Malam itu bermiliar bintang bersinar bersama bulan yang selalu tampak dominan di langit hitam. Seorang gadis menuruni motor besar yang telah berhasil dihentikan, berikutnya si pengendara motor menyusul. Keduanya menggunakan seragam yang sama. Dengan gerakan bak model papan atas si pengendara motor melepas helem yang menutupi kepalanya. Setelah helem disangkutkan pada gagang motor, si pengendara motor berbalik. Ia menemukan gadis yang diboncengnya kesulitan melepas helem. Tanpa aba-aba, tangan kekarnya bergerak membantu. Dari balik kaca helem, Soojung tersenyum memandang wajah serius Jongin.
“Kau tampak seperti kekasihku.”Tubuh Jongin tersihir berkat celotehan Soojung, hingga untuk beberapa saat pemuda itu tak mampu bergerak.”Jieun juga mengatakan hal yang sama, aku senang bisa membuat banyak gadis iri, tapi kalau seperti ini terus kau tidak bisa punya kekasih sungguhan. Aku bisa melakukannya sendiri.”
Helem kini terlepas dari kepala Soojung. Tangan Jongin tak membiarkan Soojung mengambil alihnya.”Tapi aku senang jika kau terus bergantung padaku.”Keduanya sempat bertatapan ketika kalimat itu keluar dari bibir Jongin, sebelum akhirnya Soojung tertawa dan beranjak dari tatapan itu. Kalimat Jongin terbang bersama embusan angin malam, hanya sempat singgah sesaat menggelitik telinga Soojung sebagai sebuah lelucon.
Soojung berjalan menuju tempat tujuan, mendahului langkah Jongin yang kini mengikutinya. Mereka berjalan beriringan sampai masuk ke dalam sebuah toko yang berwarna merah muda. Toko itu menjual berbagai macam pernak-pernik khusus perempuan. Di dalam Soojung berkeliling mencari bando baru, sementara Jongin masih setia mengintilinya. Sesekali Soojung menggoda Jongin dengan pernak-pernik yang menurutnya unik. Memakaikan Jongin Bando Minni Mouse, topi berbentuk kepala marmut, atau hal lainnya yang tampak lucu untuk pemuda itu. Mereka tertawa bersama. Menghiraukan banyak mata yang menonton adengan itu layaknya sebuah drama romantis.
“Yeppota.”Soojung berhenti di depan kalung cantik yang tersimpan apik di dalam kaca pelindung.
“Apa kau tidak bosan mengagumi kalung itu?”komentar Jongin sambil mengacak rambut Soojung. Gelengan kepala yang didapat pemuda itu.
“Aku rasa kalung itu ditakdirkan untukku, sudah hampir satu bulan sejak pertama kali aku melihatnya, tapi masih belum ada yang membelinya.”Jongin tersenyum melihat senyuman menawan Soojung,”Tunggu sebentar lagi, sampai uangku cukup untuk membelimu.”
Ingatan itu lenyap bersamaan dengan masuknya Jongin ke dalam toko yang sama hari ini. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, tidak ada Soojung, hanya dirinya sendiri. Karena sudah memiliki tujuan yang jelas, Jongin langsung datang pada tujuannya. Kalung yang disukai Soojung. Akan tetapi, kalung itu sudah tidak ada di tempatnya. Jongin panik, meski dari ekspresinya yang dingin orang-orang tidak dapan menemukan itu.
“Agassi, kalung berbandul bulan yang ada di sini, apa sudah tidak ada?”
“Ye, sudah ada yang membelinya sekitar dua hari yang lalu.”jelas pelayan toko sambil mengingat.
“Oh begitu ya.”
“Hmm, tapi masih ada model lainnya bisa diliat dulu, Tuan.”Jongin hanya menganguk dan mengedarkan pandangannya pada kalung lainnya.
.
.
“Sebenarnya ada apa? Oppa datang dan mengajakku pergi mendadak sekali, untung saja hari ini aku sedang ada di rumah.”Jiyeon menumpahkan rasa penasarannya pada Myungsoo yang hendak menyetir. Namum, bukannya langsung menjawab, Myungsoo malah bergerak membantu Jiyeon memasang seat belt. Untuk sesaat, perlakuan menis itu membuat Jiyeon terkejut dan kikuk.
“Lihat saja nanti, kau pasti akan menyukainya.”ungkap Myungsoo sok misterius setelah seat belt berhasil terpasang di tubuh Jiyeon. Tawa yang dinantikan Myungsoo datang saat itu.
Alunan musik Beethoven menemani perjalanan Jiyeon bersama Myungsoo. Salju yang turun, bersinar bak kristal di bawah sinar matahari, tampak indah dari dalam mobil. Myungsoo berusaha membuat lelucon sementara tangannya sibuk menyetir. Jiyeon menikmatinya.
Sampailah di kawasan penuh salju. Membentang tumpukan es membentuk jalur berliku di tengah kawasan. Sejak keluar dari mobil tadi, Jiyeon tertegun memandang suasana tempatnya berpijak. Myungsoo tersenyum memandang ekspresi Jiyeon. Mungkin tempat ini akan mengingatkan gadis itu akan masa lalunya, tapi untuk apa khawatir dengan yang sudah berlalu, jika masa depan adalah kesempatan untuknya. Tujuan Myungsoo adalah membuat Jiyeon bahagia bersamanya, ia tidak berusaha membuat gadis itu melupakan, ia hanya akan menggantikannya dengan kenangan yang baru. Sesuatu yang lebih indah. Bersamanya.
Bagaimana Myungsoo tahu tentang tempat ini? Jiyeon, siapa yang tidak mengenal tempat ini, setiap musim dingin inilah tempat yang paling sering didatangi banyak orang. Lihat, mulai dari anak-anak, remaja, dan dewasa tampak menikmati tempat wisata ini. Ada seorang gadis remaja yang terjatuh di pusat ice skating, bukannya membantu dua teman lainnya malah tertawa, sementara gadis itu mulai menangis. Kenangan yang akhir-akhir ini telah hilang, kembali lagi. Sehun memang tidak pernah menenangkannya ketika menangis, tetapi pemuda itu akan selalu membantunya dalam situasi apapun. Mengajarinya dengan telaten. Hingga Jieun terkagum-kagum melihatnya tiba-tiba mahir bermain ice skating. Nyatanya kenangan memang tak pernah benar-benar menghilang.
“Sudah kuduga, kau pasti akan menyukai tempat ini.”Jiyeon tersenyum.
Bagaimana Oppa tahu? Ucap Jiyeon yang tersembunyi di balik senyumannya.“Oppa terlalu percaya diri.”Myungsoo mengacak rambut Jiyeon, lalu mereka tertawa bersama.
Myungsoo menarik lengan Jiyeon untuk mengikutinya. Dilakukannya dengan lembut dan penuh perasaan.“Kita lihat apa aku terlalu percaya diri atau kau yang sengaja mengelaknya.”Jiyeon mendecah seoalah meremehkan Myungsoo, yang masih saja tersenyum-senyum.
Sudah lengkap dengan atribut ice skating, Jiyeon dan Myungsoo mulai mempertontonkan keahlian mereka di atas jalur es itu. Bergerak mengikuti licinnya es sambil bersenda-gurau bersama. Secara kasat mata mereka tampak seperti pasangan kekasih sungguhan. Bagaimanapun kenyataannya nanti, Myungsoo telah berhasil membuat Jiyeon bahagia saat ini.
Malam pun tiba. Keduanya makan malam bersama di restoran terdekat. Restoran sederhana ini, cukup romantis. Perabotan kayu yang ditata sedemikian rupa. Kehangatan perapian menyatu dengan alunan musik klasik yang lembut. Myungsoo dan Jiyeon duduk berhadapan sambil menikmati makan malam mereka masing-masing. Hanya daging panggang dan jus.
"Jiyeon."Myungsoo akhinya memulai aksinya setelah sekian lama berpikir di samping kegiatan makannya yang belum usai. Sebelum menanggapi Myungsoo, Jiyeon terlebih dulu meminum jus sambil menelan habis sisa daging di dalam mulutnya, lalu mengelap bibirnya dengan tisu.
"Ada apa Oppa?"Kini semua perhatian Jiyeon tertuju pada Myungsoo. Akibatnya gugup makin menggangu konsentrasi pemuda di hadapannya ini.
Selama beberapa detik tidak ditemukan jawaban, sampai tangan kanan Myungsoo terjulur. Menampilkan sebuah kotak yang dibukus dengan apik dan cantik."Bukalah!"Kata Myungsoo akhirnya.
Jiyeon meraih kotak itu, lalu mengikuti perintah Myungsoo. Sesuatu yang bersinar tampak dari dalam. Membuat sepasang mata Jiyeon berbinar kagum,”Yeppota.”pujian yang diharapkan Myungsoo pun datang. Membuat gugupnya berangsur sirna.
“Kalung itu untukmu.”
Jiyeon mendongak saat pernyataan itu keluar dari bibir Myungsoo. "Cheongmal? Tapi untuk apa Oppa?" Mungkin ia sudah menduga bahwa hadiah cantik itu untuknya, tetapi ia hanya ingin meminta penjelasan. Atas dasar apa ia pantas menerimanya.
“Aku menyukaimu Jiyeon,”Jieun sudah sering bercerita tentang Myungsoo yang tertarik padanya, bahkan sudah sejak lama. Namun mendengarnya langsung dari bibir Myungsoo sendiri, membuatnya tetap merasa terkejut.”Aniya, sepertinya aku juga sudah mulai mencintaimu.”
Jiyeon berpaling ketika tatapan Myungsoo mengarah padanya.”Oppa—“
“Aku tahu, ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi izinkan aku untuk berusaha, aku memberitahumu agar kau bisa melihat usahaku. Apapun keputusanmu nanti, aku akan menerimanya, tapi terimalah hadiahku ini, aku akan sangat senang jika kau bisa memakainya juga, aku akan bertanya padamu lagi ketika kau sudah siap.”
Jiyeon tersenyum,”Terimaksih Oppa, aku menghargai perasaanmu, aku akan menyimpan kalung ini, dan memikirkan semua kata-katamu. Jujur saja aku masih sangat bingung saat ini.”
"Gwaenchana, setidaknya hatiku sudah lega sekarang."
.
.
.
SRETT. SRETT. SRETT. Langit masih tampak berwana ungu. Matahari belum sempurna muncul. Siswa-siswa lelaki ini sudah sibuk mengikis es di atas lapangan basket dengan sekop khusus. Es yang ada tidak terlalu tebal, tetapi cukup ampuh untuk menjatuhkan orang yang melintas di atasnya.
Tak ada yang menggunakan mantel di antara mereka, hanya sebatas seragam sekolah. Dingin tak mereka anggap, karena aktivitas ini lebih berarti. Tampak tumpukan tas dan mantel menimbun deretan kursi yang terletak di luar lapangan basket.
"Apa kau sudah membujuk Jongin?"Minhyuk melemparkan pertanyaan begitu saja, tanpa memastikan siapa yang akan menjawabnya.
"Sudah."Tapi sepertinya Baekhyun tahu, kalau pertanyaan itu memang tertuju padanya.
"Bagaimana? Apa kau berhasil?"
"Iya apa kau berhasil?"Jungkook dan Taeyong mulai ikut penasaran.
"Entahlah, kita lihat saja nanti."Baekhyun menjawabnya dengan helaan nafas yang amat panjang. Mendadak semangatnya jadi luntur. Begitupun semangat Jungkook dan Taeyong.
"Pokonya kau harus berhasil."Serpihan es dilemparkan Minhyuk dari sekop ke arah Baekhyun. Mengenai wajah Baekhyun yang kusut. Jungkook dan Taeyong tertawa melihat itu.
"Jongin, bukan orang yang mudah dibujuk."
"Padahal aku yakin, kalau dia ikut pasti kita yang akan menang."Celetuk Taeyong sok paranormal. Namun kenyataannya memang itu pula yang diharapkan mereka semua.
.
.
Hari ini, Jiyeon dan Jieun pergi sekolah bersama. Setelah hari-hari sebelumnya mereka tak lagi berangkat bersama. Jieun yang terlambat bangun pagi selalu menjadi alasan, sehingga Jiyeon berakhir dengan memenuhi ajakan Myungsoo untuk berangkat bersama. Sebenarnya ada hal yang aneh. Meski terlambat bangun, Jieun tak pernah sekalipun terlambat datang ke sekolah. Berbeda dengan kebiasaannya saat di SMP dulu. Bahkan karena kebiasaan Jieun itu, Jiyeon dan Sehun pernah sekali terkena imbasnya juga. Karenanya kalau Jieun sudah terlambat bangun, sebaiknya ditinggalkan saja.
Pemandangan di luar bus menjadi pusat perhatian sepasang mata Jiyeon. Ada sesuatu yang membuatnya dilema.“Bagaimana kencanmu dengan Myungsoo Oppa, kemarin?”Suara sopran Jieun selalu saja mampu menyadarkannya dari lamunan.
“Kencan?”Sepasang mata Jiyeon kini beralih pada Jieun, dengan alis mata yang sudah hampir menyatu.
“Hm, aku tahu hari minggu kemarin kau pergi ke tempat ice skating bersama Oppa.”
“Bagaimana bisa kau tahu? Aku belum cerita apapun, dan... Oppa bahkan datang mendadak sekali kemarin."Jieun belum berani menanggapi, sementara Jiyeon masih terus berpikir."Atau jangan-jangan, kau biang keladinya.“
“Ups, ketahuan deh, hehe..”Tanpa rasa bersalah karena sudah membongkar hal pribadi sahabatnya, dengan teganya Jieun menyengir kuda.
“Omo? Apa saja yang kau ceritakan padanya?”
“Tidak banyak, hanya mengatakan kalau kau sangat menyukai tempat itu. Tempat pertama kali Sehun menyatakan perasaannya padamu sekaligus kenangan terakhir kita bersamanya.”
”Sampai sejauh itu?"Mulut Jiyeon terbuka lebar. Siap menyantap Jieun kapan saja.
"Mian, aku hanya ingin membantumu membuat kenangan baru. Sampai kapan kau mau terjebak dengan masa lalu, Oppa orang yang baik, aku rasa kau pantas membuka hati untuknya. Sehun juga pasti setuju denganku."
Sepasang mata Jiyeon kembali pada susana jalanan di luar. Gedung-gedung yang berganti seiring melajunya bus menjadi pelampiasan perasaannya. "Sehun benar, kita belum benar-benar saling mencintai, umur kita masih terlalu kecil saat itu. Mungkin aku dan dia masih saling memikirkan satu sama lain sampai sekarang, tapi aku menyadari kenapa kita harus berpisah. Bukan karena jarak, tapi karena kemungkinan cinta yang lain. Dari pada saling menyakiti, lebih baik berpisah secara baik-baik."
"Omo? Apa Oppa sudah berhasil mencuri hatimu? Pasti sesuatu yang istimewah telah terjadi kemarin."
"Oppa menyatakan perasaannya padaku, memintaku untuk melihat usahanya, dan memberikanku kalung berbandul bulan."
"Kenapa tidak langsung berpacaran saja?"Jieun menyelidiki leher Jiyeon dengan mata dan tangannya yang jahil,"Lalu mana kalung pemberiannya?"
"Ada di rumah."Jiyeon tidak terlalu memperdulikan tingkah sahabatnya itu, sepasang matanya masih fokus pada suasana di luar jendela.
"Di rumah? Kau tidak memakainya?"
"Aku bingung Jieun-aa."
"Kenapa harus bingung? Bukan karena kau masih menyukai Sehun kan? Apa ada orang lain lagi yang kau sukai?”DEG. Saat ini, Jiyeon seolah dapat mendengar jawaban yaring dari hatinya.”Sudahlah tidak usah bingung, semua itu butuh proses, karenanya Oppa memintamu melihat usahanya dulu, tapi paling tidak kau pakai kalung pemberiannya, apasalahnya bukan? Dia sudah membuatmu bahagia kemarin, kau juga perlu membalasnya dengan memakai kalung itu."
"Kau ini, selalu saja berpihak padanya, yang sahabatmu itu, sebenarnya siapa?"
"Apa salah aku berpihak pada orang yang bisa membuat sahabatku bahagia."Jiyeon tertawa mendengar penuturan Jieun."Benarkan kau bahagia."
Hatiku mengharapkan orang lain, Jieun-aa. Semua yang terjadi kemarin, telebih saat Myungsoo menyatakan perasaannya, membuat Jiyeon makin menyadari sesuatu. Perasaan yang kian tumbuh semakin besar. Mungkin ia nyaman bersama Sehun, tetapi ada seseorang yang jauh membuatnya lebih dari sekedar nyaman. Mungkin ia bahagia bersama Myungsoo yang membuatnya merasa istimewah. Akan tetapi, ada seseorang dengan sesuatu yang sederhana mampu membuatnya jatuh cinta.
Bus berhenti di halte tujuan. Jiyeon dan Jieun turun dari sana secara bergantian. Berjalan bersama melewati gerbang sekolah, begitupun siswa lain di sekitar mereka. Mengikuti jalan menuju gedung sekolah. Terdapat taman-taman kecil di sisi kanan dan kiri jalan yang mereka lalui. Dari ujung sana. Tepat di pintu masuk gedung sekolahnya. Seseorang keluar dengan segala pesona yang mampu Jiyeon tangkap sejauh apapun jaraknya. Tampak Jongin berlari kecil menuju lapangan basket yang sudah dikelilingi banyak siswa.
Sejak melihat sosok itu, Jiyeon tidak lagi mendengarkan cerita Jieun yang tidak juga berhenti bicara. Sampai jalan yang dilaluinya mengikis jarak antaranya dengan lapangan basket. Langkah Jiyeon berhenti mendadak, Jieun juga ikut berhenti. Setelah Jongin melepaskan mantel dan menumpuknya bersama mantel yang lain di luar lapangan. Tepat ketika Jongin mendapat tembakan bola dari Baekhyun di dalam lapangan.
"Omo, bukankah itu Jongin?"Suara Jieun datang merusak suasana.
"Jongin, kau ikut?" Dengan cekatan Jongin menerima tembakan dari Baekhyun yang masih tertegun menatapnya, begitupun anggota basket kelas sepuluh lainnya. Mereka sampai menghentikan permainan sejenak.
"Ayo kita mulai."Kata Jongin sebelum memulai permainan. Semua jadi tampak lebih bersemangat.
Permainan pun kembali dimulai. Jongin men-dribble bola, melewati siapapun yang menghadangnya. Lalu sampai di bawah ring basket ia melompat dan memasukannya, dengan tangan yang hampir menyentuh ring basket.
Di sisi lain Baekhyun ikut melompat, berusaha menggagalkan bola Jongin, namun bola tetap masuk meski sempat memutar sebentar di sekitar ring basket. Keduanya turun secara bersamaan. Di seberang, pandangan Baekhyun yang jauh menagkap pandangan seseorang. Baekhyun tersenyum tipis setelah menangkap sosok Jiyeon. Seolah memahami situasi ini.
"Apa karena gadis itu kau berubah pikiran?"Baekhyun bertanya, tepat ketika bola telah membentur lapangan. DURM.
"Hah?"
"Cari tahu saja sendiri."Ucap Baekhyun sambil menunjuk Jiyeon dengan dagunya. Reflek Jongin menoleh.
"Annyeong."Sapa Luna yang datang bersama Soojung menghampiri Jiyeon dan Jieun tepat ketika Jongin menoleh. Akan tetapi hanya Jieun yang menyahut, sementara Jiyeon makin tak bisa berkutik akibat pandangan Jongin kini. Jiyeon merasa dipergoki, padalah yang tertangkap oleh sepasang mata Jongin adalah tawa Soojung.
Jieun dan Luna saling berseda-gurau, Soojung ikut tertawa namun ia penasaran dengan Jiyeon yang tidak juga bicara. Ia mengikuti pandangan Jiyeon dan menemukan pandangan Jongin di sana, tepat ketika Jiyeon berpaling dan menunduk. Jiyeon merasa malu. Dalam hitungan detik Jongin dan Soojung sempat saling tersenyum tipis. Tak lama Soojung mengakhiri pandannya dan menemukan Jiyeon yang masih menunduk. Saat ini, Soojung melihat dengan jelas rambut panjang milik Jiyeon yang bergelombang. Mengingatkannya akan sesuatu yang masih belum disadarinya.
"Jiyeon dan Jieun sudah akrab sejak SMP. Dulu mereka selalu bertiga bersama Sehun. Pemuda yang berhasil mencuri perhatian Jiyeon, di antara banyak yang mengincarnya. Sejak SMP Jiyeon dan Jieun memang sudah terkenal, selain karena kecantikanya, mereka berdua sangat pandai bernyanyi serta bermain musik. Sehun juga termasuk siswa yang terkenal, karenanya mereka tampak cocok. Tapi tenang saja menurut kabar yang beredar mereka putus ketika hari kelulusan, alasannya karena Sehun akan melanjutkan sekolah di luar negeri."Jelas Baekhyun,"Kita impas sekarang."Lalu menepuk bahu Jongin.
"Aku tidak bertanya soal itu."Padangan mata Jongin terhadap Soojung telah berakhir kini.
"Pada kenyataannya kau datang karena ingin mengetahuinya kan."Jongin hanya diam, tak membantah juga tak mengiyakan. Permainan basket kembali dimulai. Jongin sudah resmi menjadi anggota cabutan. Alias bukan termasuk anggota klub basket resmi, ia hanya membantu anggota basket kelas sepuluh jika dibutuhkan untuk situasi dan kondisi tertentu. Seperti pertandingan persahabatan antar kelas nanti.
Tanpa terasa pagi pun berganti. Pelajaran berlalu seperti senin-senin sebelumnya. Jongin memperhatikan Soojung yang kini sudah datang padanya.”Di mana helemku?”Biasanya sebelum Soojung bertanya, Jongin sudah terlebih dulu memberikan helem yang akan dipakai oleh gadis itu. Tapi, kali ini Jongin bahkan tidak menggubris pertanyaan Soojung.”Wae?”Ketika sepasang mata Soojung ikut meminta penjelasan, ketika itu pula sepasang tangan Jongin menangkup wajah tirus di hadapannya.
“Apa kau lupa meminum vitamin?”Soojung menggeleng.”Apa yang terjadi?”Soojung kembali menggeleng.”Matamu bengkak dan wajahmu lebih pucat dari biasanya.” Kalimat sederhana yang membuat Soojung tertegun. Dari sekian teman disekitarnya, hanya Jongin yang mampu menyadari kondisinya.
“Gwaenchana.”Tangan dingin Soojung menurunkan sepasang tangan hangat Jongin yang masih menempel di kedua sisi pipinya.”Jangan berlebihan, ini hanya karena udara ekstrim.”Jongin tahu Soojung sedang berbohong, tapi ia berusaha untuk mempercayai gadis itu. Motor besar Jongin melaju membawa dirinya dan Soojung meninggalkan parkiran yang mulai sepi.
.
.
.
---"Kenapa harus bingung? Bukan karena kau masih menyukai Sehun kan? Apa ada orang lain lagi yang kau sukai? Sudahlah tidak usah bingung, semua itu butuh proses, karenanya Oppa memintamu melihat usahanya dulu, tapi paling tidak kau pakai kalung pemberiannya, apasalahnya bukan? Dia sudah membuatmu bahagia kemarin, kau juga perlu membalasnya dengan memakai kalung itu."
Sudah lebih dari lima belas menit, Jiyeon tidak juga beranjak dari hadapan cermin. Kalung berbandul bulan di dalam kotak yang berada di atas meja rias menjadi penyebabnya. Pakai atau tidak, pikirannya menimbang. Kalung itu terlalu cantik untuk dibiarkan begitu saja. Apa yang Jieun katakan kemarin benar, sudah seharunya ia membuat Myungsoo bahagia juga dengan menggunakan kalung pemberian darinya. Tidak ada salahnya menghargai pemberian orang lain.
---“Aku tahu, ini bukan waktu yang tepat, tapi izinkan aku untuk berusaha, aku memberitahumu agar kau bisa melihat usahaku. Apapun keputusanmu nanti, aku akan menerimanya, tapi terimalah hadiahku ini, aku akan sangat senang jika kau bisa memakainya juga, aku akan bertanya padamu lagi ketika kau sudah siap.”
Kalung pemberian Myungsoo, kini sudah terpasang cantik di leher jenjang Jiyeon. "Jiyeon, cepatlah! Jieun sudah datang."Teriak ibunya dari bawah. Dengan berlari kecil Jiyeon keluar dari kamarnya, menuruni tangga, dan segera berangkat sekolah bersama Jieun. Setelah sebelumnya mereka berpamitan terlebih dulu pada orang tua Jiyeon.
"Kenapa melihatku terus?"Heran Jiyeon yang menemukan Jieun sejak tadi memperhatikannya dengan cengiran tidak jelas. Sekarang mereka sudah berada di luar rumah Jiyeon, berjalan menuju halte bus yang berada di luar kompek perumahan.
"Jadi itu kalung pemberian Myungsoo, akhirnya kau memakainya juga. Cantik sekali."
"Setelah kupikirkan lagi, apa yang kau katakana kemarin ada benarnya juga."
“Tentu saja, kapan sih aku pernah salah.”Jieun tersenyum bangga sambil mengambil ponsel dari saku seragamnya. Secara sembunyi-sembunyi ia mengetik pesan untuk Myungsoo.
.
.
Oppa, hari ini Jiyeon memakai hadiah darimu. Kalungnya cantik sekali, dia terlihat sangat menyukai kalung itu.
Pesan Jieun dari setengah jam yang lalu tampil di layar ponsel pintar Myungsoo. Ia baru sempat membaca pesan yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri kini. "Yes." Teriak Myungsoo berikutnya sambil menarik sebelah tanggannya. Membuat Woohyun dan Hoya yang sedang sibuk membahas persiapan klub musik untuk festival akhir tahun, terkejut bukan main. Kompak keduanya menoleh pada Myungsoo yang duduk di sisi lain--sementara Woohyun dan Hoya duduk berhadapan.
"Apa yang ‘yes’?"Tanya Woohyung."Kau setuju dengan usulan Hoya?"
Myungsoo tersenyum bahagia, lalu merangkul bahu kedua sahabatnya itu sekaligus. Membuat Woohyun dan Hoya semakin bingung."Apapun usulan kalian, aku akan menyetujuinya, aku percayakan semuanya pada kalian."Usai mengatakan itu, Myungsoo sudah tak terlihat lagi di hadapan keduanya.
"Apa dia sudah gila?"
"Aku sempat mengintip tadi, dia baru saja mendapat pesan dari Jieun, begitulah orang yang sedang jatuh cinta."Bisik Hoya tepat di telinga Woohyun.
"Mwo?"
"Apa kau cemburu?"Hoya tersenyum—mengejek.
"Cemburu untuk apa?"
"Entahlah."Jawab Hoya sambil mengedikkan bahunya, lalu ia pergi meninggalkan Woohyun setelah berkata,"Aku ke toilet dulu. Dah."
.
.
Di dalam kelas Soojung dan Luna tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Soojung membaca buku, sedangkan Luna mengerjakan tugas yang belum selesai ia kerjakan. Sesekali Luna meminta bantuan Soojung. Jiyeon dan Jieun yang baru sampai langsung menyapa mereka.
"Annyeong."Kompak keduanya.
Luna menyambutnya lebih dulu dengan senyuman cerah, berikutnya Soojung juga tersenyum setelah menutup buku yang dibacanya. Pada saat itulah Soojung menyadari sesuatu. Kalung berbandul bulan yang begitu diinginkannya tampak menghiasi leher jenjang Jiyeon.
"Kau belum menyelesaikan tugas Bahasa Inggirs? Apa kerjamu hanya tidur saja di rumah."Ledek Jieun pada Luna. Jiyeon tertawa.
"Yaa, memangnya kau sudah."
"Tentu saja."Jieun menjulurkan lidahnya pada Luna. Soojung tampak kaku di antara keceriaan itu. Ia seperti menciut sekecil semut di antara suara kelas yang ramai.
Myungsoo datang menyapa. Membuat Jiyeon dan Luna terkejut, sementara Jieun tersenyum tipis. Tanpa disadari siapapun, Soojung menghilang dengan membawa perasaan hancur di dalam hatinya.
"Sepertinya aku sudah tidak perlu menutupinya lagi."Celetuk Jieun, ketika Myungsoo sudah berdiri di antaranya dan Jiyeon.
Luna menatap situasi ini bingung,"Menutupi apa?"tanyanya polos.
"Ada pasangan kencan disini, sayangnya kelas ini bukan tempat untuk berkencan, ajak Jiyeon pergi Oppa! Carilah tempat yang lebih romantis!"Jieun mendorong sepasang insan yang tampak kikuk itu, setelah sebelumnya ia mengambil alih tas milik Jiyeon untuk diselamatkan di dalam kelas.
Luna tersenyum. Tanpa penjelasan dari Jieun lagi, ia mulai memahami situasi."Jadi ini alasanmu mendadak ada urusan penting denganku, waktu itu."Myungsoo dan Jiyeon sudah berhasil dikeluarkan dari kelas. Jieun kembali pada Luna sambil menebar senyum.
"Begitulah. Mana tugasmu? Aku akan membantumu mengerjakannya." Jieun mengambil tempat duduk di hadapan Luna. Mereka mulai fokus pada tugas Luna.
"Tunggu. Di mana Soojung?" Jieun yang pertama kali menyadari hilangnya Soojung. Luna langsung menoleh ke sampingnya, tempat di mana Soojung duduk.
"Bukannya tadi dia duduk di sebelahku?"
"Nde, tapi di mana dia sekarang?"Pertanyaan Jieun membuat Luna berpikir, sementara yang memberi pertanyaan sudah panik dan celingukan sejak tadi.
"Mungkin dia hanya pergi ke toilet."Perkiraan Luna,"Karena kalau ada apa-apa Soojung pasti berpamitan dengan kita."Ada benarnya juga apa yang dikatakan Luna, tetapi kenapa justru Jieun berpikir sebaliknya. Enatahlah. Jieun berusaha menepis segala pikiran buruknya sambil kembali membantu Luna menyelesaikan tugas.
.
.
"Aku benar-benar senang bisa melihatmu memakai kalung itu, gomawo Jiyeon-aa."
"Kalau begitu aku tampak seperti orang yang tidak tahu diri. Seharusnya aku yang berterimakasih pada Oppa."
Myungsoo tertawa kecil melihat pipi Jiyeon yang mengembung."Kau itu lucu sekali, mataku jadi tidak bisa berpaling darimu."Tiba-tiba tangan itu menyentuh salah satu sisi pipi Jiyeon.
Sentuhan Myungsoo membuat Jiyeon terkejut, pipinya jadi tidak mengembung lagi. Keduanya saling bertatapan. Di atas bangku taman yang dingin."Tidak kusangka Oppa hebat dalam memilih hadiah."Kata Jiyeon, yang sengaja mengakhiri suasana romantis itu. Meninggalkan tatapan yang mulai terasa intim.
Myungsoo tersenyum tipis, setelah membebaskan Jiyeon dari sentuhannya, "Sebenarnya, itu juga dibantu."
"Kalau begitu aku menarik ucapanku, yang hebat bukan Oppa, tetapi orang-orang yang membantu Oppa, terutama J-I-E-U-N."Kali ini Myungsoo tertawa lepas bersamaan dengan penekanan Jiyeon saat menyebut nama sahabatnya. Jiyeon pun ikut tertawa setelah mengakhiri sindiran itu.
Obrolan dengan Myungsoo berakhir ketika bel masuk berbunyi. Jiyeon kembali ke kelasnya, begitupun dengan Myungsoo. Sampai di dalam kelas, Jiyeon menemukan wajah Jieun dan Luna yang panik.
"Jiyeon, apa kau melihat Soojung?"Tanya Jieun saat Jiyeon baru duduk di sebelahnya.
"Soojung tidak dikelas bersama kalian?"
Jieun dan Luna kompak menggelengkan kepala."Aku pikir Soojung hanya ke toilet, tapi sampai sekarang dia belum juga kembali. Kami sudah mengirim pesan dan menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif."jelas Luna.
"Sepertinya kita perlu menanyakan juga pada Jongin sebelum Guru Ma datang. Jiyeon, bisa kau hub—"
“Guru Ma sudah datang,”selak Jiyeon sebelum Jieun menyelesaikan ucapannya. Melihat Guru Ma yang sudah berada di depan kelas, Jieun dan Luna langsung memperbaiki posisi duduk mereka.”Sekarang kita fokus belajar dulu saja, aku akan menanyakan pada Jongin nanti.”lanjut Jiyeon dengan suara pelan. Hanya mampu terdengar oleh Jieun dan Luna.
.
.
---Aku datang bersama seorang gadis ke Lotte World, mungkin kau juga sempat melihatnya saat itu.
Berlari. Soojung hanya terus berlari, tanpa tahu sampai di mana ia akan berhenti. Pergi dari kenyataaan yang sudah jelas di matanya, sementara otaknya terus berputar mundur. Menekankan jawaban dari segala yang mengambang. Membuat hatinya sesak dan air matanya mengalir deras. Beberapa kali Soojung menabrak orang yang berlawanan arah dengannya atau menghalangi jalan orang yang seharah dengannya. Tubuhnya lunglai, sedangkan pikirannya linglung. Akan tetapi, ia tetap berusaha untuk berlari.
---“Myungsoo Opp—“
Ketika Soojung berbalik, pemilik suara itu berputar mebelakangi pandangannya. Seseorang yang memiliki rambut panjang dan bergelombang. Gadis yang menjadi alasan Myungsoo berada di Lotte World waktu itu. Jiyeon yang telah mencuri perhatian Myungsoo sejak awal. Dada Soojung sesak dan hatinya terasa ngilu mengingatnya.
---Dia berkali-kali membuatku cemburu, padahal masih belum ada ikatan di antara kami. Aku menyukainya, mungkin ini yang disebut jatuh cinta. Hampir saja aku terjebak dalam emosi, yang pada akhirnya akan membuatku menyerah. Tapi aku ingat dengan kata-katamu, aku jadi termotivasi sekaligus terinspirasi.
Kenapa harus Jiyeon?
---Aku rasa, masih ada kesempatan untuk memperjuangkannya. Carikan aku sesuatu yang akan disukai oleh gadis sepertimu. Dia juga memiliki suara yang indah dan pemberani, aku pikir akan mudah karena kalian memiliki banyak kesamaan.
Kenapa harus kalung itu?
-To Be Continue-