home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > THE FORGOTTEN

THE FORGOTTEN

Share:
Author : cloudsmys
Published : 14 Sep 2014, Updated : 09 Aug 2015
Cast : Hwang Mimi (OC) ; Hwang Micha (OC) ; Kim Jong In ; Xi Luhan
Tags :
Status : Ongoing
3 Subscribes |70011 Views |9 Loves
THE FORGOTTEN
CHAPTER 5 : The Forgotten 3a

Author : @cloud229 & @cloudsmys

Judul Cerita : The Forgotten

Tag (tokoh) : Hwang Mi Mi (OC) ; Hwang Mi Cha ( Hwang Mi Mi’s Sister) ; Lu Han (EXO as Korean Idol) ; Kim Jong In (Busajjang); Byun Baek Hyun (Jong In’s Secretary)

Genre : Romance, Young Adult, Family

Length : Chapter

 

****

 

                    Dia menunduk dan menggerutu dalam hati. Mimi memejamkan mata menahan emosi yang bergejolak. Tanpa ia sadari, tangan mungilnya itu terkepal seakan siap meninju siapa saja yang membangkitkan emosinya lebih dari ini. Beberapa saat kemudian, dengan terpaksa ia mengangkat kedua sudut bibirnya. Direktur meminta maaf karena pembelokan konsep awal yang susah payah Mimi persiapkan dengan sangat sempurana, telah di tolak. Mimi mengatur nafas, menahan dirinya agar tidak sampai mengobrak abirik seisi ruang.

Sejauh ia menjalani berbagai organisasi saat kuliah hingga berkerja diperusahaan cabang LA, tidak pernah ada ide yang keluar dari mulut Mimi yang sia-sia. Bila memang tidak sepenuhnya diterima, setidaknya ada secuil dari ide itu yang berguna. Tidak heran, bila saat ini Mimi merasa harga dirinya diinjak.

Mimi tidak mengerti apa yang membuat hatinya begitu terluka. Karena penolakan yang terjadi baru satu kali dihidupnya ini, atau karena ia tahu bahawa penolakan perubahan konsep itu berarti dirinya harus merelakan hubungan kakak perempuannya bisa semakin dekat dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu. Astaga! Opsi yang kedua.. bagaimana bisa ada dipikiran wanita itu. Sudah jelas, bahwa ia akan bahagia bila kakak perempuannya bahagia. Apakah itu termasuk merelakan cinta pertama ataupun yang lain, yang terpenting kebahagiaan perempuan yang sudah ia anggap lebih dari sekadar kakak kandungnya itu. Micha sudah seperti separuh jiwa Mimi . Apabila salah satu merasa sakit, yang lainnyapun ikut merasakan sakit.

Disisi lain, tanpa menyadari emosi yang meletup-letup didalam dhati wanita yang membiarkan rambut coklatnya berhias pita kuning disisi kiri kepalanya itu, lelaki berkulit segar dengan setelan jas abu-abu yang dalam waktu dekat atau lambat akan memimpin isi gedung ini terus memandangi penampilan Mimi. Rambut yang sbelumnya biasa tanpa poni, sekarang dengan poni sebatas alis itu membuat kesan manis perempuan itu.

Jong In menyadari satu hal yang membuat dirinya harus menaham senyum ketika mendapatkan midi drees yang dikenakan Mimi hari ini rupanya adalah dress yang ia belikan beberapa hari lalu.

Mimi merasakan sesuatu yang membelai punggung tangannya saat keluar ruangan rapat barusan yang membuat bulu tangannya merinding. Ia menoleh memperhatikan setiap wajah yang melewatinya tapi tidak menemukan siapa atau apa yang barusan menyentuhnya. Aneh, sentuhan itu membuat rasa kesal Mimi mereda.

 

***

 

                   Dua lembar tiket drama musical yang tergeletak diatas meja kerja Kim Jong In menarik perhatian seorang lelaki bertubuh jangkung berwajah tampan. Byun Baek Hyun. Sekertaris Jong In yang dibawanya sendiri atas rasa persahabatan. Diluar itu, Baek Hyun bukannya lelaki biasa. Dia adalah lelaki genius yang sedikit membantu Jong In saat masa-masa sekolah dahulu. Mau segius apapun, zaman sekarang tidak ada uang-maka tidak sekolah. Lelaki itu berhenti hingga sebatas sekolah menengah pertama. Seputus sekolah ia membantu ibunya berjualan. Mencari uang pengobatan ayahnya yang sakit.

Lelaki itu maju selangkah menegaskan penglihatannya. Benar tiket itu. Tiket drama musical yang biasa sahabatnya jadikan jurus mendekati wanita.

Baek Hyun tidak pernah habis fikir. Mengapa wanita disekitar Kim Jong In mau saja dengannya. Padahal, Jong In selalu saja menggunakan tak tik yang sama untuk mendekati mereka. Zaman sekarang, apakah uang benar-benar segalanya. Tapi memang, soal ketampanan Baek Hyun jauh dibawah Jong In. Jadi, wanita bodoh manakah yang sanggup menolak lelaki itu?

 “Daebak!”

Suara baritone yang keluar dari mulut Baek Hyun selalu berhasil membuyarkan konsentrasi Jong In. Setiap itu terjadi, Jong In mulai memikirkan ulang perekrutan sahabat itu.

 “Waeyo?” Tanya Jong In balik tanpa mengangkat wajahnya yang tengah memperlajari dokumen dihadapannya.

“Tiket drama musical romantis ‘itu’ kan? Kau ternyata masih tertarik dengan perempuan korea?”

Jong In mengangkat kepala saat sahabatnya menunjuk 2 lembar tiket diatas meja.

       Ah, jeball jangan ganggu aku. Aku ingin benar-benar terlihat sebagai busajjangnim untuk project satu ini. Kau pergi saja kemanapun kau mau.

Pilihan Jong In yang menyimpan kalimat itu di hatinya adalah pilihan yang tepat bila tidak ingin ditertawai.. Akhirnya ditariknya tiket itu ke bawah dokumen tanpa mengeluarkan satu katapun.

“Ya! Kim Busajangnim. Perempuan Korea itu berbeda. Berhentilah mempermainkan wanita. Ingat ini bukan di Paris, Mounsieur.”

 

****

 

                   “Model pria diperkirakan telat sekitar 30 menit, ketua tim. Banyak fans yang menghalanginya keluar dari gedung agensi.” Ho-ya melaporkan keadaan lewat HT. Sudah bukan yang pertama kalinya Xi Lu Han yang menjadi model pria itu telat. Yah.. Itulah konsekuensi bekerjasama dengan penyanyi yang namanya sedang naik daun. Bersabar sedikit untuk mengulur waktu tidak apa-apa, yang terpenting project ini akan sukses. Semoga.

Sambil memijit kepalanya yang berdenyut Mimi menekan salah satu tombol pada HT dan menjawab Ho-ya, “tolong jaga agar suasana tetap kondusif ya, terutama para kru produksi. Teruslah hubungi pihak model pria itu 3 menit sekali.”

 “Ne, Keurom..”

‘Bip’

 Sepertinya memang harus bertemu dokter Shin. Batin Mimi. Sakit kepalanya begitu menganggu pekerjaannya sampai-sampai untuk pertama kalinya ia tidak ikut mengawasi proses pengambilan gambar. Lantas ia merapihkan meja dan meraih tasnya keluar kantor menuju rumah sakit dokter Shin, yang entah sejak kapan sujah menjadi dokter pribadinya. Mimi tidak ingat.

Dokter Shin akhirnya mengeluarkan kesimpulan setelah mengarahkan senter kecil yang dikeluarkannya dari dalam saku jas putihnya setelah sebelumnya seorang suster memeriksa tekanan darah Mimi. Kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Dokter wanita yang juga teman dekat ibunya itu menyarankan Mimi untuk sedikit rileks. Bahkan ia menyarankan Mimi untuk berlibur, yang benar saja! Baru saja bekerja sudah disuruh liburan. Jelas sekali Mimi menolak mentah-mentah meskipun dari bibir wanita itu mengucapkan “akan saya pikirkan lagi.”

Tinggal beberapa puluh meter lagi mobil yang dikemudikan Mimi sampai di tempat kerja tetapi wanita itu justru memutar balik stirnya. Dari pada liburan yang membutuhkan waktu berhari-hari, Mimi lebih memilih istirahat di hotel untuk hari ini saja.

Aku hanya duduk di depan Macbook, tidak banyak berjalan, juga tidak mengangkat benda berat. Kurasa ini cukup mengistirahan tubuhku.

Maksud dari kata Istirahat bagi Mimi mungkin berbeda dengan masyarakat di bumi ini. Jelas sekali kepala wanita itu yang sakit, harusnya fikirannya lah yang jadi prioritas utama untuk mendapatkan jatah istirahat, namun wanita itu seperti kecanduan akan pekerjaan. Terlebih lagi semenjak merasa harga dirinya diinjak-injak. Semangatnya menjadi sosok yang bisa diandalkan melonjak naik.

Ia terus bergulat dengan laptopnya yang mahal dan isinya yang berharga itu. Satu file selesai, ia beralih ke file berikutnya, file berikutnya selesai, ia beralih ke file selanjutnya. Sampai ada pemberitahuan ruang obrolan antara timnya muncul, Mimi baru menghentikan gerak jarinya.

Badanya tersandar tiba-tiba ke sandaran kursi, kemudian dimajukan lagi ke arah laptopnya. Ia membaca deretan kalimat yang dikirim Ho-ya dengan teliti.

                   ‘Mimi ssi, pemotretan hari ini berjalan lancar. Model pria yang terlambat itu datang sepuluh menit setelah kau memutuskan koneksi HTmu padaku. Oiya, model pria itu sempat menanyakanmu pada salah satu kru. Tapi kru tersebut malah melemparkan pertanyaan pria itu kepadaku. aku jawab saja kau sedang tidak sehat.’

Dirinya hampir tidak mempercayai matanya sendiri.

Ah,kalau aku tahu dia akan mencariku.. aku tidak akan putar balik. Tapi ada perlu apa dia mencariku?

Mimi senang. Tidak, ia sangat senang mengetahui kalau Xi Lu Han mencarinya. Setelah kejadian di ruang musik, saat Mimi terang-terang memuji kemahiran tangan Lu Han dalam memainkan nuts piano. Mimi fikir Lu Han akan menganggap Mimi sama saja dengan penggemarnya yang selalu berlebihan. Tetapi, kenyataan bahwa hari ini Lu Han mencari sosok Mimi membuatnya sedikit berharap Lu Han menganggapnya lebih sekedar penggemar.

'lalu, apalagi katanya?’ balas Mimi penasaran. Mimi melipat tangan diatas meja. Matanya menatap laptop dengan tidak sabar sementara giginya menggit bibir bawahnya dengan.

Ho-ya masih dalam proses mengetik ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu hotel.

Pasti Eonni.

Ia melipat laptop sebelum bejalan membuka pintu.

 

“Anyeong..”

 

BRUAK!

 Omo.. Bukan Eonni. Batin Mimi.

Ia mengingat kembali senyum pria yang berdiri didepan pintu kamarnya. Pria itu tesenyum sambil melambaikan tangannya. Wanita itu menundukan kepala mengecek pakaiannya. Mimi menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya seadanya. Tanktop dan celana pendek putih. Mimi sangat kaget bukan main sehingga membanting pintu begitu keras dan tiba-tiba.

Ia bergegas mebuka lemari pakaian dan menambah lapisan penutup tubuhnya dengan t-shirt beage dan celana jeans biru muda. Kemudian kembali membuka pintu.

Pria itu melemparkan senyum hangatnya lagi kepada wanita ini ketika pintu terbuka. Mimi berusaha bersikap tenang dan membalas senyumnya. Melihat wanita itu tersenyum, Kim Jong In maju selangkah mendekat.

How are you right now, Nona Hwang?” Suara Jong In pelan. Udara yang keluar dari bibir lelaki itu agak menyapu wajah mulus Mimi.

Mimi merinding dan mundur selangkah. Tetapi pria itu justru memajukan langkahnya, mempertahankan jarak mereka. Jong In mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening Mimi. Memerikasa suhu tubuh wanita itu. Dia tidak demam, Jong In merasa suhu tubuh Mimi normal. Lalu apa yang membuat wanita ini sakit hingga pulang ditengah jam kerja.

“Anggota timmu bilang kau sakit?” Jong memincingkan matanya.

“Ah? Oh iya. Kepala ku tadi sedikit sakit.”

“lalu bagaimana sekarang? Sudah membaik?”

“Eo..” Jawab Mimi sederhana. Mimi memandang tangan kanan Jong In yang menjinjing kantung plastik putih.

“Kau tidak mempersilahkan tamumu masuk?”

Mimi mengangkat kepalanya, “Silahkan masuk.” Wanita yang sedari tadi memegangi daun pintu kamarnya itu mundur memberi jalan Jong In masuk ke dalam kamarnya. Ia menyeret kursi kerjanya untuk Jong In. Sedangkan ia sendiri duduk di bangku meja rias. Mereka saling berhadapan.

“Aku fikir kau masih sakit , jadi aku sempatkan membelikan mu ini.” Jong In mengacungkan bungkusan plastic. “Bubur terbaik disekitar kantor.”

“tidak apa. Tetap ku terima.” Mimi meraih bungkusan itu.

“Bagaimana kalau yang ini? “

Mimi yang sedang menaruh plastic diatas meja rias itu membalikan badannya lagi. Ia melihat gerak tangan Jong In yang mengambil sesuatu dari dalam Jasnya. Jong In memberinya 2 lembar tiket.

“Kau mau menerimanya?”

“Apa ini?”

“Drama Musikal, Kau mau menemaniku?”

“Maksudku kenapa kau memberiku ini? Anak itu juga akan datang?” Mimi menyinggung Ah Neul, anak perempuan yang selalu mengganggu lelaki itu.

“Tidak ada. tidak adaAh neul.” Kata Jong In sambil menaruh 2 lembar tiket itu di atas paha Mimi.

Mimi membaca tulisan yang menempel pada tiket itu. Love Story. Xi Lu Han? Lu Han ikut dalam drama ini. Kelopak matanya membesar, tangannya gemetar. Ia senang bukan main meski hanya melihat deretan huruf menyusun kata Xi Lu Han.

“Hmm. Kau tidak punya pacar kan?”

“Ani, waeyo?”

“ Berpacaran saja denganku”

“Kau sakit ya?” Mimi yang sedari tadi hanya menunduk memperhatikan tiket ditangannya itu seketika mengangkat kepala.
Jong In menggeleng. “Ayolah, pokoknya kau harus menjadi kekasih ku!”

Ada apa dengan pria ini? Kenapa cara bicarnya berubah. Kalimat itu tidak terdengar seperti paksaan, tapi lebih seperti permohonan.

“Mworago? Memberikan tiket ini lalu mengajakku berpacaran? Memangnya aku terlihat begitu mudahnya. Dengar ya, aku akan menemanimu menyaksikan ini” Mimi mengacungkan 2 lembar tiket itu didepan wajahnya lalu meneruskan ucapannya. “Tapi itu bukan berarti aku mau menjadi pacarmu.”

“Aku anggap sama saja. Kau menerima tiket, dan berarti menerima ajakan kencanku.”

“Bagaimana bisa begitu? Memberi tiket berarti mengajak kencan dan Menerima tiket berarti menerima ajakan kencan, cih!” Mimi menjadi kesal.

Alis tebal Jong In tiba-tiba bergelombang. Benarkah wanita ini tidak tertarik pada ku? Harus dengan cara apa supaya dia menjadi kekasihku. Aku hanya ingin wanita itu. Bagaimanapun caranya aku harus bisa mendapatkan hatinya dulu. Dengan begitu perjodohan itu tidak terulang lagi.

Ah, Majayo~. Jong In baru saja sadar bahwa Mimi pernah tinggal di LA. Kalau wanita korea mungkin bisa menerima bahwa ajakan Jong In barusan adalah sebuah ajakan untuk berkencan. Tapi Mimi, tinggal di LA dalam waktu yang cukup lama pasti kebudayaan disana sudah mempengaruhinya.

“Lalu seperti apa seharusnya cara berkencan ala LA, Nona Hwang?” Jong In memiringkan kepalanya perlahan dengan wajah tertarik.

Wanita ini menggigit bibir bawahnya sementara bola matanya berputar mencari jawaban. Pertanyaan Jong In membuat Mimi menelan ludahnya sendiri. Hatinya gusar. Mimi tidak pernah sekalipun memiliki pengalaman berkencan. Gaya hidup bebas di Amerika bukanlah gaya Mimi.

“Kenapa kau tidak menjawab? kau tidak tahu bagaimana caranya?” Jong In melipat tangannya didada. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia mulai tersenyum melihat reaksi Mimi yang gelisah. Bukan Jong In tidak tahu mengapa Mimi menjadi seperti ini, bukan berarti juga bahwa Jong In tidak tahu bagaimana budaya disana. Di tempatnya kuliah, saat berada di Paris tidak sedikit temannya yang berasal dari LA. Karena itulah ia tahu seperti apa gaya berkencan ala Amerika yang bebas.

Ia menyembunyikan senyumnya dibalik mimik wajah seolah tidak percaya segaligus kasihan pada Mimi, dan berkata “Aku tidak akan percaya kalau kau akan bilang kau belum pernah berkencan.”

“Hey! Aku punya alasan untuk itu, kurasa busajjangnim tidak perlu tahu.”

Jong In menyilangkan kakinya sementara kepala nya mengangguk. “Baikalah kalau kau tidak mau memberitahu, aku akan cari sendiri. Yang terpenting kita pergi. Lain kali kau tidak akan bisa menolakku lagi.”

Sejak itu, Jong In mulai ketagihan melihat ekspresi Mimi yang salah tingkah. Ia tidak berniat menyelesaikan percakapannya hari ini. Lain waktu Jong In berniat ingin menikmati ekspresi Mimi yang menurutnya menggemaskan ini.

 

****

 

                   Kim Jong In melempar kunci mobilnya ke petugas parkir di gedung theater sesampainya mereka disana. Kemudian tanpa tunggu waktu lagi, tangannya menyergap pergelangan tangan kiri Mimi.

“Kajja. Sepertinya kita baru terlambat 15 menit. Ppalli ppalli!”

Pria tampan ini menarik tangan wanita yang tidak memiliki pertahanan itu berlari memasuki theater. Mengendap-endap saat seorang petugas menunjukan tempat duduk mereka. Mereka berdua duduk bersebelahan dideretan kursi ke dua dari depan.Saat itu, orang yang ditunggu Mimi ternyata belum muncul diatas panggung sana. Hingga tidak lama kemudian, lelaki itupun muncul. Memakai pakaian lengkap seorang pangeran. Pakaian yang dikenakan itu seakan menegaskan, bahwa ia benar-benar pangeran Mimi. Mimi tersenyum ketika pangeran itu tersenyum, dan alisnya mengerucut saat pangeran itu bersedih. Betapa menggemaskan hanya melihatnya dari sini.

“Hei, kenapa seserius itu?” Jong In berbisik. Jarinya menekan kerutan diantar alis Mimi.

Mimi hanya menggerakan kepalanya untuk mengulas senyum lalu kembali menyaksikan Lu Han. Namun sialnya, rasanya sudah berbeda. Mimi sedikit tidak bisa berkonsentrasi karena sentuhan tangan Kim Jong In barusan. Diam-diam dia mengelus pipinya yang memerah.
Ah sial, kenapa aku ini?

Pertunjukan yang berjalan satu setengah jam itu akhirnya usai. Meskipun harapan Mimi bertemu Lu Han seusai pertunjukan itu tidak tercapai, toh masih ada kesempatan bertemu lagi saat pengambilan gambar. Mimi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

 

****

 

 “Halo?”

“Mimi ya..”

“hmm.. siapa ini?”

Mimi baru saja tertidur kurang dari 2 jam sejak Jong In mengantarnya sampai depan pintu kamar hotel. Matanyanya masih sulit untuk terbuka. Badannyapun masih sulit digerakan. Jam berapa sekarang? Jam satu pagi. Dan suara siapa yang pagi-pagi buta menelponnya? Mimipun merasa tidak asing. Ia mencoba membaca layar ponselnya.

“Eomma!”

“Iya ini Eomma nak.”

“Waeyo, Eomma? Menelepon sepagi ini?” wanita itu menyeret tubuhnya bersandar disandaran tempat tidur.

“Eomma sekarang baru sampai di bandara.. tolong jemput Eomma ya.”

“Hah? Di bandara? Incheon? Sekarang?”

“Ne, Incheon. Cepatlah.”

“Hmm.. Oke Oke. Aku kesana!”

Setengah dua pagi. Dengan tanpa make up dan mata sembabnya karena baru tidur sebentar, Mimi melajukan mobilnya menuju bandara Incheon. Kenapa Ibunya tidak memberitahuinya mengenai kedatangannya? Ada apa ya?

Dua puluh menit kemudian sampailah Mimi di bandara. Matanya langsung mengedar kepenjuru bandara mencari ibunya. Pada saat itulah ia menangkap seseosok wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan stylish melambaikan tangan kearahnya. Sontak Mimi menghampirinya.

Mimi membatu membawakan satu koper yang dibawa wanita yang dipanggilnya Eomma itu. Dinginnya bandara menghilang saat mereka berdua memasuki mobil.

“Kau, cepatlah pindah kesana. Rumah sebesar itu kok, hanya ditempati Mi Cha saja.” Eommanya berkata pada Mimi yang tengah mengemudi.

“Memangnya Eomma sudah melihat rumah Eonni?”

“Eomma dapat memperkirakan dari besarnya tanahnya. Pokoknya kau harus segera tinggal disana juga.”

“Eomma..”

“Kepalamu itu sudah mulai sakit lagi kan? Kenapa tidak menceritakannya pada Eomma? Setidaknya kau katakan pada kakakmu. Jangan seperti anak yang sebatang kara disini”

“Tadinya aku ingin seperti itu. Tapi aku.. sibuk.”

“Aigo.. Dokter Shin pasti sudah menyuruhmu istirahat bukan? Meskipun begitu, kau tetap bekerja?”

“Tidak. aku pergi dengan temanku. Aku izin kerja. Oh Eomma.. Aku segera pulang sesampai dirumah Eonni. Aku hanya Izin sehari. Besok masih banyak pekerjaan yang menungguku.”

“Aigoo.. Bawa ini, dan baca aturan pakainya. Kau tidak boleh melewati jadwal meminum vitamin-vitamin ini.” Eomma mengeluarkan 4 botol putih berukuran kecil. Sementara Mimi mengela nafas putus asa.

 

*****

 

“Oh, Ketua tim kau disini?” Jin Ki baru menyadari kehadiran Mimi yang berdiri tegak dibelakang monitor.

Mimi tersenyum memberi salam

Ruangan begitu sunyi karena sedang dalam pengambilan gambar. Hari terakhir proses pengambilan gambar semakin dekat. Mimi tidak akan membiarkan proses ini berlalu begitu saja tanpa pengawasannya. Semua harus sempurna.

Suara dan lampu flash tidak berhenti berlomba. Seakan tidak ingin meninggalkan setiap grakan MiCha dan Lu Han yang begitu memesona. Mereka berdua begitu alami didepan kamera. Bahkan Mimi menikmati keduanya disana. Kalau saja bukan karena kakak kesayangannya, Mimi pasti merasa hatinya terhantam karam yang besar melihat Lu Han sebegitu dekatnya dengan wanita.

Satu jam kemudian terdengar sang Sutradra berteriak, “Selesai. Terima kasih kerja samanya. Kalian telah berkerja keras..”

Mimi menegadah. Pandangannya beralih dari monitor ke sang Sutradara. Ia merunduk memberi hormat kepada setiap anggota kru dihadapannya. Lalu memutuskan meninggalkan ruangan.

“Mau kah kalian semua makan bersama?” Lu Han segera berteriak sebelum para kru berpencar. “Aku yang mentraktir!”

Mimi berhenti sebelum benar-benar melewati pintu keluar ketika mendengar suara yang sangat ia kenal. Saat ia berbalik semua kru di ruangan itu bersorak riang. Memang sudah menjadi kebiasaan yang ditunggu para kru disaat ratting sedang melonjak atau tamat. Tapi kali ini jelas bukan kedua alasan tersebut yang membuat Lu Han ingin mentraktir semua orang.

“Ketua tim ” Teriak Lu Han lagi.

Mimi kaget bukan main dipanggil olehnya. Matanya berkedip dan menunjuk dirinya sendiri. “Na?

“Ne! Kau ikut kan?”

Haruskah aku ikut. Kalau aku ikut pasti mataku tidak akan berpaling pada orang itu.

“Mungkin seharusnya kita batalkan saja jika ketua tim tidak ikut. Karena beliau yang memberikan kita pekerjaan ini, bukan.” Sambar MiCha sambil mengedipkan matanya pada Mimi.

Mimi salah tingkah ketika menyadari menjadi pusat perhatian. Sadar bahwa yang lain menunggu jawaban Mimi, iapun segera menerima ajakan Lu Han.

“Baiklah.. aku ikut”

****

 

 

lanjut ke The Forgotten #3 (2)

               

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK