home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > MOONLIGHT

MOONLIGHT

Share:
Author : AmaliaChimo
Published : 22 Dec 2015, Updated : 26 Nov 2016
Cast : Kim Jongin - Park Jiyeon - Jung soojung - Kim Myungsoo
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |2743 Views |1 Loves
MOONLIGHT
CHAPTER 7 : “Ketika Awan Menutupi Bulan.”

Lapangan basket. Jongin tampak bermain basket di sana bersama teman-temannya. Tak ada yang Jiyeon lakukan selain memperhatikan Jongin. Tujuan Jiyeon sebenarnya adalah bertemu Jongin, ia ingin menanyakan perihal Soojung. Mungkin sejak awal Jiyeon bisa saja menghubungi Jongin melalui ponselnya, tapi ia ragu, ia jadi pandai berdalih dan beralasan untuk tidak melakukannya. Sekarang Jiyeon sudah tidak bisa menghindar lagi, sementara hatinya masih tidak mengizinkan.

"Jiyeon, bagaimana?"Tangan seseorang menepuk bahunya dari belakang, ia sangat hafal dengan pemilik suara itu. Jieun.

"Katanya kita tidak perlu khawatir."Jawab Jiyeon tanpa berniat menoleh ke belakang.

"Apa dia tahu keberadaan Soojung sekarang?"Untuk pertama kalinya alam bawah sadar Jieun merasa ragu pada Jiyeon.

"Sepertinya begitu."Setelah mengucapkannya, Jiyeon baru menoleh sekaligus menghadap Jieun, ternyata ada Luna juga di sana—berdiri di samping Jieun. Tapi, Luna hanya menganguk-nganguk, belum mengeluarkan suaranya. Jiyeon memanyunkan bibirnya—lucu."Aku belum makan."

"Kami sudah membelikanmu ini,"Luna baru bersuara, ia menunjukan sekatung makanan dan minuman."Kaja, kita makan di kelas."

Jiyeon tersenyum,"Gomawo uri chingu-yaa."lalu merangkul bahu Jieun dan Luna. Mereka beranjak pergi ke dalam gedung sekolah.

.

.

Dua hari lagi kompetisi berlangsung. Tinggal hari ini dan besok saja waktu Jiyeon dan Jongin untuk latihan. Melalui banyak latihan hanya berdua dengan Jongin seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Rasanya sulit untuk mengakhiri semua itu, tapi waktu begitu cepat berlalu. Jiyeon  memutar langkahnya menuju mini market. Seandainya ia memiliki mesin waktu, ia akan mengulang terus-menerus waktu yang hanya ia lalui bersama Jongin. Seandainya.  

Baru saja Jiyeon akan membuka pintu mini market, seseorang telah mendahuluinya dari dalam.  Seseorang itu hampir menubruk tubuh Jiyeon, kalau saja ia tidak menyingkir di waktu yang tepat. Aroma alkohol yang menyengat mengiringi lewatnya wanita  itu—seseorang yang hampir menubruk tubuh Jiyeon. Dengan sayup-sayup wanita itu sempat membungkuk sekaligus meminta maaf. Jiyeon sempat melihat wajahnya dan apa yang dibawanya. Wajah wanita itu tampak pucat dan lelah, meski ditutupi riasan tebal tetap tampak jelas bagi siapa saja yang melihatnya. Wanita itu membawa sekantung minuman beralkohol. Jiyeon memperhatikannya sampai ia mengambil tempat duduk di sekitar mini market. Umur wanita itu mungkin sepuluh tahun lebih muda dari ibunya.

Tanpa memikirkan banyak tentang wanita itu lagi, Jiyeon masuk ke dalam mini market demi membeli dua botol air mineral. Satu botol langsung Jiyeon teguk usai transaksi pembayaran, sementara yang satu lagi masih tersimpan dalam kantung keresek. Jiyeon menenteng kantung keresek itu sambil berjalan keluar mini market. Tampak semangkin banyak plester yang membalut kaki jenjangnya, Jiyeon tersenyum melihat itu.

Jongin pernah mengatakan kalau cedera itu biasa dialami pemula, karena setelahnya ia mungkin akan menjadi profesional. Dalam hati Jiyeon memberi semangat pada dirinya, ia tidak akan menyia-nyiakan sisa latihannya bersama Jongin, juga semua lukanya ini. Siapapun yang terpilih dalam kompetisi nanti, Jiyeon tidak perduli asal ia bisa memberikan yang terbaik bersama Jongin. Selama sisa waktunya menari berdua, sampai waktunya mereka berdua seutuhnya. 

.

.

Berhenti di kerangka bangunan tak terpakai. Jongin memarkirkan motor di tempat biasa, lalu berjalan masuk dan menaiki tangga. Sampai di tempat latihan, tampak seorang gadis sudah menunggunya di sana. Gadis itu berdiri memunggungi Jongin. Menerjang sinar matahari yang tak berarti, sementara rambut lurusnya dibiarkan terbang terbawa angin dingin.

"Soojung?"Jongin mungkin terkejut menemukan Soojung di sini, pasalnya gadis itu belum pernah datang tanpanya ke tempat ini. Namun dari pada terkejut, Jongin lebih memilih mendekati Soojung."Kau tidak latihan hari ini?"

"Aku membolos." Wajah cantik Soojung menoleh, memantulkan sinar matahari yang masih setia menerjang,"Sejak pagi aku di sini, bukankah itu kemajuan, sebentar lagi sepertinya aku akan menjadi siswa pembangkang."Soojung tertawa, sekarang ia sudah benar-benar menghadap Jongin. Memunggungi sinar matahari yang tidak lagi menyinari wajah cantiknya. Ada keanehan dari tawa yang terlalu lepas itu, tidak biasanya Soojung menghindari tatapan Jongin.

"Apa kau baik-baik saja?"Soojung tetap tertawa, ia tidak juga mengindahkan pertanyaan Jongin. Air mata tiba-tiba menetes darinya, meski tawa belum juga berhenti, sementara kedua tangannya menutup mulutnya kini."Soojung?"

Jongin mempercepat langkahnya, pemuda itu mulai panik. Soojung sempat tersedak, sebelum suara isakan berangsur menggalahkan tawanya yang kian pudar. Kedua tangan Jongin menggapai bahu Soojung. Tubuh lemah yang hampir rubuh itu, berhasil terselamatkan oleh dekapan Jongin.

Selain isakan dan bisikan angin, tak ada lagi suara yang tercipta sepanjang waktu berlalu. Jongin hanya berusaha memberi kekuatan dengan dekapan dan usapan tangannya. Membiarkan Soojung melepaskan emosinya terlebih dahulu.

Di bawah Jiyeon baru sampai. Senyum makin tampak jelas dari wajah Jiyeon ketika melihat motor besar Jongin sudah terparkir. Jongin pasti sudah menunggunya lama, Jiyeon terkekeh dalam hati membayangkan pemuda itu. Langkah Jiyeon yang awalnya cepat, sengaja diperlambat agar tidak bersuara, ia berniat mengejutkan Jongin. Sekali-kali Jongin perlu dikerjai, pikirnya. 

Tinggal tiga langkah lagi Jiyeon menghabisi tangga yang akan membawanya pada Jongin. "Oppa—"Jiyeon mengenal suara itu."—menyukai Jiyeon."Suara isakan menyeruak tepat setelah kalimat itu terlontar. Membuat pergerakan Jiyeon terhenti."Oppa menceritakan isi hatinya padaku, tapi dia tidak pernah menyebutkan siapa gadis beruntung itu. Hatiku terluka, apalagi ketika dia meminta bantuanku untuk mencarikan hadiah untuk gadis itu. Dia memberikan kalung yang aku incar dan aku melihat kalung yang sama menghiasi leher Jiyeon. Rasanya jauh lebih sakit Jongin, aku seperti ingin merebut semuanya dari Jiyeon, tapi dia gadis yang baik."Sesuatu seperti menghantam dada Jiyeon bersamaan dengan kata 'baik' terngiang di telingannya. Jiyeon masih tetap pada posisi yang sama, namun pandangannya sudah kosong. Terbersit rasa bersalah di hatinya. "Apa yang bisa aku lakukan, sementara hatiku sudah tidak karuan?"

"Tidak bisakah kau berhenti saja? Berhenti memikirkannya, berhenti menyukai Myungsoo-ssi."

"Aku tidak bisa berhenti Jongin.  Ketika aku memlihatnya jantungku berdetak lebih cepat. Ketika dia memanggil, aku tidak bisa berpaling. Ketika dia mendekat, aku tidak bisa pergi. Bahkan ketika dia menjauh, kakiku bergerak mengejarnya, aku tetap tidak bisa berhenti meskipun rasanya lelah. Aku hanya dapat merasakan keegoisan di hatiku. Aku menginginkannya. Hatiku seperti sudah memakan habis otakku."

Waktu terus berjalan, Jongin hanya diam, membiarkan Soojung membuang semua keluh kesahnya, tangisnya, sampai tak ada suara lagi darinya. Gadis itu lelah, bersandar dan tertidur dalam dekapan Jongin. Keduanya dalam posisi duduk bersebelahan kini. Jongin agak menyerong, memberikan posisi nyaman pada Soojung. Matahari kian menghilang, langit mulai menggelap. Jongin membiarkan lamanya waktu berlalu dalam diam, hanya tangan kekarnya yang terus mengelus rambut Soojung.

 

---“Pasangan yang serasi, mereka benar-benar cocok kan, Jiyeon-aa.” —Jieun—

 

Jiyeon melihat itu dari belakang sepanjang waktu berlalu, dari posisinya terduduk dengan memangku kantung keresek berisi sebotol air mineral yang dibelinya tadi dan sebelah tangannya mencengkeram kalung pemberian Myungsoo. Sejak tak lagi ada suara, Jiyeon sudah menyelesaikan tangga terakhirnya, sayangnya ia hanya mampu duduk di sana, menahan perasaannya yang mulai aneh. Wajah Jiyeon terasa pegal akibat itu. 

"Soojung..."Sura Jongin menyelinap dalam keheningan, lama tidak dilanjutkan, sampai,"Aku mengerti perasaanmu, karena aku juga merasakan hal yang sama padamu."pertahanan Jiyeon runtuh bersamaan dengan kalimat itu berakhir. Air mata jatuh begitu saja. Jiyeon bukan manusia bodoh yang tidak mengerti arti dari kalimat itu. Hatinya pun terjatuh ke dasar bumi bersamaan dengan tetesan air mata pertamanya hari ini, meninggalkan jiwa dan raganya di tempat ini.

 

---“Jieun-aa, bagaimana jika ada seseorang yang menciummu secara tiba-tiba?—Jiyeon—

 

---“Cinta, aku rasa keduanya saling mencintai.”—Jieun—

 

Ani..aniya…bukan karena aku. Ingatan Jiyeon membuat semua terulang kembali. Mulai dari pertama kali Jongin menatapnya di kantin sampai semuanya berakhir di titik ini. Tatapannya, kebaikannya, perhatiannya, dan ciumannya??

"Kau tidak perlu melakukan apapun, jadi biarkan aku saja yang melakukannya. Aku akan selalu berada di pihakmu untuk melindungimu dan menjadi tempatmu pulang. Tidak perlu khawatir karena akan selalu ada aku di tempat yang sama, menunggumu."

Beginikah kesakitan yang juga sedang Soojung rasakan? Tanya Jiyeon pada hatinya yang sudah lenyap. Berkali-kali Jiyeon mengingkari dirinya dari kenyataan yang Jieun duga-duga selama ini, sekarang buktinya terungkap. Jiyeon melepas kalung yang masih mengikat lehernya. Membiarkan kalung itu jatuh begitu saja, sementara tangannya beralih membekap mulutnya. Berusaha menahan suara isakan yang akan keluar.

"Apapun akan aku lakukan untuk menjauhkan Jiyeon dari Myungsoo."

Soojung alasanya? Tahukah kamu bahwa aku tidak menginginkan ini, aku tidak butuh kalung itu ataupun Myungsoo, aku hanya membutuhkanmu? Pergerakan mulai tampak dari Jongin. Jiyeon bergegas mundur sampai dalam air matanya tidak lagi membayang sosok Jongin. Hanya terdengar suara langkah kaki setelahnya. Masih dengan tangisannya, Jiyeon turun, dan pergi meninggalkan kantung keresek berisi sebotol air mineral di tangga itu.

Ketika Jongin sampai di tangga bersama Soojung yang berada dipunggungnya, sosok Jiyeon tentunya sudah tidak ada. Namun mata Jongin menemukan kalung berbandul bulan dan kantung keresek berisi sebotol air mineral. Membuat langkahnya berhenti di tangga sejenak. Mata Jongin bergerak kesana kemari dengan kerutan di dahinya. Jongin baru ingat tentang Jiyeon, ini hari latihannya bersama gadis itu.

"Hampir setiap hari kau membelikan Soojung air mineral saat istirahat, tapi aku perhatikan kau sendiri jarang sekali minum."Jongin hanya tersenyum tipis mendengar itu dari Jiyeon."Minumlah!" Sebotol air mineral berukuran besar yang baru saja diteguk Jiyeon disodorkannya pada Jongin."Meskipun tidak merasa haus karena ini musim dingin, tubuhmu tetap membutuhkan banyak mineral."Jongin menerimanya dan tanpa ragu meneguk air mineral dari dalam botol itu juga."Lain kali aku akan membelikanmu air mineral juga."Ingatan tentang latihan beberapa minggu lalu lenyap bersamaan dengan Jongin, yang melanjutkan jalannya dan membawa dua benda itu bersamanya.

.

.

Meski banyak orang mengisi halte atau berlalu lalang di sekitar, Jiyeon tidak peduli. Entah berapa jam waktu berlalu, Jiyeon masih belum beranjak dari halte bus. Air mata Jiyeon telah kering dan membeku. Matanya membengkak. Pandangannya hanya menatap jauh, masih belum berubah sampai saat ini. Padahal sudah berkali-kali bus tujuannya, membawa banyak orang dari sana.

Halte bus mulai lenggang,"Apa kau sedang patah hati?"ketika pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Hm."Jiyeon bergumam, tanpa penasaran dengan siapa ia mulai berbicara.

"Kau masih terlalu muda untuk patah hati. Lebih baik kau segera pulang! Ibumu pasti sedang memikirkanmu! Sama sepertiku, yang sangat merindukan anakku."Air mata menetes bersamaan dengan berakhirnya nasihat itu. Hanya tinggal mereka berdua di halte.

Jiyeon baru menoleh ketika isakan terdengar. Pandangan Jiyeon menemukan wajah rapuh yang sudah berderai air mata. Ketika wanita itu sedang meneguk alkohol dari dalam kaleng. Air mata itu bercampur dengan alkohol, mengalir sampai membasahi lehernya. Jiyeon terus memperhatikan wanita yang entah sejak kapan sudah mengisi tempat di sebelah kanannya. Menurut dugaan, mungkin sejak aroma alkohol mulai mengisi udara di sekitar halte.

Wanita itu mengeker posisi tempat sampah di samping halte dengan kaleng alkohol yang sepertinya sudah kosong. "Fusss..."Dengan sekali lemparan kaleng itu berhasil masuk dengan mulus ke dalam lubang tempat sampah."Bagaimana? Aku hebatkan?" Tanya wanita itu entah pada siapa. Mungkin pada Jiyeon, yang ada di sana dan memperhatikannya.

Wanita itu mengambil dua kaleng lagi dari kantung belanjaan di pangkuannya, lalu menyodorkannya pada Jiyeon."Kau mau?” Tawar wanita itu. Jiyeon memperhatikan dua kaleng alkohol yang ditawarkan padanya, namun akhirnya ia menggeleng dan berpaling dari wanita itu. Kembali memandang jauh. Bosan dengan suasana jalan yang begitu-begitu saja, Jiyeon menggerakan bola matanya ke atas. Memandang langit hitam tanpa bintang. Hanya ada bulan bersinar di antara awan hitam. Bulan itu tertutupi awan, tapi sinarnya masih tampak.

"Anakku mungkin seumuran denganmu, tapi aku rasa dia jauh lebih besar darimu karena dia seorang lelaki." Kembali terdengar suara serak wanita itu,"Sudah lama sekali aku tidak melihatnya, sejak hari itu aku selalu merasa bersalah padanya, aku tidak berani menunjukan diriku di hadapannya,"Terdengar wanita itu menelan kepedihannya di antara isakan yang masih ada sesekali, meski pandangan Jiyeon pada bulan itu tetap kosong, tapi kini ia mulai tertarik dengan cerita wanita itu,"kalaupun aku berani, aku yakin dia akan langsung pergi. Dia selalu datang ketika aku tertidur dan menghilang ketika aku membuka mataku. Karena itu aku sering berpura-pura tidur agar dia tetap berada disisiku."

Air mata Jiyeon yang sudah kering dan membeku, kini mencair kembali. Menetes begitu saja dari matanya, entah karena iba pada wanita itu atau masih karena alasan yang sama. Pastinya Jiyeon hanya ingin menangis lagi. Meski matanya sudah sangat lelah, hatinya pun tetap terluka dan tidak juga merasa lega, Jiyeon tetap membiarkan air mata itu mengalir."Tidak mungkin ada anak yang membenci ibunya. Kenapa dia bisa seperti itu, Ahjumma?"Kali ini Jiyeon baru menyampaikan pendapatnya.

"Aku sudah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan, bahkan oleh anakku sekalipun. Mungkin dia masih mencintaiku, tapi dia pasti menyesal karena lahir dari orang sepertiku."Tangisan wanita itu kini menjadi-jadi, Jiyeon kembali menoleh padanya. DRUM. Sekaleng alkohol jatuh dari tangan wanita itu, yang kini menekan dadanya sendiri, menahan pilu. Jiyeon merangkul bahu wanita itu sambil mengusap dan menepuknya lembut. Lama berlalu, sampai wanita itu mulai tenang setelah menghembuskan nafasnya panjang.

“Terimakasih.”kata wanita itu sambil tersenyum dan mengusap salah satu tangan Jiyeon yang masih berada di bahunya.”Kau? Kenapa gadis secantikmu bisa patah hati?”Wanita itu kembali mengambil sekaleng alkohol dan meneguknya.

“Bagaimana Ahjumma bisa tahu kalau aku sedang patah hati?”Jiyeon tertawa kecil sebelum mengatakannya. Pandangannya sudah kembali pada bulan.”Padahal aku belum mengatakan apapun.”

“Orang dewasa itu punya feeling yang kuat.”Keduanya tertawa bersama dalam kepedihan masing-masing.

“Seseorang yang aku cintai ternyata mencintai orang lain, Ahjumma.”kata Jiyeon setelah tawa berakhir dan keheningan tercipta untuk beberapa saat,”Aku baru mengetahuinya hari ini, semua yang dia lakukan padaku semata-mata hanya untuk gadis itu.”Diam. Wanita itu belum menanggapi Jiyeon, hingga terdengar suara kaleng-kaleng berjatuhan. DRUM. DUM. DUM. DUM. Ketika Jiyeon menoleh, ia sudah menemukan wanita itu terkulai lemah dengan mata yang terpejam. Tentu Jiyeon langsung panik dan berusaha membangunkan wanita itu, meski usahanya sia-sia saja.

.

.

.

Taehee keluar karena mendengar bel rumah berbunyi. Myungsoo tersenyum sopan di balik selah-selah pagar menyambut kemunculan Taehee dari pintu yang terbuka. Pagar pun dibukakan oleh Taehee, bersamaan dengan datangnya seseorang lainnya. Motor berhenti tepat di sebelah motor Myungsoo yang telah terparkir. Tentunya, sukses mencuri perhatian Myungsoo juga Taehee.

Seseorang lainnya itu Jongin. Tatapan tidak suka dari Myungsoo lansung menyambut kehadiran Jongin. Namun dari pada menggubris tatapan itu, Jongin lebih memilih untuk menyapa Taehee dengan tersenyum dan membukuk sopan. Kedua pemuda itu pun dipersilahkan untuk menunggu di dalam ruang tamu, sementara Taehee melihat kondisi anaknya di atas—menuju kamar Jiyeon.

Selama menunggu, tidak ada obrolan yang tercipta di ruang tamu yang sunyi ini. Dua hari sudah wajah cantik Jiyeon tidak terlihat di sekolah. Menurut kabar yang beredar Jiyeon sakit. Tidak perlu ditanyakan lagi Myungsoo mendapatkan kabar itu dari siapa, karena jawabannya sudah pasti Jieun. Tidak berbeda jauh dengan Myungsoo, Jongin juga mendapatkan kabar itu dari Jieun, tapi bedanya pada situasi yang tidak disengaja. Jieun kemarin menanyakan keadaan Soojung yang juga sedang sakit, saat itulah tidak disengaja terungkap mengenai sakitnya Jiyeon. Begitulah sebabnya kedua pemuda tampan ini berada di tempat yang sama sekarang. Untuk menjenguk Jiyeon.

Tidak lama Taehee datang. Jongin dan Myungsoo langsung berdiri menyambut nyonya besar rumah ini. "Mianhae, sepertinya Jiyeon belum bisa dijenguk. Tidurnya sangat nyenyak, Ahjumma tidak tega membangunkannya."Jelas Taehee sambil dalam hati menggerutu untuk anaknya sendiri, yang teganya menolak bertemu dengan kedua pemuda tampan di hadapannya ini.

"Gwaenchana, Ahjumma."

"Gwaenchana, Ahjumma."

Kata yang sama dalam waktu bersamaan diucapan oleh Jongin dan Myungsoo. Hampir Taehee melepaskan tawanya, kalau saja ia gagal menjaga kewibawaannya sebagai seorang ibu. Apalagi ekspresi tidak suka sempat tampak dari wajah Myungsoo. Taehee seolah dapat merasakan aura persaingan di anatara keduanya. "Semoga Jiyeon cepat sembuh dan sampaikan salamku padanya, Ahjumma." Lanjut Myungsoo sambil tersenyum. Taehee membalasnya dengan senyuman sekaligus anggukan.

"Ahjumma, aku titip ini untuk Jiyeon."Jongin mengulurkan tangannya yang memegang sebuah kotak berukuran kecil ke hadapan Taehee.

"Nde, akan Ahjumma sampaikan." Taehee mengambil kotak itu dari tangan Jongin, sementara Myungsoo makin tidak suka melihat itu."Terima kasih sudah datang dan hati-hati di jalan."

Di luar rumah Jiyeon. "Sunbae..."Suara Jongin masih terdengar, meski Myungsoo sudah menggunakan helemnya kini."Soojung juga sudah dua hari tidak masuk dan sedang sakit."Belum sempat Myungsoo membalas ucapannya, Jongin sudah melesat pergi dengan motornya.

"Soojung?"Myungsoo mengerutkan dahinya memandang lenyapnya Jongin.

.

.

.

Orang-orang tampak memenuhi bangku penonton. Tidak terlalu ramai, hanya para anggota klub tari saja. Bangku paling depan ditempati oleh Hyoyeon dan para senior. Selebihnya diisi oleh para junior. Lagu berdentam, mengisi Auditorium 1 SMA Jaeguk. Pasangan pertama mulai menunjukan aksinya di atas panggung. Menggerakan tubuh masing-masing dengan lincah mengikuti irama.

Berpaling dari keramaian. Di belakang panggung Jiyeon masih berdiri di hadapan cermin, ia belum juga bosan memandangi rupanya yang sudah selesai dirias sejak setengah jam yang lalu. Jongin adalah satu-satunya alasan kenapa ia masih tetap berada di sini. Dua hari berisirahat di rumah tentunya belum membuat hatinya sembuh. Apalagi Jongin tidak memunculkan reaksi apapun saat bertemu dengannya tadi, pemuda itu biasa saja. Meski dalam hati Jiyeon bersyukur tapi ia tidak dapat memungkiri kalau ia juga kecewa dalam waktu yang bersamaan.

Semua usahanya, cedera-cederanya, Jiyeon kembali mengingat itu satu-persatu. Tidak mungkin ia menyia-nyiakan itu semua hanya karena perasaannya. Dua hari seharusnya sudah cukup untuknya, mungkin tidak untuk hatinya, tetapi setidaknya tekatnya untuk menampilkan yang terbaik. Terlebih Jongin belum melihat kemajuannya semenjak saat itu. Setelah beberapa kali menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan, Jiyeon mulai beranjak dari cermin. Melangkah menuju pintu keluar. Ketika pintu dibuka, Jongin yang pertama kali dilihatnya. Pemuda itu sudah berdiri di hadapannya. Menatap matanya yang membulat karena terkejut.

"Kau sudah siap?"Dengan berat hati Jiyeon tersenyum pada Jongin.

"Nde."Kata Jiyeon sambil menganguk.

"Kita perlu latihan sebentar, kaja."Jiyeon menganguk lagi.

Keduanya latihan bersama di belakang panggung. Suara siulan menjadi backsound pertama yang terdengar ketika lagu dimulai. Jongin mulai menggerakan tubuhnya, sementara Jiyeon berdiri membelakanginya dalam jarak yang tipis. Siulan itu mengiringi sampai lebih dari tujuh kali. Dengan irama yang terdengar nakal dan menggoda. Setelahnya digantikan oleh suara hitungan.

 

1! 2! 3!

 

Tak terasa giliran mereka beraksi di atas panggung pun tiba. Dalam posisi yang sama dan gerakan yang sama pula. Ketika suara hitungan dimulai. Jiyeon mulai memutar tubuhnya begitupun Jongin. Keduanya melangkah berjauhan. Dalam posisi sama-sama menyamping dan sejajar salah satu tangan mereka terangkat ke atas, membuat petikan seirama dengan tempo serta sebanyak dentuman yang terdengar.

 

Ni nuneul bomyeon nan Trouble Maker

Ni gyeote seomyeon nan Trouble Maker

 

Posisi mereka berubah menjadi berhadapan. Untuk hitungan detik tatapan mereka sempat bertemu di jarak yang masih berjauhan. Jongin tampak serius dengan perannya saat ini. Begitupun Jiyeon yang seolah mendapat kekuatan dari sepasang mata pemuda itu. Kegugupan berangsur pudar meski detak jantung Jiyeon tidak juga bisa normal, apalagi irama berikutnya membuat posisi mereka kembali dipersatukan. Sangat dekat.

 

Jogeumssik deo deo deo

Galsurok deo deo deo

Ijen nae mameul nado eojjeol su eobseo

Niga nareul itji motage

Jakku ni apeseo tto

Ni mam jakku naega heundeureo

Beoseonal su eopdorok

Ni ipsureul tto humchigo meolli daranabeoryeo

Nan Trou a a a ble!

Trouble! Trou! Trouble Maker!

Niga nareul itji motage

Jakku ni apeseo tto

Ni mam jakku naega heundeureo

Beoseonal su eopdorok

Ni ipsureul tto humchigo meolli daranabeoryeo

Nan Trou a a a ble!

Trouble! Trou! Trouble Maker!

Trouble Maker!

Trouble Maker!

Trouble Maker!

Trouble Maker!

Trouble Maker!

 

Lagu berakhir bersamaan dengan suara siulan yang kembali datang sebagai backsound terakhir. Jiyeon menyelipkan satu tangannya di anatara cela tangan dan pinggang milik Jongin. Tangan itu bergerak sampai ke atas punggung Jongin. Begitupun dengan Jongin, satu tangannya yang terikat oleh tangan Jiyeon pun telah berada di atas punggung gadis itu. Keduanya saling merekat. Mendekatkan wajah masing-masing. Sampai tidak ada celah untuk penonton mengetahui apa yang terjadi di balik itu. Seolah saling berciuman.

 Siulan lenyap. Musik berakhir. Suara teriakan dan tepuk tangan penonton yang mulai mendominasi kini. Dari balik kepala masing-masing keduannya hanya saling bertukar oksigen, tanpa berani bertatapan. Hidung mancung yang saling bersentuhan menjadi jaraknya, sebelum keduanya saling melepaskan. Menghadapkan wajah mereka pada penonton.

Hyoyeon tampak tersenyum tipis, "Akan lebih indah jika kalian berciuman sungguhan."komentar Hyoyeon setelah tepuk tangan berakhir. Membuat seisi Auditorium 1 SMA Jaeguk terkejut, termasuk Jongin meski ia tak menunjukannya. Tapi Hyoyeon malah tertawa,"Wajahmu memerah, apa kau juga mengharapkan hal yang sama?" Jiyeon reflek memegang wajahnya. Apa itu ketara sekali? Ani..aniya. Di dalam alam bawah sadarnya, Jiyeon bergelut dengan pikirannya sendiri, padahal belum tentu dirinya yang dimaksud Hyoyeon."Kalian lucu sekali."

Hyoyeon masih saja tertawa, sehingga yang lainnya juga ikut tertawa sekaligus bertepuk tangan lagi sampai Jiyeon dan Jongin meninggalkan panggung dengan kikuk. Maklum Hyoyeon besar  di Amerika, sehingga hal semacam itu sudah biasa untuknya.

Kompetisi berjalan dengan lancar. Hyoyeon menyampaikan evaluasinya setelah kompetisi berakhir. Dalam evaluasi itu, Jiyeon yang paling banyak mendapatkan nasihat meski begitu Hyoyeon mengakui kemajuan pesat darinya. Mengenai siapa yang berhasil terpilih untuk mengikuti festival akhir tahun masih dirahasiakan. Para anggota klub tari diizinkan pulang ketika Hyoyeon selesai menyampaikan evaluasi. 

"Jongin ada yang ingin aku bicarakan denganmu."Kata Jiyeon yang menghampiri Jongin di parkiran."Boleh aku ikut?"Lanjutnya ketika Jongin menoleh. Jongin tidak menjawab, ia hanya memberikan helem yang biasa dipakai Soojung pada Jiyeon.

.

.

Selain sepi penghuni, taman ini juga sepi tumbuhan. Tentu saja, mengingat salju mulai memenuhi. Jiyeon bersama Jongin duduk di atas ayunan yang dingin. Mereka saling mengayun ayunan masing-masing. Suara gesekan besi berkarat terdengar menemani keheningan yang berlalu sampai akhirnya Jiyeon menghempaskan beban dihatinya melalui embusan nafas panjang. Gumpalan embun menguap keluar dari mulutnya. Senja mulai berganti malam.

"Aku mendengar semuanya."Jiyeon memulai,"Apa kau tidak merasa bersalah kepadaku?"

"Mian, tidak seharusnya aku melakukan itu padamu."

"Gwaenchana, kau boleh melakukannya lagi jika kau membutuhkannya." Kalimat ini sukses membuat Jongin menoleh pada Jiyeon.

"Apa yang aku dengar kemarin, setelah aku pikir-pikir tidak ada salahnya." Jiyeon juga menoleh, sehingga tatapan mereka bertemu, hanya gumpalan embun dari mulut masing-masing, yang menandakan jarak di antara mereka."Aku akan mengikuti permainanmu."Jiyeon tersenyum sambil berusaha menyampaikan perasaan tulusnya dari tatapan itu. Entah Jongin menyadarinya atau tidak.

"Sejak kapan kau mencintai Soojung?" Keduanya masih saling bertatapan, hingga Jongin memilih berpaling.

"Aku tidak tahu, perasaan itu muncul dan berkembang tanpa aku sadari."

"Cinta memang seperti itu."

"Kenapa kau mengizinkan aku melakukannya?" Ini pertanyaan yang sudah mengendap lama dalam benak Jongin, sejak ciuman itu dimulai. Akan tetapi, ini bukan hanya tentang ciuman itu, ini tentang semuanya. 

"Karena aku tidak bisa menerima cinta Myungsoo, hanya itu yang bisa aku jawab saat ini."

"Kau punya alasan lain?"Jiyeon menganguk, keduanya saling bertatapan lagi.

"Suatu saat, aku harap, aku bisa mengatakannya padamu."Sepasang mata Jiyeon mulai terasa berat, kalau ia tetap bertahan mungkin air mata dan semua perasaan sakitnya akan tumpah di sini."Aku harus pergi sekarang."Jiyeon bangkit sambil memalingkan wajahnya dari Jongin.

"Biar aku antar."Tidak ada lagi yang duduk di atas sepasang ayunan dingin itu. Namun ayunan itu masih tetap mengayun dengan sisa tenaga yang ditinggalkan.

Jiyeon kini membelakangi Jongin, ia menggeleng."Rumahku sudah dekat dari sini, aku bisa jalan sendiri ke sana."Tentu Jongin tahu itu, tapi ia tidak tega membiarkan Jiyeon jalan sendirian.

.

.

Nampan yang membawa semangkuk Teokbokki datang. Jiyeon menyipitkan matanya pada pembawa nampan itu,”Aniya.. kau tenang saja, ini ayahku yang membuatnya.”

Jiyeon tertawa,”Siapa yang bilang bukan ayahmu, Jieun-aa?”tanyanya sebelum menyedot jus jeruk miliknya.

“Tatapanmu itu, menghakimiku.”Jieun duduk di hadapan Jiyeon setelah menaruh semangkuk Teokbokki di atas meja dengan wajah jengkel. Seolah tidak menyadari penyebab dari kejengkelan sahabatnya, Jiyeon masih tetap tertawa.

Lee Jongkook—ayah Jieun—adalah seorang koki handal, ia dapat memasak apapun dengan mudah. Jongkook sempat bekerja untuk hotel berbintang di Prancis, Italia, serta masih banyak lagi, tapi ruko warisan ibunya ini dan kecintaannya pada keluarga membuatnya memilih untuk tinggal. Sebagai seorang anak, anehnya Jieun tidak mewarisi keahlian ayahnya itu. Berkali-kali Jieun mencoba membuat Teokbokki, yang hanya berakhir menjadi produk gagal. Jiyeon sudah sering menjadi korban, karenanya ia sedikit terauma akan hal itu.

Teokbokki yang dihidangkan sudah berkurang setengah. Jiyeon dan Jieun sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Sepertinya Jieun lelah hari ini, sehingga mulutnya tidak berkicau seperti biasanya. Kedatangan Jiyeon menjadi kesempatan buat Jieun untuk beristirahat. Meski tidak ada pembicaraan suasana tetap ramai, dengan suara musik dan pelanggan Teokbokki’s Mr.Lee.

"Jieun-aa, mereka tidak saling menyukai." Kebingungan tersurat dari raut muka Jieun ketika Jiyeon tiba-tiba mengatakannya. Tidak ada emosi dari nada bicaranya, sehingga Jieun tidak bisa menebak maksud dari sahabatnya itu. Apalagi Jiyeon berbicara tanpa menatapnya, ia masih setia menghadapkan wajahnya pada jendela. Entah apa yang menarik dari suasana malam di luar sana. Kendaraan? Lampu-lampu? Hanya Jiyeon yang bisa menjawabnya.

"Mereka siapa?"

"Pemuda itu mencintai gadis lain."Bukan menjawab kebingungan lawan bicaranya, Jiyeon malah terus berbicara sesuka hatinya.

"Gadis lain?" Sepasang mata Jieun masih berusaha mencari jawaban dari wajah Jiyeon yang tak kunjung menghadapnya. Namun Jieun malah menyadari hal lain. "Dimana kalung pemberian Myungsoo Oppa?”

"Eonni?" Tangan kecil Seulgi menarik-narik ujung baju Jieun. Membuyarkan segala pikiran Jieun saat ini. "Bantu Eomma!" Ketika Jieun menoleh, Seulgi langsung menunjuk ke arah ibunya yang sedang memberi kode. Ternyata pelanggan mulai tidak terkendali, sepertinya Jieun memang harus meninggalkan Jiyeon sendiri dan beralih membantu ibunya lagi.

"Jiyeon-aa mianhae, aku tinggal dulu, nde!"Jieun pergi ketika Jiyeon menganguk.

Semangkuk Teokbokki habis. Jieun tampak semangkin sibuk kesana-kemari melayani pelanggan. Jiyeon beranjak dari kursinya dan mulai bergerak membantu. Ingatan masa lalu kembali. Ketika Sehun belum pergi. Mereka masih selalu bertiga. Jiyeon, Jieun, dan Sehun. Membantu di Teokbokki’s Mr.Lee menjadi kegiatan rutin mereka setiap pulang sekolah. Usai membantu mereka  memakan semangkuk besar Teokbokki bersama-sama. Menyenangkan.

Ketika Teokbokki’s Mr.Lee tutup, Jiyeon baru pulang. Sampai Jiyeon masuk ke rumah, ia tidak menyadari kalau Jongin mengawasinya dari kejauhan sejak mereka berpisah di taman tadi.

-To Be Continue-

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK