Getting to Know Him-2
Jihye's POV
Sudah beberapa hari ini aku mengawasi gerak-gerik Xi Luhan dan mencoba untuk mendekatinya. Entah karena masalah sepele atau mungkin bertanya mengenai PR Matematika yang butuh perhatian ekstra. Atas alasan apapun, aku selalu mencoba mendekatinya. Aku ingin ia terbiasa akan keberadaanku dan mungkin lama-lama ia akan jatuh hati kepadaku. Mungkin. Suatu harapan yang kuselipkan pada sebuah kata mungkin.
Luhan sendiri sepertinya tidak mencium sesuatu yang aneh dari gerak-gerikku. Ia terlalu baik dan naif pada waktu yang sama. Ia tidak merasakan sedikitpun bahwa pendekatanku itu ada artinya. Atau memang karena dia tidak peka? Pfft sepertinya perjuanganku masih sangat panjang untuk mencapai keberhasilan.
Hari ini kami dijadwalkan bertugas di hari yang sama. Jumlah petugas perpustakaan entah mengapa bertambah banyak. Sehingga yang awalnya sehari hanya ditugasi oleh satu siswa kini menjadi dua siswa dan aku merayu Mr. Kang agar Luhan dan diriku bertugas pada satu hari yang sama.
Luhan sebenanrnya namja yang baik. Ia tidak bisa menolak permintaan siapa saja yang meminta tolong kepadanya. Seandainya dia tidak sedingin ini terhadap yeoja.. Dan tentu saja, penampilannya tidak seperti itu. Pasti ... Tunggu.. Apa baru saja aku mengatai Luhan pada dasarnya namja yang baik? Astaga, namja sedingin itu?!
Mengenai progressku untuk mendekatinya sepertinya kembali ke angka 0 lagi. Setelah kejadian itu, saat aku memanggilnya, ia tak pernah menoleh ke arahku. Ia selalu menutupi wajahnya dengan buku dan berbicara di baliknya layaknya aku adalah sebuah tembok.
Saat ini aku sedang menunggu meja peminjaman serta Luhan sedang menata buku yang terbengkelai di meja. Beberapa pengunjung perpustakaan memang seperti itu. Terlalu malas untuk sekedar mengembalikan sebuah buku malang kembali ke raknya. Tapi yah mau bagaimana lagi. Sudah termasuk tugas petugas perpustakaan untuk menata buku dan mengembalikannya ke arak semula.
Mataku saat ini benar-benar terfokus ke arah Luhan. Otakku memikirkan berbagai cara agar Luhan mau menatapku. Tentu saja karena yang menarik dariku adalah penampilanku, bukan?
Tampak di mataku Luhan sedang membawa setumpuk buku setinggi hampir setengah tinggi tubuhnya. Baru saja, ada sebuah kelompok belajar kecil Club Biology. Yang berarti, mereka membawa banyak buku super tebal ke meja dan seenak perut mereka meninggalkan buku-buku super tebal itu di meja. Bagaimana pun juga aku iba melihat Luhan yang...
Hah? Apa?! Dia bisa membawanya dalam sekali angkat? Bwoya? Bukankah menara buku itu tampak begitu berat.
“Yaa! Xi Luhan.” Aku mendekatinya.
“Wae?” Ia masih tak mau menatapku.
“Letakkan dulu bukumu.”
“Andwae.Aku akan menatanya.”
“Ya. Menurutlah. Ada sesuatu yang menyelip di salah satu bukunya.”
Ia kemudian menurut dan meletakkannya ke meja. Aku tertawa kecil lalu melihat wajahnya yang kebingungan.
“Bwoyaa.. Bagaimana bisa kamu percaya padaku..” Gumamku pelan.
“bwo?” Luhan memasang wajah penuh tanya. “Ah eobso.” jawabku ringan.
Padahal niatanku menyuruhnya untuk meletakkan tumpukan tinggi buku-buku tsb adalah agar aku bisa menimbang buku-buku tsb dengan tanganku sendiri. Dan saat aku mengangkat dua buku saja, tanganku serasa mau rontok. “Aaack”
Bagaimana bisa dia mengangkat buku-buku ini, jinjjha? Ini hanya 1/5 dari buku yang ia bawa dan tanganku serasa akan lepas dari tempatnya saja.
“Aaaacck” Erangku. kemudian kuletakkan kedua buku supertebal itu ke meja.
“Ya!Buku seberat ini, bagaimana bisa kamu mengangkatnya sekaligus? Daebak..”
Ia tampak salah tingkah lalu kembali untuk mengangkat tumpukan buku.
“Yaaa!” Aku berteriak karena perpustakaan sudah menjelang tutup. Luhan tetap berjalan menuju ke arah rak.
“Aish jinjjha! Aku sedang bertanya padamu!”
Aku kemudian mencegat langkahnya dari depan.
Meskipun hanya sepersekian detik, aku dapat melihat wajahnya terkejut. Lalu, sedetik kemudian dia terjatuh ke samping beserta buku-bukunya.
Omo...
Aku lalu segera menuju ke arahnya yang terjatuh dengan cara benar-benar konyol.
Sesaat kemudian aku sangat menyesal telah mengagetkannya.
karena selain dirinya yang terjatuh bersama dengan buku-bukunya, aku juga telah mematahkan kacamata miliknya.
“Miann...” ucapku lirih. Aku mengulurkan tanganku, tapi dia membiarkan tanganku menggantung begitu saja.
“Gwaenchana.” ujarnya , dilanjutkan dengan merapikan buku yang berserakan di lantai perpustakaan yang termester sangat apik.
“Kacamatamu..” aku mengambil kacamata yang patah tersebut dengan raut wajah iba. Karena aku memang iba. Ini semua salahku.
Ia lalu mendongakkan wajahnya. Saat itu juga, semua saraf pada tubuhku melakukan aktivitas kelistrikannya.
Wajah Luhan tampak berbeda. Berbeda dalam arti yang bagus. Yang somehow, aku menyukainya.
“Yaaa! Aku akan menggantinya tenang saja!” Kini aku mengikuti langkahnya yang berjalan pulang.
Tak ada jawaban. “Kamu tidak marah padaku kan?”
“Aniyo.” jawabnya sambil tetap menghadap ke depan.
Kini aku menggeret tangannya menuju ke arah toko optik terdekat “Aku akan bertanggung jawab jadi menurutlah, Luhan-ssi!”
Dia tampak menurut saja, tanpa ada sedikitpun daya untuk memberontak. Mungkinkah ia merasa malu tanganku melingkar pada pergelangan tangannya?
Luhan’s POV
Aku merasa aneh. Sejak kemarin, Jihye terus saja memperhatikanku. Apa mungkin hanya perasaanku saja?
Ah, matta. Ini pasti hanya perasaanku saja.
Jujur saja, sejak kejadian Jihye memandangku dari dekat, aku benar-benar menjaga jarakku dengannya. Aku.. benar-benar tidak boleh dekat dengan seseorang. Siapapun itu.
“Yaa! Xi Luhan.”
“Wae?” jawabku dingin.
“Letakkan dulu bukumu.”
“Andwae.Aku akan menatanya.” masih dengan nadaku yang dingin.
“Ya. Menurutlah. Ada sesuatu yang menyelip di salah satu bukunya.”
Aku pun menurut.
.“Aaack” pekiknya. Ia mengangkat dua buah buku super tebal menggunakan tangannya yang ramping.
“Ya! Buku seberat ini, bagaimana bisa kamu mengangkatnya sekaligus? Daebak..” Jihye mengutarakan sebuah pertanyaan. Dahiku mengernyit. Oh, tidak. Aku baru saja lupa bahwa orang pada normalnya tidak bisa mengangkat beban seberat ini. Apalagi untuk ukuran namja culun sepertiku.
tanpa babibu, aku memilih untuk kabur dan kembali ke tugasku.
“Yaaa!” aku tetap berjalan.
“Aish jinjjha! Aku sedang bertanya padamu!”
Dan bruk. Semua terjadi begitu saja. Sebenarnya aku akan terjatuh ke depan tapi aku menyerongkannya ke arah samping. Aku tidak ingin membahayakan orang lain karena diriku. Lagi...
“Yaaa! Aku akan menggantinya tenang saja!”
“Kamu tidak marah padaku kan?”
“Aniyo.”
“Aku akan bertanggung jawab jadi menurutlah, Luhan-ssi!”
Kurasakan sesuatu di pergelangan tanganku dan ternyata saat ini ia sedang dalam usahanya untuk menggiringku ke suatu tempat.
Aish.. Mungkin aku harus menuruti apa katanya. Jika tidak, mungkin ia akan mengikutiku hingga ke apartemenku, yang berarti ini sangat tidak bagus. Tentu saja karena akan ada banyak bahaya yang menghadang bukan? Mereka pasti akan mengirimkan anak buahnya lagi untuk membawaku pulang..
Dengan keputusan itu, aku pasrah saja akan giringan yang ia lakukan.
“Dengar, apa kamu ingin mengganti warna frame kacamatamu?” tanyanya. Lamunanku pecah dan aku hanya bisa mengangkat kedua bahuku lalu menurunkannya.
“Mereka sudah akan tutup.” kataku sambil menunjuk ke arah mereka. “Kita beli besok saja.”
Jihye tampak tidak percaya. Lalu ia bertanya kepada salah seorang pelayan yang berada di dekat pintu masuk. Ah, gawat. Sepertinya aku harus menggunakan kekuatanku lagi. Setelah sekian lama...
Jihye’s POV
“Ya. Apa tidak apa kamu untuk sementara ini tidak menggunakan kacamatamu?” tanyaku. Ia hanya menjawab “Yeah” secara pelan, nyaris berbisik. Aku mengangkat bahuku.
“Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang.” Ujarnya. Lalu ia melambaikan taxi untukku.
Jaggaman.. Mengapa harus naik taxi sementara kita bisa berjalan saja?
“Taxi? Ya! Kita bisa---“ sebelum aku merampungkan kalimatku, ia telah menggeretku masuk ke dalam taxi.
“Yaa Xi Luhan. Bukankah kita bisa berjalan saja? Rumahku dekat dari sini.” protesku sambil memandangnya kesal. Bagaimana tidak? Bukankah sia-sia jika kita naik taxi ketika kita bisa berjalan?
Sedetik kemudian, Luhan menghapus jarak di antara wajah kita dan memandangku dalam. Wajah seriusnya membuat bulu di kudukku berdiri sebntar.
“Bukankah ini sudah terlalu malam bagi seorang yeoja untuk berada di luar?”
Jujur saja, aku belum terbiasa dengan Xi Luhan tanpa kacamata. Suara dugeun dugeun yang mengeras begitu terasa di dadaku.
Ia lalu kembali ke posisinya sembari memandang ke arah luar. “Dimana rumahmu?”
Selanjutnya kami berada dalam kediaman kekal. Hingga akhirnya aku berada di depan rumahku. Rumah palsuku tentu saja. Rumah termewah yang berada di kompleksku. Aku tidak ingin Luhan mengetahui bahwa aku anak dari keluarga biasa-biasa saja.
Aku pun turun di depan rumah yang telah kupilih itu.
Kulihat taxi kembali melaju lalu belok ke kiri. Kuhembuskan nafasku pelan lalu aku mulai berjalan menjauh dari rumah mewah yang sayangnya bukan milikku itu.
Udara malam terasa sangat dingin. Mungkin pergantian musim dari musim panas ke musim gugur sudah mulai datang dan aku bodoh sekali untuk tidak membawa jaket. Pagi ini aku benar-benar tergesa. Menyiapkan semuanya sendiri karena eomma telah berangkat bekerja lebih dahulu setelah begadang semalaman demi sebuah pekerjaan. Oh, aku memang sedikit player. Tapi aku bekerja sesuatu yang halal. Eomma adalah seorang akuntan dan aku belajar sedikit darinya. Setahun yang lalu, aku mulai mengerti dasar-dasar dari akuntansi sehingga aku bekerja online pada sebuah perusahaan sebagai freelancer accountant.
Melodi yang dibuat oleh angin semakin membelai ragaku. Di sela itu, aku merasakan sebuah kehangatan di telingaku sebelah kanan. “Berusaha membohongiku, huh?”
Suara itu...
Xi Luhan.
Aku menengok ke kanan dan benar, suara gentle itu berasal dari Luhan yang tengah menyematkanku jas seragamnya.
“Aku akan mengantarmu.” ucapnya lagi, kini berada di sampingku setelah jasnya benar-benar telah tersemat ke tubuhku.
Kami saling diam. Jeda beberapa detik, aku melihat ke arah wajahnya. Matanya memantulkan cahaya bulan dan bagaimanapun juga aku agak bersyukur kacamatanya pecah. Sebuah hikmah di balik musibah.
Eh? Hikmah? Astaga, Yoo Jihye!!
Aku memukul kepalaku sendiri.
“Ada apa?” tanya Luhan. Sampai sekarang, ia masih menggunakan bahasa yang formal dan kaku kepadaku.
“A—aa-ani. Hanya nyamuk saja. Yeah, nyamuk.” jawabku sambil tersenyum getir. Ia mengangguk-angguk.
Kemudian suasana kembali menjadi awkward.
“Apa benar tidak ada seorangpun yang dekat denganmu?” tanyaku, mencoba mengambil sebuah topik. Ia lalu memandangku dengan wajah heran. “Aaah aku tidak bermaksud untuk menanyakan yeojachingu..Maksudku, teman—ya teman. Baik itu yeoja ataupun namja..”
Bwoya.. Menagapa aku menjadi salah tingkah seperti ini. Seorang Yoo Jihye.. Omo..
Ia tersenyum sembari memandangku. “Eobso.” jawabnya singkat. Ia lalu memandang lurus ke depan. “Ada saat dimana kamu ingin sendirian.” Ia menjeda sejenak. Dapat kulihat lengkungan aneh terbentuk di bibirnya. Dan entah, aku melihat matanya tampak lebih berkerling. Mungkinkah..matanya basah? “Dan aku merasakannya setiap saat.”
“Hey, kamu tidak bisa terus seperti ini. Apa kamu tahu padi tidak bisa tumbuh sendiri? Dan ada penelitian dimana hewan cenderung cepat mati jika ia hidup sendiri.” ujarku kepadanya sambil menyilangkan tanganku. Yaah, aku benar-benar pernah membacanya. Menjadi petugas perpustakaan selama tiga hari, aku sedikit membaca sebuah buku meskipun itu hanya sinopsis di belakangnya sembari mengecat kukuku saat menunggu seseorang yang akan meminjam.
Kudengar ia menahan tawanya. “Tapi aku bukan sebuah padi ataupun hewan.”
“Tetap saja..Mungkin pada manusia diberlakukan hal yang sama.”
“Bwoyaa..”
Kulihat ia tertawa begitu lepas. Dan aku hanya bisa diam. Sambil mendengarkan tawanya yang menghipnotis runguku untuk terus mendengarkannya.
“Kamu tampak berbeda tanpa sebuah kacamata.” ujarku pada akhirnya. Oops..Apa aku salah berkata? Karena tepat setelah aku mengucapkannya, ia berhenti tertawa. Dan.. bwoya..? Mengapa aku bisa mengucapkan kalimat itu.. Maksudku, bukankah itu sebuah kalimat pujian? Mengapa aku harus memuji seorang Xi Luhan?
Tapi, sejujurnya, ia memang tampak berbeda tanpa kacamatanya.
Ia diam.
Aaah..Aku lupa. Dia memang namja terdingin yang pernah kukenal, membuatku menyesal telah memujinya seperti ini.
“Lupakan kalimat terakhirku. Kamu tampak sama saja.”
Ia masih tetap diam. BWOYAA?! Apa dia mendiamkanku sekarang? Omona, namja ini jinjjha!
Beberapa menit yang lalu, pendapatku mengenai Luhan mulai berubah beberapa persen ke arah yang lebih baik akan tetapi sekarang skala itu turun lagi. Luhan memang seseorang yang sangat dingin. Mungkin tadi itu saat dia tertawa ia sedang tersambet arwah penasaran.
Untuk menit selanjutnya, kami berjalan dalam diam.
Lima menit kemudian, aku sampai pada rumahku.
“Aku sampai.Gomawo atas jasnya.” ujarku sembari mengembalikan jas yang sempat tersemat di tubuhku selama beberapa menit yang lalu. Luhan memandangku penuh curiga. Aku tahu maksudnya. “Ini benar-benar rumahku, jangan khawatir.”
Aku kemudian berbalik dan berjalan ke sebuah rumah ukuran sedang yang dilindungi pagar besi tua setinggi orang dewasa, tanpa ingin menunggu ada kalimat lain keluar dari mulut Luhan.
“Hey..” aku mendengar Luhan berujar. Aku menengok.
` Kali ini, ia memandangku begitu lama dengan wajah yang sulit dijelaskan. Matanya masih tampak berkilat, memantulkan cahaya rembulan yang tak diselimuti awan.
“Hey, mengapa kamu tidak jujur saja mengenai rumahmu?”
Aku diam. Apa maksudnya? Apa dia mencoba untuk menghinaku?
“Mengapa kamu begitu peduli terhadap apa yang orang pikirkan terhadapmu?”
ujarnya lagi, masih memandang lurus ke diriku.
“Apa kamu nyaman hidup dengan cara seperti itu?”
Luhan tampak seperti orang yang berbeda. Bukan hanya karena tatapan matanya yang tak tertutupi oleh seapasang lensanya, namun juga karena wajahnya yang memancarkan karisma yang berbeda. Percayalah. Atau mungkin aku sedikit berlebihan? Tapi memang tampak seperti itu..
“Cobalah hidup untuk dirimu sendiri, Yoo Jihye.”
“Urusi dirimu sendiri, Xi Luhan.” ucapku, terdengar sangat ketus.
Setelahnya, kubalikkan badanku membelakanginya. Entah, aku merasakan wajahku begitu panas dan aku tidak ingin Luhan melihatnya. Tanpa menunggu Luhan untuk berucap, aku membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam pelataran rumah.
Malam ini, aku melihat Luhan yang berbeda. Bukan Luhan yang culun, anti sosial seperti yang banyak orang katakan. Meski samar, ada perasaan dimana aku ingin menggali lebih lanjut semua tentang Luhan.
Dia lah orang pertama yang berani memberiku sesuatu kesan berbeda. Bukan beberapa orang lainnya yang hanya memberiku kalimat manis dan tak peduli sama sekali dengan hidupku. Luhan.. telah berani melakukan hal yang berbeda dari apa yang namja lain lakukan.
TBC