Derap langkah terdengar cepat menyusuri anak tangga sekolah teratas yang menuju ke atap sekolah. Sungyeol berlari secepatnya dengan rasa cemas yang menyelimuti perasaannya. Sesampainya di anak tangga teratas, terdapat sebuah pintu yang tertutup. Dicobanya memutar gagang pintu itu. Namun pintu tersebut tidak bisa terbuka. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menguncinya dari arah sebaliknya.
Sungyeol tetap berusaha dengan gigih mendobrak pintu itu sekuat tenaga. Berkali terus dicobanya dan akhirnya pintu pun berhasil terbuka.
Sebuah pemandangan atap gedung dengan warna biru langit yang terhampar luas menghiasi. Hanya keheningan dan suara angin sepoi-sepoi yang terdengar. Wajah Sungyeol pun semakin nampak pucat pasi melihat ke sekeliling atap. Di setiap sudut dan siku yang menyekat pandangannya ia datangi. Hingga akhirnya tersisa satu siku dinding yang berada di pojok sebelah timur gedung. Di sekitarnya banyak terdapat tumpukkan kursi lawas yang tampaknya sudah usang. Dengan cepat ia menuju tempat itu.
Akhirnya, pencarianpun berakhir. Benar saja, Myungsoo sedang duduk di balik tumpukkan kursi paling ujung. Duduk dengan bersedekap tangan terpangku di atas kedua lulutnya. Disembunyikannya wajah tampannya yang mungkin saat ini sedang tak enak dipandang orang lain itu. Tapi tidak bagi Sungyeol. Karena dialah satu-satunya sahabat yang selalu berada di samping Myungsoo baik dalam keadaan suka maupun duka.
“L…” panggil Sungyeol. Myungsoo pun segera menoleh ke arah suara yang tak asing untuknya itu.
“Hyeong…” suaranya bergetar menjawab panggilan Sungyeol. Wajah penuh garis kerut dan lipatan akibat wajah yang barusaja dilipatnya di antara lengannya.
Sungyeol dengan hati-hati melangkah mendekati L. Perasaan cemasnya pun perlahan memudar dan berubah menjadi lebih tenang. Ia pun jongkok di hadapan Myungsoo.
“Gwaeonchana?” Tanyanya sambil menepuk bahu sahabatnya.
“Eottoke, hyeong? Eottokaji?”
“Kumohon, kuatlah L.”
“Bagaimana bisa mereka bersikap begini padaku? Naega…”
“Gwaeonchana! Aku akan selalu bersamamu. Kenapa kau harus kesini? Sungguh, kau membuatku takut L.”
“Mainhaeyo…”
“Arraseo. Kajja!”
Sungyeol membantu Myungsoo berdiri. Lagi-lagi ia menepuk punggung Myungsoo lembut, mencoba menenangkannya dan terus memberi semangat. Sungyeol memutuskan untuk kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran sampai akhir. Sementara Myungsoo pergi ke UKS dan meminta obat penenang kepada Guru Jang Nara.
Setelah pelajaran hari itu berakhir, Sungyeol mampir ke kelas Myungsoo untuk mengambil tasnya bersamanya. Kini ia datang tidak seramah biasanya. Terlebih karena kejadian tadi pagi, seisi kelas terutama para namja menatapnya dingin.
Baru saja Sungyeol sampai di bangku Myungsoo dan mengambil tasnya, tiba-tiba saja ia mendengar suara Mijoo yang sengaja mendatanginya meski tahu akan mendapatkan sikap tak bersahabat darinya.
“Apakah L baik-baik saja, Oppa? Bagaimana keadaannya sekarang?”
Mendengar pertanyaan Mijoo tersebut tak membuat Sungyeol menjadi simpati padanya. Dengan sikap dingin dan nada bicara yang ketus Sungyeol menjawabnya tanpa menatap wajah Mijoo sedikitpun yang saat ini sedang berdiri di belakangnya.
“Kau masih berani menanyakan keadaannya? Cih! Kau benar-benar perempuan munafik, Mijoo! Sebelum kau mengkhawatirkan orang lain, sebaiknya kau khawatirkan saja dirimu dulu. Aku takut pikiranmu sedang bermasalah.”
Sungyeol lantas pergi meninggalkan Mijoo dan kelas 2-2. Perbincangan sesaat itu masih tetap mengundang perhatian dan tanya seisi kelas. Mijoo pun menjadi malu karenanya. Sampai-sampai ada beberapa teman yeoja sekelasnya yang memberikan pertanyaan dan kritikan pedas padanya.
“Ya Lee Mijoo! Sebenarnya kau ini siapa? Apa kau benar-benar wanita penggangu seperti yang dibicarakan anak kelas sebelah itu, eoh?”
“Benar. Aku jadi penasaran. Sebenarnya kau dan anak baru itu termasuk Myungsoo punya hubungan seperti apa?”
“Iya. Aku juga penasaran.”
Mendengar perkataan teman-teman sekelasnya tentu saja membuat Mijoo menjadi sedih. Bahkan sebagian tubuhnya menjadi gemetar dan lemas karenanya. Tapi ia tetap memberikan jawaban. Tentu saja jawaban yang membuat seisi kelas menjadi kaget setengah mati. Sebuah pernyataan yang tidak dapat dipercaya.
“Jadi kalian ingin tahu apa hubunganku dengan Myungsoo dan Sungyeol? Lee Sungyeol adalah kakak sepupuku. Sementara Kim Myungsoo adalah mantan pacarku! Apa kalian puas sekarang?”
“Mwo?”
“Woah… daebak!”
“Jinja?”
“Wah… sulit dipercaya. Jadi mereka bertemu lagi di sini ya?”
“Woah… pantas saja mereka sampai segitunya ya.”
Karena pernyataan Mijoo itulah akhirnya seluruh teman sekelasnya menjadi heboh. Dan banyak di antrara mereka yang membuat kehebohan dengan menceritakan kabar itu dan menyebarkannya kepada teman-teman dari kelas lain melalui sosial media. Dan dalam sekejap Mijoo pun menjadi trending topik seantero sekolah.
Di perjalanan pulangnya Sohyun, Yoojung dan Saeron pun tak ketinggalan membahas kejadian yang terjadi di kelasnya hari ini.
“Ya, adeul-ah! Bukankah menurut kalian si Mijoo itu terlalu murahan?” Tanya Yoojung menharapkan tanggapan kedua sahabatnya.
“Kali ini aku sependapat denganmu Jungie.” Jawab Saeron mendukung.
“Benar, kan?! Terlihat sekali dari sikap Sungyeol yang sepertinya membenci Mijoo.”
“Tapi kenapa Sungyeol harus membenci adik sepupunya dan lebih mendukung Myungsoo?” Kali ini Saeron yang bertanya.
“Justru karena itu aku menganggap Mijoo murahan. Pasti Sungyeol tahu bagaimana sifat adiknya itu dong. Makanya dia lebih membela Myungsoo.” Tanggap Yoojung.
“Tapi bukannya Mijoo jadi terlihat kasihan karenanya?”
“Ah… aku tak melihatnya perlu dikasihani. Justru dia sendiri yang sudah membuatnya menyedihkan.”
Ya, meski pun mereka tengah jalan bertiga, hanya suara Sohyun saja yang tak terdengar. Ia tampak diam dan hanyut dalam pikirannya sendiri Hingga akhirnya Yoojung pun menyadarkannya.
“Ya Kim Sohyun! Kenapa dari tadi kau diam saja, eoh?” Tanya Yoojung heran.
“Eoh? Eoh…” sahut Sohyun bingung.
“Waegure? Gwaenchanie?” Tanya Yoojung lagi.
“Naega? Gwaenchana…” sangkal Sohyun kali ini sambil tersenyum palsu.
“Jinja? Kurom. Eotte?” Timpal Yoojung memastikan.
“Mwoga?” Kini Sohyun yang bingung dengan sikap sahabatnya itu.
“Ya!” Seru Yoojung kesal.
“Sudah, sudah, Jungie-ah!” Sambar Saeron yang nampaknya agak mengerti kondisi Sohyun saat ini.
“Hyunie-ah, kau yakin tak apa-apa? Karena sepertinya daritadi kau bengong saja. Padahal sedari tadi juga kami sedang membicarakan Mijoo.” Jelas Saeron mencoba menyadarkan Sohyun sambil mencegah amarah Yoojung dengan menahan lengannya.
“Mianhae, Chingudeul. Aku sedang banyak pikiran.” Jawab Sohyun lesu.
“Kuronika, ceritakanlah pada kami jika kau ada masalah.” Ujar Yoojung ketus.
“Maaf teman-teman. Ada yang harus kulakukan. Aku duluan, eoh? Sampai besok!”
Sohyun pun pergi meninggalkan Saeron dan Yoojung dengan terburu-buru. Lambaian tangan di layangkannya sebagai salam perpisahannya. Tak lupa ia memeragakan lambang hati dengan kedua tangannya.
“Aish… jinja. Apa dia benar-benar jatuh cinta saat ini?” Geming Yoojung.
“Tapi aku punya firasat buruk padanya.” Sahut Saeron.
“Waeyo?”
“Molla. Keunyang…”
“Apa sebaiknya aku jujur saja padanya? Aku tak ingin membebaninya.”
“Hajiman. Belum saatnya. Kalaupun saat itu tiba, aku ingin dia yakin dengan perasaannya sendiri. Biarkan dia yang mengungkapkan perasaannya padamu jika memang dia memilih Kim Myungsoo, Yoojung. Kau mengerti kan maksudku?”
“Eoh, arrao! Hah… Uri-Sohyun yang malang.”
“Kuharap suatu hari nanti ia akan menemui kebahagiaannya.”
Saeron dan Yoojung pun melanjutkan perjalanan pulangnya setelah mereka memastikan bahwa Sohyun lenyap dari jangkauan pandangannya.
*****
Siang itu Choi Minho pergi ke sebuah service center khusus ponsel di sekitar Gangnam. Ia bermaksud memperbaiki ponsel titipan sahabatnya, Sohyun. Ponsel Samsung Galaxy Note yang terlihat pecah di bagian LCDnya. Ia tahu benar ponsel itu bukan miliknya, terlebih ponsel semahal itu. Pastilah Sohyun tak akan membelinya meskipun ia memiliki uang. Namun ia tak ingin banyak bertanya karena ia pikir nantipun ia akan mengetahuinya sendiri setelah ponsel itu selesai diperbaiki.
“Ini punyamu, Haksen!” Kata teknisi yang baru saja memperbaiki ponselnya.
“Ne, kamsahamnida Ahjussi. Berapa biaya perbaikannya?” Tanya Minho sembari mengeluarkan dompetnya dari saku celananya.
“Tak perlu. Untukmu gratis.”
“Woah! Jinjayo?” Taemin sedikit tak percaya.
“Hahaha… kau tak perlu membayarnya. Ponsel ini pasti bukan milikmu kan? Ponsel ini baru saja dibeli lima bulan yang lalu. Jadi masih dalam masa garansi.” Jelas sang teknisi.
“Hoho… kurom. Ini memang bukan milikku Ahjussi. Ini milik teman dari temanku. Dia minta tolong padaku untuk membawanya kesini karena dia terlalu sibuk.”
“Baiklah, aku mengerti. Wajahmu tak ada tampang pencuri kok, aku percaya itu. Kau boleh pergi nak.”
“Kamsahamnida, Ahjussi. Aku permisi dulu. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya!”
Minho pun pergi dari galeri dan bergegas ke tempat kerja paruh waktu Sohyun dengan riangnya. Ia tak sabar melihat wajah bahagia Sohyun karena telah dibantu olehnya.
“Hari ini hari Rabu. Sekarang pukul 14.00” gumam Minho sambil melihat jam tangannya. “Berarti dia sekarang sedang ada di toko buku. OK! Kim Sohyun, aku datang!”
Tak terlalu jauh dari Galeri Samsung, Toko Buku tempat Sohyun bekerja hanya memakan waktu sepuluh menit berjalan. Dengan semangat Minho berlari dan hanya membutuhkan waktu lima menit saja. Begitu sampai di toko buku, Minho tak langsung masuk. Ia terlebih dahulu berdiri dan kesekian kali melihat ponsel yang akan diserahkannya pada Sohyun.
“Aku penasaran. Tak apa kan kalau aku buka sebentar?”
Sedikit ragu tapi Minho tetap menekan tombol power ponsel itu. Begitu startupnya muncul, dilihatnya foto seseorang yang dijadikan Wallpaper. Seseorang yang tak asing baginya.
“Kim Myungsoo?”
Dalam Sekejap wajah Minho pun berubah menjadi kusut. Rasa bahagianya yang tadi muncul kini sudah lenyap setelah mengetahui ponsel milik siapakah yang sudah membuat Sohyun rela untuk memperbaikinya. Tapi ia tetap akan memberikan ponsel itu kepada Sohyun.
Minho mencari di setiap selah antara rak buku yang berdiri berjejer di toko buku. Rupanya Sohyun tengah membersikan buku-buku yang ada di rak paling ujung. Ia pun berjalan ke arah Sohyun tanpa bersuara ataupun memanggilnya. Ia hanya berjalan dan langsung menyodorkan ponsel yang diketahuinya milik Myungsoo.
“Astaga! Kau membuatku kaget, Choi Minho!” Keluh Sohyun mengelus-elus dadanya.
“Ini ponselnya, sudah kuperbaiki.”
“Jinja? Wah… kau benar-benar luar biasa, Minho-ah! Gomabta!” Sohyun terlihat sangat senang karena ponsel milik Myungsoo itu sudah diperbaiki. Tanpa ragu ia pun menyambut ponsel itu dan hendak mengambilnya. Namun tiba-tiba saja Minho menarik kembali ponselnya.
“Eits! Ini tidak gratis, ya!”
“Ck! Areaseo… Aku akan menggangi biaya perbaikannya nanti.”
“Anni! Aku tidak butuh uangmu.”
“Mwo? Terus, apa yang kau mau dariku?”
“Kejujuran!”
“Ck! Anak ini. Ya! Kau mau bercanda denganku, eoh?”
“Tidak! Aku serius. Kau cukup menjawab satu pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya.”
“Baiklah, baiklah! Apa yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Baik! Kita sepakat ya! Aku akan menanyakan satu hal padamu dan kau harus menjawabnya dengan jujur. Tapi tidak sekarang!”
“Mwo? Ya, Choi Minho!”
“Aku serius, Sohyun! Suatu hari nanti aku akan bertanya padamu. Dan kau berhutang kejujuran padaku. Arraseo!”
Minho pun menyerahkan ponsel itu dan langsung meletakkannya ke dalam genggaman tangan Sohyun. Setelah itu ia langsung pergi dan melambaikan tangannya sambil berlalu meninggalkan Sohyun dengan pekerjaannya.
“Sepertinya aku tahu apa yang ingin kau tanyakan padaku, Minho-ah…” gumam Sohyun sambil menatap layar ponsel yang menyala dengan menunjukkan wallpaper foto Myungsoo.
*****
Waktu menunjukkan pukul 19.00 KST. Sebentar lagi Sohyun akan mengakhiri kerja paruh waktunya yang ketiga di Daum Caffe. Dan untuk kedua kalinya di tempat yang sama ia dan Myungsoo bertemu. Ah, bukan. Sepertinya kali ini Myungsoo memang sengaja ingin menemui Sohyun.
Sohyun yang sedang membersihkan lantai dikejutkan dengan suara bel yang terpasang di atas pintu yang berbunyi tiap kali ada pelanggan yang datang.
“Selamat da..tang..” mata bulat Sohyun terbelalak melihat pelanggan yang barusaja datang. Ya, Kim Myungsoo datang dengan menujukan pandangan langsung pada Sohyun. Ia tersenyum dengan manisnya hingga membuat Sohyun menjadi gugup dan salah tingkah.
“Hai!” Sapa Myungsoo yang langsung mendatangi Sohyun.
“Hai!” Balas Sohyun dengan senyuman penuh ragu.
“Aku pesan Moccachino ya!” Bisik Myungsoo.
“Tapi… kan kasirnya ada di sana.” Kata Sohyun menunjukkan letak meja kasir dengan telunjuknya.
“Arra. Tapi aku ingin kau yang mengantarkannya, umm?”
Myungsoo pun berlalu dan menuju ke arah meja yang tempo hari dipilihnya, begitupun hari ini. Sohyun hanya terdiam dan mematung di tempat. Ia bahkan sempat kebingungan dengan yang dilakukannya.
Sepuluh menit kemudian Sohyun datang menghampiri Myungsoo dengan membawa segelas Moccachino pesanan Myungsoo.
“Chogiyo, Ini pesananmu.” Sapa Sohyun yang bahkan tak dihiraukan Myungsoo karena sedang asyik melihat fot-foto yang telah di ambilnya sebelumnya.
Ingin sekali rasanya Sohyun mengembalikan ponsel milik Myungsoo yang ada di saku celemeknya itu. Tapi ia merasa malu. Ia pun memutuskan untuk kembali ke dapur dan melanjutkan pekerjaanya.
Dua jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 KST. Sudah saatnya Sohyun pulang. Hari beratnya pun berakhir. Meski ia tahu esok dan selanjutnya ia akan terus mengalami saat-saat yang sama sulitnya.
“Ah… akhirnya selesai juga!” Serunya sambil meregangkan otot tubuhnya yang merasa kelelahan.
“Selamat ya! Aku bahkan baru memulainya.” Sambar teman aplusannya yang usianya dua tahun di atasnya.
“Aigoo, Minji Eonni. Jangan begitu. Aku akan selalu mendukungmu, Eonni. Hwaiting!” Balas Sohyun.
“Hwaiting~” timpal Minji tak bersemangat sama sekali. “Tapi, apa kau tidak akan membangunkannya? Dia temanmu kan?” Tunjuk Minji ke arah namja yang tetidur bersandar kepala di atas meja.
“Nugu?” Tanya Sohyun bingung. Namun setelah memastikan, rupanya itu adalah Myungsoo. Rupanya dia masih belum pulang sejak tadi, pikir Sohyun.
“Ya, Kim Myungsoo! Apa yang kau lakukan di sini?” Sapa Sohyun sambil menggoyang-goyangkan badan Myungsoo.
“Ya, bangunlah Kim Myungsoo! Myungsoo-ah!”
Akhirnya Myungsoo mulai terbangun dari tidurnya. Ia mengucek-kucek kedua matanya agar dapat melihat dengan jelas.
“Apa kau sudah boleh pulang?” Tanyanya dengan suara khas orang baru bangun tidur, agar serak dan terdengar berat.
“Mwo?” Sohyun pun kebingungan dengan pertanyaan Myungsoo.
“Aku bertanya, apa kau sudah boleh pulang? Aku sengaja menunggumu.”
“Mwo? Naega???”
Myungsoo dan Sohyun memutuskan untuk pulang bersama. Mereka sengaja memilih untuk berjalan kaki meskipun ada transportasi Bis yang bisa mereka gunakan agar mereka lebih cepat sampai di rumah masing-masing. Mungkin karena mereka ingin bersama lebih lama.
“Kenapa kau menungguku?” Tanya Sohyun mulai membuka topik pembicaraan.
“Eoh? Keuge…” jawab Myungsoo bingung. Tentu saja, bahkan ia pun tak tahu alasannya kenapa ia ingin menunggu Sohyun. Dilihatnya truk makanan yang menjual jajanan seperti deokbokki, odeng, hot bar, dan lain-lain.
“Lihat! Ayo kita kesana!” Tunjuk Myungsoo ke arah truk yang terparkir di sebrang jalan. Meski sebenarnya ia bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Waeyo?”
“Ah… keunyang, aku lapar!” Jawab Myungsoo gelagapan. Melihat sikapnya itu membuat Sohyun tersenyum.
“Kure kurom. Keundae, kau harus mentraktirku, eoh?”
“Kenapa harus begitu?”
“Karena ini!” Sohyun mengeluarkan ponsel Myungsoo dari dalam tasnya.
“Ige… bagaimana bisa ada padamu?”
“Aku sudah memperbaikinya. Jadi kau harus mentraktirku.”
Myungsoo langsung mengambil ponselnya yang disodorkan Sohyun. Dia lalu membuka menu dan bersiap mentap nomor telpon.
“Berapa nomormu?” Tanyanya.
“Nomor apa?” Tanya Sohyun balik.
“Nomor telponmu, lah!”
“Aku tidak punya nomor telpon.”
“Wae?”
“Aku tidak punya handphone, jadi otomatis aku tidak punya nomor telpon.”
“Jinja? Whoa… daebak! Di zaman secanggih ini? Haha… sulit dipercaya.”
“Kau mengejekku?” Cetus Sohyun kesal. Ia pun berlalu meninggalkan Myungsoo dan menyebrang jalan menuju truk jajanan. Karena sedang kesal sampai-sampai Sohyun tak menyadari bahwa lampu lalu lintas belum menyala hijau bagi pejalan kaki. Alhasil dia hampir saja tertabrak mobil yang melaju kencang dari samping. Beruntung Myungsoo lekas menyergap tubuh Sohyun dan mereka berdua berhasil selamat dari maut.
“Sohyun! Awas!!!”
Tubuh Sohyun terhuyung dengan hebatnya dalam pelukan Myungsoo. Ia menjadi shock hingga beberapa detik kemudian.
“Kim Sohyun? Gwaenchana? Apa kau terluka? Apa ada yang sakit?” Tanya Myungsoo yang mengkhawatirkan keadaan Sohyun yang tak kunjung memberikan jawaban.
“Ya, Kim Sohun!”
“E… eoh?”
“Kau tak apa-apa, kan?”
“Eoh..”
Myungsoo kemudian membantu Sohyun duduk di bangku yang ada di sisi jalan dan mengambil inisiatif meminta teh hangat untuk Sohyun dari Ahjumma penjual jajanan.
“Ahjuma, bisa tolong segelas teh hangat?”
“Apa kalian baik-baik saja anak muda?” Tanya Bibi itu sambil membuatkan teh pesanan Myungsoo.
“Ne, Ahjuma. Kami tidak apa-apa. Kamsahamnida.”
“Sepertinya temanmu shock. Teh itu akan membantunya rileks.” Tutur Bibi itu.
“Baik, terima kasih ahjuma.”
Myungsoo bergegas memberikan teh yang masih hangat itu kepada Sohyun. Benar saja yang dikatakan Bibi itu. Sohyun masih saja terdiam meski ia tahu bahwa dirinya selamat dari maut.
“Ini, minumlah. Teh ini akan membuatmu lebih tenang, Sohyun.” Ucap Myungsoo mencoba menenangkan Sohyun.
“Gomawoyo, Myungsoo-ah.” Jawab Sohyun menjemput segelas teh hangat yang diberikan Myungsoo dan langsung menyeruputnya.
“Kau sudah enakan sekarang?” Tanya Myungsoo memastikan. Sohyun hanya menjawab dengan anggukan.
“Kurom. Aku pergi sebentar. Aku akan segera kembali. Kidaryo, eoh!”
Rupanya Myungsoo kembali ke Bibi penjual jajanan untuk membeli beberapa tusuk odeng dan hot bar seperti yang diinginkan Sohyun sebelumnya. Secepat mungkin ia kembali ke tempat Sohyun.
“Aku sudah membelikannya untukmu. Bogo!” Titah Myungsoo, kali ini menyodorkan bermacam odeng yang masih hangat.
Tanpa ragu Sohyun pun memakannya dengan lahap dan tanpa henti hingga mulutnya menggembung penuh terisi dengan makanan.
“Gomawoyo, Myungsoo. Jeongmal, kamsahamnida…” air mata Sohyun kemudian jatuh dengan derasnya mengalir membasahi pipinya. Ia tetap makan meski dengan nafas terisak.
“Apa kita perlu ke rumah sakit? Aku akan mengantar..”
“Anni. Aku mau pulang…”
“Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang.”
“Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Sekali lagi terima kasih, Kim Myungsoo.
Tak berapa lama Bis yang mengarah ke rumah Sohyun pun tiba. Sohyun langsung menaiki bis itu. Tapi Myungsoo tidak bisa melepas kepergian Sohyun begitu saja dengan keadaannya seperti sekarang ini.
Dilihatnya TAXI yang melintas di hadapannya dan buru-buru menghentikannya. Ia lalu menaikinya dan membuntuti bis yang dinaiki Sohyun.
“Tolong ikuti Bis itu, Ahjussi!” Pintanya pada sang supir.
Diam-diam Myungsoo mengikuti Sohyun sampai ke rumahnya. Sebuah rumah kecil yang berada di tengah komplek pemukiman dengan bangunan serupa besarnya, ia hidup berdua dengan kakaknya yang seperti anak berandalan itu. Ternyata Sohyun memang menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya. Di depan teman-temannya ia bersikap angkuh hanya untuk menutupi kekurangannya. Ia tak ingin dianggap rendah oleh teman-temannya. Bahkan ia harus mengambil jadwal kerja paruh waktu yang begitu banyak agar ia memiliki cukup uang untuk membiayai sekolahnya.
Myungsoo merasa sosok Sohyun sangat bertolak belakang dengan dirinya. Jika Sohyun bersikap angkuh demi menjaga harga dirinya, maka berbeda dengan Myungsoo. Ia bersikap angkuh kepada orang lain untuk menunjukkan status sosialnya yang lebih tinggi dibanding yang lain. Tapi ia tak sepenuhnya membenarkan sikap Sohyun. Karena suatu hari nanti, bukankah bangkai yang susah payah disembunyikannya itu akan tercium juga? Sebaiknya berteman dengan apa adanya. Menjadi diri sendiri dengan apa adanya itu akan lebih baik untuknya maupun teman-temannya. Dengan begitu mereka akan berteman dengannya dengan tulus juga. Itulah yang Myungsoo pikirkan saat misi perngekorannya berakhir. Setidaknya ia cukup merasa tenang karena Sohyun sudah sampai di rumahnya dan ia tak mendengar suara sang Kakak.
“Astaga! Aku sampai lupa. Aku kan tidak tahu dimana ini. Oh Tuhan…”
Ya, untunglah ponselnya sudah diperbaiki oleh Sohyun. Kini ia bisa menelpon Sungyeol untuk menjemputnya di tempatnya saat ini berada melalui GPS.
Tak sampai lima belas menit menunggu, mobil Lamborghini berwarna putih beserta Sungyeol di dalamnya pun datang.
“Ya! Apa kau sudah gila, Kim Myung…”
Baru saja Sungyeol ingin mengomeli majikannya itu, Myungsoo dengan cepatnya menyekap mulut Sungyeol agak berhenti berbicara.
“Geumhanhae, jebal!” Bisik Myungsoo.
“Waegure?” Tanya Sungyeol penasaran.
“Aku akan menjelaskannya di dalam. Lebih baik sekarang kita pergi dari sini secepatnya. Kajja, hyung!”
Sungyeol pun mengikuti titah Myungsoo begitu saja meski harus menahan amarahnya sesaat. Namun perdebatan mereka tak berhenti sampai di situ saja. Mereka masih meneruskannya saat di jalan pulang dalam mobil putih milik Myungsoo itu.
“Mwo? Kau mengikuti Sohyun sampai ke rumahnya? Wae??” Tanya Sungyeol setengah berteriak.
“Aku khawatir padanya karena kami tadi hampir saja kesrempet mobil.” Jawab Myungsoo yang malah membuat Sungyeol bereaksi lebih emosi dari sebelumnya.
“Mwo???”
Ccciiitt!!!
Mobil yang berpacu dengan kecepatan 120Km/jam itu diremnya mendadak karena ulah Myungsoo.
“Hyeong!” Seru Myungsoo yang berhasil terselamatkan oleh sabuk pengaman yang digunakannya Myungsoo dari benturan kaca depan mobil.
“Ya, Yeollie-ah! Kau membuatku terancam mati untuk kedua kalinya, Eoh?” Protes Myungsoo pada sahabatnya itu.
“Mwoga? Justru aku yang seharusnya marah! Bisa-bisa kau melaporkan hal semacam itu padaku! Itu sama saja aku harus bersiap-siap menyerahkan kepalaku untuk dipenggal oleh Nyonya! Kau tahu itu?!”
“Mian…” jawab Myungsoo kali ini dengan nada penuh rasa bersalah. Sungyeol melanjutkan kendali mobilnya.
“Sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengan Yeoja bermarga Kim itu.”
“Siapa maksudmu? Ada tiga yeoja bermarga Kim di kelasku.
“Tentu saja yang barusan kau sebut namanya, siapa tadi, Kim Sohyun?”
“Waeyo?”
“Aku punya firasat sepertinya kau akan sering mengalami musibah jika terlalu sering bersamanya.”
“Dasar kolot! Apa kau masih percaya dengan tahayul seperti itu, eoh?”
“Anniyo… keunyang…”
“Aku janji tidak akan membuatmu khawatir lagi. Jadi kuharap aku tidak akan mendengar ucapan kasarmu barusan, Yeollie!”
“Arraseo…”
*****
Sohyun POV…
Eomma, Appa, bagaimana kabarmu? Kuharap kalian selalu bahagia di surga. Karena aku pun sedang merasakan bahagia. Kuharap kebahagiaanku ini tidaklah semu. Bisakah kalian mintakan pada Tuhan untukku? Eomma, Appa, aku sedang jatuh cinta. Pintakan pada-Nya agar membiarkanku bersamanya. Bersama dengan Kim Myungsoo selamanya. Bisakah Eomma, Appa?
Ah… anni. Mungkin permohonanku ini terlalu terburu-buru. Aku baru saja mengenalnya. Lagi pula ada Jinki Sunbae yang harus kutunggu. Bahkan sampai detik ini pun dia tidak mengirimiku kabar sama sekali. Tolong marahi dia kalau dia kembali nanti Eomma, Appa. Karena gara-gara dia aku jadi seperti ini. Lihatlah air mata ini Eomma, lihatlah rambutku yang sudah terlalu panjang ini Appa. Semua ini karena aku terlalu lelah menunggunya. Bahkan di tengah perasaan bahagiaku terselip perasaan bersalah padanya.
*****TBC*****
"Annyeong...! Maaf ya lama update. Soalnya lagi sibuk sama urusan rumah. Tapi sebisa mungkin aku sempetin buat update kok. Sempetnya tiap tengah malem, karena waktu luangnya ya jam segini ini. Suami n baby boy dah tidur!!! >_<
Walaupun sering telat, tapi aku pasti bakal meluncur terus buat update tiap kali ada inspirasi yang muncul. Semoga kalian masih mau ngikutin cerita amatirku ya... ^^
Salam Nona Karang...