Sheet 6: Her Meet with Xi Luhan
Minhye’s POV
Langkahku terhenti ketika kakiku mulai menapak ke arah kamar 5. Aku seharusnya merangkak dan mencuri dengar tetapi malah berdiri mematung di depan pintu kamar 5 sambil menampakkan diri di sana. Itu semua terjadi karena aku melihat seseorang yang kukenal. Xi Luhan. Siapa yang tak kenal dia? Sekuper-kupernya remaja Seoul, dia pasti mengenal Xi Luhan. Ketenarannya sudah mewabah dan hal itu sudah tidak bisa dipungkiri lagi.
Ketika ia membuka pintu, aku baru sadar bahwa sedari tadi aku menatapnya dari balik kaca pintu. Ya Tuhan, sejak kapan aku bisa sebodoh ini..
“Minhye-a, ada apa?” kudengar ia bersuara tepat setelah pintu kamar nomor 5 terbuka.
Bukannya apa-apa, aku hanya sedang malas saja berurusan dengannya.
“Minhye? Minhye siapa? Saya bukan Minhye. Maaf Anda salah orang.” Ucapku, memalsukan suara sambil menunduk dan menurunkan topiku hingga wajahku tak tampak olehnya.
“Minhye-a, aku tahu itu kamu.” Ia tertawa. Aku bergeming, tetap menunduk dan bergegas untuk pergi.
“Maaf tapi saya bukan Minhye.” Kini, aku mulai menggerakkan kakiku untuk meninggalkan dia.
“Oh Ayolah, kamu mencoba menipuku? Kamu sangat buruk dalam memalsukan suara.” Ujarnya sambil memegang tanganku, mencoba mencegah kepergianku.
Dengan cepat, ia mengambil topiku, membuatku harus berbalik dan menghentikan penyamaranku.
“Dan lagi, Cuma kamu gadis di Seoul yang mengkuncir rambutmu begitu tinggi dan menggunakan topi hitam seperti ini.” Luhan kembali tertawa.
Aku menatapnya tajam. “AAH Arasso arasso aku menyerah. Iya aku memang Park Minhye!” geramku sambil menyilangkan kedua tanganku ke dada. “Dan..Bwo? Apa kamu baru saja mengatakan bahwa penampilanku tidak seperti yeoja di Seoul pada umumnya?”
“Aigoo..Apa kamu baru saja tersinggung?” Luhan terkikik.
“Aniyo. Aku tidak peduli kamu mau bicara apa.” Jawabku sambil menghindari tatapan matanya.
Luhan lalu memandangiku dari ujung rambut di kepala hingga ke tumit. Dia pasti menyadari bahwa aku sedang menggunakan seragam kerja ‘Fast Chicken’ dan menenteng dua box spicy wings.
“Fast Chicken? Ya! Sedang apa kau di sini?” tanyanya kemudian yang sudah bisa aku tebak.
“Bukan urusanmu.” Jawabku sambil mencoba untuk lari darinya lagi.
Apapun yang terjadi,pokoknya dia tidak boleh tahu bahwa saat ini EXOFINITE sedang mencari seorang vokalis utama dan dia juga tidak boleh tahu bahwa saat ini aku sedang dalam usahaku untuk mencari pengganti Baekhyun.
“Ya! Dingin sekali, jinjjha!” Dia menarik tanganku lagi. Eugh..Xi Luhan!!
“Bukankah kamu sebaiknya kembali berlatih? Festival Band tinggal 6 hari lagi.” Dia kembali membuatku harus mendengarkan kata-katanya.
“Sorry to say, but…EXOFINITE sudah terlalu siap untuk memenangkan juara 1.Buat apa latihan.” Aku memandangnya sambil tersenyum bangga yang dipaksakan.
Sesaat, Luhan tertawa sambil menutupi mulutnya menggunakan kedua tangannya. Bocah yang satu ini memang mempunyai kebiasaan untuk banyak tertawa. Dan dari nada tertawanya saat ini sepertinya ia tertawa mengejek.
“Bwoya?! Sudah siap tanpa seorang vokalis?!” ia menaikkan salah satu sudut bibirnya, membentuk seutas smirk sempurna.
Astaga.. Bagaimana ia tahu? Apakah gossip beredar secepat itu? Melebihi kecepatan cahaya? Omo…Aku sudah tidak tahu lagi harus berbicara apa sehingga aku melangkah pergi. Kali ini ia melepaskan genggaman tangannya ke pergelangan tanganku dan membiarkanku pergi.
Pencarianku di semua kamar (kecuali kamar nomor 5 tentu saja) akhirnya berakhir. Dengan sia-sia. Aku tidak menemukan seseorang yang kuharapkan akan menjadi vokalis EXOFINITE. Kulirik jam tangan yang melingkar di tanganku dan kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Aku harus pulang.
“Ya! Apa yang membuatmu begitu lama?!” teriak Sungjae setibaku di depan bangunan Rainbow.
“Mian. AKu harus bertemu dengan seseorang.” Jawabku lemas sambil melepaskan seragam ‘Fast Chicken’ dan artributnya.
“Hah! Jika kau terus seperti ini, aku pasti akan dipecat.” Keluh Sungjae
“Kalau begitu cari pekerjaan yang lain saja.”
“Heol Park Minhye! Aku sudah bekerja di sana selama lebih dari 3 tahun dan kamu sekarang ingin aku—“
“Kalau kamu sudah bekerja di sana selama lebih dari 3 tahun berarti mereka tidak akan memecatmu.” Ucapku datar.
Sungjae lalu diam, seakan mengiyakan ucapanku dan menatap ke wajahku dalam. “Ya. Apa kamu sedang dalam masalah?”
Aku mengedikkan bahuku. “Aniyo.”
“Geojitmal! Wajah surammu mengatakan semuanya—“
“aish..Sudahlah pergi saja. Bukannya kamu sudah ditunggu-tunggu di sana.” Aku mendorong tubuh jangkung Sungjae hingga ia akhirnya tiba di motor delivery nya.
Dia akhirnya menaiki motornya dan menggunakan helm.
“Baiklah, jika sedang dalam masalah, kamu bisa mengubungiku, eoh?”
Aku mengangguk. Sedetik kemudian, ia memulai mesinnya dan pergi.
Aku menghembus nafasku pelan.
Hidupku tidak pernah sesulit ini. Jika bukan karena oppa-oppa yang telah merawatku selama lebih dari 3 tahun ini, aku pasti sudah menyerah.
Ohoho apa baru saja aku bilang? Menyerah? Bukankah kata menyerah tidak pernah ada dalam kamus Park Minhye. Ya, Park Minhye. Sadarlah! Ini semua bukan apa-apa! Perjuanganku baru dua hari bukan?
“Ya.” Aku menegokkan wajahku untuk mencari sumber suara dan kembali kulihat wajah menyebalkan Xi Luhan sedang menyangga motor sport merahnya di pinggir jalan. Ia kini sudah mengenakan jaket hitamnya, sarung tangan hitam serta sebuah helm di kepalanya.
Aku malas berurusan dengannya saat ini sehingga aku berlalu tanpa mengindahkan Luhan yang kembali memanggilku.
“Ya Park Minhye!” Ia kembali memanggil sambil mengendarai pelan motor sport hitamnya.
Hingga hal tsb mungkin sudah berlangsung selama lebih dari 3 menit dan aku tetap tak mengindahkannya.
Merasa kesal, aku mengehentikan langkahku dan menengok ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku datar, padahal di dalam hati aku sudah meradang.
“Aku melihat semuanya. Usahamu untuk menemukan pengganti Baekhyun.”
Dia hanya ingin mengucapkan semua itu? Lalu?
“Aku kira EXOFINITE sudah siap tampil” lanjutnya lagi.
Jadi, dia memanggilku hanya untuk mengejekku? Eugh, aku tidak akan pernah mengerti pikiran orang sepertinya.
Aku kembali berlalu dan melangkah menjauh darinya.
Dan dia memanggilku lagi. “Ya, Park Minhye! Aku belum selesai!”
Aku tetap melangkah, melangkah dan melangkah..Hingga aku dengarkan teriakannya memanggil namaku berhenti. Digantikan oleh teriakan yang lain.
“Ya! Daerah tempat tinggalmu sedang ada tawuran. Apa kamu yakin untuk pulang sendiri lewat sana?”
Kali ini, usahanya berhasil. Kalimat itu seakan magnet yang menarikku sehingga aku berbalik arah dan menuju ke dirinya.
“Jinjjha?!” tanyaku dengan nada meninggi.
Ia mengangguk mengiyakan, masih dengan helmnya.
Ah, ini sungguh buruk. Di daerahku memang sering terjadi tawuran karena di daerahku ada dua sekolah menengah yang saling bersaing. Mungkin bisa dikatakan, bersaing dalam keburukan. Itulah mengapa aku tidak bersekolah di kedua sekolah tersebut. Orang-orang sering menyebut peperangan kedua sekolah tersebut dengan perang barat vs timur karena letak sekolahnya yang satu di barat dan yang satu di timur.
Singkatnya, hal itu berarti satu bagiku. Aku harus berjalan memutar dan perjalanan itu sangatlah jauh. Jika saja ini masih siang dan aku tidak selelah ini, mungkin aku mau melewati jalan memutar itu. Tapi saat ini, aku benar-benar sudah lelah dan langit sudah menghitam.
Aku sebenarnya ingin memanggil Chanyeol oppa untuk menjemputku tapi tidak bisa. Ia sore ini hingga malam nanti ada les. Kali ini aku berani mengatakan ia benar-benar les karena ia berangkat bersama Sungyeol oppa dan Dongwoo oppa. Mereka bertiga bahkan kompak dalam memilih lembaga bimbingan belajar.
Saat aku berpikir keras, tiba-tiba sebuah helm tampak di depan mataku.
Dan helm itu berasal dari tangan Luhan yang sedang memiringkan wajahnya, seakan mengisyaratkanku untuk ikut dengannya.
Well, aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin mengusik oppa-oppaku yang sedang belajar untuk ujian.
Angin berhembus sangat kencang saat itu. Untung saja sebelumnya aku telah mengeluarkan jaketku. Itu semua bukan karena musim gugur telah tiba, melainkan karena Luhan mengendarai motor sport merahnya dengan kecepatan di luar normal.
Bagaimana kecepatan 90 km/jam pisa dikatakan normal? Ah, tidak. 90 km/jam itu saat ia berada di jalan agak ramai. Kini ketika kita berada di jalan yang cukup sepi, ia menaikkan kecepatannya hingga 110 km/jam. Dia benar-benar telah kehilangan akalnya. Atau mungkin dia berpikir dia sedang berada di sebuah game dimana ada banyak nyawa?
‘Ckiitt’ Kali ini, dia menginjak rem dengan sangat tiba-tiba karena sebuah lampu merah. Tak ayal, tubuhku terpental ke depan karena gaya inersia.
“YA!” aku berteriak. Ia lalu memandang ke arah spion dengan wajah puasnya. Dari spion itu pula aku dapat melihat seringai yang ia buat.
“Micheosso?! Apa kamu tidak sadar kamu sedang membawa nyawa orang lain?!” kembali aku berteriak. Ia malah terkekeh kecil sambil tetap melihat ke depan.
“YA! Tidak boleh lebih dari 80 km/jam, arasso? Nyawaku sangat berharga!” dia masih terus terkekeh lalu lampu hijau kembali menyala.
Aish jinjja! Sepertinya keputusanku untuk ikut dengannya adalah suatu kesalahan terbesar yang sudah aku buat dalam seminggu ini.
Author’s POV
Ketika mulai memasuki gang-gang kecil, Luhan mengendurkan gasnya. Meskipun ia lebih suka mengendarai motor sport seharga mobil yang ia punya dengan kecepatan tinggi, tetapi ia cukup waras untuk tidak melakukannya di gang kecil seperti ini. Belokan siku-siku yang terlalu banyak seakan membatasinya untuk tidak menaikkan kecepatannya. Begitu juga karena banyaknya pemukiman di gang tsb. Tidak ada yang tahu bukan jika tiba-tiba seorang anak kecil lewat di depannya?
“Hah, jantungku hampir saja meledak!” jerit Minhye penuh kesal.
Luhan lalu membuka kaca helmnya dan menengok kea rah Minhye “Apa karena kamu sedang berada di boncengan seorang penyanyi terkenal sepertiku?”
Minhye menggeram. Bukan hanya karena kalimat yang Luhan lontarkan tetapi juga karena kekehan mengejek yang keluar dari mulutnya.
“Percaya diri sekali kau Xi Luhan. Apa kamu pikir semua yeoja akan jatuh hati kepadamu? Tch, Kamu salah besar.”
“Jelas saja, itu karena kamu bukan yeoja pada umumnya.” Luhan terkekeh lagi. Dapat terlihat olehnya wajah kesal Minhye yang ia harapkan.
Sejak Luhan mengenal Minhye, ia memang senang sekali menggodanya. Baginya, menggoda Minhye dan melihat wajah marahnya adalah hiburan tersendiri yang tidak pernah tampak membosankan di matanya. Wajah merah penuh amarah Minhye yang seakan-akan mengeluarkan asap. Itulah pemandangan yang ia harapkan setiap kali ia bertemu dengan Minhye.
“Ya! Xi Luhan! Mengapa kamu tadi tidak berlatih bersama kawanmu dan malah pergi ke karaoke?” Tanya Minhye, berusaha mengusir keheningan. Ia tidak ingin suasana menjadi awkward.
“Kamu pikir kita butuh latihan? Ya, INFEXO sudah terlalu siap untuk memenangkan juara 1.” Jawab Luhan tegas sambil menunjukkan Minhye seringainya melalu spion.
“Bwoya?! Ya, apa kamu hanya bisa mengcopy paste ucapanku? Tch, plagiat.”
Luhan terkekeh “Kou-pi-pes-teu? Minhye-a, berapa nilai yang kau dapatkan di pelajaran bahasa Inggris? Mengucapkan copy paste saja tidak bisa.”
Minhye kembali menggeram. Mata sembilunya menatap tajam kea rah Luhan melalui spion.Kedua tangannya ia silangkan ke dada. Kesal dan marah. Kedua kata itu yang ada di otak bagian pengontrol emosi milik Minhye saat ini. Bagaimana tidak, setiap ia bertemu dengan Xi Luhan, selalu ada pertengkaran di antara mereka dan Luhan terlalu pintar untuk selalu menemukan cara dalam membuat Minhye kesal.
Diam. Itulah yang Minhye putuskan beberapa menit ke depan. Ia tidak ingin berbicara banyak dengan Luhan karena itu hanya akan membuat darahnya bertambah naik pitam. Dan jika itu terus terjadi, Minhye mungkin bisa saja mencekek leher Luhan karena suasana yang mendukung dan Minhye tidak ingin hal itu terjadi sehingga ia memilih untuk diam.
Kyungsoo menunduk lemah, dengan ponsel hitam yang masih ada di tangan kanannya. Berpuluh-puluh panggilan telah ia buat dan itu semua hanya berakhir dengan sebuah missed call. Menyerah, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan membersihkan diri.
Ucapan Kang Saem dan eommanya menginvasi kepala beberapa menit ini. Bahkan, mungkin beberapa jam ke depan. Sesuatu mengenai eommanya, ia tidak dapat begitu saja melupakannya. Ia mulai berpikir bahwa ucapan Minhye beberapa tempo yang lalu benar, bahwa suara indahnya diciptakan tidak sia-sia. Bahwa suara indah yang ia miliki harus digunakan selayaknya pemilik suara indah lain lakukan. Menjadi penyanyi. Ia baru saja sadar, bahwa ucapan Minhye telah mengingatkannya kepada apa yang almarhum eommanya ucapkan kepadanya.
Nae, aku ingin berdiri di panggung yang sama dengan eomma dan membuat banyak orang bahagia.
Ucapannya 7 tahun yang lalu terngiang kembali. Ucapan yang semakin ia dalami arti dari ucapan tersebut, semakin ia merasakan bahwa ucapannya tsb adalah sebuah janji. Janji kepada eommanya yang belum ia wujudkan.
Dua tahun yang lalu, ia sempat akan mewujudkannya tapi, suatu hal terjadi. Hal yang benar-benar tidak ia harapkan untuk terjadi. Kesempatan yang bisa saja ia dapatkan untuk mewujudkan impian tsb, remuk dan kandas. Yang tersisa sekarang hanyalah, masa lalu yang menggelayut, penyesalan serta ketakutan. Kyungsoo tidak semudah itu untuk memulai semuanya kembali.
“Arrrgh!” Kyungsoo mengacak-acak rambutnya ketika surai hitamnya itu basah oleh guyuran air hangat dari shower yang ada di tangannya.
“Kamsahamnida” Minhye membungkuk kea rah Luhan yang kini sedang bersandar pada motor sportnya yang sudah distandard.
Bukannya sebuah kalimat balasan, Minhye malah mendengarkan suara blitz berbunyi serta cahaya putih terpendar cepat.
Ia kemudian mengangkat wajahnya untuk melihat apa yang terjadi dan amarahnya kembali muncul.
“Bwoya?!”
“Park Minhye sedang membungkuk dengan sopannya. Hal ini patut untuk diabadikan.” Luhan mengangguk-angguk puas lalu memasukkan benda pipih berwarna hitamnya tsb ke saku celananya.
“Xi Luhan..” bisik Minhye yang kini sedang mengontrol emosinya dan
Gagal. “XI LUHAN KAMU BENAR-BENAR INGIN MATI MUDA,EOH?!”
Serbuan tendangan brutal dari Minhye kini menyerbu Luhan.
Itulah kebiasaan jika Minhye marah. Menendang sang pelaku yang telah membuatnya marah. Mungkin jika Minhye terlahir sebagai seorang namja, ia akan menjadi pemain sepak bola nasional. Yah, mungkin saja. Mungkin juga ia telah mempraktekan tendangan mautnya sejak dari perut ibunya.
Sesampainya di dalam rumah, Minhye menghela nafasnya pelan.
“Eomma, appa, aku kembali..”
Biasanya, saat Minhye dating, ia akan menyambar makanan yang telah ibunya masak atau bercengkrama dengan appa dan eommanya. Tapi kali ini, rutinitas itu tidak terjadi. Ia langsung menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Orang tua Minhye juga terheran-heran tetapi mereka mengabaikan perubahan kebiasaan yang terjadi pada diri Minhye karena merekap berpikir bahwa Minhye mungkin sedang sangat lelah.
Sesampainya di dalam kamar, Minhye melemparkan tas sampingnya malas. Hari ini, lagi-lagi, usaha pencariann ya gagal. Ia merasa tidak berguna dan yang bisa dia lakukan sekarang adalah mengeluh.
“Apa aku harus memberitakannya di teve?” sebuah ide (gila) dating ke kepalanya.
Kemudian ia menggeleng. “ Ah, itu semua tidak mungkin.Memangnya aku anak konglomerat atau apa? Untuk beli sepatu N*KE new release saja aku harus menabung dari uang jajanku.”
Ia merebahkan badannya ke atas kasur empuknya. “Kasur empuk, seraplah semua kelelahanku dan berilah aku inspirasi!” teriak Minhye sambil memejamkan matanya, berusaha berpikir sesuatu.
“Bagaimana caranya agar semua orang tahu bahwa aku sedang mencari vokalis pengganti?”
“Aah aku sungguh tidak tahu! Aish jinjjha!” saking kesalnya, Minhye kini menggerak-gerakkan seluruh anggota tubuhnya secara brutal di atas kasur.
Hingga tas samping yang tadi ia letakkan (lemparkan) ke kasur jatuh. Karena tas sampingnya itu tidak memiliki retsleting, beberapa buku dari dalam tas tsb tampak mencuat keluar. Meskipun tidak sepenuhnya keluar dari tas. Ia lalu turun dari kasur queen size nya dan mengambil tas tsb. Buku yang sedikit mencuat lalu ia masukkan kembali.
Saat itulah sebuah pemandangan membuatnya membatu.
Sebuah brosur diskon sepatu N*KE entah sejak beberapa bulan yang lalu tampak terselip di sebuah buku, menampakkan dirinya seakan-akan meminta untuk diambil.
“Apakah memberitakan tawaran vokalis pengganti sama halnya dengan memberitakan diskon sepatu?” Ia memiringkan kepalanya.
“Aaah. Park Minhye, aku tahu bahwa kamu adalah yeoja yang cerdas!” Minhye tertawa puas lalu membuka laptop yang berada di meja belajarnya. Ia tekan tombol power dengan penuh semangat lalu menunggu benda elektronik pintarnya tersebut untuk siap dioperasikan.
"Ya, darimana saja kau?" tanya Kai sambil mengecek senar gitarnya ketika melihat Luhan memasuki studio.
"Aku baru saja bertemu dengan Minhye. Sepertinya dia sedang kelabakan mencari vokalis pengganti Baekhyun." jawab Luhan sedikit tidak menjawab inti pertanyaan Kai, melempar tasnya entah kemana dan duduk di atas sofa yang terletak di pojok studio. Wajahnya menunjukkan raut wajah puas.
"Hyung, apa kamu mengganggunya lagi? Mengapa kamu hobi sekali menggoda yeoja dengan gender tak jelas itu." Sehun yang sedari tadi memainkan drum sticknya kini ikut nimbrung
"Gender tak jelas?" Luhan terkekeh sebentar lalu mengambil smart phone id saku celananya "Dia cukup menarik. Kalian harus melihat ekspresinya ketika marah."
Kai yang sedari tadi duduk di kursi sambil mengecek senar gitarnya hanya bisa menggeleng pelan dan menghembuskan nafasnya. "Sakit jiwa. Kamu sepertinya punya kelainan untuk membuat gadis itu marah."
Luhan tersenyum tipis sambil mengingat apa yang telah terjadi "Mungkin." Ia mengedikkan bahunya lalu berdiri "Oh ayolah, lebih baik kita sekarang latihan saja."
Cahaya matahari pagi menembus jendela serta gorden kamar milik Minhye, membangunkan yeoja berusia 16 tahun yang kini sedang meletakkan kepalanya lelah di atas meja belajar. Mata rusanya membuka perlahan dan ketika ia sadar cahaya matahari pagi bagi mengenai manik matanya, ia mengernyit dan memejamkan matanya.
“Sudah pagi?” ia menggosok-gosok kedua matanya pelan sambil stretching di tempat duduknya.
Dilihatnya laptopnya sudah padam dan tak jauh dari tempat ia duduk sekarang, segunduk tumpukan kertas menggunung di bawah printer berukuran besar yang merangkap sebagai scanner serta alat foto copy tsb.
Diambilnya tumpukan kertas tsb lalu tampaklah senyum bangga tersungging di wajahnya.
Minhye sengaja berangkat pagi hari ini. Ia tidak peduli lagi akan apapun termasuk sarapan. Setelah mandi, ia langsung mengambil tas yang bahkan bukunya belum ia pilih sesuai jadwal. Buat apa? Toh, ia menulis semua catatan pelajaran di satu buku yang sama dan ia tidak butub buku paket karena Soojung pasti mau berbagi buku paket dengannya. Meskipun begitu, ia tidak lupa bahwa hari ini ada olahraga sehingga ia memasukkan baju olahraga ke dalam tasnya. Make up? Oh ayolah, Minhye bahkan tidak menggunakan bedak apalagi make up.
“Eomma, appa, aku berangkat!” tanpa menunggu jawaban, ia langsung melesat dan nangkring di boncengan motor sport oppanya, Chanyeol.
“Ya, ada apa? Tumben sekali kamu menyuruhku untuk berangkat pagi-pagi?” Tanya Chanyeol yang matanya menyiratkan bahwa ia masih ingin bermesraan dengan kasurnya.
“Rahasia, mehrong!” Minhye menjulurkan lidahnya kea rah Chanyeol.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Minhye menyuruh oppanya untuk berhenti.
“Oppa,stop! Aku akan turun di sini saja!”
“wae? Apa kamu malu punya oppa sepertiku?”
“Aniyo..Aku berjanji untuk menunggu Soojung di gerbang pagi ini.” Ucap Minhye, mencoba berbohong dan anehnya, oppanya hanya bisa menurut. Ia menarik rem lalu menyangga motornya yang sudah berhenti menggunakan kaki kanannya yang jenjang.
“Gomawo oppa.”
Kyungsoo memandang kea rah smartphone hitam yang sedari tadi ia pegang. 20 missed calls.
Ia hanya bisa diam sambil terus berpikir. Mengapa aku bisa begitu ingin menelponnya? Apa sesungguhnya…aku ingin berminat dengan tawaran Minhye?Apa sebenarnya, aku tidak sadar ingin menjadi vokalis pengganti EXOFINITE?
Kyungsoo mengedikkan bahunya lalu memasukkan benda kotak pipihnya itu kembali ke dalam saku celananya.
Meskipun begitu, kepalanya masih terpusat akan pikiran yang menghantuinya semalaman.
Do Kyungsoo…Apa kamu benar-benar ingin bergabung dengan EXOFINITE? Apakah diam-diam, sebenarnya aku ingin mengiyakan tawaran Minhye?
Melangkah menuju gerbang, langkahnya terhenti ketika ia melihat Minhye dari kejauhan sedang mengedarkan sesuatu. Di tangan kanannya banyak terdapat kertas berwarna-warni.
Penasaran dengan isi dari kertas ukuran separo kertas F4 itu, Kyungsoo mendekat kea rah siswa yang sedang memegang salah satu kertas tsb.
“Permisi, bolehkah aku melihatnya sebentar?” ucapnya ke yeoja di depannya. Si yeoja yang menengok ke arah kyungsoo lalu mengangguk dan memberikan selebaran kertas tsb ke Kyungsoo.
Dicari! Vokalis pengganti sementara Byun Baekhyun, seorang vokalis band ternama di Korea, EXOFINITE, untuk mengikuti festival band.
What will you get: 1. Pengalaman 2. Uang (jika menang) dan 3. Teman
Bersama EXOFINITE, mari meraih mimpi!
Berminat? Hubungi 8520 xxxx xxxx
Saat itu juga, Kyungsoo merasakan ada perasaan berkecamuk di dadanya. Dua sisi sedang berperang di dalam batinnya. Sisi dimana ia ingin bergabung dan sisi dimana ia tidak ingin bergabung. Ia merasakan bahwa ia harus segera memutuskan, apakah ia akan bergabung dengan EXOFINITE atau tidak.