalam sana. Sakit. Sudah jelas. Risih? Apalagi. Untuk seorang Ahn Yena yang benar-benar sibuk berjalan kesana kemari, sudah jelas hal ini membuatnya kesal. Harusnya aku lebih hati-hati, gumamnya dalam hati.

Ia mengganti jaket kulit hitam yang dikenakannya dengan lace-cuff blazer berwarna merah muda sepaha. Membiarkan dalaman hitam tipis dan celana panjang hitam yang dia kenakan sebelumnya. Ia melepas boots medium-nya dan meletakkannya di kursi belakang. Diambilnya sebuah flat shoes berwarna senada dengan blazernya. Kemudian, Yena menyalakan mesin mobil dan menyetir berlalu dari sana.

 

####### <3

 

Kafe “UPTOWN”, 5.37 pm.

“Detektif Yoon. Maaf aku terlambat.” Ahn Yena membungkukkan badannya sedikit dan menyapa seseorang di TKP kafe. Seorang detektif bernama Yoon Dongwon dimintai bantuan untuk menyelidiki kasus ini. Pihak kafe lah yang menginginkan hal tersebut. Maka Yena, meminta bantuan salah seorang yang dikenalnya untuk mengurus. “Bagimana? Apakah kau sudah melihatnya?”

Detektif Yoon mengangguk pasti. “Ya. Sudah kami periksa dan akan kami bawa hasil sidik jari itu ke kantor untuk diselidiki lebih lanjut. “Terimakasih atas kerjasama-nya.” Katanya sambil tersenyum.

Yena menyunggingkan senyum di bibirnya dan balas mengangguk pelan. “Sama-sama. Kuharap kasus ini bisa segera terungkap. Ah iya, aku sudah mengirimkan padamu hasil daftar telepon Park Youngjae. Beritahu aku kalau ada yang aneh. Jangan sungkan untuk meneleponku jika ada sesuatu yang mengganjal atau apapun bukti baru yang kau temui.”

Kemarin malam sebelum Yena memutuskan untuk pulang kerumahnya, ia mampir ke kafe untuk mengecek sesuatu. Malam itu ia meletakkan bubuk bedak yang dibawanya ke beberapa bagian yang diasumsikan sebagai tempat Park Youngjae berdiri sebelum menjatuhkan diri. Ia menabur bedak itu asal di beberapa tempat. Tetapi ternyata ada satu bagian pada pinggiran disana menampilkan bentuk sidik jari. Ketika ditaburnya lebih banyak, sidik jari itu timbul lebih jelas.

Ahn Yena kemudian mengambil kesimpulan bahwa saat itu, korban sempat bergelantungan sebentar pada pinggiran, tetapi maksudnya apa? Berarti korban mungkin terjatuh saat tidak fokus dan masih berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun terlambat, tidak sedetik lamanya dan belum sempat berteriak, ia sudah tidak kuat lagi dan terjatuh ke bawah. Ini hanya kesimpulan sementara. Karena CCTV memperlihatkan gambaran yang berbeda. Sebelum aksi menjatuhkan diri itu, korban sempat menerima telepon. Ia membawa telepon itu sambil berdiri di pinggiran. Namun, tidak lama setelahnya ia sudah menjatuhkan diri.Tidak ada bagian pria itu bergelantungan disana.

Well, meskipun masih belum jelas kebenarannya. Tapi, dengan diketemukannya sidik jari di daerah pinggiran tepat di tempat Park Youngjae menjatuhkan diri, bukankah ini sangat aneh? Kalau asumsinya benar, mungkin sidik jari itu adalah milik Park Youngjae. Atau bisa jadi bukan? Entahlah, masih belum jelas. Makanya, hari ini Yena memanggil detektif Yoon untuk memeriksa hal tersebut.

“Kakimu kenapa?” Tanya detektif Yoon pada Yena. “Pergilah ke rumah sakit. Kau terlihat kesakitan.” Katanya lagi menyarankan.

Ya, memang sakit. Yena mengakui hal tersebut. Ia hanya tersenyum ringan dan mengatakan ia baik-baik saja pada detektif itu. Melihat sebuah sofa di dekatnya, ia merebahkan diri disana. Wanita itu mengeluarkan ponselnya sambil duduk di sofa. Memilih sebuah dokumen bertuliskan “UPTOWN”. Dibukanya dokumen itu dan diteliti lagi tulisan didalamnya. Sebuah word – berupa artikel singkat yang sudah dibuatnya untuk di upload di situs website kafe “UPTOWN”.

Isinya kurang lebih adalah seperti ini:

“ Pemberitahuan singkat.

Kami – kafe “UPTOWN” berusaha menyajikan kenikmatan makanan Italia yang maksimal dan sesuai selera Anda, maka kafe “UPTOWN” akan tetap beroperasi seperti biasanya. Senin – Minggu, dari pukul 10 am – 11 pm. Tidak lupa kami mengingatkan mengenai program “LUNCH – Town” dimana Anda akan mendapat potongan 50% untuk paket buffet, dimulai pada pukul 12 am – 3pm, setiap harinya. Segera kunjungi kami pada jam operasional dan rasakan nikmatnya menyantap makanan Italia seperti diatas awan.

Dan juga, kami segenap keluarga besar kafe “UPTOWN” mengucapkan turut menyesal dan berduka cita atas meninggalnya Tuan Park Youngjae. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran.

Kafe “UPTOWN” – 2015-01-03 “

 Ahn Yena kemudian mengirimkan artikel tersebut kepada pihak kafe dan tidak sampai beberapa menit, artikel tersebut sudah menjadi headline di website “UPTOWN”. Wanita itu mendongakkan kepalanya dan menerawang jauh ke atas. Langit tampak menggelap. Matahari sudah hampir mengunci diri ke kediamannya. Ia menatap jauh kali ini lurus ke depan. Matahari terbenam malam itu sungguh indah. Warna oranye memancarkan kecantikannya mengucapkan selamat malam. Satu hari lagi berlalu dengan begitu cepat. Entah esok apa yang akan terjadi, batin Yena.

“Detektif Yoon.” Wanita itu memanggil dari sofa tempatnya duduk. Yoon Dongwon menghampirinya. “Salah satu anggota tim perencanaanku kemarin menyelidiki keluarga korban. Istrinya mengatakan bahwa Park Youngjae bahkan tidak bilang padanya akan mengunjungi kafe ini. Katanya, sebelum mendapatkan kabar duka ia sempat menghubungi ponsel suaminya di pagi hari. Namun, siangnya sudah tidak bisa dihubungi lagi dan pesan pun tidak terkirim.” Ujarnya memberitahu. “Tetapi, hasil laporan otopsi sementara mengatakan bahwa korban mengalami depresi.”

Detektif Yoon mengangkat sebelah alis dan mendengus perlahan. “Sebenarnya apa motif dibalik aksi bunuh diri ini,” gumamnya. “Well, kita harus benar-benar cepat menyelidiki kasus ini. Semakin lama, semakin banyak saja yang mengganjal.”

 

####### <3

 

Did you have a beautiful day? Apakah harimu berjalan indah?
Was it different from yesterday? Berbedakah dari kemarin?

The answer is not important Jawabannya tidaklah penting
I just wanted to say hello Aku hanya ingin mengatakan halo

Honestly, I have no confidence to lean on someone Sejujurnya, Aku tak punya kepercayaan diri untuk bersandar pada seseorang
I’m afraid of having something precious Aku takut untuk memiliki sesuatu yang berharga
So again today, I just look at you from a step behind Maka dari itu, hari ini lagi-lagi aku hanya melihatmu satu langkah dari belakang

Don’t melt my open heart Jangan mencarikan hatiku yang terbuka
What would I do if tears flowed down my cheeks? Apa yang harus kulakukan jika air mata jatuh turun ke pipi?
Don’t tell me to believe in everything Jangan katakan padaku untuk percaya pada semuanya
What would I do if I break down once more? Apa yang harus kulakukan jika aku menghancurkan semuanya satu kali lagi?

Did you also have a lonely day? Apakah harimu sepi?
Your slow footsteps make me feel bad Langkahmu yang lemah membuatku merasa buruk

Though I haven’t heard it, I’ve felt it before Meskipun Aku belum mendengarnya, Aku pernah merasakan hal itu sebelumnya
I felt us asking about each other’s days Aku merasa kita bertanya tentang hari masing-masing

Honestly, there were so many times that I was shaken Sejujurnya, Aku meraskan goyah berkali-kali
Each time that I momentarily smile with you Beberapa waktu Aku seasaat tersenyum bersamamu
Those sweet times – why do those times scare me? Hari-hari yang manis – mengapa mereka menakutiku?

Don’t melt my open heart Jangan mencarikan hatiku yang terbuka
What would I do if tears flowed down my cheeks? Apa yang harus kulakukan jika air mata jatuh turun ke pipi?
Don’t tell me to believe in everything Jangan katakan padaku untuk percaya pada semuanya
What would I do if I break down once more? Apa yang harus kulakukan jika aku menghancurkan semuanya satu kali lagi?

Don’t read my hidden heart Jangan kau baca hatiku yang tersembunyi
What would I do if the words I held in just spilled out? Apa yang harus kulakukan jika kalimat-kalimat yang kusimpan kukatakan keluar?
If you’re by my side after a long time Jika kau berada di sisiku setelah sekian lama
I will tell you then, that I loved you Aku akan katakan kemudian, bahwa Aku mencintaimu

Younha – Greetings From Afar (Salam Dari Jauh) // Translation.

https://www.youtube.com/watch?v=MK3HoDx-jZo

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK