Mom-Daughter Talk
Ketika sudah mulai besar, Jihye kembali bertanya lagi. Karena ia sudah mulai tahu, ia terlahir tidak mungkin tanpa seorang ayah.
Begitu membuka kedua matanya, Jihye dapat melihat sebuah tembok dan eternit putih di hadapannya. Penglihatannya mengecek keadaan sekitar, kepalanya berpikir akan dimana ia saat ini dan mengapa ia bisa di sini.
Jihye akhirnya terbangun dari bed, sambil mengaduh, karena kepalanya yang masih terasa berat. Dapat dilihatnya ketika terbangun Yura yang terlelap masih saja memegang erat tangannya, Taehyung dan Jonghyun tertidur di atas sofa dengan begitu pulas serta eommanya sedang terduduk dan melihat lurus ke arahnya.
“Sudah tersadar?” tanya wanita paruh baya itu pada Jihye. Jihye mengangguk, seraya tersenyum tipis.
“Bubur?” tawar eomma Jihye pada Jihye. Jihye menggelengkan kepalanya lemah.
“Pisang?” tawar eomma Jihye lagi. Jihye menggeleng lagi.
“Ro-“ sebelum eomma Jihye bisa menawarkan sesuatu lagi, Jihye berbicara terlebih dahulu.
“Eommaa..Dwaesso..Aku tidak lapar..Bukankah sudah ada cairan infus ini yang telah memberiku makan..”
Eomma Jihye kemudian mendekat. Raut khawatir terlihat jelas dari wajahnya.
“Jihye-a..Gwaenchana?” kantung hitam dapat jelas terlihat di kedua mata eommanya.
Jihye mengangguk pelan. “Gwaenchanayo eomma.”
Sebenarnya eommanya ingin bertanya banyak hal. Namun sepertinya ia masih belum bisa begitu terbuka pada anak perempuannya itu. Sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk anaknya seraya mengusap lembut kepala anaknya itu.
“Yaa. Aku mengkhawatirkanmu..”
Jihye sendiri hanya bisa membeku dalam dekapan eommanya.
Beberapa ingatan yang telah terbuka di kepalanya membuatnya merasa seperti diputarbalikkan, merasa bahwa hidupnya seperti dipermainkan.
Tak ada kejelasan tentang keluarganya selama ini. Ia hanya mengenal eommanya, dan keluarga dari eommanya. Seakan-akan ia adalah anak haram yang tidak boleh diketahui keberadaannya. Meskipun sekarang ia mengerti mengapa ia terpisah dengan ayahnya—melalui komunikasi tidak langsung yang ayahnya berikan padanya, namun tetap saja. Jihye belum siap untuk ini. Usianya baru 17 tahun. Ia baru memasuki kelas 2 SMA. Dan Jihye pun masih belum yakin akan kebenaran mimpi itu sehingga yang bisa ia lakukan saat ini adalah menekur, melihat ke lantai kamar, dengan kepala yang masih memikirkan banyak hal.
“Eomma..Aku ingin berbicara.” Ucap Jihye begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Eomma Jihye pun duduk tegap, melepas peluknya. Matanya terlihat begitu basah. Nampak sekali betapa sejak daritadi eommanya ingin meneteskan benda bening itu ke pipi tirusnya.
“tapi tidak di sini...” lanjut Jihye.
Beberapa helai daun pepohonan mulai berwarna kecoklatan. Angin mulai terasa begitu menusuk. Kentara sekali negeri gingseng akan menyambut musim gugur dengan segera. Untungnya, Jihye dan eommanya menggunakan mantel hangat mereka saat ini.
Mereka terduduk di sebuah bangku di taman rumah sakit. Kediaman menelan masa yang ada. Mereka saling diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Eomma Jihye memandang ke arah jauh sementara Jihye masih terus memiliki pandangan kosong. Gejolak dalam jiwanya begitu menguat. Ia seperti mengalami hangover, akan realita yang ada dan mimpi yang tadi malam ia impikan.
Ia juga masih bingung, apakah ia harus mempercayai mimpi yang ia impikan atau tidak.
“Jihye-a.. Kau boleh untuk tidak mempercayai apa yang kuucapkan. Namun kau akan bisa menemukan jawabannya sendiri nanti. Jadi.... simpan saja apa yang kukatakan di ingatanmu baik-baik, ndae?”
Jihye berpikir, senantiasa memutar logika dan akalnya, bisa saja kan apa yang ia mimpikan semalam adalah murni sebuah mimpi? Bukan lah sebuah ingatan yang sesungguhnya, atau ingatan yang dimunculkan setelah disembunyikan. Bisa saja kan, Jihye memiliki imajinasi fiksi terlalu tinggi sehingga memiliki mimpi seperti itu?
“Jihye-a. Tahu tidak, jika kita lupa, maka sebenarnya ingatan itu tidak menghilang. Mereka masih ada di dalam kepala kita. Namun hal yang terlupakan itu tersembunyi jauh, karena ingatan manusia seperti labirin. Begitu rumit. Namun jika kamu dalam keadaan tenang ketika mengingat kembali hal itu, maka hal yang terlupakan itu akan kembali. Selain itu, jika kau pada kebetulan melihat sesuatu yang berkaitan dengan sesuatu yang kau lupakan, maka akses menuju ke sesuatu yang terlupakan itu akan lebih mudah. Melihat hal yang familiar dengan apa yang kau lupakan akan mempermudahmu untuk mengingatnya.”
Jihye masih ingat, beberapa bait kalimat yang pria dalam mimpinya itu ucapkan..Pria yang bertingkah seolah ia adalah ayahnya...
Jihye berpikir, jika mungkin mimpi itu benar, mungkin hal itu bisa menjawab segalanya. Mengapa ia tidak mengingat apapun ketika ia masih kecil. Mengapa ketika temannya bertanya tentang bagaimana ia ketika berada di bangku Sekolah Dasar kelas 2 ia tidak mengingat apapun. Mengapa sebagaimana kerasnya Jihye mengingat-ingat, ia tidak memiliki bayangan sama sekali. Hingga ia akhirnya berpikir, “ah, mungkin kita memang tidak akan pernah bisa megingat ketika kecil karena saat itu kita masih terlalu kecil.”
Hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun menjadi aneh ketika Jihye sama sekali tidak mengingat hal-hal yang terjadi ketika ia berusia 8 tahun.
“Begitu juga dengan ingatanmu. Sesungguhnya ingatan masa lalumu tidak pernah hilang. Mereka masih ada di kepalamu. Namun kami menyembunyikannya. Demi kebaikanmu, dan kebaikan eommamu. Tapi ada kalanya ingatanmu kembali..Jika kau terus menerus melihat sesuatu yang berkaitan dengan masa lalumu...apalagi jika sesuatu itu adalah sesuatu yang kau sukai,Jihye-a”
“Semua ingatan yang bermunculan dalam mimpi ini belum penuh Jihye-a. Kembalinya ingatanmu masih membutuhkan proses. Karena jika terjadi sekaligus, hal itu akan menyakiti dirimu, Jihye-a. Kuncinya, ketika kau melihat sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu, maka kau akan mengingatnya. Apa yang telah terjadi, 9 tahun yang lalu...”
“Dokter berkata bahwa dirimu mengalami sleep paralysis yang berat tadi malam. Gwaenchana?”
Eommanya bertanya lagi. Jihye menengok ke arah eommanya dan tersenyum tipis, untuk meyakinkan bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja. “Gwaenchana eomma.”
Jihye masih saja memandang lurus ke depan, berusaha menyusun ingatan-ingatan yang baginya seperti sebuah puzzle. Sementara eomma Jihye, Jihye tidak bisa membaca apapun dari eommanya saat ini kecuali raut wajahnya yang selalu khawatir.
Meskipun Jihye belum yakin akan kebenaran mimpi itu, ia mencoba untuk bertanya pada eommanya. Pertanyaan yang selalu eommanya hindari. Awalnya Jihye membiarkan hal itu karena mungkin eommanya tidak suka untuk menyebutkan nama ayahnya dan bahwa hal itu akan menimbulkan luka bagi eommanya. Akan tetapi, Jihye telah dewasa kini. Ia merasa, ia butuh untuk mengetahuinya.
“Eomma tidak pernah memberitahuku akan nama ayah..” ucap Jihye sebagai pembuka. Karena ia tahu mereka tidak akan bisa selamanya saling diam seperti ini.
Eomma Jihye memandang ke wajah anaknya penuh kasih. “Eomma menyimpannya untuk alasan yang baik, Jihye-a. Sebaiknya kau tak perlu menanyakannya.”
“Keundae eomma..Bukankah itu hakku sebagai seorang a—“
“Jihye-a..Keluarga kita tidak normal. Kumohon mengertilah..” Tangis eomma Jihye pecah. Tangan yang tadinya ia letakkan di atas pangkuannya kini ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Eomma Jihye menangis. Dan ini adalah hal yang langka bagi Jihye.
Jihye tidak bisa terus menerus melihat eommanya menangis seperti ini. Ia duduk mendekat ke arah eommanya dan memegang pergelangan tangannya—berusaha membuat tangan eommanya terlepas dari wajahnya. Ia lalu menghapus air mata eommanya. “Eomma ullijima...Jebal..Mianhae eomma..”
Namun bagaimana pun juga, isak itu tetap terdengar dari mulut eommanya. Meski semakin lirih.
Jihye ikut terisak. Ia bingung harus bagaimana. Mengapa eommanya selalu tidak menyukai pertanyaan itu..Biasanya eommanya selalu marah ketika mendengarnya, dan Jihye tidak menduga eommanya akan menangis karena pertanyaan itu.
Eomma Jihye jarang sekali terlihat menangis. Beliau adalah orang yang kuat. Meskipun menanggung beban keluarga sendirian, tak prnah ia menunjukkan kelemahan di depan anaknya dan siapapun. Ia selalu terlihat kuat.
Meski begitu, Jihye ingin sekali tahu akan jawabannya. Yang mungkin saja, jika ia mengetahui jawabannya, ia bisa membuat eommanya untuk tidak mengingat ayahnya sebagai sebuah luka lagi..
“Eomma..Apakah aku benar-benar tidak boleh mengetahuinya? Apakah seberat itu untuk mengatakannya padaku, setidaknya namanya? 17 tahun sudah eomma, aku hidup tanpa mengetahui siapakah ayahku, atau apalah aku memiliki seorang ayah atau tidak..”
Sungai air mata itu masih saja terbentuk di pipi mereka berdua. Jihye menunduk ke bawah, berada di depan apitan kaki eommanya. Tangan mereka masih saling tertaut.
“Ayahmu dan diriku adalah kedua hal yang berbeda. Ia terlahir sebagai seorang yang sangat pintar, ulet dan tekun. Sementara eomma, eomma hanyalah mahasiswi biasa waktu itu..” Eomma Jihye memulai ceritanya. Terdengar sekali, eomma Jihye berusaha untuk tidak terisak lagi, berusaha menceritakan semuanya. Ia merasa, sudah saatnya ia menceritakannya.
Cerita yang selama ini tidak pernah Jihye dengar.
Jihye masih ingat betul ketika masih kecil ia bertanya kepada eommanya tentang siapa ayahnya. Ia selalu mendapatkan jawaban. “Kau tidak pernah memiliki ayah, Jihye-a. Tidak usah bertanya tentang hal itu lagi, arra?”
Jihye waktu itu percaya saja. Ia pikir sebuah anak bisa terbentuk tanpa seorang ayah. Jihye hanya bisa menangis mendengar jawaban eommanya itu. Ia menangis karena mau bagaimana pun juga seorang anak kecil membutuhkan kasih sayang tak hanya dari eommanya saja. Apalagi eommanya selalu sibuk bekerja. Mungkin karena hal itulah, Jihye selalu melarikan diri ke rumah Yoo Jaehyuk. Yoo Jaehyuk yang selalu ramah padanya, memberi banyak makanan padanya, dan menceritakan beberapa dongeng padanya.
Ketika sudah mulai besar, Jihye kembali bertanya lagi. Karena ia sudah mulai tahu, ia terlahir tidak mungkin tanpa seorang ayah. Lalu eommanya akan menjawab “Ayahmu meninggalkan eomma ketika masih ada di dalam kandungan. Pergilah, tidakkah kau tahu kalau eomma sedang capek?”
Jihye selalu tidak bisa mendapatkan jawaban ketika ia bertanya tentang abujinya. Hingga akhirnya Jihye lelah untuk bertanya tentang hal itu.
Dan kini semua misteri itu terjawab.
“Kami berdua menikah. Namun kemudian abuji bersekolah lagi. Ia tidak mengenal lelah ketika sedang mengejar ilmu yang ingin ia kuasai.” lanjut Eomma Jihye—masih sedikit terisak.
“Di saat itulah, eomma tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari abujimu. Ia bahkan terlambat tahu tentang kehamilanmu..Selama masa kehamilanmu itu juga, ia tidak memberikan perhatian yang cukup untuk eomma...” Kini, eomma Jihye memandang ke wajah anaknya. Anaknya yang telah ia rawat selama bertahun-tahun, anaknya yang kini telah tumbuh sebagai wanita yang cantik.
“Abujimu lebih memilih studinya, daripada keluarganya. Ia benarbenar seseorang yang serius dalam mengejar ilmunya..”
Jihye masih mendengarkan, dan melihat iba ke wajah eommanya. Mesikpun rasa benci itu sempat timbul karena ia sama sekali tidak mengetahui rahasia yang selama ini eommanya pendam, namun ia di sisi lain juga mengerti akan keadaannya. Ia memilih untuk mendengarkan terlebih dahulu. Karena seperti apa yang eommanya telah ucapkan beberapa waktu yang lalu, keluarga mereka bukanlah keluarga yang normal. Bukan keluarga yang sebagaimana mestinya.
“Di saat-saat itu pula, eomna kadang berpikir untuk membunuhmu Jihye-a.. Membunuh janin tak berdosa yang saat itu ada di dalam perutku..Setidaknya dengan begitu, mungkin abujimu akan datang dan menanyakan keadaanmu dan keadaan eomma..Aku begitu egois dan merasa berdosa ketika memikirkannya..Mengapa pikiran itu sempat terlintas di kepalaku..Tentu saja, aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa melakukannya. Pikiran itu, hanya sebatas ide gila saja. Eomma tak akan pernah bisa...”
“Setelah kamu terlahir, abujimu akhirnya pulang. Ia lalu menjelaskan segalanya. Bahwa ia tak hanya sedang menyelesaikan studi Sarjana-2 nya namun juga ia sedang melakukan hal gila dengan temannya.”
“Abujimu dan temannya itu, mereka sedang mengembangkan sebuah produk rahasia. Abujimu yang sangat pintar namun juga bodoh itu, aku akhirnya menceraikannya, Jihye-a. Ketika aku mendengar bahwa dirinya sedang mengembangkan sesuatu yang mengerikan itu, aku menceraikannya. Usiamu masih 1 minggu saat itu.”
“Dan itulah mengapa kita masih hidup dengan tenang seperti ini Jihye-a. Ini semua demi kebaikan kita berdua.”
Jihye terus mendengarkannya. Ia merasa senang, meskipun eommanya tidak memberitahunya namanya, setidaknya ia mendengar bahwa ia sebenarnya memiliki seorang ayah, dan bagaimana ayah Jihye sebenarnya.
Ia tidak ingin lagi memperberat eommanya dengan bertanya siapakah namanya, atau bertanya lebih detail lagi tentang bagaimana keadaannya saat ini. Eommanya mau bercerita sampai sini saja Jihye sudah sangat bahagia.
Yang jelas, Jihye sesaat yakin. Bahwa seorang pria yang ada di mimpinya mungkin saja memang ayahnya. Ia begitu yakin akan hal itu karena apa yang eommanya ucapkan begitu mirip dengan apa yang pria dalam mimpinya itu ucapkan.
Ia juga mulai sedikit teryakini, bahwa mimpi yang ia alami tidak sekedar mimpi. Ia sempat ragu, namun kini ia mulai yakin, meskipun masih sedikit bertanya-tanya. Bahwa mimpi yang ia alami mungkin benar. Walaupun terasa seperti sebuah ketidakmungkinan...Maksudnya, produk rahasia?
Jihye memikirkannya lagi hingga ia teringat dengan Luhan dan ucapannya.
“Segala kemungkinan bisa terjadi.”
Dan ia ingat bagaimana Luhan bisa memiliki kekuatan semacam itu.
Kekuatan itu—adalah apa yang pria dalam mimpi Jihye katakan dan mungkin saja, produk rahasia yang eommanya katakan juga terkait dengan kekuatan itu.
“Yoo Jae Hyuk.” Ujar eommanya tiba-tiba.
“Jika kau menginginkan sebuah nama, maka itulah nama ayahmu, Jihye-a.”
Keyakinan Jihye bertambah besar akan mimpi itu. Dan beberapa pertanyaan kembali bertaburan di benaknya.
Yang mungkin saja akan ia segera temukan jawabannya. Hal yang baginya mustahil untuk terjadi di dunia ini.
Namun kembali lagi, kemungkinan apa yang tidak mungkin terjadi dalam dunia ini..Bukankah mungkin saja ketidakmungkinan yang ia pikirkan saat ini sama halnya ketika orang-orang di tahun 1990 memikirkan, apakah mungkin ada sebuah benda kotak tipis yang bisa digunakan untuk apapun seperti smartphone yang nyatanya memang ada saat ini?
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Luhan membuka matanya secara perlahan.
Sebuah suasana familiar tertangkap di matanya.
“Ah kamarku.” Batin dia pelan. Dan dia cukup yakin tanpa harus bertanya-tanya tentang siapa yang membawanya ke apartemennya sendiri kemarin malam.
Seseorang yang bisa meretas apapun, dan tahu apapun tentang dirinya.
Siwon hyung.
Ia terbangun, terduduk dari posisi tidurnya.
Kepalanya masih terasa berat, seperti telah minum berpuluh-puluh botol soju saja.
Meski begitu ia berusaha bangkit dari bed dan ketika kepalanya memikirkan ttg Siwon hyung, ia teringat akan sesuatu yang Siwon hyung janjikan padanya.
Menceritakan semuanya.
Bahwa mungkin saja ayahnya masih hidup, adiknya, keluarganya,...
Luhan lalu berjalan, menyelusuri setiap sudut apartemennya. Berusaha menemukan sosok namja berusia kepala 3 yang telah menyelamatkannya tadi malam dan juga telah menemani dirinya selama mereka berdua berada di organisasi itu dua tahun yang lalu.
“Shit.” Umpatan itu keluar begitu saja tatkala setelah mengecek berbagai sudut apartemennya, tak se inchi pun bayangan Siwon dapat terlihat.
Luhan kemudian mengambil ponselnya, berusaha menelpon Siwon.
Namun sebelum ia mencari kontak Siwon dan memanggilnya, ia melihat sebuah notifikasi voicemail masuk dari layar ponselnya.
Dan panjang umur sekali pikir Luhan ketika ia membaca bahwa itu dari Siwon. Segera saja ia membuka voicemail itu dan tatkala ia mendengarnya, tangannya mengepal keras.
“Yaaaa. Kau pasti saat ini sedang mencariku, bukan? Wahahaha uri dongsaengie ingin segera bertemu dengan hyungnya, eoh?”
“Mianhae aku tidak bisa bertemu denganmu saat ini. Karena, tentu saja, akan jadi seperti apa wujudku saat ini ketika bertemu denganmu ketika dirimu tahu bahwa apa yang kuucapkan kemarin malam adalah sebuah candaan...Yeah, kau tahu diriku kan, Luhan-a. Aku hanya bercanda agar kau tidak terlalu tegang kemarin malam.”
“Selamat pagi, Luhan-a. Semoga harimu menyenangkan.”
“Ah. Aku sudah mengirimkan kamar dimana Jihye dirawat ke emailmu.”
Luhan mengedipkan matanya, lalu sebuah smirk tampak dari mulutnya. Ia terlalu bingung, akankah ia harus tertawa, ataukah marah, ataukah berduka.
“Aigoo...keparat ini...dia pintar sekali memilih sebuah candaan...” ujar Luhan lemah.
Tak ingin berlama-lama dalam emosinya sendiri, Luhan lalu memutuskan untuk segera membersihkan diri dan pergi ke alamat yang dikirim oleh Siwon ke emailnya.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
“Eomma, aku bisa makan sendiri.” Ujar Jihye , terkekeh, setelah melihat eommanya berusaha untuk menyuapinya sebuah bubur hangat. “Aku bahkan tidak terluka, sama sekali.”
Eomma Jihye ikut terkekeh. “Ah arrasso.”
Yura, Taehyung dan Jonghyun sudah pergi dari kamarnya. Mereka meninggalkan pesan untuk Jihye bahwa mereka meninggalkannya karena harus pergi ke sekolah. Sementara Jihye masih belum bisa berangkat ke sekolah. Ia izin sakit. Sebelum sarapan datang ke kamar rawat inapnya, seorang dokter datang memberikan eommanya surat izin. Ia mengatakan bahwa Jihye hanya mengalami kelelahan dan anemia (kekurangan darah).. Badan Jihye yang tadinya panas pun kini mulai surut panasnya sehingga nanti sore Jihye sudah bisa meninggalkan rumah sakit.
“Eomma. Aku senang eomma akhirnya terbuka padaku, meskipun sepertinya cerita yang eomma ceritakan kurang menyenangkan, aku senang eomma sudah bisa menceritakannya padaku.”
Eomma Jihye memandang anaknya penuh kasih, lalu memeluk anaknya dan mengusap rambutnya pelan.
Senyum tercetak di wajah Jihye.
Ia memejamkan matanya dan merasakan kehangatan yang terkonduksi dari tubuh eommanya.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Taehyung sudah bersiap diri di meja kantin lengkap dengan makanan dan minumannya sejak tadi. Menikmati makanannya dan tampak berulang kali mengecek waktu pada arloji karetnya. Meskipun beberapa ‘fans’ nya mendekatinya dan menawarinya beberapa makanan, ia akan mengusir mereka dengan halus dengan mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang.
Demi Tuhan, mereka pasti akan menyangkaku gay jika mereka tahu aku bertemu dengan orang itu...batin Taehyung, di waktu ia memejamkan matanya sambil memikirkannya.
Makanannya sudah habis setengah namun seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang. Entah kerena ia yang makan terlalu cepat atau seseorang yang ia tunggu yang datang terlalu lama.
“Sial. Apa dia sedang mengerjaiku..”
Taehyung meneguk segelas air putihnya lalu melihat sekeliling. Wajahnya pun tidak secemberut awalnya ketika akhirnya ia melihat Jonghyun yang berjalan ke arahnya.
“Hei bruh.” Jonghyun menepuk bahu kanan Taehyung dengan sangat keras.
“Wah...Apakah itu cara orang kaya saling menyapa satu sama lain?” ejek Taehyung yang merasa bahunya tersakiti karena Jonghyun.
Jonghyun hanya bisa mengangkat kedua bahunya lalu menurunkannya lagi.
Ia kemudian mengambil duduk di seberang Taehyung.
“Tidak makan?” tanya Taehyung padanya.
“Diet.”
“Ohoho rupanya orang kaya memang tidak perlu makan karena kebutuhan nutrisi mereka sangat terpenuhi di rumah eoh...Arrasso..”
Taehyung lalu kembali memakan beberapa suap makanannya lagi.
“Mengapa kau mengajakku bertemu di sini?” tanya Taehyung seraya melahap sebuah sarden ikan utuh ke dalam mulutnya.
“Ada yang ingin kubicarakan.” Jawab Jonghyun seraya meyilangkan tangannya ke dada.
“Wah. Terdengar serius.”
“Kind of.”
Taehyung merasakan aura yang berbeda dari ketika ia mengobrol dengan Jonghyun sebelumnya. Kini nafsu makannya menurun, dan ia memilih untuk tidak meninggalkan makanannya yang tinggal ¼ sejenak dan memilih untuk fokus ke obrolan yang ia dan Jonghyun buat.
“Mwo..Tanya saja.” Jawab Taehyung seraya meletakkan kedua tangannya ke atas meja dan mengatupkannya. Lidahnya terlihat membersihkan dinding dalam mulut, matanya memandang Jonghyun dengan tajam.
“Kamu sudah lama bergabung dengan..umm” Kini Jonghyun melepaskan punggungnya dari kursi, dan kepalanya mendekat ke arah Taehyung.
“Saturnus?”
“Yea, Saturnus.” Jonghyun membenarkan. Kini ia menghela nafasnya, merasakan betapa beratnya pembicaraan mereka berdua di sebuah pagi yang seharusnya diisi dengan percakapan yang sedikit lebih mengenakkan. “Kau pasti tahu kan, mengenai beberapa petunjuk tentang pemimpinnya..”
Taehyung berkedip, lalu mengangkat kedua tangannya dari meja dan melipatnya ke dada.
“Wah daebak. Mengapa kau bertanya tentang hal semacam itu.”
Jonghyun terdiam sesaat. Ya, memang sebelumnya mereka tidak begitu akrab. Mereka akrab karena Jihye. Dan mungkin terasa aneh bagi mereka tiba-tiba berbincang berdua dengan topik yang sedikit serius.
“Wae? Aigoo...Apakah kita harus berpura-pura bodoh dan tidak tahu terus menerus seperti ini, Taehyung-a?” Jonghyun mendesis, sebelum ia memandang Taehyung tajam-tajam. “Kau tahu siapa diriku, dan aku tahu siapa dirimu.”
“Oh well kau benar. Apa aku harus mengatakannya padamu sekarang? Aigoo aku sedang malas untuk membahasnya.” Taehyung mulai berdiri, berniat meninggalkan Jonghyun dan topik tidak menyenangkan yang ia bawa.
Jonghyun ikut berdiri lalu ia menekan bahu Taehyung ke bawah, mengisyaratkannya untuk duduk.
“Tch. Rupanya kau tidak menyadarinya, eoh?” ucap Jonghyun, menyalak.
Setelah decakan singkat, Taehyung akhirnya menurut dan kembali duduk.
“Mwo?” tanya Taehyung singkat tanpa memandang ke arah Jonghyun.
“There’s another Luhan.” Jawab Jonghyun, lirih namun dengan intonasi yang meninggi.
Taehyung menghela nafasnya sejenak. Sejak awal, ia sudah menduga Jonghyun akan membawa sebuah topik yang berat baginya.
“Arra.”jawab Taehyung singkat, seakan itu adalah hal yang sepele. Padahal tidak sembarang orang yang mengetahuinya.
“Sudah kuduga...Kau memang bukan seseorang yang patut diremehkan. Baiklah, sebagai seseorang yang masih baru di dunia seperti ini aku patut memanggilmu sunbaenim.” Ucap Jonghyun diikuti dengan tertawa rikuh. Ia kemudian kembali ke percakapannya dengan Taehyung. “Karena sudah sejauh ini, kita tidak memiliki pilihan lain selain menghadapi Saturnus, Taehyung-a.”
“Salah seorang laboratorian dari Kelompok Penelitian di Departemen Peneletian Sains dan Teknologi menghilang secara misterius, Taehyung-a.”
“Apakah ini ulah mereka?”
“Sepertinya. Hanya Saturnus yang bisa melakukannya. Hanya mereka organisasi yang terlibat dengan Departemen Peneletian Sains dan Teknologi..Padahal kau tau sendiri kan, keberadaan laboratorian di Departemen itu sangat dirahasiakan identitasnya.”
“Rupanya...mereka mulai merayap ke dalam kerajaan, eoh?” ”Lalu bagaimana dengan..beliau?”
“Ah belaiu baik-baik saja. Sekarang ia tidak menjadi bagian dari Kelompok Penelitian di Departemen Peneletian Sains dan Teknologi lagi..”
“Mwooo?! Lalu?”
“Beliau sekarang tergabung dalam Departemen Keamanan dan Pertahanan Dalam Negeri.”
“Dan misi jangka panjangnya adalah untuk membasmi Saturnus hingga ke akar-akarnya.”
Jonghyun membuka tutup botol sebuah minuman, lalu menegaknya hingga habis. Tak terasa percakapan ini membuatnya haus. “Sudah berapa lama kau tak bertemu dengan beliau?”
Taehyung memasang wajah berpikir. “Sudah lama..Mmmm mungkin satu setengah tahun? Atau malah dua tahun? Aku tidak menghitungnya.”
“Kau tak ingin bertemu dengannya?”
“Yaa. Keadaanku saat ini sangat tidak memungkinkan, Jonghyun-a. Beberapa Saturnus membuntutiku semenjak diriku dekat dengan Luhan.”
Taehyung lalu mengeluarkan sebuah komik dan berpura-pura membacanya.
“Seseorang dari arah jarum jam 11 datang kemari.” Ucapnya singkat, tanpa melihat ke arah Jonghyun.
“YA. Taehyung-a. Sejak kapan seseorang sepertimu memiliki fans? Lihatlah mereka selalu melihat ke arahmu...” ujar Yura seraya mengambil kursi di samping Taehyung dan meletakkan makanannya di meja.
“Bukankah kau salah satu dari mereka?” tanya Taehyung dengan wajah penuh percaya diri.
Yura lalu memasag wajah jijik lalu menjulurkan lidah. “Harapanmu! Seseorang sepertimu tidak pantas memiliki fans sepertiku.”
“Mwo? Bisa saja kan. Kau pura-pura tidak menyukaiku selama ini padahal sebenarnya kau menyukaiku..Siapa tahu..”
“Bicara sekali lagi maka akan kupotong lidahmu hidup-hidup Taehyung-a.” Yura lalu memandang wajah Taehyung dengan wajah mengancam.
Taehyung pun diam, dan mengangkat kedua tangannya pertanda kekalahan.
Yura pun mulai mengeruk makanannya dengan lahap. Ia sama sekali tidak sadar bahwa ia telah mengganggu obrolan kedua pria di dekatnya itu.
“Kalian tidak bersama dengan Luhan?” tanya Yura tiba-tiba, menghentikan aktivitas makannya.
Taehyung memutar bola matanya dan mengingat-ingat “Benar juga..Dia juga tidak berangkat ke sekolah pagi ini.”
“Dia baik-baik saja. Mungkin saat ini ia sedang menemani Jihye.” Tambah Jonghyun.
Yura berbalik ke arah Jonghyun dan Taehyung. “Mereka benar-benar jadian?”
“Menurutmu? Kamu sendiri tidak tahu? Yaaak bukankah kau sahabatnya..” jawab Jonghyun tidak santai.
“Kau cemburu, ya kan?” tanya Yura dengan nada kesal.
“Kalau memang aku cemburu?” timbal Jonghyun.
Yura lalu salah tingkah. “Omo..Dasar namja melankolis.”
Taehyung kemudian mulai berdiri dari kursi dan merapikannya. “Yeorobun. Aku akan pergi ke suatu tempat.” Dan meninggalkan Yura serta Jonghyun berdua di kantin.
Taehyung melangkah menjauh dari kantin dan menaiki tangga hingga ke tangga teratas. Kini, ia berada di atap. Langit tidak begitu cerah hari ini. Hanya saja, Taehyung senang memandangi langit yang lapang.
Ia mengambil nafas dalam lalu terduduk, bersandarkan pagar tepi atap.
Taehyung telah memutuskan untuk tidak mengikuti kelas Matematika setelah jam istirahat sehingga di sana lah dia, akhirnya merebahkan diri ke lantai rooftop, memandang langit dan pikirannya mengembara jauh.
Ia merindukan seseorang.
Ah, tidak hanya seseorang. Beberapa orang.
Orang-orang yang telah menemani masa kecil dan masa remajanya..Ia merindukan mereka.
Flashback ON
Sorak sorai temannya itu membuat bocah berusia 7 tahun itu menyerah, menghela nafas dan mengiyakan permintaan temannya. Bukan karena ia jarang mendapatkan giliran untuk melakukannya hanya saja bocah itu yang terkenal paling lihai melakukannya.
Setelah isyarat darinya agar teman-temannya itu menyebar, bocah itu mulai beraksi. Ia mulai membuntuti pria yang baru saja keluar dari mobil mewahnya.
Terus bocah kecil itu melangkah searah dengan pria bermantel hitam. Teman-temannya memang selalu tahu, mana yang harus mereka target. Tampak sekali pria bermantel hitam yang bocah kecil itu buntuti adalah golongan orang yang berkecukupan. Mulai dari mobil mewah yang ia kendarai, pakaian yang terlihat tidak murah, hingga ponsel lebar keluaran terkini yang saat ini berada di tangannya.
Sudah hampir seperempat jam pria di depannya itu berbicara melalui ponselnya. Dan sudah hampir seperempat jam pula menit bocah kecil itu mengamati pria yang berdiri di pinggir jalan dan terus menelpon itu. Dan dari hasil observasinya itu pun mengatakan bahwa ia memutuskan untuk mengambil ponsel pria itu.
Bocah kecil itu dapat melihatnya ketika mantel itu terayun ke belakang dengan mudahnya—saku mantel itu kosong. Tidak ada benda apapun kecuali kertas bon restoran dan kertas-kertas tak bernilai yang ia lihat. Tak ada benda seperti dompet di dalamnya, yang berarti bisa saja pria yang dibuntutinya itu meletakkan dompetnya di saku dalam mantelnya, yang berarti bocah kecil itu tidak bisa mengambilnya. Yeah, bocah kecil berusia 7 tahun itu memang lihai dalam mengambil dompet seseorang atau istilah awamnya mencopet namun ia cukup realistis bahwa ia masih belum bisa mengambil sesuatu di saku dalam mantel pria yang sepertinya memiliki berat tubuh 89 kg itu.
Satu,dua,tiga. Di dalam kepala, bocah itu menghitung, kapan waktu yang tepat ia akan mengambilnya. Tepat ketika pria di depannya berhenti menelpon seseorang dan sedang akan memasukkan ponsel itu ke saku mantelnya, bocah kecil itu mengunci pandangannya kemana pria itu memasukkan ponselnya.
Bocah kecil itu lalu menerjang pria bermantel itu. Beralasan bahwa bocah kecil itu sedang tergesa-gesa ke suatu tempat, ia meminta maaf lalu pergi dari sana dengan senyum penuh kemenangan tercetak di bibirnya.
Namun sepertinya senyum itu tidak berlangsung lama.
Jujur saja. Baru kali pertama ini bocah kecil itu menyentuh ponsel sebagus itu. Benda tercanggih yang pernah ia sentuh selama hidupnya sebelum ini adalah telpon tua dan remote televisi yang dulu ada di Panti Asuhannya.
Sebelum ia kembali ke markasnya dan teman-temannya, bocah kecil itu terhenti sebentar di sudut gang dan mengamati benda pipih kotak itu. Ia menyentuh semua tombol, dan akhirnya ia menyentuh tombol power yang membuat layarnya menyala.
Untungnya layar itu tidak dikunci. Bocah kecil itu hanya menggesernya dan layar pun terbuka. Ia membuka banyak aplikasi yang ada di dalamnya. Mulai dari kamera, pemutar musik, pemutar video..ia membuka semuanya.
Sesaat bocah kecil itu pun tersadar. Ia tidak bisa berlarut-larut dalam kesenangannya sendiri. Ia harus kembali ke markasnya.
Ponsel itu lalu ia masukkan ke dalam saku.
Langkah bocah kecil itu semakin bertambah cepat dan cepat—mengingat bagaimana reaksi teman-temannya nanti akan apa yang ia dapatkan.
Drrrt.
Ponsel itu tiba-tiba saja berbunyi, mengagetkan bocah kecil itu hingga langkahnya terhenti.
Ia mengambil ponsel itu dan seketika raut wajahnya terlihat kurang mengenakkan ketika ia membaca sesuatu dari layar ponsel tersebut.
“Bagaimana Tae? Sukses, bukan?” tanya namja tertinggi—yang menjadi pemimpin dari geng kecil itu.
“Tentu saja sukses. Kapan uri Tae pernah mengecewakan kita..” sahut namja yang lain, namja berparas elok, dengan usia yang tidak begitu jauh dari namja yang mereka sambut dengan wajah sumringah.
Keenam namja yang menunggunya di bawah besarnya bangunan jalan layang itu pun datang mendekat ke arah bocah kecil yang sedang membawa ponsel di tangannya itu.
“Yaa! Kali ini kamu membawa apa, Tae?” tanya seseorang yang baru saja melakukan penyambutan dengan cara salto ke arah bocah kecil itu.
Bocah kecil dengan nama Taehyung itu tak menjawab—hanya bisa mengacungkan sebuah ponsel ke arah mereka. Raut wajahnya sangat berbeda dengan teman-temannya yang lain. Tak nampak raut bahagia dari wajahnya sama sekali. Ia terlihat murung dan bingung.
“Biarkan kulihat, Hyung!” Saat salah satu temannya yang paling kecil berusaha merebut ponsel itu dari tangan Taehyung, Taehyung menarik tangannya dan menjauhkan jangkauan tangan temannya dari ponsel itu. Hal itu lantas membuat temannya heran.
Semua tampak terdiam. Baru kali ini Taehyung bersikap seperti itu. Saat itulah Taehyung berusaha memanfaatkan momen itu untuk mengatakan sesuatu yang sedari tadi mengganjal pikirannya.
“Guys.” Taehyung melihat ke semua wajah teman-temannya. “Kupikir kita harus mengembalikan ponsel ini ke pemiliknya.” Lanjutnya.
“Wae??” tanya namja berkulit pucat dengan tinggi lebih pendek sedikit dari Taehyung.
“Pemilik ponsel ini sedang dalam situasi kurang baik dan ia membutuhkan ponsel ini untuk tetap bersamanya.”
“Maksudmu? Yaa. Sejak kapan kau memiliki rasa kasihan pada mangsa kita Taehyung-a. Ia orang yang kaya. Aku yakin ia bisa membeli ponsel seperti ini lagi.” Sahut namja yang paling tinggi sambil tetap mengulum permen bertangkai di tangannya.
“Tapi tidak untuk saat ini.” Tambah Taehyung. Ia lalu menekan tombol power dan memperlihatkan sebuah pesan yang membuat semua teman-temannya bingung. “Bacalah..dan putuskan apakah kalian masih setega itu untuk tidak mengembalikannya.”
Namja berkulit putih terlihat memiringkan kepalanya dan memasang wajah berpikir. “Mmm...Kali ini sepertinya kita kurang beruntung, guys.”
“Yeah..” sahut namja berparas cantik.
“Jaehyuk-a. Aku tahu kau mungkin tidak merasakannya..Namun kumohon. Bisakah kau melakukan sesuatu? Sepertinya mereka mulai mendengar tentang penelitian kita dan menginginkan produk rahasia itu..dan kedua anakku terancam keselamatannya...” namja terkecil mengeja pelan pesan itu. Yang lain tetap diam—mencerna isi pesan itu dan berpikir apa yang harus mereka lakukan.
“Taehyung-a. Kau masih hafal dengan wajah pria itu, kan?” tanya namja tertinggi yang sepertinya ketua dari geng kecil itu.
Taehyung mengangguk dan ia tersenyum tipis, karena pertanyaan ketuanya itu berarti satu baginya. Ia harus mengembalikannya.
“Yeah kau harus mengembalikannya.” Sahut namja dengan kulit agak sawo matang. Yang lain juga mengangguk.
Taehyung pun berbalik dan saat itu juga ia terkejut. Karena ketika ia berbalik, ia dapat melihat seorang pria bermantel hitam sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
“Ndae, aku masih ingat wajahnya. Dan orang itu kini sedang memandangku.”
TBC
Maaf update yang lama...Karena hal ini dan itu, nggak tau kenapa nulis sechapter aja bisa 3 hari lamanya -_- dan maaf aku nulis ini sebisaku, nggak begitu merhatiin faktor bahasa tapi semoga kalian bisa memakluminya :'
Anyway, semoga kalian suka.
Komen dan like, yes?!
No? okay author sedih. Jangan pasif plis :’
Ohya. Geng kecil itu kalian udah tau siapa kan ya.. Di chapter2 sebelumnya mereka udah keluar kok. Tapi versi dewasanya. Hehe
Flashback dilanjutkan besok ya.
Ppyong~!