“Apa kamu benar-benar ingin memuaskan mereka?”
Kuangkat badanku yang masih terasa enggan untuk beranjak dari bed. Aku mengerang pelan sembari berguling ke semua arah.
“Jihye-aaa.. Yoo Jihye, ireona~” suara eommaku sudah terdengar entah untuk yang ke berapa kalinya. Aku hanya bisa menggeliat dan menggeliat. Kulirik sebentar jam berbentuk Doraemon di meja sebelah bedku.
07.00
Baru tiga jam aku tidur demi melembur pekerjaan yang harus dhitung padahal tidak ada uangnya. Yep, akuntansi. Dan omo...Jika aku terus begini bukankah sangat bahaya bagi kulitku?
“Sebentar eomma, 5 menit lagi!!” seruku sembari kembali menarik selimut fluffy berwarna merah muda.
“Yaa! Yura sudah menunggumu.”
Kembali aku mengerang. Sebenarnya aku bisa saja berangkat agak siangan tapi Yura selalu sudah stand by menjemputku ketika sebenarnya sekolah masuk pukul 08.30.
“Kimm Aahh Younggg..” aku menggeram pelan sambil berusaha terbangun.
“Aku sungguh membencimu. Bisakah kau menjemputku lebih siang?” omelku sembari melangkah dengan berat memasuki ruang kelas. Yura yang awalnya sedang membaca sebuah buku ringkasan Sejarah kini akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Yaa, apa kamu lupa poinmu sudah berapa? 20 poin lagi maka kau akan dikeluarkan. Kamu ingin poinmu bertambah 2 karena keterlambatan?”
“Haisssh.. Setidaknya tidak terlalu pagi. Lihat? Kelas bahkan masih tidak ada orang kecuali kita.”
Yura bergeming. Malah ia mengambil tempat duduk dan melanjutkan kegiatan membacanya. “Eeey.. Kim Ah Young! Lama-lama kau mengingatkanku akan seseorang, jinjjha! Eeeey..”
Aku merebut bukunya dan menutupnya rapat. Yura tampak memelototkan matanya, aku menjulurkan lidahku. Aku mengharapkan ia marah lalu membentakku tapi, dia tampak bisa memanage emosinya dan mengeluarkan buku yang lainnya. Lalu kembali membaca dengan tenang dan mengabaikanku lagi.
Aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari kelas dan pergi menuju ke sebuah vending machine untuk sekedar membeli sekotak susu.
Kumasukkan koin ke dalam lubang uang koin dan menunggu susu kotak rasa favoritku keluar dari benda kotak tinggi ini.
Kulewati lorong yang benar-benar masih sepi untuk kembali ke kelas...
Eh? Bwoya.. Kelas 2-A sudah ramai?
Aaah mereka kan terkenal anak-anak rajin. Pantas saja... Tapi, jaggaman. Ini terlalu ramai. Seramainya kelas 2-A, kualitas ramai mereka tidak seperti ini. Dari luar sudah terkumpul sebuah rombongan yang sedikit menghalang lorong.
Sebenarnya ada apa?
Percayalah, sudah menjadi keahlianku untuk menguping pembicaraan orang. Berpura-pura lah lewat dan dengarkan.
“Yaa! Aku tak percaya..Apa dia sungguh Xi Luhan?”
“Bwoyaa..Mengapa ia tampak berbeda tanpa menggunakan lensa tebalnya.”
“Benar. Dia.. tampak..lebih..manis.”
“Bwoyaaa.. Tapi tetap saja dia Xi Luhan.”
“Aish, memangnya kenapa? Siswa berprestasi dan manis, bukankah sesuatu yang langka?”
Omong kosong macam apa ini..
“Uhuk!” susu yang saat ini sedang kuminum terasa memasuki lubang yang salah karena keterkejutanku. Ini masih terlalu pagi untuk mendengar sebuah berita seperti ini! Obrolan para yeoja biang gosip masih saja terngiang di kepalaku. Seakan tertancap beribu speaker di sana.
“Dia pasti akan besar kepala jika dia tahu dia memiliki banyak penggemar...” ujarku. Kali ini, aku menyita semua buku Yura agar ia mau mendengarkanku.
“Bukankah itu bagus? ia selalu menyendiri selama ini.”
“Bagus? Aah geurae bagus. Dan mereka akan menyadari betapa dinginnya namja menyebalkan itu.” jawabku sembari mengingat kedinginannya sejak aku mendekatinya. Namja terdingin yang pernah kudekati. Aku merasa harga diriku jatuh dari lantai tertinggi gedung di Korea. Bagaimana, aku, seorang Yoo Jihye berulang kali diabaikan oleh seorang Xi Luhan yang hanya berkomunikasi dengan buku saja? Omona..
“Apa kamu nyaman hidup dengan cara seperti itu?”
“Cobalah hidup untuk dirimu sendiri, Yoo Jihye.”
Lalu teringat di kepalaku apa yang ia katakan kemarin malam. Sebuah kalimat yang mengubah persepsiku kepada Luhan bertambah menjadi 20%. Meski samar, baru kali ini aku melihat seseorang benar-benar peduli akan kehidupanku. Mungkin kebanyakan orang akan tersinggung dan marah jika mendapatkan kalimat itu dari Luhan.. Tapi..Anehnya.. Aku merasa senang. Jika dipikir-pikir lagi...Aku mengorbankan banyak waktuku, waktu tidurku, waktu remajaku untuk mendapatkan pengakuan orang lain. Untuk mendapatkan perhatian mereka. Jaket seharga gajiku sebulan, serum kecantikan seharga makanku seminggu ini, jam tangan seharga 10 mangkuk ramen..Semua yang ada pada diriku...
“Yaa. Kamu tidak mendengarkanku?” Yura mengayunkan tangannya ke depanku.
“Aaah mian.”
Yura terdengar menghembuskan nafasnya pelan.
“Kamu dan Luhan..Sudah sejauh mana? Ini sudah hampir seminggu..”
“Ndae?”
Selama jam pelajaran ini, aku benar-benar tidak memperhatikan. Biasanya memang seperti itu tapi kali ini lebih parah. Sangat parah. Aku bahkan tidak akan bisa menyebutkan materi apa yang baru saja dibicarakan. Kepalaku penuh akan ucapan Xi Luhan dan Luhan yang mendadak populer tanpa kacamata.
Kubuka snsku sejenak. Menghindari diriku yang sepertinya terlalu memikirkan seseorang dengan nama awalan Xi.
Dan aku menyesal telah membuka snsku.
Karena semua yeoja genit itu sedang membicarakan Xi Luhan tanpa kacamata.
Apa mereka tidak memiliki topik perbincangan yang lain? Pffft..
Kali ini, aku akhirnya mencoba untuk memperhatikan pelajaran Seohyun Seonsangnim. Meskipun raporku menyedihkan, ada satu mata pelajaran yang selalu bisa menghiburku karena selalu berawalan dengan angka 8. Matematika. Aku hanya bagus di Matematika.
“Peluang atau probabilitas adalah angka yang menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Di Matematika sendiri, probabilitas biasanya dilambangkan dengan huruf P. Nilainya....”
Jaggaman..
Jika Luhan populer seperti ini..Akan banyak yeoja yang mendekatinya dan itu berarti..Peluangku untuk mendapatkannya bertambah kecil bukan?
“Aaah matta. Peluang!” Tanpa sadar, aku kembali melakukan kebiasan burukku. Berdiri, menggebrak meja dan meneriakkan apa yang ada di kepalaku.
“Jihye-ssi?” Seohyun seonsangnim menurunkan kacamatanya dan menatapku heran. Semua pasang mata memandangku dan aku hanya bisa memasang wajah getir.
“Aaah maaf Seohyun seonsangnim. Sepertinya aku terlalu bersemangat mengikuti pelajaran ini.” ujarku sambil sedikit menunduk.
“Kalau begitu..mungkin Jihye-ssi juga akan bersemangat untuk mengerjakan soal di depan ini?”
“Ndae?”
Tepat setelah bel yang terasa seperti lonceng surga, aku melangkah menuju ke kelas 2-A. Kejadian tadi sungguh memalukan. Untung saja aku mendengar sedikit apa yang dikatana Yura ketika ia biasanya belajar sehingga aku bisa lolos dari rasa malu karena tidak bisa mengerjakan soal Seohyun seonsangnim.
Gerombolan masih terbentuk di sana. Masih memasang wajah fangirling menyebalkan mereka dan memandang ke arah Luhan. Aku mendekat lalu berdeham dengan sengaja. Dehaman yang seakan mengartikan. “Beri aku jalan.” dan benar saja, sebuah jalan terbentuk. Tanpa sebuah Tongkat Nabi Musa.
“Bukankah dia Jihye? aaah bukankah dia juga berikrar untuk mengejar Luhan? Bwoyaa dia sudah mencuri start dari kita..”
“Ah kalau iya habislah kita.”
“Matta..Tapi aku pernah mendengar mereka sebenarnya tidak akur.”
“Iya sepertinya Jihye lah yang selalu mendekati Luhan, bukan sebaliknya.”
Aku mengepallkan tanganku. Lalu melemaskannya. Aku tak boleh tampak menyedihkan seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu.
“Luhan-yaa..” Aku mendekat ke arah Luhan yang sedang membaca sebuah buku dari negeri antah berantah. Entah, aku tak mau membaca judulnya.
“Luhan-yaa gomawo telah mengantarku pulang kemarin malam.” ujarku sedikit manja. Oh ayolah. Aku ahli dalam memberi kesan manja dalam bersuara.
“Kemarin malam sangatlaah menyenangkan.” Kini, aku mendengar bisikan para fangirl baru Luhan mengeras. Ha! Sedikit lagi.. Aku harus menambahkan bumbu-bumbu lagi...
“Kalimatmu kemarin malam..Aku sangat menyukainya..” Kudengar beberapa yeoja menarik nafas mereka dalam, terkejut dengan apa yang kuucapkan.
Terlebih lagi, saat ini aku menutup bukunya dan menggeretnya keluar. Luhan hanya bisa memandangku datar. Benar-benar datar. “Kajja kita ke kantin. Bukankah kamu sudah lapar setelah membaca semua sandi-sandi ini.” lanjutku sembari merebut buku di tangannya.
Sampai sekarang pun aku masih ragu, dia ini.. manusia atau patung.
“Yaa dimana kacamatamu?” ujarku sedikit dengan nada meninggi. Tentu saja aku sudah melepaskan tangannya saat ini. Tak akan ada yang melihat kita di sebuah gudang olahraga.
Ia lalu mengambil sesuatu dari sakunya dan mengeluarkan kacamatanya yang pecah. “Kamu lupa?” ujarnya datar.
Kuhela nafasku kasar. “Ah matta.Mian ini semua salahku.”
“Sepulang sekolah, jangan kemana-mana. Aku akan ke kelasmu.”
Hari berlalu begitu lama. Ini semua karena aku harus berakting mesra ke Luhan setiap kali sebuah kerumunan fangirl barunya terbentuk. Bahkan aku harus berakting menyuapinya deobokki beras dengan mesra. Aigoo...
Ini sungguh bahaya.. Mereka tidak boleh menyukai Luhan. Dan aku harus segera membelikannya sebuah kacamata baru.
Sebuah bel pulang akhirnya berbunyi. Segera saja aku melesat menuju ke kelas 2-A. Tentu saja setelah Yeo seonsangnim keluar.
Sesampainya di sana, kelas sudah sepi dan hanya beberapa butir anak saja. Aku menuju ke bangku Luhan dan ranselnya sudah tidak di sana.
Bwoyaa...
Luhan’s POV
Ini.. tidak bagus. Sudah terlalu lama aku mengikngkari semuanya dan membiarkanku dalam posisi seperti ini. Mengapa aku diam saja ketika jelas-jelas Jihye tampak mendekatiku? Aku benar-benar tidak ingin melibatkan yang tidak bersalah ke dalam hidupku.
Sebenarnya aku sudah menyadari bahwa sebuah kerumunan itu terjadi karena diriku. Meski aku berusaha untuk menutupi wajahku menggunakan sebuh buku, entah mereka tetap berada di sana. Tapi itu bukan masalah bagiku. Setelah aku mengenakan kacamataku lagi, mereka pasti akan menjauhiku. Itu pasti. Tapi Jihye..mengapa begitu sulit bagiku untuk membuatnya berhenti mengejarku?
Ya, aku sudah tahu semua. Semua ikrar Jihye dan janjinya untuk menjadikanku sebagai namjachingunya. Dan aku tidak tahu, mengapa sampai sekarang aku hanya bisa diam dan mengikuti irama permainannnya.
[ FLASHBACK ]
sehari yang lalu
“Ya. Jangan terlalu percaya diri,eoh?” seorang namja meraih kerahku tepat ketika aku memasuki toilet.
“Jihye mendekatimu karena ia bertaruh untuk mendapatkanmu!”
“Jika kamu begitu takut kehilangan Jihye, berusahalah dengan cara yang lebih baik”aku berusaha membalas dengan nada datar. Ia tampak tersinggung dan menaikkan salah satu alisnya.
“Bwoo?!” teriaknya. Kini ia menunjukkan wajah marah yang lebih kepadaku. Ia lalu melepaskanku“Jonghyun-ah. Harus aku apakan dia?” Tanyanya, bertanya kepada seseorang menggunakan telpon genggamnya.
“Aku tidak ingin mengambil resiko. Kurasa ia akan cukup takut hanya dengan sebuah ancaman.”
Terdengar suara seseorang yang diduga bernama Jonghyun dan dapat kulihat
Ia lalu memutuskan panggilan dan menunjukkanku sebuah video.
[ FLASHBACK ENDS ]
Kebetulan sekali pelajaran hari ini berakhir dengan cepat. Langsung saja aku melesat keluar dari kelas dan menskip jadwalku ke perpustakaan melainkan menuju ke sebuah toko kacamata.
Karena..Tentu saja, Jihye tidak boleh tahu bahwa sebenarnya kacamataku adalah kacamata netral.
“Kamsahamnida.” ujarku setelah membayar kacamata baruku. Dengan frame yang sama persis dengan yang kemarin. Tentu saja, frame yang memberi kesan tidak baik, kalian tahu maksudku kan? Frame tebal dan berbentuk kaku.
“Sepulang sekolah, jangan kemana-mana.Aku akan ke kelasmu. ” Kalimat Jihye teringat begitu saja. Dan entah, aku merasa bersalah karena tidak menunggunya.
“Ia pasti tidak bersungguh-sungguh kan?”
Itulah yang aku katakan. tapi pada akhirnya, aku kembali ke sekolah.
Kelas yang kosong.
Aku terlalu berharap lebih.
Bukankah bagus jika ia tidak benar-benar menungguku? Mengapa aku sedikit kecewa mengetahui Jihye tidak benar-benar menungguku?
Luhan-ya, apa yang kamu pikirkan. Inilah yang kau inginkan bukan?
Kubalikkan badanku dan kututup kelas yang sudah kosong. Sebelum..
“Xi Luhan! YA, darimana saja kau? Aku mencarimu dimana-mana!!” Ia mendekatiku sambil memasang wajah kesal lalu terkaget. “Eeeh? Kacamata itu?”
“Kupikir kau tidak akan mau membeli yang baru..karena kau mulai memiliki fangirl setelah melepas kacamata.” ujarnya yang kini sedang berjalan di sampingku.
Aku masih saja diam. Karena lagi-lagi aku membuka bukuku. Aku harus segera mengatakannya.
Tapi gagal. Selalu saja ada sesuatu di benakku yang mencegahku untuk mengatakannya.
“Tch. Yaa. Cobalah untuk bersahabat dengan manusia!” Ia merebut buku yang sedang kubaca. Aku lantas kaget dan berhenti berjalan. Langkah Jihye pun juga sepertinya terhenti karena saat ini ia sedang memegang wajahku menggunakan tangannya di kedua sisi dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, memandangiku lekat-lekat. “Sudah kubilang bukan padi tidak bisa tumbuh sendiri.”
Sesaat mataku membulat. Selanjutnya, dapat kurasakan mataku menyipit karena aku tertawa.
Untung saja aku masih ingat cara untuk tertawa karena akan jadi sangat memalukan jika ia mendengarkan detak jantungku yang mengeras saat ia melakukannya.
Semoga tawaku menyamarkan suara dugeun dugeun itu.
Sesaat, aku mematung. Ini semua tidak benar.
Ini tidak bisa terus seperti ini bukan?
Aku harus sadar, semua ini tidak boleh diteruskan.
Yoo Jihye, kau sudah terlalu jauh.
Xi Luhan,come to your sense!
“Mengapa kau mau mendekatiku?” ujarku pada akhirnya. Pertanyaan yang ingin aku utarakan sejak kemarin.
Aku memandangnya dalam setelah tertawa dan tanpa sadar aku tidak sekedar memandangnya ketika bertanya. Melainkan juga menyudutkannya di sebuah tembok pagar sebuah rumah. Dahinya tampak mengernyit setelah melihat wajah yang aku buat sedemikian rupa. Ia melihat ke arah tanganku terbentang ke tembok yang membatasi geraknya.
“B-bwoyaa.. T-tentu saja k-karena kita sama-sama petugas perpustakaan bukan? Kita rekan kerja bukan?”
“Apa kamu benar-benar ingin memuaskan mereka?”
Jihye’s POV
“X-xi L-luhan. B-bwoyaa a-apa yang kamu maksud dengan merekaa..”
“Tck.Geumanhae.” Terdengar decakan lidah dari mulutnya. Ia terlihat sangat mengerikan. Berbeda dengan Luhan yang biasanya. Dinginnya angin sore dan aura ini sedikit mengagetkan seluruh saraf yang ada di tubuhku.
Matanya tampak berbeda dengan kemarin malam. Sepasang mata indahnya berubah menjadi sepasang mata elang yang siap untuk menerkam seekor anak ayam.
Kuhembuskan nafasku pelan. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Luhan tampak tahu segalanya. Ia pasti tahu mengenai taruhanku, taruhan bahwa aku pasti bisa mendapatkan Luhan. Aku salah jika aku menyangka Luhan yang sangat anti-sosial tidak akan tahu mengenai semua gosip taruhan ini. Sebanyak apapun kita mengubur sebuah isu pasti akan tercium juga baunya.
` `”Geurae. Aku ingin memuaskan mereka. Aku bukan dirimu Luhan-ya. Hidupku selalu seperti ini. Aku ingin diakui, aku ingin dikagumi. Aku...terlanjur...menjadi seperti ini..”
Mungkin aku tampak seperti bom atom yang langsung meledak begitu saja. Mungkin aku tampak sangat menyedihkan.. Tapi, aku terlanjur menjadi Yoo Jihye yang kabarnya ditunggu setiap orang. Mungkin aku memang tidak menjadi diri sendiri tapi aku sudah terlanjur hidup menjadi apa yang setiap orang harapkan.
Luhan terdengar membuang nafasnya kasar.
“Baiklah. Aku akan membantumu.” ujarnya, kini ia melepaskanku dan menarik tangan kanannya. Wajahnya kini sudah jauh dariku dan aku menghembuskan nafasku lega.
Tapi, bwo? membantu?
“Mari kita akhiri semua ini dan menjadi apa yang mereka inginkan.”
“Xi Luhan..”
“Tapi berjanjilah padaku satu hal.”
Ia menggantungkan kalimatnya dan sesaat, ia melanjutkannya. “Tidak boleh ada perasaan lain di antara kita dan berjanjilah, setelah satu bulan, kita harus berpisah dan saling menjauh.”
Aku salah jika aku menganggap diriku sudah sangat expert dalam mengenal namja. Aku salah besar. Karena, well, aku belum bisa mengerti satu spesies namja ini.
Dia...berbeda. Dan aneh. Baru kali ini ia ingin dijauhi oleh yeoja sepertiku. Maksudku, apakah aku terlalu tidak layak untuknya? Persepsi baikku terhadapnya kembali ke skala 0.
Xi Luhan, aku sungguh membencimu.
“Tentu saja, Xi Luhan. Dengan senang hati.” Aku berusaha tersenyum, menarik kedua sudut bibirku. “Gomawo kau telah mau membantuku.”
Jihye’s POV Ends
Sementara di tempat lain...
“Boss, aku melihat Luhan bersama seorang yeoja. Sepertinya ia memang benar yeojachingunya.” ucap seseorang di dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam.
“Ya, sudah saatmu untuk pergi. Luhan tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Kita akan memanfaatkan yeojachingunya....Lagi.”
“Keundae..Apa dia benar-benar yeojachingunya? Apa Luhan akhirnya bisa kembali memiliki yeojachingu?”
“Mengapa kamu harus peduli terhadap hal itu? Kita harus segera mendapatkan dia kembali. Tenang saja, semua dokumen untuk masuk ke sekolah mereka sudah ku urus.”
the game.. starts!
maaf alurnya kecepeten. aku nulis ini juga curi-curi waktu.
jadi.. yah Luhan tidak seculun itu. yang diam biasanya emang misterius cause silent is golden :p
maap juga kalo kalimatku agak aneh. lama nggak nulis > <
makasih ya lovenya udah 4! ini nih yg bikin semangat nulis! :D ditunggu feedback lainnya~~