home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > THE FORGOTTEN

THE FORGOTTEN

Share:
Author : cloudsmys
Published : 14 Sep 2014, Updated : 09 Aug 2015
Cast : Hwang Mimi (OC) ; Hwang Micha (OC) ; Kim Jong In ; Xi Luhan
Tags :
Status : Ongoing
3 Subscribes |70011 Views |9 Loves
THE FORGOTTEN
CHAPTER 4 : The Forgotten 2b

Good morning, Honey.”

Jong-in melingkarkan kedua lengannya di pingang Mimi, menarik tubuh itu untuk direngkuhnya. Ia mamajukan wajahnya ke sisi telinga kiri gadis itu yang membuat Mimi tak bisa bergerak sedikitpun karena terpaku.

“Bantu aku. Jangan menoleh ke arah kanan karena disana adaAh-neul  yang sedang berdiri menatap kita. Kalau kau bersedia, tolong kaitkan lenganmu di balik punggungku. Sekarang.”

Napas Jong-in berhembus mengenai lipatan leher Mimi dan terasa dingin. Juga menggelitik. Namun jika gadis itu mau, ia bisa membebaskan dirinya dengan mendorong dada bidang Jong-in ke belakang, meloloskan dirinya dengan menepis kedua tangan Jong-in yang lancang menarik tubuhnya. Tapi alih-alih melakukan itu, Mimi malah mengangkat pelan tangannya membalas pelukan laki-laki itu.

“Good morning, Jong-in ah.”

Mimi tahu yang ia lakukan itu salah. Bukan hanya membohongi orang lain tentang hubungan palsu mereka, namun juga mempermainkan perasaan Ah-neul yang menurutnya benar menaruh hati pada Jong-in. Tapi mau bagaimana lagi, lelaki itu sudah menariknya ke dalam lingkaran yang sebenarnya ingin ia tidak campuri.

“Untuk bantuanku hari ini, aku tidak menerima paket hadiah seperti kemarin lagi, Jong-in ssi.” Bisik Mimi. Ia teringat dengan syal merah muda yang kemarin Jong-in sempat memaksa dirinya untuk menerimanya. Lelaki itu mengatakan kalau syal tersebut adalah hadiah untuk kebaikan Mimi yang sudah menolong dirinya dua kali.

Mimi mendengar hentakkan ujung stilleto tinggi beradu dengan kerasnya lantai marmer Hotel. Menolehkan kepalanya ke samping kanan, ia mendapati raut dingin yang tercampur hawa penuh kemarahan dari gadis yang pernah dilihatnya beberapa hari lalu. Rahang yang mengeras dan gerakan yang tak terlihat jelas namun diyakini Mimi adalah gigi-gigi gadis itu yang beradu di dalam mulut, mau tak mau membuat secuil kekesalan muncul kepermukaan.

Ia tidak bersalah. Bahkan Jika Ah-neul menyerukan makiannya yang keluar seperti air bah dalam bendungan tanggul untuk Mimi, gadis itu masih akan tetap mengangkat kepala membalas tatapan Ah-neul .

Dan anehnya, sandiwara Jong-in yang bertujuan untuk mengusir gadis itu pergi, sama sekali tidak bekerja. Bukannya berlalu dengan perasaan dongkol yang meloloskan uap panas dari dua lubang telinga, Ah-neul malah menyeruak maju memisah pelukan Jong-in terhadap Mimi. Ia menarik lengan Jong-in dan menyeret lelaki itu mendekat ke arahnya.

“Kuberi tahu kau satu hal,-” Ah-neul terlihat sedikit bingung dengan sapaan yang ingin ia gunakan untuk memanggil Mimi, “-aku sudah mematenkan Jong-in Oppa menjadi milikku sejak aku berusia tujuh tahun. Karena itu aku tidak akan membiarkan statusmu sebagai pacar Kim Jong bertahan lama.”

Ya,” Jong-in menepis tangan Ah-neul di lengannya. Ia menangkup bahu gadis itu dengan dua tangannya yang kuat lalu mutar tubuh gadis tersebut menghadap ke arahnya. “Berapa ratus kali harus katakan kalau aku hanya menganggapmu adik?” Tanyanya kesal.

“Aku anggap aku tidak pernah mendengar kalimat itu sekarang, sebelumnya atau yang akan kau datang. Neo naekoya!”

“HEM!!!” Mimi berdehem kemusian membuang napas kesal. Diliriknya arloji yang melingkar di tangannya, lima belas menit lagi sebelum jam kantor dimulai. Dan Mimi membenci sesuatu yang berhubungan dengan kata telat, lebih lagi jika dirinya yang mengalami itu.

Mimi membenarkan selempangan tas-nya yang sedikit turun ke bahunnya dan maju tiga langkah guna memposisikan dirinya menjadi pembatas antara Jong-in dan Ah-neul. Ia menatap Jong-in sekilas sebelum memusatkan perhatiannya pada gadis di depannya.

“Sekarang kau masih boleh mengagumi dan mencintai Kim Jong-in. Tapi secepatnya kau harus membuang obsesimu terhadap lelaki di belakangku ini, karena kalau tidak, kau sendiri yang akan semakin sakit hati, adik kecil.” Ucap Mimi, mengakhiri kalimat panjangnya dengan senyum. Setidaknya, itu adalah nasehat yang bisa ia bagi kepada Ah-neul sekarang ini.

***

Mimi menekan kuat pundaknya berniat meredam pegal yang bergelayut disana. Ia tidak bodoh dengan mengatakan katau papan sketboard itu tidak berat, tapi untuk membantu sedikit para pekerja yang harus kembali disibukkan dengan konsep baru hasil pemikiran Mimi -yang sudah mendapat persetujuan dari Kim Sajang, ia rela melakukannya. Mengangkat papa kayu dari ruang penyimpanan properti, seorang diri. Kendati beberapa crew sempat menawarkan bahunya untuk membantu Mimi, gadis itu hanya mengucapkan terimakasih sembari menggeleng pelan menolah halus tawaran mereka.

“Minum?”

Mimi terlonjak kaget saat sebuah tangan yang mengengam kaleng minuman perisa apel terjulur dari pundak kirinya. Telapak tangannya secara reflek membungkam mulutnya sendiri untuk tidak berteriak. Menoleh ke samping ia menemukan bibir terkembang lebar milik Luhan.

Dengan gestur yang malu-malu dan tak bisa menutupi rasa kagetnya, Mimi menerima uluran kaleng minum dari tangan Luhan. Ia menunduk sekilas mengucapkan terimakasih pada lelaki itu.

“Untuk bantuanmu kemarin, aku sunguh berterima kasih. Mungkin jika tidak menabrakmu, aku masih akan dikejar-kejar oleh mereka.”

“Bukankah itu konsekuensi menjadi idol?” Gumam Mimi lirih tanpa menatap wajah Luhan.

“Itu sebanding dengan hal-hal positive yang kuterima menjadi seorang idol.”

Mimi mengangkat kepalanya. Ia beranikan dirinya untuk membaca raut wajah Luhan yang mendadak kehilangan cerianya. Namun tak ada sesuatu yang jelas yang bisa ia dapatkan dengan melakukan semua itu. Hanya sebatas raut sedih yang berusaha disamarkan oleh polesan bedak mahal.

“Kau bisa membaginya denganku.”

Eh?” Kaget Luhan. Kening lelaki itu sedikit mengkerut mendengar ucapan ambigu Mimi. “Aku tidak mengerti maksudmu, Mimi-ssi.”

Mimi menolehkan kepalanya ke samping, menghindari menjelaskan tuntutan penyataannya sendiri pada lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya memberikan hukuman akibat keteledoran mulutnya yang menunjukkan rasa pedulinya terhadap Luhan. Bagaiamanapun, ia menangkap cupid-cupid kecil milik kakaknya, Mi-cha, yang sedang berusaha menembakkan panahnya pada Luhan.

“Mimi-ssi,” Luhan menangkup sebelah pundak Mimi. Membuat gadis itu kembali menoleh menghadapnya. “Kau baik-baik saja?”

Mimi mengangguk. “Tentu saja,” jawabnya. “Ah, ada pepatah yang mengatakan no man is a failure who is enjoying life. Jadi kuharap kau tetap semangat menjalani hari-harimu, Luhan-ssi.” Ucapnya, kemudian melangkah menjauhi laki-laki itu guna meneruskan kesibukannya.

***

Mimi menarik gagang besi pintu sepelan mungkin, selembut yang ia bisa lakukan berusaha agar tak menimbulkan suara decitan yang mungkin bisa menggangu konsentrasi seseorang di atas panggung kecil di depan sana, sebuah aula yang biasanya digunakan untuk ajang pertunjukan seni. Gadis itu melihat dengan seksama saat seorang lelaki berseragam mengetuk tuls-tuls piano, tenggelam pada semua jenis nada yang dimainkan oleh dirinya.

Ia tidak menduga jika memilih Hannyoung High School sebagai lokasi pengambilan gambar untuk project-nya akan mengulang kembali secuil memori indah masa remajanya. Ketika dulu ia diam-diam menelusup masuk ke sebuah ruangan dan menemukan lelaki itu dengan pianonya, sekarang pun sama. Ia kembali menemukan lelaki itu tengah duduk menghadap benda besar berwarna putih yang sesekali matanya terpejam menghayati lagunya.

Mimi duduk diam di baris ketiga dari belakang terbius oleh kemahiran sepuluh jari-jari panjang yang memainkan lagu milik OWL City. Matanya dipenuhi binar kebahagiaan dan rasanya tak ingin melepaskan pandangannya dari satu titik pusat yang menyedot perhatiannya, Luhan.

Mimi mengangkat tinggi gadgetnya setara dengan dagunya. Ia menyentuh tombol merah membidik gambar Luhan yang terlalu sayang jika tidak diabadikan.

Jika Wendy perancang busana favorite-nya, maka Luhan adalah penyanyi yang di-idolakannya bahkan sebelum lelaki itu memulai debutnya. Maka ketika Mimi mendengar sayup-sayup suara denting piano saat berjalan di koridor yang lumayan sepi, ia tidak berpikir dua kali untuk mencari alas sumber suara tersebut. Meski  akan berakhir sama seperti yang terjadi pada masa-masa lalu bahwa ia mendapati orang lain yang duduk di belakang piano, dan bukan Luhan seperti yang diharapkannya, ia masih akan menamatkan permainan tangan itu hingga akhir. Mimi mengemari piano, tentu saja setelah ia melihat Luhan.

Tidak ada suara lain setelah nada F yang dimainkan Luhan berakhir kecuali tepuk tangan dari dua telapak Mimi yang halus. Gadis itu berdiri dari duduknya dengan dua sudut bibir tertarik ke atas berlawanan arah. Gigi-giginya yang putih dan rapi, terlihat takkala ia melebarkan senyumnya pada lelaki itu.

Luhan membalas senyumnya. Lelaki itu menunduk sekilas sembari mengusap tengkuknya menyembunyikan rasa malunya. “Sejak kapan kau berada disitu, Mimi-ssi?”

“Sejak kau mengganti Take a Moment milik Armin menjadi Dreams and Disasters.”

Lelaki itu bergumam lirih merespon ucapan Mimi yang tidak bisa didengar oleh gadis itu.

“Apa aku boleh mengomentari permainanmu, Luhan-ssi?”

Luhan membulatkan mulutnya. Namun sesaat kemudian ia mengangguk mengiyakan. “Tentu saja,” jawabnya.

Awesome.”

 

BERSAMBUNG

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK