Aku dihukum oleh Junho untuk tidak meninggalkan hotel seharian ini. Padahal hari ini tidak ada jadwal apapun untuknya karena memang seharusnya kami ke Jeju esok hari. Dan sekarang, lelaki tersebut sudah entah kemana. Sambil menunggu pegawai hotel mengambil koperku di bandara, aku menonton televisi dikamarku. Sebenarnya aku bersikeras untuk ikut ke bandara, tapi Junho lebih bersikeras untuk menyuruhku diam di hotel. Sepertinya dia tidak ingin aku berbuat sesuatu yang nantinya akan membuat dia terjun dari atas air terjun Eongtto yang notabene letaknya tidak jauh dari hotel ini. Hhh aku ingin sekali kesana.
TING TONG
Aku berjalan malas kearah pintu. Sewaktu aku lihat dari lubang yang ada di pintu, ternyata pegawai hotel yang tadi diminta untuk mengambil tasku di airport.
"Maaf nona, tasmu tadi tidak ketemu. Tapi saya sudah meminta petugas bandara untuk mencari tas anda. Saya juga sudah memberikan ciri-ciri tas nona kepada mereka."
"Tidak ketemu? Kau yakin sudah mencari kesemua tempat?" tanyaku masih tak percaya.
"Ya nona, saya sudah mencari kesemua tempat bersama petugas bandara tadi."
"Ahhh eottokhe," gumamku sambil menggigit kuku tanganku.
"Kalau begitu, saya permisi dulu nona."
Sesudah petugas hotel tersebut pergi. Aku langsung mengambil handphoneku dan mengirimkan pesan kepada Junho kalau tasku tidak ketemu.
Tak lama, ada pesan masuk di handphoneku.
From: Lee Junho
'Lalu, apa maumu?'
"Hah? Apa mauku? Michinom?" kataku kesal lalu membalas pesan Junho.
To: Lee Junho
'Apa mauku? Boss, tidak ada pakaian lagi selain yang aku pakai. Menurutmu aku harus berganti pakai apa?'
"Orang ini benar-benar menyebalkan. Eomma, mengapa nasib anakmu menjadi seperti ini? Huhuh.. " kataku sambil memukul-mukul tempat tidur.
From: Lee Junho
'Manfaatkanlah sekitarmu. Masih ada rumput laut dan kerang di pantai. Pakailah itu. Jangan sekali-kali kau mencoba keluar dari hotel. Dan jangan menghubungiku terus. Aku sibuk.'
"Lee Junho brengsek!!!"
-Junho POV-
Aku tersenyum memandangi layar handphoneku. Aku tidak habis pikir dengan gadis aneh yang menjadi sekretarisku sekarang. Pertama kali aku melihatnya di lobby kantor, aku sudah merasakan ada yang istimewa dengannya. Meskipun terkadang ia sangat polos.
Kuedarkan pandangan kesekitarku. Aku mencoba mengingat-ingat, dimana tempat yang harus kutuju itu. Aku menuju ketempat peristirahatan terakhir Yun Jina. Jina, gadis yang pernah mengisi hatiku selama dua tahun sebelum takdir merenggutnya ke sisiku untuk selamanya empat tahun yang lalu. Selama empat tahun aku belum memberanikan diriku untuk ke Jeju. Namun, hari ini aku mencoba memberanikan diriku kesini. Dan ini yang menjadi alasanku untuk berada di Jeju sehari lebih cepat dari yang direncanakan.
Setelah aku menemukan makam Jina, aku menaruh rangkaian bunga yang kubawa. Bunga daisy putih kesukaannya.
"Jina-ya. Orenmanhae. Apa kabarmu? Apa yang kau lakukan selama empat tahun ini tanpa diriku?" aku mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
"Kau tahu? Aku selalu memikirkan dirimu. Aku membawakan bunga daisy kesukaanmu, kau ingat kalau dulu kau selalu merengek meminta dibawakan bunga daisy setiap kita bertemu. Dan itu membuatku harus extra menyisihkan uang jajanku, padahal dulu uang jajanku sempat dipotong karena kenakalan yang aku perbuat. Kau tidak pernah memintaku menemuimu setiap hari, katamu biar rasa rindu antara kita tetap timbul. Terkadang aku berpikir kau agak konyol. Tapi, hal itu yang membuatku semakin tidak sabar untuk bisa memberikan bunga daisy kesukaanmu."
Aku terdiam selama beberapa menit untuk mengatur napas dan detak jantungku. Rasa sakit yang menusuk mulai menjalari bagian dadaku dan paru-paruku. Rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan secara medis dan akal sehat. Rasa sakit yang hanya bisa dirasakan olehku.
"Mianhae Jina-ya. Neomu mianhae. Karena kelalaianku, kau pergi untuk selamanya. Maafkan kebodohanku. Aku rela menggantikan posisimu saat ini. Maafkan aku Jina," isakku tanpa kusadari. "Neomu bogosipho."
Aku berjalan gontai menuju mobil yang kusewa dari hotel. Kulihat jan dipergelangan tanganku. Tak terasa satu jam sudah berlalu.
"Aahh Soeun. Gadis itu benar-benar membuatku gila. Bisa-bisanya dia ada dipikiranku disaat seperti ini."
Aku kemudian melajukan mobilku dan mencari pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian untuk gadis aneh itu.
-Author POV-
"Aku pilih yang ini, ini, ini, dan ini. Oh ya, yang ini juga. Dan tolong kau carikan untukku pakaian dalam kira-kira lima potong."
"Ne?"
"Aku tidak mungkin bisa ke pakaian dalam perempuan dan mengambilnya."
"Baik tuan, berapa ukuran yang harus saya ambilkan untuk anda?" tanya pegawai toko tersebut.
"Ah michin." Junho lalu mengeluarkan handphonenya dan menghubungi Soeun.
"Yoboseyo?"
"Yak Kim Soeun. Berapa ukuran baju dalammu?" tanya Junho agak berbisik yang mendapatkan senyuman geli dari pegawai toko didepannya.
"Sajangnim, apa maksudmu? Mengapa kau menayakan hal mencurigakan seperti itu?" tanya Soeun dengan nada curiga.
"Kau beritahu aku sekarang atau kau selama lima hari akan memakai pakaian yang kau kenakan sekarang?" ancamnya.
"Hajima sajangnim. 34B, kau bisa membelikanku ukuran 34B," katanya yang kali ini dengan nada malu-malu. Karena ini pertama kalinya ada yang menanyakan hal privasi seperti itu padanya, terlebih yang menanyakannya adalah seorang pria.
"Jinjja? Kau tidak berbohong?" tanya Junho lagi tidak yakin.
"Sajangnimmmm..." teriak Soeun yang membuat Junho menjauhkan handphone dari kupingnya.
"Hahaha.. Araseo," jawabnya sambil tertawa geli. "Berikan aku ukuran 34B."
Setelah berbelanja, Junho melangkahkan kakinya keluar toko tersebut sambil menenteng beberapa kantong belanja.
"Junho-ssi."
Junho mencari asal suara tersebut yang ternyata adalah Tiffany dan bersama Kyuhyun.
"Hai," hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Junho saat mereka mendekat sambil terus menatap Kyuhyun.
"Kau sedang berbelanja? Aku tidak menyangka kita bisa bertemu disini," kata Kyuhyun sambil tersenyum penuh arti.
"Apa yang kau lakukan disini hyung?"
"Aku juga ada meeting disini besok, kau ingat kalo aku juga diundang Mr. Kim untuk datang ke hotelnya."
Junho hanya terdiam mendengar kata-kata Kyuhyun. Apalagi saat ini, bisa-bisanya mereka bersama.
"Minyoung-i, bukankah kau kesini karena Nichkhun? Bukan karena pria ini kan?"
"Haha.. Aniyo, tadi setelah Nichkhun oppa menjemputku di Bandara, ia langsung ke Rumah Sakit lagi. Dan tiba-tiba Kyuhyun oppa menelponku, mengajakku makan siang."
"Aahhh.." Junho hanya menganggukan kepalanya sambil menatap Kyuhyun yang notabene hanya tersenyum kecil.
"Kau mau ikut makan siang bersama kami?" tanya Tiffany.
"Aniya, aku harus memberikan ini kepada sekretarisku."
"Kenapa Kim Soeun?" tanya Kyuhyun heran.
"Kopernya tertinggal di Bandara dan hilang entah dimana."
"Dan kau mau bersusah payah membelikannya pakaian? Ini bukan Junho yang kukenal."
"Ya, kau banyak berubah Junho. Tapi aku senang mendengarnya, setidaknya hatimu sedikit mencair. Aku tidak sabar melihat perempuan yang bisa meluluhkan hatimu."
"Apa yang kalian maksud? Sudahlah, aku pergi duluan. Nikmati waktu kalian."
"Kapan-kapan kita makan malam bersama. Okay," kata Tiffany sebelum Junho meninggalkan mereka.
Junho hanya membalas dengan memberikan ibu jarinya ke arah mereka. Tanpa berkata-kata dan menatap penuh arti kearah Kyuhyun.
-Soeun POV-
Soeun keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan mantel mandi berwarna putih. Dia memutuskan untuk mandi, meski ia tidak tahu apakah Junho benar membelikannya pakaian atau tidak.
"Ahhh, simsimhae. Aku mau jalan-jalan."
Tak lama, terdengar bunyi ketukan halus di pintu.
"Soeun-ssi."
"Ne," aku langsung melompat turun dan berlari menuju pintu dan membukakannya.
"Ini," katanya lalu menyodorkan beberapa kantong belanjaan kepadaku.
"Huaaaa.. Kamsahamnida sajangnim," kataku senang sambil melihat isi kantong belanjaan satu persatu. "Sajangnim, apa yang ini kau pilih sendiri juga?" tanyaku sambil menunjukkan kantong belanja berisi pakaian dalam.
"Micheoseo?"
"Ya aku pikir."
Ada jeda beberapa menit diantara kami. Kuberanikan diri memandang Junho dan ternyata ia sedang memandangiku.
"Sajangnim?" tanyaku.
"Oh? Hmm.. Kau cepatlah berpakaian, dan jangan pernah menyambut tamu dengan hanya menggunakan mantel mandi lagi."
Setelah berbicara seperti itu, ia langsung membalikkan badan dan pergi menuju kamarnya yang ada disebelah kamarku. Kulihat diriku dan baru kusadari kalau aku hanya memakai mantel mandi.
"Soeun pabo!"
-Author POV-
Soeun duduk manis di salah satu bangku di restaurant yang ada di hotel tersebut. Dengan santainya ia membuka buku menu dan membalik-balikkan halamannya.
"Apa yang akan kita makan hari ini Soeun?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Makanan-makanan di menu tersebut terlihat menggugah selera Soeun dan membuat perutnya semakin memberontak ingin diisi. Wajar saja, sedari pagi ia belum makan sama sekali. Jadi, berhubung masalah pakaian sudah selesai, ia langsung bersemangat untuk memanjakan cacing di perutnya yang sedari tadi bergejolak.
"Fettucini Carbonara satu dan orange juice satu," katanya kepada seorang pelayan yang dengan sigap mencatat pesanan Soeun.
"Pesanan anda akan kami sajikan dalam waktu 15 menit."
Soeun hanya tersenyum kearah pelayan yang sudah pergi menuju dapur untyk menyampaikan pesanan barunya. Lalu, ia kembali fokus kearah handphone yang ada ditangannya.
"Cocok juga dipakai olehmu."
Soeun menoleh kearah asal suara tersebut yang ternyata adalah Junho.
"Ne Sajangnim. Neomu kamsahamnida," kata Soeun sambil menundukan kepalanya.
Junho sempat terkesima oleh penampilan Soeun yang berbeda dari biasanya. Mungkin dalam beberapa hari ini, ia lebih sering melihat Soeun dengan balutan baju kerja yang formal tetapi kali ini Soeun sangat berbeda, dengan dress sabrina berwarna biru muda dan corak bunga daisy putih. Entah Junho berpikir kalau baju itu sangat cocok dengannya.
“Sajangnim? Kau mau makan siang juga?” tanya Soeun.
“Hmm.. Tidak. Aku hanya bosan saja. Bagaimana nanti kau temani aku berjalan-jalan diluar. Aku sepertinya ingin makan Obunjagi Ttukbaegi (Sup Seafood) dan ingin menghirup udara segar di Gunung Halla.”
“Jongmalyo Sajangnim?” tanya Soeun tak percaya. Karena seingatnya, Lee Junho bilang kalau mereka disini untuk bekerja dan bukan untuk jalan-jalan.
“Kau tidak mau? Kalau kau tidak ingin, ya aku akan pergi sendiri.”
“Aniyo Sajangnim, aku ikut. Tapi, aku baru saja memesan makanan.”
“Kau habiskan saja makananmu dahulu, setelah itu kita berangkat.”
-Junho POV-
Aku tersenyum melihat nafsu makan gadis didepanku ini. Fettucini yang disajikan lima menit yang lalu kini sudah tersisa hampir seperempatnya.
“Pelan-pelan saja makannya, nanti kau tersedak.”
“Aniyo Sajangnim, aku tidak ingin kau menunggu lebih lama. Lagipula aku tidak ingin melewatkan satu hari bebas ini. Aku sudah tidak sabar untuk mengelilingi Jeju, padahal aku sempat kecewa ketika Sajangnim bilang tidak ada jalan-jalan,” katanya jujur lalu mulai memakan lagi makanannya.
Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah ajaib gadis satu ini. Tunggu, kenapa aku bisa seperti ini? Kendalikan dirimu Lee Junho. Jangan sampai apa yang di curigai oleh Kyuhyun hyung menjadi kenyataan.
“Sajangnim, ayo kita berangkat,” kata Soeun membangunkanku dari lamunan.
“Eoh. Kajja,” aku berjalan mendahuluinya. “Apa kau benar-benar belum pernah kesini?” tanyaku yang kemudian tidak dijawab oleh Soeun.
Aku penasaran mengapa Soeun tidak menjawab pertanyaanku. Kuhentikan langkahku lalu berbalik kebelakang. Kosong. Dimana anak itu?
”Sajangnim,” panggil Soeun sambil setengah berlari.
“Kau? Bukankah kau tadi dibelakangku?”
“Hehehe.. Tadi aku lupa kalau makananku belum dibayar, jadi aku kembali lagi untuk bayar di cashier,” katanya sambil senyum tidak jelas.
Tanpa kusadari, kusentil dahinya.
Hening.
“K-k-kajja,” kataku gugup karena terkejut dengan ulahku sendiri, lalu pergi meninggalkan Soeun yang masih terdiam sambil memegang dahinya.
“Ne Sajangnim.”
“Junho pabo. Apa yang baru kau lakukan? Baru beberapa jam di Jeju tapi tingkahmu benar-benar aneh,” kataku pelan pada diriku sendiri.
-Soeun POV-
Aku terdiam sambil memegang dahiku. Ada apa dengan dirinya? Mengapa sikapnya jadi seperti ini?
“K-k-kajja,” katanya dengan nada gugup lalu pergi meninggalkanku.
“Ne Sajangnim,” balasku lalu mau tak mau mengikutinya dengan diam.
Kutatap punggung belakangnya. Bahu yang bidang. Hari ini, Lee Junho tampak kasual hanya menggunakan polo shirt berwarna putih yang dipadukan dengan celana jeans berwarna biru. Aku senang melihat punggung pria, karena menurutku kalau pria berjalan didepanku dan aku menatap punggungnya, aku merasakan rasa aman seperti dilindungi.
Perjalanan menuju mobil terasa begitu lama, seperti menghabiskan satu hari untuk berjalan -*lebay tingkat tinggi bahasanya*- padahal, jarak dari restaurant menuju lobby hanya beberapa meter saja.
“Kau belum pernah kesini?” tanyanya memecah kesunyian di mobil.
“Eoh? Aku pernah kesini lima tahun yang lalu karena anak dari teman ayahku menikah, tapi aku belum sempat berjalan-jalan. Sebenarnya, aku ingin sekali kesini karena kakakku pernah meninggal disini dalam kecelakaan mobil.”
“Jinjja?”
“Eoh. Dia dan teman-temannya sedang berlibur merayakan kelulusannya disini. Rencananya, mereka akan berlibur selama lima hari, tetapi baru dua hari disini mereka sudah kembali ke Seoul. Dengan peti mati,” kataku sambil memandang keluar jendela yang menampilkan pemandangan laut lepas.
“Eoh.”
Hanya satu kata dan suasana kembali hening.
“Aaahhh… tidak seharusnya aku menceritakan hal ini. Tidak penting juga untukmu kan. Hehehe..”
“Kwenchana,” katanya datar lalu kembali focus ke jalan yang ada didepannya.
Akhirnya selesai juga chapter ini yang mebutuhkan waktu lamaaaaaaa banget...
don't forget to leave comment and click love button...
*chu~~*