*JaeHyun pov
Sudah kuduga, para Dewa tidak mungkin melewatkan satupun persembahan yang akan diberikan kepada-Nya. Mungkin saja Tuan Aimster senang dengan keputusan para Dewa yang membuatnya punya kegiatan besar lagi selain pulang-pergi ke gedung pengadilan. Aku sudah tidak bisa membedakan siapa yang membantuku dan siapa yang menjerumuskanku.
“Tidak ingin keluar untuk menyaksikannya?”
“Kau sudah puas? Kalau saja aku diberikan permintaan terakhir sebelum aku dihukum, aku ingin dihukum 10 kali lebih berat setelah membunuhmu di depan ayah angkatmu, di tengah-tengah warga BlanchLand dan memberi makan mayatmu untuk anjing-anjing penjaga.” Aku berjalan menghampiri Greyvond dengan penuh kemarahan.
“Tidak tidak… Ini bukan akhir yang aku inginkan. Kau yakin tidak ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya? Kau tega membiarkannya menghadapi kematiannya sendirian setelah dia merindukanmu setengah mati semalaman?” Greyvond terkekeh dengan nada meledek seakan-akan semua ini hanya permainan baginya. “Aku yakin saat ini kau sangat ingin berlari menemuinya dan menyelamatkannya, bukan? Ayolah, aku akan membantumu kali ini. Memangnya apa yang Tuan Aimster lakukan untuk membantumu?”
Aku sadar betul dia sama sekali tidak bisa dipercaya. Tapi aku tidak bisa memungkiri kalau saat ini aku sangat ingin pergi kesana. Setidaknya masih ada kesempatan untuk menyelamatkannya sebelum semuanya terlambat.
“Tik tok tik tok… Waktu terus berjalan, Terrowin… Hm?” Greyvond mengetuk-ngetukkan gembok pintu penjaraku bermaksud untuk menggodaku dengan tawarannya itu.
***
*Author pov
Seluruh warga BlanchLand terkecuali para budak berkumpul di halaman Lord’s Mansion untuk menghadiri upacara pengorbanan. Lord Walden beserta petinggi lainnya baru saja tiba di podium dan langsung duduk bersama Tuan Aimster. Tuan Aimster lebih dulu mempersilahkan Lord Walden berdiri di mimbar untuk memberikan sambutan kepada seluruh warga yang hadir.
“Kepada seluruh warga Blanchland, diberkatilah kalian semua karena telah hadir dalam upacara pengorbanan kali ini. Seperti yang sudah kalian ketahui, kembali terjadi penyimpangan atas hukum yang paling sakral di Blanchland. Tentu kalian sudah mengetahui apa yang akan terjadi dengan Blanchland, kita semua di dalamnya, apabila melanggar hukum itu. Para Dewa yang selama ini telah melindungi Blanchland, kita tidak seharusnya mengkhianati hukum itu. Oleh karena itu, untuk menebus kesalahan atas pelanggaran The Law, kita akan memulai upacara pengorbanan hari ini.” Lord Walden kembali ke tempat duduknya setelah memberikan sambutannya.
Tuan Aimster berjalan menuju mimbar dan memperhatikan kerumunan yang sedikit demi sedikit membuka jalan. Vander, BlackGuard, beserta para penjaga berjalan menuju podium pengorbanan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari podium utama bersama JiWon dengan tangan yang diborgol dan berjalan tanpa alas kaki. Pakaiannya pun sudah berganti menjadi terusan berwarna putih polos. Tidak dipungkiri saat ini JiWon sangat ketakutan berjalan diantara ribuan warga yang hanya bisa memperhatikannya dengan berbagai macam tatapan.
“Dengan dilangsungkannya upacara pengorbanan ini, mari kita memohon kepada para Dewa untuk dapat mengampuni kesalahan yang telah mengancam keberlangsungan hidup warga Blanchland.” Tuan Aimster berhenti sejenak sebelum melanjutkan, menunggu Vander dan yang lainnya sampai diatas podium pengorbanan. “Semoga para Dewa dengan tangan terbuka menerima persembahan yang kita semua berikan, semoga para Dewa dapat terus melindungi Blanchland dari segala bahaya yang mengancam, semoga para Dewa dapat menjauhkan kami semua dari keinginan untuk melanggar The Law yang kami hormati.” Semua orang yang hadir mengulangi setiap kalimat yang Tuan Aimster ucapkan.
Sementara itu…
Dengan langkah cepat Greyvond dan Terrowin bergegas menuju halaman Lord’s Mansion. Tampak di wajah Terrowin keresahan yang sejak semalam membayanginya. Dia berharap upacara itu belum berakhir begitu dia tiba.
“Terkutuklah Lord’s Mansion yang sangat luas ini.” Maki Terrowin dalam hati.
Berbanding terbalik dengan Greyvond yang walaupun harus ikut berjalan dengan cepat, dia sangat tenang dan justru terus tersenyum seperti sedang menunggu hal yang menarik akan terjadi. “Kalau kau macam-macam denganku, semua orang bisa melihat kita.” Greyvond mendapatkan kekuatan untuk menjadi tidak terlihat yang Terrowin yakini bahwa kekuatan itu baru saja dia dapatkan secara ilegal dengan menyangkut-pautkan dirinya sebagai anak Lord Walden.
Mereka berdua berjalan menerobos kerumunan mendekati podium utama. Terrowin mengedarkan pandangannya mencari-cari dimana JiWon sekarang.
Salah satu penjaga yang bertugas di podium pengorbanan mengarahkan JiWon untuk naik ke sebuah pijakan kemudian mengalungkan tali tambang ke leher JiWon. “JaeHyun, kalau ini benar-benar waktu terakhirku hidup di dunia ini, aku hanya ingin kau tau kalau aku benar-benar mencintaimu. Aku berharap disaat seperti ini kau datang menyelamatkanku, tapi aku sadar kalau kau tidak mungkin bisa melakukannya disaat seperti ini.” Air mata JiWon mengalir membasahi pipinya, wajahnya memerah, seluruh tubuhnya bergetar, keringat dingin membasahi telapak tangannya yang masih terborgol.
“Tuan Aimster, hentikan semuanya!!” Teriak Terrowin dari bawah podium. “Buat aku terlihat sekarang, Greyvond!” Dengan perasaan yang bercampur aduk Terrowin hanya bisa bergantian melihat kearah Tuan Aimster sambil masih berharap dia tidak benar-benar melakukannya, dan hanya bisa melihat JiWon yang berdiri dari kejauhan.
“Aku membantumu datang kesini, bukan berarti kau bisa memerintahku…” Tanggap Greyvond yang terlihat sudah tidak sabar menunggu Tuan Aimster menyelesaikan semuanya.
“Kalau itu maumu…” Terrowin melayangkan tendangan ke wajah Greyvond dan membuatnya jatuh tersungkur yang membuatnya tidak sadarkan diri. Secara bersamaan kekuatan yang sejak tadi Greyvond gunakan langsung menghilang dan kini membuat dia berdua terlihat.
Kejadian itu membuat semua orang yang berdiri di sekitar mereka langsung terkejut karena tiba-tiba mereka berdua muncul dengan situasi seperti itu. Jangankan dengan apa yang dilakukan Terrowin barusan kepada Greyvond, kehadiran Terrowin disana lantas menarik perhatian seluruh penjaga yang menjaga podium.
“Tuan Aimster, hentikan!! Kau tidak bisa melakukan ini semua!!” Terrowin berlari menaiki tangga podium yang cukup tinggi. Dia tidak peduli dengan gerombolan penjaga yang datang dari atas podium untuk menahannya. Lord Walden dan seluruh petinggi yang mendengar keributan dari bawah podium beranjak dari tempat duduknya untuk melihat, termasuk Tuan Aimster.
Terrowin yang mendapati Tuan Aimster sedang melihat kearahnya melemparkan tatapan memohon sambil masih berteriak untuk tidak melakukan upacara ini. Para penjaga saat ini sudah berhasil menangkap Terrowin membawanya menjauh dari area podium, Terrowin masih berusaha untuk melepaskan diri dari penjaga walaupun dia tau dia tidak akan bisa.
“Tuan Aimster…” Lord Walden beralih dari Terrowin dan memberikan tanda kepada Tuan Aimster. Tuan Aimster yang sempat terpaku melihat Terrowin tersadar dan kembali ke mimbarnya.
“Kepada para Dewa yang melindungi Blanchland… Semoga Kau menerima persembahan ini…” Tuan Aimster menarik nafas panjang.
“Tuan Aimster aku memperingatkanmu!!”
Tuan Aimster mengalihkan pandangannya kearah podium pengorbanan, penjaga yang akan memotong tali penahan yang akan menggantung JiWon masih menunggu tanda dari Tuan Aimster. Dengan berat hati Tuan Aimster mengangguk memberikan tanda. Penjaga yang sedari tadi menunggu pun langsung memotong talinya.
“Diberkatilah Blanchland! Diberkatilah Blanchland! Diberkatilah Blanchland!” Seru seluruh warga secara terus-menerus.
JaeHyun jatuh bersujud dan membeku melihat apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Tanpa sadar air matanya mulai mengalir. Walaupun dari kejauhan JaeHyun dapat melihat bagaimana detik-detik tali yang melingkar di leher JiWon mulai menjerat dan menggantung JiWon disana, bagaimana dia bisa sanggup melihat saat tubuh JiWon tergantung dan meronta-ronta karena mulai kehabisan nafas, wajahnya mulai memucat, matanya yang memerah mengeluarkan air mata. Marah, bersalah, kecewa, sedih, semuanya bercampur menjadi satu di dalam diri JaeHyun saat ini. JiWon sudah terlihat tidak meronta lagi yang artinya kini jiwanya sudah meninggalkan tubuhnya yang masih tergantung disana.
***
*JaeHyun pov
Aku menarik nafas semampuku dan berusaha untuk berdiri, aku melihat kearah Greyvond yang mulai tersadar. Melihatnya membuatku semakin ingin membunuhnya. Aku berjalan kearahnya disaat para penjaga lengah.
“Awwww… Terrowin, kau membuatku melewatkan pertunjukan yang….” Aku bahkan tidak membiarkannya melanjutkan kalimatnya dan kembali menendang wajahnya. Darah segar menyembut dari mulutnya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memukulinya wajahnya habis-habisan.
Para penjaga menarikku menjauh dari Greyvond dan menyeretku pergi dari sana sementara penjaga yang lainnya membantu Greyvond untuk berdiri. “Kalian seharusnya membiarkanku memukulinya sampai mati!!”
Sesekali aku melihat kearah podium pengorbanan saat penjaga membawaku pergi untuk mengembalikanku ke penjara. Mereka mulai menurunkan tubuh JiWon yang sudah tidak bernyawa dan memasukkannya kedalam mobil jenazah yang sejak tadi sudah menunggu disana.
***
*JaeHyun pov
Aku kembali ke sel tahananku masih dengan tangan yang berlumuran darah Greyvond tadi dan begitu juga dengan pakaianku.
Aku menjatuhkan tubuhku dan duduk bersandar di tembok. Tatapan itu tidak bisa hilang dari kepalaku. Matanya yang memerah melihat kearahku… Tatapan yang memberitahuku bahwa yang dia rasakan saat itu lebih menyakitkan dari jeratan tali di lehernya.
Kalimat-kalimat yang selalu kuutarakan kepadanya kembali berdatangan memenuhi ingatanku. Bagaimana aku berkali-kali mengatakan kepadanya untuk percaya kepadaku, bahwa aku akan melindunginya, menyelamatkannya dari semua ini… Dia pergi begitu saja tanpa aku bisa menepati semua janjiku. Semuanya sangat tidak adil untuknya. JiWon tidak melakukan apapun yang menjadikannya pantas untuk menjalani pengorbanan itu.
“Terkutuklah Greyvond… Terkutuklah Lord Walden… Terkutuklah semua warga Blanchland… Terkutuklah Tuan Aimster… Terkutuklah Blanchland…para Dewa…..” Gumamku dengan penuh rasa penyesalan. Kalau saja aku hidup sekali lagi… Aku tidak ingin terlahir menjadi bagian dari negri terkutuk ini.
***