Mimi mengapit ponselnya yang menyala diantara telinga dan pundak kanannya. Tangan kirinya memegangi papercup Americano dan sebelah kanannya mendekap gadget juga beberapa berkas yang sedang ia kerjakan, terlihat sangat kerepotan. Dahinya mengkerut kencang dengan wajahnya yang terlihat merah padam. Deret gigi atasnya sudah beberapa detik yang lala menggigit bibir bawahnya.
“Aku hanya tidak menyukai konsep tersebut. Sangat kekanak-kanakan, kau tahu.”
“….”
“French kiss? Oh come on, tidak ada satu orangpun pengemar di dunia ini yang berjingkrak-jingkrak riang melihat idolanya berciuman.”
“….”
“I’m not his fan, Wee. Ini menyangkut kesuksesan project pertamaku di Korea, aku tidak ingin ada cela sedikitpun dalam pekerjaanku, itu saja!”
“….”
“Iya, hanya itu.”
“….”
“Oh my God, I’m not jealous!” Mimi mendengus sebal. Ia memang sudah menceritakan pada Wendy jika salah satu model yang bergabung dalam project barunya adalah Luhan, anak lelaki yang dulu sempat mencuri perhatiannya. “Baiklah, aku memang sedikit tidak suka melihat adegan itu, but you know me so well, aku selalu berusaha tidak mencampurkan urusan pribadiku dengan pekerjaanku. Aku yakin kau tahu satu hal itu dengan jelas.”
“…”
“Berhenti tertawa atau..”
Brakk
“Aghrrrr!” Mimi menggeram. Americano yang masih lumayan panas tumpah membasahi kemeja fucsia-nya. Ponselnya yang sejak satu jam lalu diforsir menelepon Wendy di LA, jatuh hingga baterainya terlepas. Beberapa berkas yang tadi berada di dekapannya, jatuh ke lantai dan sebagian terguyur cairan hitam kental dari gelas kertas minumnya yang sekarang sudah tak berisi.
Mimi memejamkan matanya beberapa sesaat berusaha menarik napas panjang. Dokumen-dokumen yang sedikit menyembul dari dalam map, yang sempat membuatnya tercengang tadi, adalah beberapa dokumen yang harus ia laporkan pada Direktur siang ini. Dan entah mungkin memang hari ini adalah hari keramat-nya, ia tidak membawa salinannya yang tersimpan disalah satu folder flasdisk pribadinya.
“You!!!” Mimi mengangkat tangan mengacungkan jari telunjuknya di depan wajahnya sendiri. Ia sudah bersiap menggertak seseorang yang dengan brutal menabrak tubuhnya barusan. Namun mendadak mulutnya gagap begitu mendapati wajah Xi-Luhan yang tertampang tepat di depan wajahnya yang merah padam.
“Mianhe-yo, aku tidak sengaja. Beberapa fans melihatku di basement kemudian mengejarku hingga kemari. Aku benar tidak berniat menabrakmu, sungguh.” Ucap lelaki itu yakin.
Luhan menatap Mimi penuh penyesalan. Tubuhnya kemudian berjongkok sembari tangannya memasukkan kembali beberapa dokumen yang masih bisa diselamatkan ke dalam map. Ia juga juga mengibas-ibaskan beberapa kertas yang cukup banyak terkena air kopi berharap jika kertas itu segera kering.
“Jika saja mereka bukan sasaeng, aku tidak akan berlari seperti ini. Mereka benar-benar merepotkan, juga menakutkan.” Lirih Luhan. Lelaki itu mencuri pandang ke arah Mimi berjaga-jaga kalau gadis itu secara tiba-tiba hendak menendang kepalanya. “Aku pasti akan mengganti kerusakan ponselmu dan …” matanya membaca sekilas tulisan di selembar kertas yang kini dipegangnya, “… sepertinya aku mengacaukan pekerjaanmu hari ini, Mimi-ssi. Aku sunguh tidak sengaja.”
Mimi mencoba menelan ludahnya susah payah. Mulutnya yang tadi sudah menganga lebar siap mengeluarkan umpatannya, kini menutup rapat seolah-oleh lem paling kuat di dunia melekatkan erat dua bibit ranumnya.
Tuhan, tolong kembalikan suaraku sekarang.
“Managerku pasti akan menghubungimu secepatnya.” LuHan berdiri sembari menyerahkan map tersebut kepemiliknya yang masih saja kaku menyerupai manekin. “Aku harus pergi sekarang. Sekali lagi aku minta maaf, Mimi-ssi.”
Mimi kembali mengutuk otot lehernya yang untuk mengangguk merespon ucapan Luhan saja tidak mau diajak bekerja sama. Namun ketika lelaki itu sudah berada selangkah dibelakangnya,sebelah lengannya berhasil menahan lengan lelaki tersebut. “Di ujung lobi, sebelah kirimu, ada toilet laki-laki. Kau mungkin bisa bersembunyi di dalam sana.” Ucap sedikit terpatah-patah dan lirih.
Lelaki itu sedikit tercengang. Ia sudah membayangkan Mimi akan berteriak melancarkan caci maki untuknya yang belum sempat gadis itu utarakan tadi. “Apa kau bisa memanggilakn security untukku juga?” Tanya Luhan ragu-ragu.
Mimi mengangguk samar, bahkan nyaris tak terlihat oleh Luhan. “Tentu saja.” Jawabnya.
“Terimakasih.”
***
Sementara Mimi terduduk dengan wajah menunduk di balik meja bundar yang digunakan untuk meeting satu tim-nya, Jin-ki sibuk mengeringkan kertas-ketas yang basah menggunakan hairdrayer Min-ah. Lelaki itu sempat beberapa kali berjengit takut saat tangannya nyaris saja membuat kertas itu terbelah dua. Min-ah yang sedari tadi menerocos panjang lebar, turut membantu Jin-ki dengan menerima uluran kertas yang sudah sedikit kering dan meletakkan satu persatu di atas meja.
“Ketua Tim, apa yang harus kita lakukan sekarang? Bukankah Sajangnim mengharapkan laporan ini berada di mejanya siang ini juga?”
“Ais! Sebenarnya siapa orang brengsek yang melakukan ini semua!”
Dia bukan orang brengsek, dia hanya orang tampan.
“Ketua Tim, apakah kau nyaman dengan pakaian yang kau kenakan itu? Lebih baik kau segera berganti jika tidak ingin terkena demam. Musim dingin Korea benar-benar kejam.”
Benarkah? Tapi kenapa darahku sekarang terasa hangat?
“Benar!” seru Ah-ra mengamini ucapan Ho-ya. “Apa kau mau aku meminjamkan pakaianku yang lain?”
Tidak. Aku bahkan tidak ingin menanggalkan pakaianku selamanya, jika bisa.
Mimi masih sibuk dengan uforia jantungnya. Detak bertalu-taluan yang dirasakannya sejak bertemu Luhan tadi, terbawa hingga sekarang. Rasanya memang tidak nyaman saat jantungnya berdesir dan perutnya terasa mual, tapi ia menyukainya. Perasaan yang sedikit berbeda ketika dulu pertama kali dirinya mengamati Luhan saat kecil. Bahwa sekarang terasa semakin indah.
“Ketua Tim,”
Mimi menoleh ke kiri saat suara Ah-ra terdengar ketakutan dan bergetar. Dirinya mendapati gadis itu tengah memegang gagang telepon di tangan kanannya.
“Sa..saja..ng..nim menyuruh kau ke..ker..uangannya sekarang.” Ucapnya terbata-bata.
Mimi menggigit bibir bawahnya keras. Napasnya terasa tercekat di tenggorokan. Jika saja ia kemarin menyetujui konsep CF yang sudah diadakan pengambilan gambarnya, dan tidak mengutarakan pendapat alasan ketidaksetujuannya di depan rekan-rekan satu Tim-nya, tentu sekarang ia tidak akan berakhir menemui sang atasan dengan pakaian kumal serta bau kopi yang menggulung tubuhnya seperti itu.
“Bagaimana kalau kita tidak usah mengajukan gagasan baru kita ini? Kupikir tidak ada salahnya fans sedikit merasa patah hati oleh adegan French KISS tersebut.”
Mimi merasakan letupan-letupan kecil di dalam kepalanya akibat opini Min-ah. Seolah jika bawahannya itu terus menambahkan kalimat-kalimat lain yang berhubungan dengan Luhan, letupan-letupan kecil tadi akan membuat darahnya mendidih. Benar kata Wendi beberapa saat lalu, kalau dirinya kini sedang cemburu. Tapi sungguh, Mimi tidak mau mengakui itu semua.
“Aku akan menghadap beliau sekarang.” Ucap Mimi sedikit lantang. Lalu menoleh ke arah lelaki yang berdiri kaku mendengar ucapannya barusan. “Jin-ki ssi, bisakah kau mempercepat kegiatanmu itu? Ah, tidak perlu, siapkan saja semuanya dalam map, aku langsung akan menyerahkan pada beliau.”
“Tapi Ketua Tim,”
Mimi tersenyum. “Tidak perlu khawatir, aku mengusahakan yang terbaik.” Ucapnya.
Yah, terbaik untuk reputasi kerjanya, juga yang terbaik untuk mengembalikan rasa cemburunya yang sedang menguasai dadanya.
***
Mimi mengerjap. Bohong jika ia mengatakan Jong-in tidak tampan. Karena yang dilihatnya sekarang, Jong-in seribu satu kali lebih tampan dari wajah pertama yang lelaki itu perlihatkan. Setelan Jas biru muda rancangan Giorgio Armani dikulitnya yang cokelat exotic, rambut bercat pirang madu yang sekarang tersisir rapi dan sedikit berdiri pada bagian depannya, dua alis melengkung karena dahinya yang mengkerut menatap lembar-lembar putih di atas meja, juga dua bibir penuhnya yang memberengut bersamaan dengan pipinya yang tiba-tiba menggembung.
Oh God, apa yang terjadi denganku?
Mimi menggeleng cepat, mengusir perasaan-perasaan liar yang berseliweran di dadanya. Tidak mungkin, dalam satu hari hatinya melambung dua kali oleh dua orang yang bebeda. Benar tidak masuk akal.
“Hwang Mimi?”
Mimi terhenyak dari rasa terpananya. Ia mengakhiri lamunannya dengan buru-buru merapikan sedikit anak rambutnya yang jatuh menutupi keningnya. Adalah benar kalau ini pertama kalinya Mimi menampakkan dirinya langsung di depan Jong-in yang notaben-nya sekarang menempati posisi sebagai trainee Wakil Direktur, karena sebelumnya pada acara penyambutan dan perkenalan kala itu, ia diam-diam menelusup keluar dari barisan dan lebih memilih tidak menampakkan dirinya pada lelaki itu.
Dan bukan salah Jong-in kalau sekarang ia sedikit terkejut mendapati Mimi berdiri di depannya, meski kendatipun lelaki itu sudah tahu sejak awal kalau Mimi bekerja di perusahaan keluargannya. Hanya saja, saat perkenalan itu ia sempat bertanya-tanya dimana keberadaan gadis itu yang tak tertangkap dua matanya. Juga penampilan Mimi yang dilihatnya sekarang jauh berbeda seperti karyawan-karyawan lainnya, adalah satu dari sekian alasan kenapa ia begitu terkejut melihat Mimi. Gadis itu terlalu berani berkeliaran di lorong-lorong perusahaan dengan pakaian penuh noda di bagian mukanya.
Jong-in tertawa, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan terbentuk rapi. Bagaimanapun juga, penampilan Mimi hari ini sudah menggelitik perutnya. Mengesampingkan fakta kalau baru saja ia ingin menjedotkan kepalanya yang terasa penat oleh berkas-berkas brengsek yang tengah digeluti itu ke tembok.
Ais!
Pipi Mimi merona merah. Tidak ada yang dipikirkannya selain menenggelamkan wajahnya di galian pasir kura-kura. Ia benar-benar malu sampai tak menyadari tubuh Jong-in yang sekarang hanya berjarak dua langkah di depan tubuhnya.
“Apa kau sedang malu sekarang?” Jong-in bertanya di sela-sela tawanya. Membuat Mimi berpikir kalau lelaki itu bisa membaca pikirannya. “Mukamu memerah, Nona Hwang.”
Mimi melangkah mundur secepat yang kakinya bisa lakukan. Sebelah tangannya menangkup pipinya dengan mulut membuka dan mata melebar. “A..an..ani-yo, aku hanya sedikit merasa panas.” Jawabnya. Tangannya mengibas-ibas tepat di depan wajahnya berupaya meyakinkan kalimat bohongannya. “Apa mungkin AC-nya rusak?”
Jong-in mendongakkan kepalanya. Matanya berputar mengitari dinding-dinding atas di sekelilingnya yang tertempel alat pengatur suhu tersebut. “Tidak, aku mengaturnya ke temperatur hangat. Lagi pula inikan musim dingin, mana mungkin kau merasa panas hanya karena suhu 38 derajat yang kusetel.” Ejeknya. Lalu mendapati Mimi yang menggigit bibir bawahnya sendiri, dan tak berani menatap wajahnya, Jong-in menambahkan kalimatnya. “Oemma, ah bukan, maksudku Sajangnim, beliau baru saja meninggalkan ruangan. Beliau menyuruhku menganalisis dokumen yang ingin kau tunjukkan padanya.”
“Benarkah?” antara bersyukur dan kecewa saat memastikan kalimat Jong-in yang ditangkap telinganya. “Kalau begitu dokumen ini saya serahkan pada Anda.” Ucap Mimi sembari memindahkan map dari tangannya ke tangan Jong-in yang sudah terjulur ingin menerimanya. “Terimakasih.” Lanjutnya dengan kepala menunduk sebelum membalik tubuhnya meninggalkan Jong-in di ruang kebesarannya.
“Kau mau kemana?” Jong-in menahan langkah Mimi dengan memotong jalan gadis itu kemudian berdiri di depannya. “Aku belum menyampaikan pesan Beliau seluruhnya, Nona Hwang.” Ucapnya.
“Ne?” Mimi manatap Jong-in tak mengerti. “Apa Beliau juga menitipkan pesan yang lainnya lagi?” tanyanya penasaran. “Kalau begitu tolong cepat katakan padaku.”
“Wahhh, kau sedang memerintahku sekarang?” Jong-in bertanya dengan menaikkan sebelah alisnya.
Mimi menggeleng cepat. “Ani-yo, aku hanya”
“Aku hanya bercanda Nona Hwang.” Potong Jong-in. Ia berhasil membuat Mimi sedikit ketakutan. “Beliau hanya menyuruh kau melakukan survei di beberapa butik di Cheongdamdong.”
***
Dan disinilah sekarang dirinya berada. Di salah satu butik terkenal di daerah paling mahal di Seoul yang mendapat julukan The Beverly hills Seoul. Sebuah butik dari brand merek ternama Dolce & Gabbana yang berada satu deretan dengan butik-butik ternama lainnya seperti Prada, Gucci, ataupun Louis Vuitton.
“Apa Sajangnim juga menyuruhku untuk mencoba pakaian ini?” Mimi menoleh ke arah lelaki yang berada di ujung lemari gantung dan tangannya tengah sibuk memilih-milih cardigan perempuan di sana.
“Hm, Beliau juga menyuruhku untuk membantumu memilih pakaian yang mesti harus kau coba sekarang.” Jawabnya sembari mengulurkan tiga kemeja berbeda model juga warna pada gadis itu. “Jadi, cepat pilih pakaian yang menurutmu bagus, dan bergegaslah ke bilik untuk mencoba satu persatu.”
Mimi menatap Jong-in tak percaya. Bagaimana mungkin ia masih harus memilih pakaian lainnya semenatara yang laki-laki itu berikan padanya sudah hampir mencapai dua lusin.
“Apa kau penyuka Sheath dress, Nona Hwang?”
Gadis itu mengurungkan niatnya ketika hendak melangkah ke bilik ruang pas. Ia melebarkan matanya mendengar pertanyaan atasannya. “Tidak,” jawabnya kaku. Sheat dress adalah gaun yang kebanyakan panjangnya jatuh kepaha lebih rendah, juga bertali spaghetti atau strapless. “Aku lebih menyukai Lace atau Little Black Dress.”
“Bukan pilihan yang buruk.” Komentar Jong-in. ia memberikan dua potongan Black dress pada Mimi. “Kalau begitu, bagaimana dengan perancang busana, siapa designer yang menjadi favorite-mu?”
“Wendy Lee, dia perancang busana favorite-ku.”
“Wendy Lee?” Kening Jong-n sedikit berkerut. Menunjukkan ketidak tahuannya pada satu nama designer yang baru disebutkan Mimi.
Mimi mengangguk. “Seorang teman baikku yang berada di LA. Meski bukan designer terkenal dan belum memiliki brand yang dikenal dunia, tapi hasil rancangannya sangat nyaman ketika dikenakan, juga tampilannya tidak pernah mengecewakan. Karena itu aku menjadikannya sebagai designer pribadiku.”
Mimi tersenyum sendiri mengingat kalau ia baru saja memuji bakat Wendy yang tak pernah ia katakan langsung pada sahabatnya tersebut. Tapi benar, bagi Mimi pakaian dengan merek terkenal tidak selalu menjamin kenyamana kepada pemakainnya, terlebih untuknya. Karena dia termasuk gadis pemilih yang lebih mengutamakan -enak dipakai- ketimbang label merek yang menggantung di bagian kerah baju.
“Busajangnim,” senyum Mimi memudar saat lelaki itu kembali memberinya dua coat lengan panjang. “Dua tanganku sudah tidak kuat lagi jika kau terus menumpuk pakaian kepadaku.”
“Tenang saja, Nona, dua tangan saya siap membatu membawakan pakaian anda.”
Mimi tersenyum ramah saat mendengar tawaran dari penjaga toko yang sejak tadi sudah berdiri menunggui mereka, namun membuang napas panjang saat penjaga wanita itu berlalu dengan mengangkut setumpuk hasil masterpieceDomenico Dolce dan Stefano Gabbana yang sudah seperti pakaian obral pinggir jalan ke ruang pas.
“Kenapa masih disini? Bukankah kusuruh kau mencoba pakaian-pakaian itu?”
Mimi menuruti perintah Jong-in. Gadis itu berlalu ke ruang pas degan sejuta keenganan yang menyesakkan dadanya. Ia sudah setengah mati berusaha tidak mengumpat di depan Jong-in, namun jika laki-laki itu terus saja mengerjainnya dengan menyuruh ini itu atau menyuruhnya memperagakan pakaian tersebut bak model papan atas di depannya, Mimi tidak bisa menjamin pertahananya tidak akan jebol.
Jong-in kembali tersenyum puas dengan cardigan terakhir yang dipamerkan Mimi kepadanya, setelah sebelumnya ia menggeleng mengisyaratkan pakaian itu tak cocok di tubuh Mimi, atau mengatakan secara langsung kalau warna nya terlalu terang dan sebagainya. Dan entah pula senyum keberapa yang membuat Mimi tak bisa merealisasikan rencananya semula, yang ingin mengumpat ketika Jong-in menyuruhnya bergaya bak model. Gadis itu kehilangan kata-kata begitu melihat senyum indah di bibir penuh Jong-in.
“Ayo kita pulang.”
Baby. Bahkan sekarang Mimi mulai berhalusinasi mendengar Jong-in memangilnya dengan sebutan Baby.
“Apa aku harus membeli semua ini juga?” tanyanya sambil arah pandangnya berputar mengitari beberapa potong pakaian yang sudah dicobanya tadi.
Jong-in mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Mimi, lalu berbisik pelan pada gadis itu. “Pilih saja yang kau suka. Nyonya Kim tidak akan memaafkanku jika aku menggunakan fasilitas kartu kredit perusahaan untuk membeli semua pakaian mahal ini.” Lirihnya. “Asal tahu saja, sebenarnya ini bukan destinasi kita yang diperintahkan olehSajangnim.”
“What?!”
“Aku mana mungkin mengajakmu survey jika pakaianmu itu mengundang lalat-lalat mengerubungi tubuhmu. Setidaknya dengan alasan itu aku bisa membelikanmu satu pakaian. Benar, kan?”
Mimi menggeleng nyaris terbahak. Ia baru menyadari kalau Jong-in menyimpan sisi humor yang tak terbaca. Dan bahwa alasan laki-laki itu membawanya ke Cheongdamdong adalah agar dirinya menganti pakaian kumalnya terlebih dulu sebelum benar-benar melakukan tugasnya. Oh baiklah, Jong-in menegurnya dengan sangat halus.
“Aku akan membayar pakaiannya sendiri.”
“Ah, tidak, tidak, tidak, aku yang membawamu kesini jadi aku yang harus membayarnya.” Tolak Jong-in dengan usulan Mimi.
“Kalau kau berniat membayarnya, aku akan menerima jika kau membayarnya dengan uangmu sendiri.”
Jong-in tersenyum. “Okay,” setujunya. “Aku akan membayar pakaian yang kau kenakan itu.”
“Ani-yo, aku tidak berbicara mengenai hari ini. Hanya berikan padaku ketika hari ulang tahunku.”
***
Mi-cha melipat tangannya di depan dada saat Mimi membukakan kamar hotel untuknya. Gadis itu mengembungkan pipinya saat adik kesayangannya tersenyum penuh penyesalan ke arahnya. Ini adalah keempat kalinya dalam hari ini Mi-cha mendatangi hotel tempat Mimi menginap, dan ketika jarum jam di angka sepuluh waktu malam, ia akhirnya bisa bertemu dengan Mimi.
“Mianhe, Oenni, ponselku rusak dan aku baru saja pulang kerja.”
“Jika aku tidak menghubungi nomor telepon hotelmu ini, kurasa kau tidak akan tahu jika aku seharian ini begitu mencemaskanmu.”
Mimi menghamburkan tubuhnya memeluk kakak perempuannya erat. Dagunya menumpu pada pundak kanan Mi-cha sementara bibirnya tersenyum lebar. “I love you so much, you know?” jujurnya. “Maaf sudah membuat konsentrasi kerjamu pecah karena aku.”
“Tidak apa-apa.” Balas Mi-cha sambil membalas pelukan adiknya lebih erat lagi. “Jika tidak membuatku cemas, aku malah ragu kalau kau itu adik kandungku.” Guraunya. Membuat pundak Mimi di dekapannya berguncang karena tawa. “And by the way, sejak kapan kau mulai mengemari produk D & G? Kupikir kau tidak akan merubah kesenanganmu dari Juicy Couture.”
Mimi mengurai pelukannya atas tubuh kakaknya. Matanya mengikuti arah pandang mata Mi-cha yang menatap tiga buah paperbag di atas meja tamu. Ia lupa menyimpan pakaian yang dibelinya tadi ke dalam lemari. “Sejak siang tadi, kurasa.” Jawabnya. “Satu lagi, Juicy Couture sudah tidak menjadi prioritasku sejak Wendy jadi perancang busana pribadiku.”
Mi-cha menagapi ucapan adiknya dengan menganggukkan kepala. Kemudian melemparkan tubuhnya ke sofa bersamaan dengan mimi yang berjalan ke arah lemari pendingin. Gadis itu menyerukan Cola saat Mimi menawarkan minuman kaleng padanya.
“Mimi-ya, jika aku bertanya sesuatu padamu, kau pasti menjawabnya, kan?”
Mimi mengangguk. Ia menaruh dua kaleng cola di atas meja sebelum mendudukkan tubuhnya di samping Mi-cha. “Memangnya apa yang ingin Oenni tanyakan padaku?” tanyanya.
“Soal iklan yang menjadi project barumu. Kudengar, kau akan merubah konsep yang sudah diadakan pengambilan gambarnya, apa itu benar?”
Mata Mimi menerawang sesaat. Berpikir apa ia harus memberitahu kakaknya mengenai usulan yang belum pasti disetujui itu atau tidak, sebelum akhirnya menggerakkan kepalanya naik turun menjawab pertanyaan tersebut.
“Wae-yo? Kau tidak menyukai hasil gambarku?” tanya Mi-cha penasaran.
Mimi mengoyang-goyangkan tanganya kekiri-kanan medengar pertanyaan Mi-cha. Meyakinkan kakaknya jika perubahan itu bukan karena acting Mi-cha yang buruk di depan kamera.
“Lalu apa?” Tuntut Mi-cha. Gadis itu sudah merubah posisi duduknya dengan melipat sebelah kakikya dan menghadap ke arah Mimi.
“Maaf, Oenni, tapi itu masih menjadi rahasia Tim ku sebelum direktur menyetujuinya. Jadi aku tidak bisa memberitahumu.”
“Ahhh…” Mi-cha menlengguh panjang. Ia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi sembari matanya terpejam. “Kalau kau sudah seperti itu, apapun cara yang kugunakan untuk memaksamu, kau tetap akan kekeuh tidak memberitahuku.”
Mimi tertawa kecil.kemudian matanya berbinar begitu menemukan ingatannya yang lalu. “Oenni,” panggilnya sembari menggoyang bahu kakaknya. “Saat pemotretan tempo hari, aku lupa memberitahumu sesuatu.”
“Apa?”
“Kau terlihat cantik dengan gaun pengantin itu. Kurasa, kau sudah saatnya menikah sekarang.”
“Mwo??” Mi-cha membelalakkan matanya. Namun sesaat kemudian mereka berdua tertawa keras bersama. “Lalu bagaimana dengan pasanganku? Dia sudah cocok jadi pengantin prianya, kan?”
lanjut ke The Forgotten #2 (2)