Cheo-sarang (Cinta Pertama)
Semuanya seakan bukan sebuah kebetulan bagi Jihye. Ia yakin, dipertemukannya dirinya kembali dengan Luhan, pasti ada alasan di balik semua itu. Tuhan tidak tidur, dan semua takdir yang seperti cerita dongeng ini, pasti akan membawanya ke suatu ujung jalan dari semua jalan-jalan terjal yang telah dan akan Jihye lalui.
Taehyung pun berbalik dan saat itu juga ia terkejut. Karena ketika ia berbalik, ia dapat melihat seorang pria bermantel hitam sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
“Ndae, aku masih ingat wajahnya. Dan orang itu kini sedang memandangku.”
“Oops...” latah teman Taehyung yang memiliki kulit pucat.
“Guys..Lari!” instruksi sang ketua geng pada semua anggotanya.
Mereka lalu berlari begitu kencang. Tertangkap sedang mencuri barang seseorang bukanlah yang bagus bagi mereka. Mereka takut jika mereka harus kembali ke Panti Asuhan lagi, mereka tidak ingin terus menerus berada di sana, tempat yang bagi mereka membosankan. Padahal umur mereka masih sangat muda. Namun mereka memilih untuk berada di luar rumah Panti yang hangat dan mengembara meski harus hidup dan makan seadanya. Namun dengan begitu, mereka merasakan kepuasan dalam hidup mereka. Berpetualang, mengembara, dan berlari di setiap sudut kota Seoul.
Setelah mereka sampai agak jauh dari tempat sebelumnya, mereka kelelahan lalu berhenti. Nafas mereka tidak teratur dan beberapa menyangga tangan mereka ke lutut.
Sang ketua pun mulai menatap ke anggotanya dan raut wajahnya mulai panik tatkala ia tidak dapat melihat salah satu anggotanya, Taehyung.
“Ya..Yeddera..Kita harus kembali..”
“Wae?”
“Taehyungie eobso.”
Taehyung menjulurkan tangan—mengembalikan ponsel itu ke sang pemilik aslinya.
“Jika mau meminjamnya dariku, seharusnya kau bilang saja.” Pria bermantel hitam itu lalu tersenyum. Yang bagi Taehyung adalah keanehan. Sejak awal ia mengambil ponsel itu dari saku mantel pria tsb, Taehyung merasakan keanehan. Jika memang pria itu menyadari kalau bendanya tercuri, mengapa bukannya segera menangkapnya dan atau mungkin memanggil polisi atau berteriak atau apa, pria itu membuntutinya dan saat ini tersenyum di depan hadapannya mengatakan sesuatu yang sama sekali tanpa amarah.
“Maaf, ahjussi. Saya tidak akan melakukannya lagi.” Ucap Taehyung sopan, membungkuk ke arahnya dan berniat untuk pergi setelah ini.
“Kau berniat akan pergi setelah ini? Padahal aku masih ingin berbincang banyak denganmu. Kau pasti telah membuka semua isi ponsel ini dan bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi begitu saja..”
Taehyung berniat, setelah mengembalikan ponsel itu ia akan lari seperti teman-temannya. Namun ucapan pria di depannya ini rupanya menarik perhatian bocah kecil itu. Meski ia sedikit terkejut mendengar ucapan pria di hadapannya yang berkata ia tidak akan membiarkannya pergi.
“Kamu sudah tahu terlalu banyak..”
Perasaan Taehyung atau bagaimana, ia sama sekali tidak merasakan hawa menyeramkan dari pria di hadapannya itu. Meski begitu ia tetap berhati-hati karena bagaimanapun juga ia berpikir bahwa yang tampaknya ramah bukan berarti tidak memiliki niat buruk padanya.
“Apakah hidup di jalanan seperti ini lebih menyenangkan daripada hidup di Panti Asuhan?” tanya pria itu pada Taehyung yang kini terkejut.
“Ndae??”
“Akhir-akhir ini Pemerintah Kota sedang menggencarkan penyisiran jalan untuk mengurangi jumlah anak jalanan dan memasukkan mereka ke Panti Asuhan..Ini sangat mengherankan kalian bisa lolos..Bukankah itu membuktikan bahwa kalian sangat tidak ingin tinggal di panti dan memilih untuk menjadi anak jalanan..”
“Bagaimana ahjussi bisa tahu kalau sebelumnya saya berada di panti?” tanya Taehyung—dengan polosnya, masih dengan sikapnya yang santun.
Pria di hadapannya itu lalu tertawa pelan, membuat taehyung semakin bertanya-tanya.
“Sebenarnya ini hanyalah dugaan asal ku saja...Tapi sepertinya memang benar?” Pria bermantel itu lalu duduk di sebuah tepian jalan sepi di bawah jembatan layang itu. “Kalian berpakaian cenderung dengan model yang sama, hanya berbeda warna saja. Dan itu merupakan budaya dari sebuah Panti Asuhan. Untuk menghindari kecemberuan salah satu anak, anak-anak panti memakai baju yang cenderung di kelas dan model yang sama.”
Taehyung berkedip.
“Kalian pasti suka berpetualang...” Pria bermantel hitam terlihat menerawang jauh, meski di depannya hanyalah sebuah tembok kusam berlumut dari sebuah bangunan jembatan layang.
“Dunia di luar sana masih sangat luas, Taehyung-a. Ada sebuah dunia yang mungkin tak terduga bagimu, yang kamu pikir tidak mungkin ada, tapi kenyataannya memang ada.”
“Kamu juga telah membaca semua smsku, bukan? Bagaimana menurutmu?”
“Ahjussi..Aku tidak—“
“Kamu telah membaca semuanya.” “Dengar, aku tidak marah jikapun kamu telah membaca semuanya..karena..” pria itu menjeda sebentar dan melihat ke arah Taehyung yang berdiri di sampingnya. “Aku bisa membuatmu lupa akan sms yang kau baca barusan.”
Taehyung terlihat terkejut—apalagi tatkala ia melihat pria di depannya itu sedang berusaha mengambil sesuatu dari sakunya.
“Tapi itu jika kau memilih untuk melupakannya.”
Taehyung terus melihat ke arah tangan pria itu—yang masih saja terdiam di dalam saku.
“Karena kamu juga bisa memilih untuk tahu lebih banyak akan hal itu Taehyung-a.”
Kini pria tu berdiri, mengangkat kedua bahunya dan menurunkannya kembali.
“Hidup adalah pilihan. Kau harus menentukan nasibmu sendiri atau orang lain yang akan menentukan nasibmu.”
Taehyung kemudian melihat pria di depannya itu mengeluarkan sebuah botol obat yang tak pernah Taehyung pernah lihat sebelumnya. Botol transparan dengan tutup botol berwarna silver.
Taehyung mengingat-ingat kembali, bagaimana isi dari pesan yang ia baca pada ponsel pria di depannya itu.
Yeah, Taehyung memang bukanlah seorang laki-laki kecil yang menurut dan memilih hidup nyaman di dalam panti asuhan. Jika saat itu memang sudah ada sistem pembagian seperti Divergent, mungkin Taehyung akan masuk ke dalam Dauntless meskipun ia juga memiliki kecenderungan ke Erudite. Taehyung terkenal tidak bisa diam. Panti Asuhan mengalami banyak masalah karena ulahnya dan teman-teman satu geng nya tentu saja. Namun kadang polah banyak mereka juga membawa kebermanfaatan untuk panti mereka. Seperti ketika TV Panti mengalami kerusakan, atau ketika mereka harus memperbaiki atap rumah. Intinya, mereka hiperaktif dan paling susah untuk disuruh duduk diam. Meskipun hanya selama beberapa menit saja. Mungkin mereka hanya diam ketika tidur saja.
Taehyung mengangkat kepalanya, berusaha melihat ke wajah ahjussi itu.
“Aku ingin tahu lebih banyak lagi.” Ucapnya dengan penuh keyakinan. Pria itu tampak tertegun, sudut bibirnya tertarik ke atas.
END OF THE FLASHBACK
Kedua sudut bibir Taehyung tertarik ke atas mengingat saat-saat itu. Kini, ia memancing ponsel yang berada dalam saku celananya.Tangannya sejenak memainkan ponsel itu, memutar ponsel yang berada dalam genggamannya. Hanya dengan memikirkannya saja Taehyung terlihat terkekeh. Ia memiringkan kepalanya, bertanya-tanya bagaimana isi pesan balasan yeoja yang akan ia beri pesan singkat itu nanti.
Pesan pertama dari 3 pesan yang akan kukirim padamu.
YA Tuan Putri yang merepotkan! Sudah terbangun? Luhan tidak terlihat di sekolah saat ini. Apa dia sedang bersamamu?
Ia mengetik dengan kecepatan kilat lalu mengirimnya.
Tak ada balasan.
Ia lalu mengetik lagi.
Pesan kedua dari 3 pesan yang akan kukirim padamu.
YA Yoo Jihye. Eodie?
Kembali tidak ada balasan. Padahal Taehyung telah cukup menunggu lama pesan itu untuk dibalas.
Ia segera terbangun dari posisi duduknya tanpa sedikitpun mengubah raut khawatir yang tercetak jelas di wajahnya.
Taehyung berusaha untuk memanggil Jihye kali ini. Kakinya tak bisa berhenti membuatnya terlihat mondar-mandir ketika berusaha menghubungi Jihye.
Dan semua usahanya itu selali berakhir dengan panggilan yang tak terbalas.
Segera saja Taehyung bergerak menuju ke pintu yang akan membawanya keluar dari atap.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Setelah perjalanan kurang lebih setengah jam, Luhan akhirnya sampai di kamar dimana Jihye dirawat.
Ia memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah hari ini. Meskipun ia tahu hal itu sangat bukan dirinya tapi ia ingat janji dan tanggung jawabnya untuk melindungi Jihye—yang kini juga terancam dalam bahaya karena dirinya. Ia tidak ingin lagi ada korban karena dirinya. Yang mungkin perasaan bersalah dan tanggung jawab itu sdikit diselimuti oleh rasa lain—perasaan yang mulai jelas terlihat namun Luhan mulai mencoba mengelak lagi dan mulai kurang yakin..Apakah dia benar-benar menyukai Jihye?
Kini ia melihat ke arah jendela pintu dan dapat dilihatnya ruangan terlihat kosong. Tanpa ada tanda kehidupan sama sekali. Tidak tampak di matanya sosok Jihye sedikitpun.Ia mulai membuka pintu dengan panik dan melihat keadaan sekitar. Tidak ada Jihye, tidak ada sosok yang ia cari.
Luhan pun memancing ponselnya dari saku mantel hangatnya. Mencoba menghubungi Jihye—yang selalu berakhir dengan suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak bisa dihubungi.
Ia menghubunginya tujuh kali..Ah tidak, tiga belas kali.
Kali ini Luhan memutuskan untuk keluar dari kamar itu dan mencari sosok Jihye di seluruh penjuru Rumah Sakit.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Mungkin jika Jihye adalah perempuan pada umumnya, dengan kejadian seperti tadi malam, ia seharusnya berada di atas kasur, memikirkan kenapa hidupnya begitu aneh..Atau memikirkan bagaimana hidupnya terasa seperti sebuah lelucon..Tapi kita sedang berbicara tentang Jihye sekarang. Meski jelas ia shock, bingung, sedih, antusias menjadi satu, ia memilih untuk tidak terlarut-larut dalam emosinya dan segera mencari tahu.
Tak ada yang bisa menghentikan Jihye untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan saat ini yang ia inginkan adalah kejelasan tentang hidupnya.
Dengan niat itu, terlihatlah Jihye turun dari sebuah taxi berada di depan sebuah rumah kecil yang sudah lama tidak terhuni. Rumah yang berada di tengah-tengah perjalanan rumahnya ke sekolahnya ketika ia masih berada di sekolah dasar. Masih berada di kompleks yang sama dengan rumahnya, namun berjarak kurang lebih 500 m dari rumahnya.
Setibanya di depan rumah itu, Jihye sedikit mendongak, untuk mendapatkan akses pandang akan rumah itu lebih luas lagi karena topi warna hijau army yang ia gunakan sedikit membatasi akses pandangnya.
Jihye melangkah maju dan berusaha membuka pagar besi kecil yang merupakan akses utama dari rumah itu.
Entah Jihye beruntung atau bagaimana, pagar besi itu tidak dikunci. Anehnya, Jihye tidak merasakan tangannya berkontak dengan debu ketika membukanya padahal rumah itu sudah kosong untuk waktu bertahun-tahun lamanya..Mungkin ada penghuni baru? Batin Jihye. Ia kurang begitu tahu karena jalan yang ia gunakan untuk berangkat ke sekolahnya yang saat ini berbeda dengan jalan yang ia gunakan untuk berangkat ke sekolah dasar sehingga ia jarang sekali—nyaris tidak pernah—lewat rumah ini.
Ia sempat menghela nafas untuk sejenak, menyiapkan diri jika saja sebuah ingatan akan terbuka lagi untuknya.
Memberanikan diri, Jihye menekan bel pintu dan beberapa menit kemudian seseorang membukakan pintu itu untuknya.
Luhan terus melaju menggunakan SUV hitamnya. Setelah melihat ke dalam kamar inap Jihye, Luhan tidak dapat menemukan tas Jihye ataupun benda-benda milik Jihye kecuali beberapa makanan yang tersebar di atas meja. Hal itu membuat Luhan berkesimpulan bahwa mungkin saja Jihye telah charge off dari rumah sakit dan kembali ke rumahnya. Dan ketika Luhan menanyakannya ke pihak rumah sakit, Jihye memang telah meminta charge off lebih awal.
Kecepatan laju mobil Luhan terus bertambah, berbeda dengan kecepatan ketika ia ke Rumah Sakit yang cenderung lebih stabil. Kecepatan laju mobilnya kemudian menjadi lebih pelan tatkala ia mulai memasuki kompleks perumahan dimana Jihye tinggal. Kembali, Luhan mencoba untuk menelpon Jihye—hanya untuk kembali mendengarkan suara dari operator yang mengatakan bahwa nomor yang sedang ia tuju tidak dapat dihubungi.
“Jihye-a..Jebal..” ujarnya dengan suara sedikit bergemetar. Ia khawatir jika mungkin saja Saturnus melakukan sesuatu terhadap Jihye, dalam keadaan kesehatan Jihye yang kurang begitu stabil.
Pada akhirnya, Luhan sampai di depan rumah Jihye. Ia menekan bel yang berada di dekat gerbang dan semua usahanya menekan bel sepertinya bernasib sama seperti usaha dirinya menelpon Jihye. Tak ada respon.
Luhan terlihat panik, peluh keringat mulai bercucuran dari dahinya. Ia tidak ingin berburuk sangka bahwa mungkin saja Saturnus benar-benar melakukan sesuatu pada Jihye. Tapi mengapa mereka membawa tas Jihye?batin Luhan—karena tas Jihye tidak ada dalam ruang inap Rumah Sakit tadi. Kemudian Luhan melihat ke arah gerbang kayu yang berembun di depannya itu. Ia melihat ada bagian yang telah tersentuh—karena tidak ada embunnya. Membuatnya yakin bahwa Jihye telah berada di dalam rumahnya.
Mungkinkah Jihye kemudian pergi ke suatu tempat? Minimarket, mungkin?
Luhan terus memikirkan berbagai kemungkinan. Ia sempat memikirkan bahwa mungkin saja Saturnus membawa pergi Jihye ketika ia sedang mencoba membuka pintu gerbangnya tapi jika memang begitu seharusnya tasnya terjatuh dan pintu gerbang tidak tertutup seperti ini, bukan? Luhan melihat ke sekeliling dan melihat ada sebuah cctv dekat situ membuatnya yakin bahwa Jihye tidak kembali di’bawa’ oleh Saturnus. Karena Saturnus selalu bekerja dengan bersih dan mereka selalu menghindari cctv—pun tidak ada tanda bahwa cctv telah dipiloks atau semacamnya.
Luhan tidak mengerti lagi. Ia kemudian mencari ke sekeliling, dengan keyakinan bahwa mungkin saja Jihye berada di dekat sini.
Luhan berharap seperti itu...Hingga pada akhirnya ponsel Luhan berbunyi.
Terdengar desahan dari mulut Luhan tatkala ia membuka bahwa itu hanyalah pesan dari Hyungnya yang sudah membuat moodnya pagi ini berantakan—Choi Siwon.
Blackhawk.net/Permintaan-Maaf-untuk-Luhan
Unduhlah aplikasi yang ada di link itu—sebagai permintaan maaf untuk uri Luhannie~
Luhan mendesis. Ia sedang tidak ada waktu untuk itu. Dengan malas ia membuka link itu dan seketika sebuah aplikasi terdownload. Sebuah aplikasi bernama ‘Lokasi Jihye’.
Matanya melebar. Segera ia membuka aplikasi itu—yang akhirnya menuntunnya ke arah dimana Jihye berada.
Karena jarak yang sepertinya dekat, Luhan memilih untuk berlari.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Jihye merapatkan mantelnya, syal yang sepertinya mulai terasa longgar ia kencangkan. Angin yang berhembus semakin meyakinkan Jihye bahwa musim dingin sebentar lagi akan datang. Ia terus menerawang jauh ke depan, terkekeh lalu tersenyum masam.
“Maldo andwae..” batinnya.
Jihye masih sangat kecil waktu itu. Usianya masih 8 tahun. Usia yang masih sangat rentan untuk mengalami sebuah hal yang tak seharusnya terjadi padanya dan mendengar apa yang ia belum siap untuk ia dengar.
“Semua orang tahu, ibumu adalah wanita simpanan. Kau tak akan pernah memiliki seorang ayah!” kakak tingkatnya dan kedua teman yang ia anggap teman mendorong tubuh kecilnya ke tanah taman kota. Debu tanah lapang kosong di musim panas berhamburan seiring dengan terjatuhnya sosok kecil itu ke tanah.
Jihye lalu berdiri.
“Ayah sudah meninggal. Ibuku bukan wanita simpanan!” Jihye terbangun dan mendorong yeoja kecil yang telah mendorongnya tadi.
“Ya. Kau berani melawanku?”
Dan Jihye terdorong ke tanah lagi. Jihye sudah terbiasa dengan ini dan anehnya ia tidak pernah mau mengalah. Jika Jihye hanya diam saja dan mengiyakan ucapan mereka mungkin Jihye sudah bisa pulang saat ini. Jihye menutup erat kedua kelopak matanya setelah terjatuh ke tanah karena tidak bisa melawan ketiga orang sekaligus sendirian. Ia sudah menduga, ketiga orang yang sedang menatapnya sinis saat ini akan menjambak rambutnya dan memaksa dirinya untuk berdiri.
Jihye terus memejamkan matanya—namun tidak ada yang terjadi. Hingga pada akhirnya ia mendongak dan seketika yang ia lihat adalah sebuah tangan terulur ke arahnya.
“Ya. Kau siapa? jangan ikut campur.”Sebuah tangan milik si pendorong meraih bahu milik namja kecil itu namun naasnya, ia tersandung dan terjatuh mengenai dua temannya yang lain.
“Aku tidak segan-segan untuk melawan perempuan jika memang mereka salah.” Jawab namja itu dingin—membuat ketiga yeoja kecil itu sedikit takut.
Namja kecil itu lalu membawa Jihye pergi dari sana. Namja dengan kulit putih seputih susu, wajah kecil dan perawakan kurus dengan tinggi sedikit lebih tinggi dari Jihye.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya namja kecil itu.
Jihye mengangguk, seraya ber-umm.
“Dimana rumahmu?” tanya namja kecil itu pada Jihye.
Jihye tidak menjawab pertanyaan namja itu—ia hanya menunjukkan tangannya ke suatu arah.
“Dekat dari sini?” tanya namja kecil itu lagi.
Jihye mengangguk lagi.
“Aku akan mengantarmu.” Ujar namja itu, menggandeng tangan Jihye dan berjalan menuju ke arah yang Jihye tunjuk tadi.
“Ah dwaesso” Jihye memberontak dan berusaha melepaskan tangannya dari namja kecil itu—dan berhasil. Kini namja kecil itu tak lagi sedang memegang tangan Jihye.
Kini langkah namja kecil itu terhenti. Ia berbalik dan menatap ke arah Jihye. Helaan nafas kemudian terdengar.
“Apakah aku terlihat membahayakan bagimu? Mereka akan mengganggumu lagi, aku sedang berniat baik padamu.” Ujar namja itu dengan nada meninggi.
Jihye melongo untuk sejenak dan saat itu pula namja kecil itu menggandeng tangannya lagi. Mereka berjalan bersama, dalam diam, hanya langkah mereka yang terdengar, dengan tangan namja kecil itu masih memegang erat tangan Jihye.
Dalam perjalanan, Jihye terus memandang wajah itu dari samping. Kulit putih, mata yang berwarna cokelat cerah, rambut yang basah karena keringat dan hidung yang sedikit bangir, ketampanan yang sudah terpancar meski umurnya masih 8 tahun saat itu.
Mereka benar-benar saling diam, kecuali jika namja kecil itu bertanya akan arah rumahnya, maka Jihye akan menjawab.
Ketika akhirnya sampai di depan rumahnya, Jihye berhenti melangkah. Namja kecil itu pun juga berhenti melangkah.
“Kita sudah sampai.” Ucap Jihye.
“Baiklah. Aku akan pergi.” Ujar Namja kecil itu lalu melepaskan tangannya. Yang anehnya, Jihye tidak melepaskannya. Ia kembali menarik tangan namja kecil itu. Namja kecil itu lalu membalikkan badannya.
“Jika mungkin kita bertemu lagi, bagaimana aku harus memanggilmu?” tanya Jihye padanya. “Kamu pasti punya nama kan?” lanjutnya.
Namja kecil itu terlihat terdiam sejenak. Lalu sebuah senyum yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan pada Jihye pun tampak.
“Namaku Luhan Xi. Kau bisa memanggilku Luhan saja, jika mungkin kita bertemu lagi.”
Jihye meletuskan gelembung lamunannya lalu mengambil nafas dalam. Banyak sekali ingatan yang terbuka pagi ini, yang di satu sisi membuatnya terkejut namun di sisi lain juga membuatnya lega. Lega karena ia akhirnya tahu akan sesuatu yang tak pernah ia tahu..padahal itu adalah sesuatu tentang hidupnya, kehidupannya.
“Cheo-sarang*, eoh?”
Seutas senyum terbentuk oleh bibir warna summerpink milik Jihye. Ia lalu turun dari tumpukan beton yang berada di pinggir tanah lapang itu, tempat dimana Jihye sedari tadi menghabiskan waktu untuk berada dalam ‘mind palace’nya dan menyusun semua puzzle yang terhilang menjadi satu.
Jihye lalu merogoh ke saku jeansnya, berusaha mengambil ponsel untuk menilik waktu. Setelah membuka layar yang terkunci, Jihye terkejut kan apa yang ia lihat pada layar ponselnya. 33 panggilan masuk yang tak terjawab.
Oleh dua kontak. 27 oleh Luhan dan 6 lainnya oleh Taehyung.
Angka terfantastis yang pernah Jihye dapatkan.
“Omo.Bukankah mereka berlebihan?” ujar Jihye dengan mata yang semakin basah. Jihye kemudian mengontrol emosinya karena ia takut jika ia mungkin saja akan menitikkan air mata jika bertemu dengan salah satu dengan mereka.
Kini ia terus menerus menarik nafas lalu menghembuskannya lagi—secara berulang kali seraya menutup kedua matanya.
Setelah merasa sedikit tenang, Jihye membuka matanya dan memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Langkahnya pun terhenti, tatkala ia melihat seseorang terlihat berlari ke arahnya.
Luhan berhenti berlari dan mulai berjalan pelan tatkala ia menemukan Jihye yang sedang menatapnya dengan pandangan kosong.
Sesampainya persis di depan Jihye, Luhan terdiam sejenak. Mengatur nafasnya yang sedikit tidak teratur. Emosinya campur aduk saat ini.
“Yoo Jihye..” Luhan melaseri Jihye dengan pandangan intens. “Tak bisakah kau diam saja di Rumah Sakit dan duduk manis di sana?! Kau tau apa yang telah terjadi pada dirimu bukan?!” ujar Luhan dengan intonasi meninggi. Kini ia menghempaskan nafasnya kasar. “Saturnus bisa datang kapan saja Jihye-a dan dengan bodohnya kamu—“
Bluk.
Sebelum Luhan bisa melanjutkan ucapannya, sebuah kepala terjatuh ke dada bidang milik Luhan. Ia tak menghiraukan sebuah topi hijau army yang saat ini terjatuh ke tanah ataupun ucapannya yang belum tuntas ataupun keterkejutannya hingga ponsel yang sedang ia pegang terjun bebas ke tanah, mengikuti nasib topi milik Jihye.
Sedetik setelahnya, terdengar suara tangisan Jihye tersedu-sedu.
Belum selesai Luhan terkejut karena kepala Jihye yang mendarat ke dadanya dengan mulus dan itu berhasil membuat jantung Luhan berpacu lebih cepat lagi, kini Jihye mengejutkannya lagi dengan menangis.
“Apa kau bertemu denganku hanya untuk memarahiku? YAA Neeoo nappeun-namja!!” ujar Jihye masih terus menangis—dengan memukul dada bidang milik Luhan. “Apa aku harus melaporkan semuanya padamu? Apa hidupku hanya tentang konflik tiada henti antara dirimu dengan Saturnus saja? Aku juga mempunyai urusan yang lain..”
Luhan hanya bisa diam, ia tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya terangkat ke udara, namun kemudian turun lagi. Ia terlalu bingung bahkan untuk bernafas. Dadanya terasa sesak.
Jihye benar—Jihye sepenuhnya benar.
Luhan mulai menyadari bahwa dirinya mulai sedikit mengatur. Meskipun ini semua demi keselamatan Jihye...
Rumus binomial, rumus asas black, rumus relativitas, rumus berat molekul, sejarah Korea di jaman Joseon, bagian dari organ jantung, Luhan bisa tahu semuanya dan bisa memecahkan semua soal tentang semua itu tapi ini...Hal seperti ini, Luhan buntu. Ia hanya bisa mengedipkan matanya seraya mengambil nafas yang terasa semakin berat baginya.
Sehingga Luhan hanya bisa membiarkannya. Tak lama, tangis Jihye pun mereda. Pukulan ke dada Luhan tak lagi terasa oleh Luhan.
Luhan lalu mulai menggerakkan tangannya ke arah punggung Jihye. Ia menelusupkan kepalanya ke samping kiri kepala Jihye—seraya membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Ullijima, Jihye-a. Jebal ullijima.”
Luhan tidak tahu lagi harus bagaimana namun ia menyadari satu hal.
Ia telah memarahi Jihye dan hal itu membuatnya menangis. Padahal, ia sama sekali tidak bisa mendengar Jihye menangis.
“Mianhae, eoh? Jeongmal mianhae.” Luhan berbisik lagi—hangat nafasnya menerpa tengkuk Jihye dan lembut suaranya menerpa gendang telinga Jihye, memenangkan Jihye hingga isakan itu terdengar semakin lirih.
Mereka tetap seperti itu selama beberapa menit. Jihye lalu melepaskan diri dari Luhan.
Ia berjalan menjauh.
Luhan tak bisa membiarkan Jihye pergi sendiri begitu saja. Ia lalu meraih pergelangan tangan kecil milik Jihye begitu kencang—membuat Jihye menengok ke arah Luhan.
Sekejap Jihye terdiam sesaat melihat sikap Luhan. Sikapnya yang seakan-akan mengucapkan “Kau akan pergi tanpaku, lagi?”
Dalam hitungan detik, topi warna hijau army itu sudah berada di kepala Jihye lagi. Luhan memasangnya ke kepala Jihye dengan sedemikian rupa sehingga wajah Jihye tidak begitu terlihat.
Jihye cemberut mengingat kemungkinan Luhan tidak ingin melihat wajah jeleknya setelah menangis karena memakaikan topi itu pada Jihye—dimana ujung topi itu sedikit menutupi wajahnya. Padahal alasan sebenarnya Luhan melakukannya adalah ia tidak tega melihat wajah Jihye yang menangis. Seperti ada sesuatu yang menggigit hatinya ketika ia melihat Jihye menangis. Entah karena apa, ia menyadari ia sedikit sentimental jika hal itu berkaitan dengan Jihye.
“Seoul Plaza. Sebagai permintaan maaf.” Ujar Luhan dingin tanpa memandang ke arah Jihye. Kini dirinya sedang menautkan tangannya ke tangan Jihye dan membawanya ke mobil yang ia parkir di depan rumah Jihye.
Jihye teringat kembali—akan ingatan pertama kali ia bertemu dengan Luhan.
Mereka berjalan bersama. Luhan berada di depan menuntunnya. Luhan yang terus memandang ke depan dengan tubuhnya yang tegak seraya tetap memegang tangan Jihye. Pegangan tangan yang begitu erat dan memberi tangan Jihye sebuah kehangatan unik. Jihye terus memandang side profile dari Luhan. Meski mereka saling diam namun Jihye dapat merasakan kenyamanan itu, rasa nostalgic, dan sensasi aneh yang memenuhi perutnya.
“Oh, shit..Aku jatuh cinta lagi. Pada orang yang sama. Dan dia adalah cinta pertamaku.” Batin Jihye dalam hati seraya menundukkan kepalanya ke tanah karena ia tidak ingin wajah memerahnya itu terlihat oleh Luhan.
“Mianhae Yoo Jihye..Aku benar-benar tidak bermaksud—“
“Dwaesso.” Jihye menghentikan langkahnya sejenak yang membuat Luhan juga berhenti melangkah. Segera, Jihye melepas topi hijau warna army nya lalu meletakkannya ke kepala Luhan. “Lihatlah, aku sudah kembali tersenyum. Kau tak perlu menggunakan topi ini lagi untuk menutupi wajah sedihku, Luhan-a.”
Luhan lalu tersenyum ke arah Jihye. Mereka saling bertukar senyum dan bertukar tatap. Untuk waktu yang sedikit lama.
Jihye yang merasa seakan wajahnya terbakar pun mengalihkan topik pembicaraan. “Atau jangan-jangan kau menggunakan topi itu untuk menutupi wajah jelekku, Luhan-a?” lanjut Jihye setelah membersihkan tenggorokannya dengan berdeham. “Ah mengapa aku harus mengatakannya..Padahal aku hanya ingin mempercayai alasan pertama...” lanjut Jihye lalu tertawa rikuh.
Luhan tertawa, menunjukkan sederetan gigi putihnya—lantas membuat Jihye terkejut untuk beberapa detik lalu ikut tertawa.
Sepertinya membuat Luhan tertawa sudah menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi Jihye. Ia begitu senang membuat bisa Luhan tertawa.
“Tapi memang karena alasan pertama, kok.” Jelas Luhan, seraya mengelus tengkuknya dan melihat ke arah lain—yang malah membuat Jihye menjadi terdiam.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Jihye terus menunduk ke bawah. Saat ini, dirinya sedang berada di samping jok kemudi Luhan. Ia malu, mengingat baru saja ia menangis, di depan Luhan. Kadang Jihye tersenyum sendiri, mengingat apa yang telah dirinya dan Luhan lakukan tadi. Akan tetapi most of time, Jihye menundukkan kepalanya ke bawah, masih malu akan kejadian di lapangan tadi. Ketika ia menangis tersedu-sedu di depan Luhan dan langsung mengambrukkan kepalanya ke dada milik Luhan secara tiba-tiba.
Jihye menangis bukan hanya karena Luhan memarahinya, bukan semata-mata karena hal itu. Ia memang ingin menangis sejak dari tadi. Bersikap sok kuat, meyakinkan diri bahwa dirinya tidak akan menangis dan sebagainya namun pada akhirnya ketika ia melihat Luhan, bulir-bulir air mata itu langsung menetes dari kedua matanya. Ingin rasanya Jihye menceritakan saja semuanya pada Luhan, bahwa Luhan adalah cinta pertamanya, bahwa sebenarnya ayahnya belum meninggal, bahwa ia juga sudah tahu siapa ayahnya, dan bahwa Jihye bertemu dengan Luhan lagi setelah pertemuan pertama itu..karena ayah mereka berdua bersahabat.
Semuanya seakan bukan sebuah kebetulan bagi Jihye. Ia yakin, dipertemukannya dirinya kembali dengan Luhan, pasti ada alasan di balik semua itu. Tuhan tidak tidur, dan semua takdir yang seperti cerita dongeng ini, pasti akan membawanya ke suatu ujung jalan dari semua jalan-jalan terjal yang telah dan akan Jihye lalui.
“Superman 4 sebagai permintaan maaf..Eotte?” tanya Luhan, berusaha mengambil topik pembicaraan.
Belum berubah. Batin Jihye. Luhan yang bicara seperlunya memang belum berubah.
“Ummm baiklah. Aku juga ingin menontonnya lagi.” Jawab Jihye pada Luhan, seraya mengutas senyum.
“Bagaimana denganmu? Kamu tidak apa-apa menonton film itu lagi?” Kali ini Jihye yang bertanya.
Luhan mengangguk-angguk pelan, dengan masih terfokus pada mengemudinya. “Gwaenchana. Aku memang menyukai film itu.”
“Jinjjha? Kamu sedang tidak berbohong, kan?”
“Wae?”
“Aneh saja. Seseorang sepertimu bisa menyukai sesuatu selain buku.”
“Wae? Tentu saja bisa.”
Kemudian diam.
Jihye mendecakkan lidahnya.
“Wae?” tanya Luhan, melihat sikap aneh pada Jihye.
“Baguslah jika kau bisa menyukai hal lain selain buku..” jawab Jihye seraya terkekeh kecil.
Luhan menatap Jihye dengan pandangan tidak mengerti lalu kembali menyetir.
Jihye hanya bisa tersenyum melihat sikap Luhan, lalu melihat ke arah pemandangan di balik kaca jendela mobil. Melihat betapa pepohonan yang biasanya berdaun hijau kini berubah menjadi cokelat. Namun hal itu tidak mengubah fakta bahwa ia menaydari Luhan yang terus menengok ke arahnya.
“Ada yang ingin kau tanyakan?” Jihye menengok ke arah Luhan.
“Ah..” Luhan memiringkan kepalanya. “Apa benar tidak apa-apa bagimu untuk keluar dari Rumah Sakit sedini ini?” tanya Luhan pada akhirnya. “Kudengar keadaanmu tadi malam kurang begitu baik..”
Jihye menengok ke arah Luhan.
“Apa mungkin semua yang telah kau lalui akhir-akhir ini membuatmu shock? Kau tahu, mafia-mafia seperti Saturnus..atau kekuatanku yang mungkin membuatmu—“
“Gwaenchana. Sepertinya aku hanya kelelahan dan anemia saja. Kkeokjonghajima.”
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Jihye dan Luhan berjalan beriringan sesampainya di Seoul Plaza. Mereka terus saja saling diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Luhan yang memang lebih suka untuk diam dan Jihye yang selalu mengamati Luhan dan selalu berakhir dengan tersenyum tipis setelah melihat Luhan.
Setelah sampai di dalam bioskop, mereka lalu membeli tiket dan masuk ke dalam bioskop karena kebetulan mereka membeli beberapa menit tepat sebelum filmnya akan tayang.
Mereka lalu duduk di 4 kursi dari belakang dan lagi-lagi saling diam—dimana Jihye masih saja mengamati Luhan yang sedang membaca suatu buku motivasi di tangannya.
Sesaat, Luhan menyadari bahwa Jihye sedang melihat ke arahnya.
Ia mulai salah tingkah, mengalihkan perhatiannya dari buku sejenak. “W-wae?”
Jihye kemudian terlihat mengedipkan matanya, tersadar bahwa Luhan menyadari ia sedang diamati olehnya.
“Umm..anii..geunyang..Sepertinya hanya kamu di ruangan ini yang sedang membaca buku ketika menunggu sebuah fillm untuk tayang...” jawab Jihye.
Luhan lalu melihat ke arah sekeliling dan mereka sedang terlihat tertawa, bercanda dan berbicara dengan seseorang di sampingnya.
Dan kebanyakan dari mereka adalah sepasang kekasih.
Luhan tidak bisa memungkirinya, kenyataan bahwa secara diam-diam dirinya dan Jihye telah memasuki sebuah hubungan spesial antara namja dan yeoja. Dirinya dan Jihye, ia menyadari bahwa hubungannya dengan Jihye tidak biasa, setelah mereka berdua menyatakan perasaan mereka beberapa hari yang lalu.
“Tentu saja aku tidak keberatan.”
“Malah aku menyukainya.”
“Tempat ini pasti adalah tempat yang bersejarah bagi kita.”
“Tempat ini telah menjadi tempat dimana hubungan pura-pura kita berakhir dan tempat dimana..”
“...hubungan tidak pura-pura kita dimulai.”
Luhan merasa malu, mengapa saat itu ia bisa mengatakannya dengan mudah seperti itu. Ia memejamkan mata ketika mengingatnya, dan hal itu lah yang membuat dirinya sedari tadi menutup wajahnya menggunakan buku yang ia pegang. Karena semakin Luhan berpikir tentang apa yang sedang ia lakukan dengan Jihye, semakin Luhan sadar bahwa semua ini terasa seperti...
Date? Batin Luhan bertanya-tanya.
“Mengapa kau mengajakku kemari?” tanya Jihye, melihat tatapan kosong milik Luhan.
Luhan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk menutup bukunya rapat-rapat.
“Karena kamu terlihat menikmatinya...waktu itu..waktu aku tidak sadar berada di sampingmu.” Jawab Luhan dalam hati. Ia ingin menjawab itu. Namun sepertinya ia belum seberani itu. Mungkin saat kejadian di belakang sekolah ia terdengar begitu berani, mengatakan tentang perasaannya pada Jihye yang sebenarnya dan segala macam hal namun beberapa waktu Luhan tidak seberani itu untuk menunjukkan afeksinya pada Jihye.
Kini, yang keluar adalah teori nonsense yang ia dapat dari sebuah buku.
Indeed, a nerd.
“Karena kesehatan jiwa akan mempengaruhi kesehatan fisik. Jika seseorang bahagia, akan memberikan kencenderungan baginya untuk terus sehat. Alam bawahnya pun secara tidak sadar akan membuat dirinya akan terus sehat (dalam keadaan fisik) karena ia ingin terus melalui kebahagiaan tersebut tanpa sebuah sakit fisik. Bahagia juga akan meningkatkan sebuah hormon yang akan mempengaruhi kesehatan fisik kita, selain itu—“
Sebelum Luhan bisa merampungkan kalimatnya, ia dapat mendengar Jihye yang terkekeh geli dan melihat ke arahnya.
“Wae?”
“Ani.”
Mereka lalu diam—lagi.
Luhan masih ingat, saat ia tidak sengaja melihat Jihye berada di bioskop saat itu dan secara kebetulan mereka duduk bersampingan.
Luhan sempat mengutuk akan nasibnya dan hanya bisa geram tatkala saat itu Jihye menonton film itu dengan begitu heboh. Membuat Luhan tidak fokus. Namun hal itu juga yang membuat dirinya memperhatikan Jihye setiap saat ketika mereka menonton film. Jiye pasti begitu menyukainya, menonton film seperti ini. batin Luhan saat itu. Wajar. Meski Luhan datang terlambat ke dalam bioskop, bagaimana bisa Jihye tidak menyadari keberadaannya. Membuat Luhan menaruh sebagian besar perhatiannya pada Jihye, bukannya film yang sebenarnya ingin sekali ia lihat.
Jihye melihat ke arah Luhan sambil mengukir senyum di wajahnya. “Kamu selalu bicara seperlunya Luhan-a. Dan sekalinya kamu berbicara, bicaramu cepat sekali. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau sebenarnya ingin berbicara sedari tadi?”
Luhan hanya bisa diam, memandang ke arah Jihye. Menelusuri paras cantik Jihye meskipun dalam ruangan yang minim pencahayaan.
Dalam hati, Luhan membenarkan hal itu.
Ia tidak menyangka Jihye memiliki pemikiran itu tentang dirinya.
Hal itu tak khayal mengingatkannya pada seseorang yeoja yang dekat dengannya dua tahun yang lalu...Dadanya terasa sesak...Seseorang yang ia kasihi dua tahun yang lalu, seseorang yang menemani masa remajanya, telah tiada karena dirinya dan kini ia bersama yeoja lain.
Dadanya terasa seperti diremas-remas. Karena semakin ia memiliki rasa terhadap Jihye, semakin ia merasakan rasa bersalah itu menjalari tubuhnya.
Ia berniat untuk melindungi Jihye, dengan tetap berada di dekatnya. Namun bisa apa jika rasa cintanya pada Jihye semakin tumbuh dan tumbuh setiap harinya?
Apalagi jika Jihye begitu mengingatkannya pada yeoja dua tahun yang lalu..
Sesaat, sebuah pemikiran hadir dalam benak Luhan.
Pemikiran bahwa ia harus segera membasmi rasa cintanya pada Jihye yang semakin menyebar begitu ganas.
Sesaat, Luhan memikirkan sebuah pemikiran bahwa ia bisa melindungi Jihye tanpa harus menyukainya...
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Jihye memang menikmati film yang sedang ditayangkan. Tawa, sedih, marah, emosi itu berhasil lolos dari dirinya. Namun di sela-sela saat itulah ia dapat memperhatikan wajah Luhan yang selalu menatap kosong ke arah layar bioskop. Sehingga beberapa waktunya ia habiskan untuk mengamati Luhan—namja misterius yang entah mengapa membuat Jihye ingin selalu berada di dekatnya.
Tak henti-hentinya, Jihye memikirkan tentang berbagai macam hal terkait dirinya dengan Luhan.
Dua manusia dengan kepribadian yang berbeda namun harus bertemu dalam satu takdir yang sama . Kami berdua layaknya yin dan yang. Aku dan Luhan memiliki sifat yang berbeda. Diriku begitu berisik dan banyak berbicara sedangkan Luhan adalah seseorang yang misterius dan dingin namun kadang bisa sangat menyebalkan. Namun kami berada dalam satu jalan yang sama, takdir yang sama, kapal yang sama.
Setitik air mata tergulir di pipinya tatkala ia mengingat akan sesuatu yang ayahnya ucapkan di dalam mimpinya saat itu.
“Hanya kau yang boleh tahu bahwa ingatanmu telah kembali Jihye-a. Kau harus menutupi masa lalu itu—dengan baik. Luhan sekalipun. Meskipun Luhan lah yang secara tak langsung membuka ingatan masa lalumu, namun jangan sampai Luhan tahu akan hal itu Jihye-a. Karena jika kau menceritakannya, ingatannya akan terbuka dan keadaan akan menjadi lebih buruk.”
“Lebih baik lagi Jihye-a, jika kau menjauhinya. Namun sekali lagi, ini hidupmu. Aku tidak ingin terlalu mengaturmu. Hanya saja, ayah inginkan yang terbaik bagimu, Jihyea...”
“Jauhi Luhan...”
Aku tidak tahu mengapa ayah menginginkanku untuk menjauhi Luhan..Padahal berkat dirinya ingatanku terbuka. Aku bisa tahu tentang masa laluku yang telah hilang. Dengan tetap berada di dekatnya, aku berharap akan banyak ingatan yang akan teringat lagi. Oleh karena itu, aku akan selalu berada di dekatnya.
Lagipula, dia adalah cinta pertamaku.
---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------
Heuu aku ndak ngerti lagi dengan bahasaku ketika semua cerita ini terlihat seperti sebuah sinopsis drama. Alurnya cepet aned dan diksi yang sederhana. Salahku juga ketika ff ini diketik dengan selang waktu hiatus yang sangat lama. Beberapa bagian mungkin sedikit nggak sinkron, tapi aku udah mengusahakan hal itu utk tidak terjadi dengn membaca ulang ceritanya dari awal tapi author kan juga manusia jadi mungkin jika ada bagian yang kurang sinkron kalian boleh kok ngasih tahu ke author..Author wont feel insulted. : )
Anyway semoga suka.
Chapter berikutnya akan ada penjelasan ilmiah ttg Kekuatan Luhan serta tarik ulur kisah Luhan-Jihye-Taehyung.
Akhirnya selesai juga chapter dengan 18 halaman ini...Semoga readers adalah orang yang pengertian dengan memberi komentar dan love... : )