Motor sport-nya melesat menembus dingin, melupakan turunnya salju dan gadis yang menggigil di belakangnya. Hatinya sudah terlalu beku untuk menyadari kebekuan lain. Tentu saja sakit. Bahkan emosinya siap meledak kapan saja. Gadis berwajah pucat di belakangnya pun dapat merasakan kesakitan itu. Dalam ketidakmenegertian. Dalam misteri cinta yang hanya bisa dijawab oleh sepasang insan tadi. Sepasang insan yang menautkan bibirnya di bawah salju.
Sampai di depan rumah bergaya minimalis. Soojung turun perlahan dari motor itu. Myungsoo sama sekali tak memperdulikannya. Tanpa kata, bahkan menolehpun tidak. Entah ekspresi macam apa yang tersurat di balik helem itu.
Baru saja mulut biru yang hampir membeku itu akan berkata, Myungsoo sudah terlanjur pergi bersama motornya. “Hati-hati di jalan, Oppa.”Pelan Soojung sambil berusaha menahan masa tubuhnya yang terasa semangkin berat. Soojung berbalik dan berjalan perlahan menuju rumahnya yang tidak dipagar.
Malam yang belum larut dan salju yang masih turun, Soojung seperti melayang di antaranya. Terdengar suara menghangatkan dari dalam rumah. Tawa adik dan ibunya. Soojung sempat tersenyum, sebelum tubuh lemahnya terhuyung ke lantai. Tepat setelah ia berhasil membuka pintu. Drum. Suara hempasan keras pintu ke dalam badan rumah, membuat Nana dan Danee tersentak di atas sofa. Mereka berlari menuju sumber suara. Betapa terkejutnya ibu dan anak itu, mendapati tubuh sosok yang mereka kasihi tergeletak tak berdaya di lantai. Bersama pintu yang terbuka dan embusan angin dingin dari luar.
.
.
Usai mengantar Jiyeon ke rumahnya, Jongin tak langsung pulang. Pemuda itu melintasi jalan menuju rumah Soojung. Pikirannya terlalu murni untuk berdusta akan perasaan khawatirnya terhadap gadis itu. Dari posisinya yang tidak terlalu jauh tadi, ia bisa melihat Myungsoo menarik Soojung penuh emosi. Apa Soojung baik-baik saja? Tindakan bodohnya mungkin akan menyakiti banyak hati, tapi ia tidak pernah menyangka itu akan berdampak juga pada gadis yang berusaha ia lindungi. Jung Soojung.
Jongin menghentikan sekaligus memarkirkan motornya di depan rumah Soojung. Ia berjalan menuju pintu rumah Soojung. Menekan bel rumahnya sekali, lalu menunggu. Tidak lama pintu pun terbuka.
“Oppa?”Senyum Danee menyambutnya.”Silahkan masuk!”
“Aniyo.”Jongin menolak.”Aku hanya ingin tahu, apa Soojung baik-baik saja?”
“Eonni, sempat pingsan di depan pintu,“Langsung tampak kepanikan dari wajah tampan Jongin,”tapi kondisinya sekarang sudah membaik, bahkan sudah tertidur di kamarnya.”lalu berangsur tenang mendengar penjelasan Danee berikutnya.”Oppa pasti khawatir?”Jongin menatap Danee tidak mengerti.”Tidak seharusnya Eonni pulang sendiri tanpa berpamitan pada Oppa. Mian, sudah merepotkan.”
“Soojung pulang sendiri?”
“Nde,”Danee mengangguk,”ketika siuman, Eonni sempat mengatakan kalau dia pulang diam-diam tanpa memberitahu Oppa.”jelasnya.
Soojung berbohong. Bukan Danee. Seharusnya ia yang meminta maaf pada Keluarga Jung, karena telah membiarkan Myungsoo menyia-nyiakan Soojung. Jongin tidak menyangka kakak kelasnya itu, akan setega ini, membiarkan Soojung pulang sendirian. Soojung bukan gadis yang kuat, ia punya animea akut, dan tubuhnya sensitif terhadap udara ekstrim. Menyesal. Mungkin itu yang tengah mengambang dipikiran Jongin.
.
.
Setelah makan dan minum obatnya yang biasa, semuanya tampak baik-baik saja, tapi tidak untuk tidurnya. Soojung terbangun, setelah beberapa saat sempat memejamkan matanya. Ia beranjak dari kasur putihnya. Memandang setangkai mawar putih yang masih segar di dalam pot berisi air. Bibirnya tersenyum gentir meninggalkan pemandangan bunga mawar di atas meja belajarnya.
---“Oppa!”
---“Myungsoo Opp—“
Adegan yang berlangsung di antara suara kembang api dan riuh penontonya. Adegan yang tak juga berakhir, meski salju turun. Seolah kembali terulang di hadapan Soojung. Siapa gadis itu? Apa hubungannya dengan Myungsoo, dirinya, dan Jongin? Apa benar, Jieun? Akan tetapi, gadis itu tidak tampak seperti Jieun, yang bertubuh kecil dan berambut lurus. Pikirannya terus mencari jawaban.
Soojung berjalan menuju jendela sambil berharap akan muncul cahaya bintang di antara langit mendung bersalju. Keinginan yang konyol. Langit gelap di luar sana, sama sekali tak menampakkan bintang. Hanya tampak bulan bersama awan yang menutupi sebagian darinya. Cahayanya begitu indah dan terang. Kenapa jatuh cinta serumit ini? Pikir Soojung seakan bertanya pada bulan. Soojung tak pernah menyangka perasaannya pada Myungsoo akan berkembang sedalam ini.
---“Sojung, ketika kita mencintai seseorang, itu artinya kita harus sanggup menangung segala risiko yang timbul. Yang paling menyakitkan adalah saat perasaan itu tidak berbalas, semakin dekat semakin kuat sakit yang kau rasakan. Kadang lebih baik berhenti, sebelum melangkah terlalu jauh.”
Apa masih belum terlambat untuknya berhenti? Soojung meninggalkan sinar bulan yang tak juga memberinya jawaban. Sepasang matanya turun ke bawah. Dari atas kamarnya yang terletak di lantai dua, ia melihat sosok pemuda berjaket coklat. Jongin. Nama itu yang melintas pertama kali di benaknya. Pemuda yang berjalan keluar rumahnya.
Jongin mengangkat kepalanya ke atas. Memandang jendela yang telah gelap. Berharap dapat menyalurkan perasaannya pada sang putri tidur di dalam sana. Tanpa prajurit itu tahu, sang putri tidur juga tengah memandang ke arahnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi Jongin-aa?”tanya sang putri tidur, seakan prajurit di bawah sana mampu mendengar suaranya.
---“Nde, ketika siuman, Eonni sempat mengatakan kalau dia pulang diam-diam tanpa memberitahu Oppa.”
“Mianhae, Soojung-aa.”pelan Jongin.
.
.
.
Matahari bersinar sempurna, namun tak menghangatkan. Salju yang terhampar di sekitar tak terlalu tebal. Selain karena sudah terkikis mesin, salju memang masih turun dengan intensitas rendah. Sementara debaran jantungnya terasa tak sebanding dengan langkah kaki yang lambat. Keinginan hati terasa menggebu, namun logika seperti menahannya. Sekali-kali Jiyeon tersenyum, walau berikutnya tersadar akan keanehannya sendiri. Setelah hari itu, mungkin akan sulit baginya ketika bertemu dengan Jongin.
Jiyeon berdiri di depan kerangka bangunan tak terurus—tempat latihannya bersama Jongin. Harapan dan keraguan terasa menjadi satu kesatuan yang membimbangkannya. Sulit bagi Jiyeon untuk mengendalikan gemuruh jiwa atau menetapkan hati pada logika. Jiyeon memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam, dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Seperti salah satu adegan dalam film laga. Semoga saja jurus pengendalian dirinya berhasil kali ini.
Tanpa Jiyeon ketahu, sumber dari kebimbangan itu tengah memperhatikannya. Bahkan sempat tertawa samar melihat tingkahnya. Jiyeon pun melangkah masuk ke dalam kerangka bangunan itu. Dengan hati-hati menapaki tangga yang licin. Kemudian, berusaha tenang ketika tatapannya bertemu dengan tatapan pemuda yang sedang menyapu es menggunakan skop.
“Biar aku bantu!”ucap Jiyeon gelagapan.
“Aku membawa dua skop, di sana ada satu lagi.”Jongin menunjuk ke sudut bangunan atau mungkin ruangan. Akan tetapi, ini belum pantas disebut ruangan, selama masih belum terisi tembok di antara tiang-tiang penyanggahnya.
“Oke.”Jiyeon berlari kecil ke arah yang ditunjukan Jongin, dengan sedikit perasaan kecewa. Kenapa pelaku dari ciuman itu, malah biasa saja? Pikirnya, tanpa memperdulikan area yang masih licin. Bruk.”Akhh.”Jiyeon sukses terpeleset.
Jongin segera menghampiri Jiyeon, setelah melempar skop di tangannya sembarangan. Mungkin rasanya sakit, tapi tidak melebihi perasaan malu yang membebani Jiyeon. Pipi gadis itu terasa memanas, ia hanya berani menunduk saat Jongin mendatanginya.
“Apa sakit?”Jongin meluruskan kaki Jiyeon,”Atau ada yang terluka?”lalu memijat-mijatnya. Namun tidak juga ada jawaban darinya. Jongin semakin mendekatinya.”Jiyeon, neo gwaenchana?”Jongin berusaha menyelinap masuk. Mendekati wajah Jiyeon yang masih saja menunduk.
“Aku malu.”Jujur Jiyeon akhirnya.
Tanpa Jongin sadari, salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Membentuk senyuman. Jongin pun mejauhkan wajahnya dari wajah Jiyeon, lalu bergeser ke tengah tubuh gadis itu. Tiba-tiba saja Jongin mengangkat tubuh Jiyeon. Sekali lagi Jongin menggendongnya seperti ini. Jiyeon amat terkejut, ia reflek menyentuh dada bidang Jongin, lalu mendongak.
“Bokongmu bisa membeku, kalau terus berada di sana.”komentar Jongin, yang membalas tatapan Jiyeon.
“Nan gwaenchana.”kata Jiyeon berusaha meyakinkan.”Aku bisa berdiri kok.”Penyakit jantungnya kembali kumat.
“Baiklah.”Jongin tersenyum sangat manis, lalu dengan perlahan menurunkan bagian kaki Jiyeon terlebih dahulu. Sementara Jiyeon berusaha menapaki lantai dengan kedua tangan yang menggengaam bahu Jongin. Meski berusaha seimbang. Hampir saja ia terjatuh lagi. Menubruk tubuh Jongin, kalau saja pemuda itu tidak menahan pinggangnya. Namun, tidak sengaja bibir Jiyeon yang malah menubruk dada Jongin. Buru-buru Jiyeon menegakkan tubuhnya.
“Mian.”ucap Jiyeon, yang tidak berani bembalas tatapan Jongin.
“Berhati-hatilah!”
Kecanggungan berlalu, kegiatan menyapu es pun berlanjut. Jongin dan Jiyeon melakukannya dengan sungguh-sungguh. Setelah area latihan bersih dari balutan es, mereka beristirahat terlebih dahulu. Keduanya duduk di sana dengan dilapisi plastik. Jiyeon mengeluarkan kotak bekal yang dibawanya dari dalam tas. Membuka dan menyodorkannya pada Jongin.
“Ini buatanku, kau harus mencobanya!”
“Aku tidak yakin.”Jongin menyumpit Kimbap yang mengisi kotak makanan itu, lalu memakannya.
“Bagaimana?”tanya Jiyeon tidak sabar.
“Enak.”komentar Jongin usai mengunyah,”Apa benar kau yang membuatnya?”
Jiyeon tertawa kecil,”Ani, ini buatan ibuku.”Jongin pun tertawa meremehkan.
“Sudah kuduga, kau membohongiku.”
Sebenarnya Jiyeon memang berniat membuatkan Kimbap khusus untuk Jongin, tapi sayang kemampuan memasaknya dibawah rata-rata. Sudah lima kali mencoba, selalu berakhir dengan kegagalan. Entah rasanya yang tidak enak atau gulungannya yang gagal. Sampai akhirnya Taehee berinisiatif membantu anak semata wayangnya itu. Hasilnya sudah pasti memuaskan. Jiyeon hanya berandil menghias Kimbap-nya di dalam kotak bekal.
Latihan berlangsung, dengan tidak lupa melakukan pemanasan sebelum lagu Trouble Maker terdengar dari portable speaker. Jongin berperan sebagai Hyunseung, sementara Jiyeon sebagai Hyuna. Gerakan Jongin sudah tidak diragukan lagi, bahkan gerakannya jauh lebih bagus dari Hyunseung. Tapi, Jiyeon. Masih sangat kaku dan power-nya sangat kurang. Beberapa kali Jiyeon hampir jatuh lagi. Beruntung Jongin selalu sigap menahan tubuhnya dan siap melatihnya dari awal lagi.
.
.
.
Kamar bercat biru. Ada sepasang manusia di dalamnya. Entah karena kondisi kaki kiri sang gadis yang cedera atau karena memiliki motif tersembunyi, sang pemuda dengan suka rela menggendong gadis itu. Kedua tangan sang gadis mengalung pada leher sang pemuda, sementara tubuh rampingnya membebani kedua tangan pemuda itu. Myungsoo menatap keduanya kaku. Ingin sekali Myungsoo bertukar posisi dengan pemuda itu.
“Jiyeon-aa, bagaimana keadaanmu?”Jieun berlari menuju Jiyeon, tepat ketika pemuda itu berhasil membaringkan tubuh gadis yang teramat Myungsoo khawatirkan di atas kasur. Jiyeon dan pemuda itu, sempat terlibat kontak mata sebelum jarak menjauhkan mereka.“Jongin-sii?”Jieun tampak terkejut untuk beberapa saat,”Kau yang membantu sahabatku?”
“Nde, keadaanku sekarang sudah membaik berkat bantuan Jongin-sii.”Jiyeon yang menjawabnya. Jongin hanya tersenyum menanggapi pernyataan Jiyeon.
“Jeongmal kamsahamnida Jongin-sii.”kata Jieun sambil tersenyum, yang membuat Jongin kembali tersenyum. Selanjutnya Jieun mendudukan dirinya di sisi kasur dan menyerang Jiyeon dengan berbagai pertannyaan penuh rasa khawatir.
Tap. Tap. Tap. Suara langkah kaki, membuat Jongin menoleh. Pemuda yang sempat terlupakan keberadaannya ini, kini menunjukkan jati dirinya. Tatapannya sangat tidak bersahabat saat bertemu dengan tatapan Jongin yang tenang. Myungsoo tengah menyalurkan emosinya. Kecemburuan? Entahlah.
“Ah iya, aku datang ke sini bersama Myungsoo Oppa, dia sangat mengkhawatirkanmu.”
“Jinja?”
“Nde—”
Jarak Jongin dan Myungsoo terlampau dekat, seperti ada sengatan listrik yang saling beradu dari sepasang mata mereka.
“—itu Myungsoo Oppa?”
”Jiyeon-aa, aku pamit.”Jongin segera mengkahiri tatapannya dengan menoleh pada Jiyeon. Pemuda itu tersenyum manis menyambut tatapan Jiyeon yang mengarah padanya. Senyuman ikut mengembang di wajah Jiyeon. Dengan jelas Myungsoo menyaksikan adegan itu. Membuat tangan Myungsoo mengepal kuat.
“Aku berhutang banyak padamu, hati-hati di jalan.”
“Kalau begitu, aku akan menangihnya nanti, dengan bunga yang berkali-kali lipat.”Entah disengaja atau tidak, Jongin jadi lebih cerewet.
“Yaa, aku baru tahu, ternyata kau seorang rentenir.”komentar Jieun.
Jongin tertawa,”Berhati-hatilah denganku, jaga sahabatmu baik-baik!”
“Oke, hati-hati!”
Kalau saja mereka hanya berdua, kepalan tangan Myungsoo yang siap tempur ini, tak akan sungkan menghantam ekspresi memuakkan Jongin. Gunung merapi di kepala Myungsoo sudah siap meletus.
Jongin melewati Myungsoo, setelah sempat bertatapan lagi selama beberapa detik. Di ambang pintu Jongin berpapasan dengan Taehee. Myungsoo mendengar Jongin mendapat ucapan terimakasi lagi dari ibu gadis yang ia cintai. Membuat Myungsoo benar-benar merasa kalah saat itu.
Myungsoo berjalan keluar kelas dengan wajah datar. Tanpa berpamitan pada Woohyun yang duduk sebangku dengannya atau menggubris sapaan Hoya yang baru masuk kelas. Kejadian di Lotte World membuatnya kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Jongin. Segala yang berlangsung menjadi tak penting. Misteri dan kecemburuan telah membelengu pikiran dan perasaannya. Meski tak ada bukti pasti, bahwa pemuda yang mencium gadisnya adalah Jongin. Tatapan sepasang mata itu, entah mengapa akrab untuk Myungsoo.
Pertemuan berikutnya berlangsung ketika Myungsoo berinisiatif untuk mengajak Jiyeon pulang bersama. Biarpun sering ditolak, Myungsoo pernah berhasil beberapa kali, meski berkat paksaannya. Bukan masalah untuk pemuda itu, selama bisa mencoba dan meminta bantuan Jieun lagi.
Myungsoo berjalan santai sambil mendengarkan musik dari sound earphone-nya yang terpasang apik di telinga. Sampailah Myungsoo di lorong kelas satu, ia melihat Jieun yang keluar dengan membawa tempat sampah kecil. Myungsoo tersenyum melihat gadis itu tampak kualahan membawanya. Tak lama senyum Myungsoo berangsur pudar. Tepat ketika Jieun berhasil membuang isi tempat sampah itu ke tempat sampah yang lebih besar di depan kelasnya. Jongin keluar dari pintu kelas itu, dengan menarik tangan Jiyeon yang tampak berseri-seri. Keduanya berjalan melewati Jieun. Pergi menjauh dari pandangan Myungsoo, yang kaku.
Tangan Jiyeon dan Jongin yang saling bertaut. Memberikan asumsi bahwa tak ada pemaksaan di dalamnya. Jiyeon mengikuti Jongin dengan suka-rela. Jieun yang telah selesai membuang seluruh isi tempat sampah kecil kepunyaan kelasnya menyadari keberadaan Myungsoo. Lantas gadis itu, menghampiri Myungsoo.
Banyak informasi yang Myungsoo dapat dari Jieun. Klub tari tengah mengadakan kompetisi, dengan tujuan untuk memilih anggota baru yang akan tampil di festival akhir tahun. Jongin dan Jiyeon secara kebetulan dijadikan satu kelompok. Karena itu, akhir-akhir ini Jiyeon disibukan dengan kegiatan latihannya bersama Jongin. Pantas, Myungsoo jarang melihatnya bersama Jieun.
Myungsoo pergi dengan perasaan kecewa. Membuatnya terjebak hujan di musim gugur. Myungsoo berteduh di depan gedung sekolahnya. Merenung sambil memandang rintik hujan yang turun dengan intensitas sedang. Mungkinkah perasaan ini, yang selalu dikeluhkan mantan-mantan kekasihnya dulu? Ternyata jauh lebih sakit dari perkiraannya. Pantaskah ia merasakan ini, disaat Jiyeon masih belum menjadi miliknya? Hujan yang damai dan tenang, bertolak belakang dengan hati Myungsoo.
“Annyeong oppa.”Myungsoo menoleh. Senyum Soojung ia temukan di sana. Mau tidak mau, Myungsoo membalas senyuman itu.
“Kau belum pulang?”tanya Myungsoo basa-basi.
“Hmm, aku terjebak karena terlalu asik di perpustakaan. Oppa sendiri?”
“Aku terjebak dengan perasaanku sendiri.”Soojung langsung menoleh penasaran. Senyuman ketegaran Myungsoo yang ia dapat.
Hening sesaat, sebelum Myungsoo memandang langit biru."Apa yang kau lakukan ketika merasa cemburu?"
"Berjuang."Myungsoo menoleh lagi, ketika kata itu meluncur dari mulut Soojung."Cemburu itu bukan untuk disesali, tetapi diperjuangkan. Tidak mungkin ada rasa cemburu, tanpa perasaan cinta."Soojung pun menoleh pada Myungsoo,"Perjuangkan cinta itu! Jangan lengah hanya karena rasa cemburu! Begitu yang aku baca di novel. Jujur saja aku belum pernah merasa cemburu Oppa."lalu tertawa renyah.
Berjuang? Angin menyapu wajah Myungsoo dan Soojung, hujan pun mereda. Gadis itu membangkitkan harapan dan memberinya inspirasi. Myungsoo tersenyum tipis dan berjalan penuh percaya diri menuju kelas 10.1—kelas Jiyeon. Tak disangka, jalan ini mempertemukannya lansung pada tujuan. Myungsoo melihat Jiyeon di ujung sana, berjalan ke arahnya. Myungsoo menghentikan langkahnya. Menunggu. Seakan-akan Jiyeon memang menuju dirinya. Semangkin dekat dan dekat. Jiyeon masih tidak menyadari keberadaan Myungsoo. Sampai gadis itu merasa langkahnya terhalang.
Jiyeon mendongak sempurna,“Oppa?”kejutnya. Myungsoo tersenyum. Tujuan Jiyeon nyatanya juga Myungsoo,”Baru saja aku akan ke kelas Oppa.”Jiyeon mulai berucap.
“Jinja?”Jiyeon menganguk kaku, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya.”Aku juga. Mungkinkah, itu berarti kita jodoh.”Myungsoo tampak bercanda dengan kalimat terakhirnya.
Tapi tidak membuat Jiyeon tertawa, ia malah makin tidak enak hati pada pemuda yang tengah menatapnya ini,”Oppa, mianhae. Soal di Lotte World—”
Myungsoo menutup mulut Jiyeon dengan telunjuknya,“Sutt! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu, biarkan aku berusaha lebih keras lagi!”Berusaha, untuk memperjuangkan cintanya pada Jiyeon. Itu maksud Myungsoo.
Bola mata Jiyeon berusaha mencari tahu sesuatu melalui tatapan Myungsoo. Gadis ini tampak bingung. Myungsoo mengetahui itu, namun bukannya berusaha menjelaskan, pemuda itu malah tersenyum penuh arti sambil berharap Jiyeon akan terpesona dengan senyuamnya.
“Kajja!”Myungsoo membalikan tubuh Jiyeon, lalu merangkul bahu gadis itu,”Karena kau telah menghilang di Lotte World, kau harus mentraktirku makan di kantin.”
Masih dalam kebingungan, Jiyeon mengikuti Myungsoo. Kenapa Myungsoo tidak marah padanya? Itu yang Jiyeon sedang pertanyakan di alam pikirannya. Padahal, Jiyeon sudah susah payah menyusun alasan agar pemuda itu tidak salah paham padanya. Jiyeon jadi makin merasa bersalah.
Tenggelam dalam lautan Jongin, membuatnya lupa akan daratan Myungsoo. Kesalahan terbesar Jiyeon beberapa hari yang lalu. Janjinya menemani Myungsoo ternodai dengan cinta yang semakin menjeratnya. Hari pertama masuk sekolah setelah liburan awal musim dingin berakhir.
.
.
Jongin meniup pergelangan tangan Soojung yang membiru. Bekas perbuatan Myungsoo, yang tanpa perasaan menarik pergelangan tangan itu. Mungkin hanya pemikiran Jongin, tapi memang itulah kenyataannya. Tidak ada yang mengungkit atau menanyakan tentang hari itu. Tragedi cinta segi empat yang masih menjadi misteri. Tanpa ada yang tahu, Jongin adalah kunci dari misteri itu.
“Gomawo.”Jongin mendongak,”Tanganku sudah membaik.”senyuman Soojung menyambutnya. Sinar matahari seolah-olah terpancar dari wajah cantik gadis itu.
Melihat Soojung membawa tumpukan buku sendirian. Membawa inisiatif Jongin untuk membantunya. Apalagi terlihat di raut wajah gadis itu, tampak seperti sedang menahan sakit. Jongin memang ahli dalam menangkap keganjilan dari gadis itu. Tumpukan buku kini sudah dikembalikan ke perpustakaan. Jongin dan Soojung berada di dalam Ruang Kesehatan.
Mianhae. Ucapan itu hanya mampu terucap di dalam hati Jongin.”Kajja! Kita harus masuk kelas, sebentar lagi pelajaran akan dimulai.”ajak Soojung.
.
.
.
“Jieun-aa, bagaimana jika ada seseorang yang menciummu secara tiba-tiba?”Jieun langsung menoleh pada Jiyeon, padahal ia tengah serius mengetik di notebook miliknya.”Kenapa menatapku seperti itu?”
Jieun melipat kedua tangannya di atas dada,”Akhir-akhir ini, kau tampak aneh.”
“Apanya?”
“Waktu itu, kau bertanya tentang sepasang mata srigala, sekarang ciuman tiba-tiba.”Jieun mengelus dagunya sendiri. Mencoba berpikir dengan gaya diktektif profesiona.”Kau seperti sedang jatuh cinta.”Deg. Detak jantung Jiyeon terasa berhenti, tepat ketika kalimat terakhir Jieun dikumandangkan.
Di kamar Jieun. Di atas kasur bergambar minni mouse. Mereka duduk bersila sambil mengerjakan tugas dari Guru Ma dengan notebook masing-masing. Akan tetapi, hanya Jieun yang dari awal mengerjakan tugas, sementara Jiyeon lebih banyak melamun.
Jieun jadi teringat ketika Jiyeon dan Sehun saling jatuh cinta. Kedua sahabatnya itu, sering melamun dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh padanya. Tidak lama, mereka pun menjadi sepasang kekasih. Banyak persamaan yang membuat keduanya sangat cocok. Namun sayangnya, perpisahan tak dapat dihindari ketika Sehun harus pergi.
“Apa kau sudah berhasil melupakan Sehun?”tanya Jieun, yang tak sabar dengan kediaman Jiyeon.”Kau jatuh cinta pada Myungsoo Oppa?”
Jiyeon menghela nafas panjang,”Aku hanya bertanya, jangan menduga yang aneh-aneh! Jawab saja pertanyaanku!”
“Baiklah, mungkin aku akan langsung mendorong dan menamparnya”
“Waeyo?”
“Semacam gerakan reflek ketika kau terkejut.”
“Bagaimana jika kau tidak bisa mendorong dan menamparnya? Mungkin kau terkejut, tetapi hasratmu tidak ingin melepaskannya, kau seperti tenggelam di dasar laut tanpa bisa berbuat apa-apa, sampai nafasmu habis dan akhirnya terapung di permukaan.”Jiyeon seakan merasakan kembali ciuman itu, bibirnya, hatinya.”Berikutnya, kau seperti hidup kembali, gelembung-gelembung kecil meledak di dadamu, mengisi udara yang hilang.”Senyum pun terukir samar di wajahnya.
“Kau menceritakannya, seolah-olah itu pengalamanmu sendiri.”Komentar yang membuat Jiyeon merasa dipergoki.”Aku hanya bercanda, tidak perlu setegang itu.”Jieun tertawa ringan setelahnya.“Cinta, aku rasa keduanya saling mencintai.”Tanpa sadar Jieun memberi kesimpulan yang berhasil membuat harapan semu tumbuh semakin besar di hati sahabat tercintanya.
“Tapi, setelah menciummu, dia tampak biasa saja dan tidak pernah membahas tentang ciuman itu sama sekali.”
“Dia hanya sedang menutupi rasa malunya. Setiap orang pasti butuh waktu untuk menyatakan perasaanya.”Jiyeon menganguk sambil tersenyum samar dengan pipi yang merona merah dan tanpa sadar Jieun menangkap gelagat itu.
.
.
.
Choco Bank. Soojung memandangi café coklat di hadapannya dengan kagum. Bangunan dengan arsitektur Khas Victoria yang sangat kental. Mengingatkan Soojung akan San Francisco. Tempat yang ingin ia tinggali. Kota impian yang selalu membuatnya jatuh cinta. Seperti Myungsoo.“Kajja!”Pemuda itu merangkul bahunya, ia pun tersenyum simpul.
Sampai di dalam aroma coklat menyambut mereka. Berbeda dengan bagian luar yang kental dengan nuansa klasik, pada bagian dalam justru tampak sangat moderen. Dominasi warna pastel berbaur dengan segala bentuk coklat yang lucu dan unik. Soojung memilih bangku yang tepat berada di samping jendela, sementara Myungsoo masih berhadapan dengan kasir untuk mengutarakan pesanannya. Tak lama Myungsoo menyusul dan memilih duduk di hadapan Soojung. Senyuman teduh menyambut kehadiran Myungsoo.
“Mian, waktu itu aku sempat bersikap kasar padamu.”kata Myungsoo,”Dan terimakasih untuk kata-katamu yang menginspirasiku.”Soojung tampak berpikir.”Saat kita sama-sama terjebak hujan di depan gedung sekolah, apa kau masih ingat?”
Soojung yang masih tidak menyangka dengan ajakan Myungsoo, kini mulai mengerti alasan pemuda itu mengajaknya.”Ah, Nde Oppa.”katanya sambil menganguk. Tentu saja Soojung ingat, semua hal tentang Myungsoo akan selalu penting baginya. Seperti jutaan pelanet yang tidak pernah lupa pada orbitnya.
Pesanan coklat datang bersama pelayan yang mengantarnya. Satu coklat ditaruh di hadapan Myungsoo dan yang satu lagi di hadapan Soojung. Mereka menikmati coklat hangat masing-masing.
“Soojung, kau tidak seperti biasanya.”Myungsoo membuka percakapan lagi usai menelan coklat hangatnya,”Kau lebih pendiam dan tampak murung. Ada apa?”
Kalau diingat-ingat, dari sekian banyak pertemuannya dengan Myungsoo. Memang dirinyalah yang selalu memulai percakapan. Selalu ceria dan sangat ramah pada kakak kelasnya itu. Tapi kejadian di Lotte World membuatnya tak menentu. Bukan hanya pada Myungsoo ia lebih banyak diam, tetapi juga pada yang lainnya termasuk Jongin. Butuh banyak waktu untuk berpikir, sebelum Soojung mendapatkan jawaban yang tepat,”Opsoyo, nan gwaenchana.”lalu tersenyum sangat meyakinkan.”Oppa mengkhawatirkanku?”
”Hmmm, Sedikit.”
“Apa benar hanya sedikit? Padahal aku berharap lebih banyak Oppa.”Soojung tertawa setelah mengatakannya, seolah keluhan itu memang hanya sebuah lelucon.
“Omo, Soojung yang biasanya sudah kembali.”Myungsoo ikut tertawa sambil mengacak rambut Soojung sesaat,”Sekarang, apa boleh aku meminta bantuanmu?”
“Tentu saja, peri cantik siap menolong pangeran.”Soojung membungkuk sambil tersenyum seolah Myungsoo memanglah seorang pangeran. Alhasil pemuda tampan itu, kembali tertawa dibuatnya. Dalam hati Soojung bersyukur, setidaknya ia selalu diberi kesempatan membuat Myungsoo tersenyum.
“Kalau begitu, setelah ini peri cantik harus mengantarku ke toko aksesoris wanita dan membantuku mencarikan hadiah yang untuk sang putri.”kata Myungsoo di selah-selah tawanya. Tanpa mengetahui arti dari perubahan ekspresi Peri Soojung. Luka yang sesaat mulai pulih karena tawa pemuda itu, kini kembali lagi juga karena tawa pemuda itu. Soojung terdiam sambil mencerna setiap kata yang mulai menjelaskan posisinya.
.
.
Toko itu berwarna merah muda, letaknya di pusat perbelanjaan ibu kota. Soojung sering mendatanginya. Tidak hanya Soojung, mungkin hampir seluruh remaja sepertinya menjadikan toko itu sebagai tempat kunjungan wajib mereka. Meski sangat terkenal bagi kaum perempuan, toko itu sangat asing bagi kaum lelaki, terkecuali Jongin yang selalu setia menemani Soojung ke sana. Mungkin. Apalagi bagi Myungsoo yang tidak pernah berminat memberikan hadiah untuk gadis manapun, terkecuali Jiyeon. Karenanyalah, kini Myungsoo dan Soojung mengitari isi toko itu demi mencari hadiah untuknya. Akan tetapi, Soojung masih belum tahu kalau gadis yang Myungsoo maksud adalah teman sekelasnya—Jiyeon.
---Aku datang bersama seorang gadis ke Lotte World, mungkin kau juga sempat melihatnya saat itu.
Soojung menatap kalung berbandul bulan yang mengantung indah dengan kaca pelindung mengelilinginya. Cerita Myungsoo satu jam lalu kembali menyapa telinga sekaligus pikirannya, seperti rekaman kaset yang diputar ulang. Cahaya bandul bulan itu menemani tatapan Soojung yang kosong dan hampa.
---Dia berkali-kali membuatku cemburu, padahal masih belum ada ikatan di antara kami. Aku menyukainya, mungkin ini yang disebut jatuh cinta. Hampir saja aku terjebak dalam emosi, yang pada akhirnya akan membuatku menyerah. Tapi aku ingat dengan kata-katamu, aku jadi termotivasi sekaligus terinspirasi.
Seandainya Myungsoo tahu betapa tersiksa dan hancurnya perasaan Soojung saat ini, mungkin dia tak akan tega untuk bercerita. Soojung benar-benar butuh kekuatan, kalau saja Jongin ada, ia ingin bahu atau dada pemuda itu, hanya untuk sekedar bersandar, dan terlelap di sana. Ketika terbagun, ia berharap akan bernafas lega, kalau semua ini hanyalah mimpi. Semunya. Bahkan tentang perasaannya pada Myungsoo. Cinta? Aku tak pernah berpikir kalau akan serumit ini.
---Aku rasa, masih ada kesempatan untuk memperjuangkannya. Carikan aku sesuatu yang akan disukai oleh gadis sepertimu. Dia juga memiliki suara yang indah dan pemberani, aku pikir akan mudah karena kalian memiliki banyak kesamaan.
“Wah, ini luar biasa, aku rasa dia pasti akan menyukainya.”Tangan itu datang merangkul bahu mungilnya, Sebenarnya Soojung sudah mendengar langkah kaki yang akan mendekatinya, hanya saja ia masih belum sanggup untuk menoleh dan menyapa. ”Gomawo peri cantik.”Myungsoo salah mengerti, sementara tangannya mengacak rambut Soojung yang kini—tertegun menoleh padanya.”Agassi, saya mau yang ini.”Tangan Myungsoo terangkat memanggil pelayan toko.
“Oppa—”akhirnya Soojung berhasil mengeluarkan suaranya yang awalnya membeku,”—ige!”sambil menunjukan benda di tangan kanannya.
“Ahh, kau menyukainya? Akan aku belikan untukmu.”Myungsoo salah mengerti lagi.”Yang ini juga yaa, dibungkus terpisah. Kalungnya dibungkus dengan kotak yang indah.”Tidakah Myungsoo melihat gelengan samar itu? Atau mata yang mulai berkaca-kaca.
Oppa benda ini yang untuknya, aku menyukai kalung itu. Soojung menunduk dan setetes air mata mengalir bebas di pipi kanannya.
-To Be Continue-