home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > MOONLIGHT

MOONLIGHT

Share:
Author : AmaliaChimo
Published : 22 Dec 2015, Updated : 26 Nov 2016
Cast : Kim Jongin - Park Jiyeon - Jung soojung - Kim Myungsoo
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |2743 Views |1 Loves
MOONLIGHT
CHAPTER 4 : “Pertukaran Musim Dan Cinta."

“Pertukaran Musim dan Cinta, seperti Matahari yang Tak Berarti dan Salju Pertama yang Turun.”

 

Kap kopi itu tak sengaja terlepas dari jari-jari ramping Jiyeon. Dum. Jatuh. Membentur permukaan aspal. Aliran air hitam pekat dari dalamnya berceceran membentuk genangan kecil. Untuk beberapa detik Jongin terpaku memandang nasip kopi yang terbuang percuma itu, sebelum akhirnya ia berlari menyusul Jiyeon.

 

---"Jadi, kau benar-benar suka padanya?"

 

---"Jongin, sepertinya aku menyukai Myungsoo sunbae, dia sangat tampan."

 

---"kau benar-benar menyukai Myungsoo sunbae?"

 

Anggukan malu-malu Soojung. Cerita-cerita Soojung tentang Myungsoo. Senyuman manis Soojung untuk Myungsoo. Pandangan Myungsoo terhadap Jiyeon dan kedekatan keduanya. Bayangan-bayangan itu terus berputar secara acak mengiringi langkah cepat Jongin. Mata yang tak sengaja melihat. Telinga yang tak sengaja mendengar.

 

---"Tentu saja tidak, lihatlah ke belakang!"

---“Aigo, ternyata kau sungguhan menyukainya.”

 

Sakit. Tapi jauh lebih sakit rasanya, membayangkan gadisnya yang merasakan rasa sakit ini. Sayap kupu-kupu terlalu rapuh untuk terkena tetesan hujan. Jongin pikir, ia harus menghadang tetesan hujan itu. Setidaknya, Soojung tetap mampu terbang mencapai bulannya.

.

.

Sempat lepas dari jangkauan mata Jongin, nyatanya Jiyeon tetap berhasil tersusul oleh pemuda itu. Jiyeon berdiri di tengah keramaian sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Dari belakang Jongin bisa melihat bahu mungil gadis itu yang naik-turun, meski jarak mereka tidak terlalu dekat. Jiyeon yang kini mulai menegakan tubuhnya, terlihat melangkah maju dengan perlahan. Tap. Tap. Tap. Jiyeon memang tidak menyadari Jongin yang mengikutinya.

Oppa!”

Jongin kembali melanjutkan larinya yang sempat tertunda tadi. Mata dan pikiran pemuda itu hanya fokus pada gadisnya. Gadis yang berdiri jauh di sana bersama pemuda lain. Soojung memang tak pernah luput dari pengelihatan Jongin, tak peduli jarak atau keramaian sekalipun. Soojung, aku akan selalu berada di pihakmu. Selama aku ada, kau tidak perlu risau. Jongin semakin mempercepat larinya. Akan aku lindungi perasaanmu sekuat perasaanku. Akan aku lindungi dirimu dengan diriku sendiri. Semua rasa sakitmu, biarkan aku yang memilikinya. Saranghae.

Tepat. Jarak ini memungkinkan Jongin untuk menjangkau Jiyeon. Menarik, atau lebih tepatnya menahan gadis itu.“Myungsoo Opp—“hanya dengan satu tangan, tubuh mungil Jiyeon berputar menghadap Jongin sebelum gadis itu menyelesaikan panggilannya.

Tak butuh waktu lama, jarak di antara mereka pun terlampau menipis. Dengan sigap Jongin mencium bibir merah Jiyeon yang terbuka, setelah sebelumnya pemuda itu berkata,”Mian.

Mata yang sempat bertatapan, nafas yang sempat beradu, tak berarti apa-apa untuk salah satu pihak. Jiyeon hanyut dalam ciuman dalam itu. Matanya terpejam, raga dan hatinya sulit untuk menolak. Sementara kenyataannya, salah satu pihak itu hanya terus memusatkan mata dan perhatiannya ke gadis lain. Orang-orang di sekitar memandangi ciuman itu acuh tak acuh. Sepertinya ciuman itu tak lebih penting dari aktivitas liburan mereka.

Di sisi lain, Soojung dan Myungsoo membeku setelah menoleh ke belakang—tak sengaja menyaksikan adegan ciuman itu. Entah apa arti dari situasi ini, jarak yang tidak jauh maupun dekat, tak mampu menjelaskan segalanya. Akan tetapi, Soojung mengenali pemuda itu—Jongin, terlihat jelas dari sepasang matanya yang tak ragu mengarah, tepat pada sepasang mata Jongin di sana. Sementara Myungsoo? Tidak ada yang bisa dicerna dari gerak-gerik atau ekspresinya sekalipun.

.

.

.

 

---“Rahasia, yang pasti hari minggu kemarin adalah alasannya. Aku jadi tidak sabar menunggu pengumuman besok, semoga saja yang terpilih sebagai vokal utama itu aku. Siapa tahu, ini akan menjadi jembatanku untuk bisa dekat dengannya.”

 

"Selamat untuk Sojung dan Jieun, kalian berdua terpilih sebagai vokal utama."

Tepuk tangan menyambut berakhirnya perkataan Myungsoo. Seolah-olah memenangkan lotre, Soojung dan Jieun lompat-lompat kegirangan sambil saling merangkul di atas bangku mereka yang memang bersebelahan. Saat ini, sepertinya tidak ada yang lebih bahagia dari kedua anggota klub musik yang namanya disebutkan itu, berbanding terbalik dengan kedua senior mereka yang berdiri di sisi kanan dan kiri Myungsoo—mereka kompak memasang raut muka masam.

"Mulai minggu depan kita akan latihan terpisah, untuk yang memainkan alat musik  akan latihan bersama Woohyun, sementara untuk paduan suara akan latihan bersama Hoya, dan yang terpilih sebagai vokal utama latihannya bersamaku. Mengenai jadwal latihan pun akan disesuaikan lagi oleh masing-masing mentor, lalu setelah satu bulan baru kita akan latihan bersama lagi sesuai jadwal awal. Apa masih ada yang kurang jelas dan ingin ditanyakan?"

Tidak disangka, yang mengacungkan tangan bukan para anggota baru yang duduk di hadapan Myungsoo, melainkan Hoya—pemuda yang berdiri di samping kanannya. Senyuman tipis menghiasi wajah tampan Myungsoo, sementara Woohyun melirikan sebelah matanya pada Hoya. Para anggota baru memperhatikan Hoya dengan seksama, rasa penasaran tengah melanda mereka.

“Sejak dulu, tidak pernah ada dua vokal utama dalam satu angkatan. Kenapa kali ini berbeda? Bukankah itu menyalahi aturan?”ucap Hoya, tepat ketika Myungsoo menoleh padanya.

Rasa penasaran para anggota baru terjawab sudah, tapi kini malah timbul rasa penasaran baru yang tentunya mengarah pada jawaban sang ketua—Myungsoo. Fokus mereka pun beralih pada Myungsoo.

“Apa setiap inovasi baru itu menyalahi atauran? Selama tidak ada aturan yang melarang dan dilakukannya sesuai prosedur yang telah disepakati, menurutku itu tidak masalah.”

Benar, apa yang Myungsoo katakan. Selama ini tidak pernah ada peraturan yang menyatakan bahwa memilih vokal utama dalam satu angkatan, tidak boleh lebih dari satu. Kesepakatan para anggota klub musik selama bertahun-tahun pun menyatakan bahwa pemilihan vokal utama merupakan hak priogratif vokal utama sebelumnya, dengan mendapat persetujuan dari ketua klub musik. Tentu tidak masalah mengingat Myungsoo memegang kedua jabatan tersebut.

Hoya mendengus, tidak puas. Permasalahannya bukan karena keputusan Myungsoo yang tidak biasa, tetapi karena keegoisannya dalam mengambil keputusan itu. Hoya tahu, posisi Myungsoo memungkinkannya untuk bersikap diktator, namun bukannya lebih baik mendengarkan pendapat orang lain—apalagi ini pendapat sahabatnya sendiri. Keterlaluan. Hoya kecewa begitupun juga dengan Woohyun. Akan tetapi, keduanya berusaha bersikap biasa saja. Selain karena menghargai para anggota baru yang tidak tahu apa-apa, juga karena rasa penasaran mereka akan alasan Myungsoo dibalik keputusan sepihaknya ini.

“Haha benar juga, kita mulai saja latihan ini.”kata Hoya mendadak sok asik, sambil merangkul bahu Myungsoo dan menepuk-nepuknya pelan.

“Cengiran palsu.”komentar Woohyun sangat pelan, rupanya ia lupa selain suara yang merduh sahabatnya yang satu ini punya keunggulan lain—pendegaran yang tajam. Alhasil kuping kanan Woohyun menjadi sasaran empuk jari-jari jahil Hoya yang tadinya berada di atas bahu Myungsoo.“Yaa..?”reflek Woohyun, yang dibalas dengan cengiran palsu ala Hoya tadi. Bagai bunga sakura yang terpaksa mekar di musim gugur. Mengerikan. Tapi sepertinya cengiran palsu itu, berhasil mencairkan suasana yang sempat tegang itu. Terbukti dari suara tawa yang memenuhi ruangan musik sekarang.

Jongin tersenyum tipis dari balik kaca jendela—tempatnya diam-diam memperhatikan Soojung. Sama persis seperti saat tes menyanyi dua minggu yang lalu.

Somewhere over the rainbow.. way up high..

There’s a land, that I heard of once, in a lullaby..

Somewhere over the rainbow.. skies are blue..

And the dreams, that you dare to dream, really do come true..

Somewhere over the rainbow.. blue birds fly..

Birds fly.. over the rainbow..

Why, then why can’t I..

Ia fokus memperhatikan dan mendengarkan lagu yang Soojung nyayikan sampai habis. Bahkan ia tak peduli kegiatan itu akan membuatnya terlambat datang ke klubnya sendiri.

Entah ada yang menyadarinya atau tidak. Diam-diam bersembunyi di balik kaca paling pojok belakang. Diam-diam juga bersembunyi di balik simbol persahabatan. Hati yang terasa sakit jadi tak berarti lagi dibanding kebahagiaannya. Asal tetap bersama, tak masalah. Jongin siap menjadi tempat istirahatnya. Melindungi dan menjaganya. Tampak berlebihan, namun itu pilihan. Lebih baik dari bertindak egois pikirnya.

Jongin berbalik dan berjalan menuju tempatnya latihan. Bergabung bersama klubnya. Sepertinya kali ini ia tidak terlambat. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum latihan dimulai. Memang setiap klub memiliki jam latihan yang sedikit berbeda.

.

.

Lagu mengalun. Instruksi menggema. Satu. Dua. Tiga. Menghitung tempo dalam hati. Bergerak ke kanan, ke kiri, tangan bergoyang, kaki bergoyang, lompat, dan berputar. Jongin menggerakan hampir seluruh bagian dari tubuhnya dengan lincah. Menari merupakan keahliannya sejak kecil. Dengan menari segala emosi, beban, dan seluruh energi negatifnya seolah lenyap. Begitulah cara Jongin dari kecil melampiaskan beban yang memenjara hatinya.

Bruk. Seseorang di depan Jongin terjatuh. Berkali-kali mencoba bangkit, tetap tak bisa dan parahnya tak satu pun yang peduli. Merasa kasihan. Jongin menghentikan gerakannya dan mengulurkan tanggan. Tangan itu pun disambut oleh yang terjatuh. Jiyeon.

.

.

Di Ruang Kesehatan. Usai Jongin melakukan pertolongan pertama pada kaki kiri Jiyeon  yang terkilir.

“Semua ponsel kan tersimpan di dalam loker.”

Aigo, aku lupa,”Jiyeon menyengir bodoh sambil cepat-cepat memikirkan apa yang harus ia katakana selanjutnya,”kalau gitu, aku akan menggambil ponselku.”

Perlahan-lahan Jiyeon menurunkan kakinya dari atas kasur. Namun, belum sempat kedua kaki gadis itu benar-benar menapaki lantai, Jongin sudah lebih dulu menahan kedua bahunya. Jiyeon pun mendongak karena terkejut.

“Biar aku bantu.”

Jongin memapah Jiyeon sampai ke deretan loker berwarna hijau tua di lorong lantai satu sekolah mereka. Keduanya berhenti tepat di depan loker berlebel ‘Park Jiyeon’. Jiyeon tampak terkejut melihat setangkai bunga mawar putih dan kartu ucapan bergambar rilakuma yang tertempel di pintu lokernya. Jongin menangkap ekspresi itu dari samping. Mendadak hati Jongin menjadi risau. Myungsoo, mungkin iya, mungkin juga tidak.

Seakan tidak peduli dengan bunga dan kartu ucapan itu, Jiyeon cepat-cepat meraih kunci loker dari katung training-nya, lalu membuka loker dan mengambil ponselnya yang berada di dalam.

Jari-jari ramping Jiyeon mulai lincah menekan layar ponsel, yang telah berada di tangannya. Menempelkan ponselnya di telinga, lalu menunggu. Setelah beberapa menit berlalu, Jiyeon mengulanginya lagi. Terus seperti itu, sampai terdengar decahan dari mulutnya.

Wae?”nada suara Jongin terdengar penasaran, meski raut mukanya biasa saja.

“Aku mau pulang, tapi sepertinya sedang tidak ada orang di rumah.”Jiyeon menatap lesuh layar ponselnya sambil mengetik pesan singkat untuk Jieun,”Sepertinya aku memang harus menunggu lebih lama di Ruang Kesehatan.”lalu menaruhnya kembali ke tempat semula.

“Menunggu?”tanya Jongin, sementara Jiyeon menutup kembali lokernya.

“Hmm, menunggu sampai temanku selesai latihan,”Jawab Jiyeon,”aku rasa dia bisa mengantarku ke rumah sekaligus ke dokter tradisional.”

“Apa rasa sakit di kakimu semakin parah?”

“Tidak juga, aku masih bisa menunggu.”

“Jangan berbohong—“Jongin beralih pada Jiyeon,”—aku yang akan mengantarmu.”tepat ketika gadis itu juga tengah menoleh padanya. Mendapati sepasang mata tajam Jongin yang menghujam sepasang matanya, membuat Jiyeon agak terkejut.

“Tapi,”ucap Jiyeon sedikit terbata,”Jongin-sii latihan kita juga belum selesai, setelah mengantarku ke Ruang Kesehatan, kau mungkin bisa kembali latihan lagi.”

“Tidak masalah, aku bisa latihan sendiri nanti.”Jongin memutar balik kunci loker Jiyeon, yang masih menancap di pintu. Pintu loker pun terbuka kembali. Jiyeon tak bisa berkata-kata lagi. Tas dan ponselnya kini sudah berada di tangan kiri Jongin, sementara tangan kanan pemuda itu masih menahan pingangnya. Bunga mawar putih dan kartu ucapan pun ditinggalkan begitu saja.

Tidak lama setelah di tinggalkan. Angin kencang berhembus ke arah Jongin dan Jiyeon pergi. Mawar putih beserta kartu ucapan itu hampir lepas dari pintu loker. Angin berikutnya kembali berhembus tidak kalah kencang. Meruntuhkan helayan bunga sakura yang masih segar dan berhasil membawa mawar putih beserta kartu ucapan itu bersamanya. Sampai akhirnya jatuh dan terseret di lantai.  

Setengah jam berlalu. Langit mulai tampak mendung. Angin-angin lain masih berhembus, namun kini ke arah yang berbeda dan tidak sekencang sebelumnya. Hanya saja makin banyak helayan bunga sakura segar yang berserakan di lantai.

Setengah jam berikutnya. Tampak bayangan seseorang dari ujung lorong, yang mendekat. Angin yang mulai tenang kembali berhembus, seolah menyambut kedatangannya yang dinantikan. Soojung tersenyum samar merasakan hembusan yang mengarah padannya itu. Rambut pajanganya pun ikut terbang.

Sepertinya sudah waktunya kegiatan non-akademik di SMA Jaeguk berakhir. Selain Soojung, mulai terdengar suara-suara langkah kaki dan percakapan para siswa lain dari belakangnya. Masing-masing dari mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menuju deretan loker ini.

Setangkai mawar putih menghalangi langkah Soojung. Berada di antara helayan bunga sakura yang berwarna merah muda, membuat bunga mawar itu tampak mencolok. Indah sekali, batinya lalu berlutut untuk menggapai sekaligus mencium aroma bunga mawar itu. Setelah puas menikmati aroma bunga mawar itu, Soojung mulai penasaran. Ia memperhatikan setiap sudut dari bunga yang baru ia temukan.

Dari mana asal-usulnya? Apa bunga ini juga termasuk korban angin kencang seperti helayan bunga sakura segar yang berserakan di sekitarnya? Tapi, bunga ini terlalu cantik dan kokoh untuk sekedar korban angin kencang. Duri-duri yang telah menghilang dan aroma yang segar, menunjukan bahwa bunga ini disediakan untuk orang yang istimewah. Siapa dia? Beruntung sekali. Soojung terus berpikir.

Seperti takdir, petunjuk untuk jawaban dari rasa penasaran Soojung akan bunga itu tertangkap oleh matanya. Kartu ucapan cantik bergambar rilakuma. Soojung mengambilnya, membuka lipatannya, lalu membaca tulisannya.

 

Bunga tercantik, untuk gadis tercantik di sekolah ini.

–Kim Myungsoo—

 

“Kim-Myung-soo.”Soojung membacanya lagi, dengan bola mata yang sejenak terasa kaku.

Para siswa mulai menjangkau loker mereka masing-masing, melewati Soojung yang masih betah pada posisinya. Sampai seseorang menepuk bahunya.

Annyeong, kau sedang apa?”

Soojung menoleh pada Jieun yang ikut-ikutan berlutut di sampingnya,”Aniyo.”sambil tersenyum dan melipat kembali kartu ucapan rilakuma di tangannya cepat-cepat.

“Lalu apa itu?”tanya Jieun, yang berisyarat dengan lirikan matanya.

Molla, hanya setangkai mawar dan surat kaleng.”Soojung berdiri dari posisi berlututnya. Jelas gadis ini berbohong, bagaimana bisa kartu ucapan itu disebut surat kaleng, disaat tertera nama ‘Kim Myungsoo’ di dalamnya. Jieun ikut berdiri, ia berniat menggoda Soojung.

”Tidak usah menutupinya, aku tahu itu pasti dari Jongin.”tebakan yang masuk akal menurut Jieun. Mengingat bagaimana perhatiannya seorang Jongin kepada Soojung.

Soojung tertawa,”Ternyata Jiyeon benar soal penyakit-asal-bicara-mu.”sambil menyelempang tasnya yang baru ia ambil dari dalam lokernya. Bunga mawar putih dan kartu ucapan itu sudah ia masukan ke dalam tasnya.

Jieun yang baru saja meraih tasnya dari dalam loker menoleh pada Soojung,“Mwo?”perotesnya. Loker Soojung dan Jieun hanya berjarak lima loker, yang di antaranya terdapat loker milik Jiyeon.

Di SMA Jaeguk, loker dipisahkan sesuai dengan tingkatannya. Loker murid kelas satu ada di lantai satu, sementara kelas dua ada di lantai dua, dan kelas tiga ada di lantai tiga. Biasanya di setiap pintu loker sudah tertera nama pemiliknya, agar tidak tertukar dan membuat bingung.

“Dari pada memberikanku bunga, Jongin lebih suka memberiku makan siang.”ucap Soojung yang masih enggan mengakhiri tawanya,”Dia itu seperti ibuku atau nenekku.”

Entah kenapa Jieun tersenyum tipis,”Aku iri padamu.”pelannya. Tidak ada tanggapan dari Soojung yang kini tengah fokus pada ponselnya, setelah tawanya mereda beberapa saat lalu. Ada pesan masuk dari Jongin rupanya.

 

Soojung hari ini aku ada urusan, kau bisa pulang lebih dulu.

 

Padahal aku sedang membutuhkanmu, batinya sambil menghela nafas panjang lalu menutup pintu lokernya dan tidak lupa menguncinya lagi. Soojung melihat sekelilingnya, hanya ada dirinya di lorong ini. Sejak kapan orang-orang meninggalkannya sendiri? Bahkan Jieun? Tidak biasanya gadis manis yang banyak bicara itu, pergi tanpa pamit kepadanya.

.

.

Jieun berlari menuju Ruang Musik, berharap Myungsoo masih berada di sana. Karena terlalu panik membuatnya lupa berpamitan dengan Soojung. Jieun sangat khawatir dengan kondisi Jiyeon pada saat ini, setelah membaca dua pesan singkat darinya.

 

Jieun-aa, aku mengalami cedera saat latihan. Aku tunggu di Ruang Kesehatan, Nde!

 

Jieun-aa kau tidak perlu ke Ruang Kesehatan lagi, sekarang aku sedang menuju ke rumah.

 

Sampai di Ruang Musik, Jieun membuka pintu dengan tergesa-gesa. Untunglah masih ada Myungsoo di sana, bahkan lengkap dengan kedua sahabat karibnya—Woohyun dan Hoya. Mereka bertiga berdiri menghadap pintu yang telah terbuka itu. Sepertinya mereka baru akan keluar dari Ruang Musik, sebelum Jieun lebih dulu membuka pintunya.

Oppa, Jiyeon cedera.”katanya usai mengatur nafasnya selama beberapa saat.

Mwo?”Myungsoo terkejut sekaligus panik.”Di mana dia sekarang?”Cedera yang ada dalam pikirannya sangat parah.

“Di rumahnya.”tanpa berlama-lama terjebak dalam banyak dugaan, Myungsoo langsung menarik tangan Jieun dan membawanya pergi mengikuti langkah super cepatnya.

Muncul rasa tidak suka ketika Woohyun melihat adegan itu, tanpa ia sadari kerutan di wajahnya mengekspresikan perasaan itu. Hoya yang berada di sebelahnya, melirik dengan senyuman penuh arti.

.

.

Mendadak Soojung merasa sedih dan kesepian, ia merengkuh tubuhnya sendiri. Udara lembab menusuk pori-porinya, angin kencang membuat udara itu terasa semangkin dingin. Tak terasa ia sudah sampai di depan gerbang sekolah. Melihat suasana jalan, entah kenapa membuatnya enggan untuk pulang. Soojung mengetik pesan, lalu mengirimkannya pada Jongin.

 

Aku tunggu di lobi sekolah

 

Setelah memastikan pesan itu telah terkirim, Soojung berbalik dan kembali ke gedung sekolahnya lagi. Sepertinya Soojung tidak mengindahkan pesan Jongin, yang menyuruhnya untuk pulag lebih dulu. Dalam kegundahan itu, sebuah motor melintasinya.

Soojung melihat Myungsoo, sampai kaca helem itu tertutup oleh sebelah tangan pemuda itu. Mata Sojung bergerak mengikuti arah motor Myungsoo melaju ke luar gerbang. Awalnya Soojung tidak terlalu memperhatikan gadis yang dibonceng oleh Myungsoo. Tapi setelah melihat tas gembloknya, ia hafal benar kalau tas merah marun itu milik Jieun. Soojung jadi teringat dengan bunga mawar putih dan kartu ucapan rilakuma yang ia temukan tadi. Apa itu punya Jieun? Tapi—

 

---“Annyeong, kau sedang apa?”

---”Aniyo.”

---“Lalu apa itu?”

---“Molla, hanya setangkai mawar dan surat kaleng.”

---”Tidak usah menutupinya, aku tahu itu pasti dari Jongin.”

 

—tidak mungkin. Jieun tidak mengetahuinya, atau.. karena bunga mawar dan kartu ucapan itu tidak sengaja terjatuh sebelum sampai pada tujuannya? Setelah bunga mawar dan kartu ucapan, Soojung jadi teringat pengumuman terpilihnya ia dan Jieun sebagai vokal utama.

 

---"Selamat untuk Sojung dan Jieun, kalian berdua terpilih sebagai vokal utama."

 

---“Sejak dulu, tidak pernah ada dua vokal utama dalam satu angkatan. Kenapa kali ini berbeda? Bukankah itu menyalahi aturan?”

 

---“Apa setiap inovasi baru itu menyalahi atauran? Selama tidak ada aturan yang melarang dan dilakukannya sesuai prosedur yang telah disepakati, menurutku itu tidak masalah.”

 

Soojung menggelengkan kepalanya berkali-kali. Kenapa ia jadi berpikir yang tidak-tidak? Lalu mendramatisir keadaan? Hanya karena bunga mawar dan kartu ucapan itu? Hanya karena Jieun dibonceng oleh Myungsoo? Ia juga pernah dibonceng Myungsoo. Bukankah wajar, mereka saling mengenal—sama-sama anggota klub musik sepertinya.

 

---“Sojung, ketika kita mencintai seseorang, itu artinya kita harus sanggup menangung segala risiko yang timbul. Yang paling menyakitkan adalah saat perasaan itu tidak berbalas, semakin dekat semakin kuat sakit yang kau rasakan. Kadang lebih baik berhenti, sebelum terlalu jauh.”

---“Kau mengkhawatirkanku?”

---”Jongin, pemikiranmu terlalu jauh. Perasaanku ini hanya suatu gairah muda, aku akan baik-baik saja. Percayalah!”

---“Baiklah, jika kau merasa lelah bersandarlah di bahuku!”

 

Kini Soojung berada di lobi gedung sekolahnya, ia duduk di salah satu bangku yang tersusun rapih di sisi tembok. Petir telah menyambar bumi dan hujan pun mulai turun. Soojung seperti tidak peduli dengan kebisingan di luar. Dua jam berlalu hanya dengan termenung. Tidak biasanya Soojung lebih memilih termenung ketimbang membaca buku.

“Tidak seharusnya kau menungguku.”

Soojung menoleh ke sumber suara dan langsung memeluk orang yang kini telah duduk di sampingnya itu. Baju seragam Jongin sedikit basah, tetapi Soojung tidak merasa kedinginan. Pemuda itu menghangatkannya.

“Jongin-aa, kenapa awalnya terasa mudah tapi sekarang menjadi semakin sulit.”

“Apa terjadi sesuatu padamu?”Jongin melepaskan pelukan Soojung, demi menatap mata gadis itu. Soojung menggeleng lalu tersenyum, yang sama sekali tidak menjawab rasa khawatir Jongin.

Aku hanya terlalu lelah dan butuh istirahat”suara Soojung sangat lemah, membuat Jongin tidak sanggup untuk bertanya lagi. Ia pun memeluk Soojung dalam diam, membuat gadis itu bersandar di dadanya yang berdetak. Tidak peduli dengan suara itu, yang mungkin saja akan terdengar oleh gadisnya.

.

.

.

 

---“Kompetisinya diadakan tanggal 25 November di Auditorium 1 SMA Jaeguk. Kalian bebas menampilkan apapun saat kompetisi, sekarang aku akan membagi kelompoknya. Setelah itu, kalian boleh langsung pulang. Joon dengan Kwangin, Hani dengan Minho, Mino dengan Taeyong, Jongin dengan Jiyeon, Hyosung dengan Yeonhee…”

 

Berada di atas motor besar bersama pemiliknya. Melawan angin dengan kecepatan tinggi. Jiyeon begitu menikmatinya. Tidak terasa, sudah sampai di lokasi yang dituju. Motor besar milik Jongin pun berhenti. Sampai Jongin melepaskan helemnya, tangan Jiyeon masih tetap melingkar di pinggangnya.

“Kita sudah sampai.”Sepertinya ucapan Jongin ini baru saja menyadarkan Jiyeon. Terlihat dari gerak-gerik Jiyeon yang terburu-buru, seakan habis dipergoki tengah berbuat mesum. Berlebihan.

Jiyeon memutar pandangan ke sekelilingnya sementara Jongin masih mengurusi motornya—agar terparkir apik di sana. Rumput-rumput kuning yang tinggi dan pohon-pohon yang mulai tak menyisakan daunnya. Kerangka bangunan tak terurus menjulang di tengah suasana musim gugur ini. Seketika udara menghantam wajah Jiyeon, membuat matanya reflek terpejam. Aroma tumbuhan yang lembab masuk ke rongga hidung Jiyeon. Sejuk dan damai rasanya. Siang di musim gugur, membuat matahari tak berarti. Selain itu, lokasi ini jauh dari keramaian. Membayangkan akan menjalankan masa-masa latihan hanya berdua dengan Jongin, membuat tempat ini jadi begitu istimewa buat Jiyeon.

Mian, aku hanya bisa menyediakan tempat seperti ini untuk kita latihan.”suara berat ini menghentikan imajinasi Jiyeon yang terbang bagai Pesawat Jet. Jiyeon pun menoleh. Pemuda yang terus saja membuat perasaannya tak terkendali ini, ternyata sudah berada di sampingnya.

Senyum menghiasi wajah Jiyeon, yang menikmati garis wajah Jongin dari dekat. Kening, hidung, bibir, rahang, leher, juga jakunnya yang naik-turun. Sangat mempesona.

 

---“Apa yang kau pikirkan ketika ada seseorang yang sering memandangimu dengan sepasang mata serigala?”

---”Tentu saja, aku akan lari untuk menghindarinya. Menyeramkan sekali, bisa saja dia itu siluman.”

---“Yaa, bukan itu maksudku,”

---“Lalu?”

---“Ada seseorang yang sering memandangiku, tapi aku belum pernah mengenal dia sebelumnya. Bukankah itu sangat aneh?”

---“Apa sekarang kau sudah mengenalinya?”

---“Dia seorang pemuda?”

---“Myungsoo Oppa?”

---“Bukan.”

---“Berarti ada satu orang lagi yang menyukaimu, selain Myungsoo Oppa.”

 

Tidak masalah, aku menyukainya.”kata Jiyeon—apa adanya, membuat Jongin menoleh padanya,”Tempat ini jauh lebih baik dari pada tempat latihan kita di sekolah, semangat!”terlihat senyuman tulus yang memancar darinya. Bahkan gadis ini sempat meninju langit. Membuat Jongin tak kuasa menahan tawa mahalnya. Jiyeon suka sekali mengatakan hal yang tidak masuk akal, pikirnya.

Latihan pertama dihabiskan dengan pemanasan dan memikirkan konsep. Jongin menunjukan banyak video dance yang unik dari ponselnya, begitupun juga Jiyeon. Keduanya duduk di atas batu bata yang berjajar di lantai paling atas kerangka bangunan. Mereka berdiskusi sampai sore.

.

.

.

Jari-jari cantik menari di atas tut-tuts piano. Menghantarkan irama klasik yang indah ke seluruh ruangan. Sudah lama sekali sejak piano di rumahnya rusak, Jiyeon tidak memainkan alat musik ini. Melihat piano mengangur di ruang musik, membuatnya rindu untuk memainkannya lagi. Jiyeon pun hanyut dalam permainannya sendiri, sampai tak menyadari kehadiran Myungsoo yang kini sudah bersandar di ambang pintu.

Myungsoo menikmati permainan musik klasik Jiyeon, ia membiarkan gadis itu menyelesaikan permaiannnya yang apik. Tanpa Jiyeon sadari, setiap gerak-gerik dan ekspresinya yang muncul pada saat itu, membuat Myungsoo makin terpesona. Alunan musik pun sepertinya hampir berakhir, sambil berjalan mendekat, Myungsoo memberi tepuk tangan padanya. Jiyeon menoleh ke arah pintu, usai mengakhiri permainan pianonya. Awalnya agak terkejut, namun akhirnya senyuman pun mengembang di wajahnya.

“Sejak kapan Oppa di sana?”

“Baru saja.”

“Bohong,”Jiyeon mengintimidasi Myungsoo dengan sepasang matanya cantiknya yang menyipit,”Oppa mendengarnya dari awal?”

Myungsoo menampilkan deretan gigi putihnya sebagai jawaban, lalu mengacak rambut Jiyeon dan duduk di samping gadis itu—di atas bangku yang sama. Seakan tidak mau kalah dengan Jiyeon, Myungsoo sedikit menampilkan aksi jari-jari kekarnya di atas tuts piano itu. Jiyeon tersenyum dan memberi tepuk tangan untuknya.

“Ada apa Oppa?”tanya Jiyeon mengingat tujuannya datang ke sini—pesan singkat Myungsoo yang mengajaknya untuk bertemu di Ruang Musik ketika jam istirahat.                  

“Aku merindukanmu,”jawab Myungsoo enggan membalas tatapan Jiyeon yang kini mengarah padanya,”akhir-akhir ini aku jarang melihatmu.”

Tatapan Jiyeon berpaling ke luar jendela yang terbuka. Sumber dari cahaya matahari yang menyinari ruangan ini. Pertanyaan Myungsoo membuatnya teringat dengan kegiatannya akhir-akhir ini, mulai dari hal yang wajar sampai yang konyol. Sebagian besar berhubungan dengan Jongin. Bahkan mungkin semuanya?

Seperti seminggu yang lalu salah satunya. Ketika istirahat tiba, Jiyeon hanya menyempatkan diri membeli roti isi daging dan sebotol air mineral, lalu langsung pergi ke rooftop gedung sekolahnya setelah berpamitan dulu dengan Jieun. Niatnya, gadis ini ingin memperbaiki gerakannya sendiri di sana, mengingat ruang latihan menari di sekolahnya belum dibebaskan untuk anggota baru sepertinya. Akan tetapi, betapa terkejutnya Jiyeon dengan keberadaan Jongin di sana. Pemuda itu tengah menari dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya. Jongin ternyata sudah mengambil tempat ini lebih dulu darinya.

Jiyeon akhirnya menghabiskan waktu dengan menonton Jongin, sampai pemuda itu menyadari kehadirannya.

“Jiyeon? Sejak kapan kau di sini?”

Tentu saja Jongin terkejut. Meski mereka berdua satu kelompok, tapi saat itu bukan jadwal latihan mereka berdua. Sepertinya Jongin latihan di tempat itu pun atas inisiatifnya sendiri. Mungkin ini yang disebut jodoh, harap Jiyeon.

Tanpa menjawab rasa terkejut Jongin, gadis itu menunjukan roti isi daging dan sebotol air mineral padanya,”Mari kita makan bersama!”katanya. Jongin tersenyum miring dan mengikuti ajakan Jiyeon. Mereka makan bersama di rooftop gedung sekolah, di bawah matahari musim gugur yang tak berarti.

Tanpa sadar Jiyeon tersenyum mengingat itu. Myungsoo menepukan kedua tangannya, tepat di hadapan wajah Jiyeon.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

Sepertinya Jiyeon baru sadar dari lamunannya,”Mian, Oppa.”katanya sambil tersenyum kikuk.”Aku hanya—“

“Bermain pianolah denganku!”pinta Myungsoo sambil mengedipkan sebelah matanya. Entah sengaja atau tidak, pemuda itu sempat memotong ucapan Jiyeon tadi.

Mwo?”

“Tidak ada penolakan! Itu hukuman buatmu karena telah menghiraukanku.”

Myungsoo tersenyum penuh kemenangan sambil memulai permainan tangannya di atas tuts-tuts piano. Salah satu lagu Beethoven kesukaan Jiyeon. Gadis ini mulai mengimbangi permainan kakak kelasnya itu dengan jari-jari cantiknya.

 

---“Aku bertanya pada Jieun, katanya kau tengah menjalani latihan ekstra untuk kompetisi menari di klubmu. Tapi aku harap kau punya waktu ketika liburan musim dingin nanti. Aku ingin pergi ke taman hiburan bersamamu.”

 

Teganya Jiyeon melewatkan ucapan Myungsoo itu. Tapi tidak masalah, Myungsoo sepertinya malah semakin bersemangat untuk mendapatkan perhatian Jiyeon. Apapun alasan Jiyeon tersenyum dalam lamunannya, Myungsoo akan membuat semua senyuman gadis itu hanya tertuju padanya.

“Hati-hati nadamu salah, coba perhatikan buku lagunya!”

Gerakan jari-jari Jiyeon terhenti, akibat mendengar komentar Myungoo. Apanya yang salah, pikirnya. Meskipun sudah lama tidak bermain piano, Jiyeon masih sangat hafal dengan note dan irama lagu Beethoven ini. Akan tetapi, ia tetap mengikuti instruksi Myungsoo. Bukan karena ia ragu akan gerakan tangannya, hanya saja ia penasaran dengan kebenaran komentar dari kakak kelasnya itu.

Menariknya buku piano yang berada di atas piano itu, telah terbuka di halaman yang tepat. Moonlight Sonata. Jiyeon memperhatiakan setiap note balok yang tercantum di sana, sementara Myungsoo masih melanjutkan permainannya. Tidak ada yang salah, sampai ia menemukan tulisan tangan di pojok kanan bawah.

 

Bersiaplah di hari ke lima liburan awal musim dingin, aku akan menjemputmu. Kita akan pergi bersama, tidak ada penolakan!

 –Kim Myungsoo—

 

Jiyeon menoleh pada Myungsoo, setelah membaca kalimat itu. Ia melihat senyuman yang tersembunyi di balik keseriusannya. Jadi, tujuan Myungsoo sebenarnya adalah agar Jiyeon membaca ajakan itu. Jiyeon ikut tersenyum, lalu kembali melanjutkan permainan pianonnya dengan Myungsoo.

Setelah gagal mendapatkan perhatian lisan, Myungsoo tidak kehabisan ide. Ia coba dengan tulisan dan ternyata berhasil. Myungsoo sudah menulis ajakan itu, sebelum ia menyadarkan Jiyeon dari lamunannya tadi. Ide manis itu, datang begitu saja menghampiri otaknya.

.

.

“Jadi bagaimana keputusanmu?”

Jongin menghiraukan pertanyaan Baekhyun, ia berhenti tepat di depan kaca yang menampilkan seisi Ruang Musik. Bukan alat-alat musik atau arsitektur di dalam Ruang Musik yang menarik perhatiannya. Bukan juga Soojung yang biasanya ia perhatikan dari sini. Melainkan sepasang manusia di dalam sana. Sepasang manusia yang tengah asik memainkan musiknya menggunakan piano yang sama. Jiyeon dan Myungsoo. Jongin bisa melihat pemandangan mereka dari samping.

Yaa, kau menghiraukan ucapanku?”Baekhyun menoleh ke belakang, ia mendapati Jongin berada jauh di belakangnya. Setelah mendengus jengah, Baekhyun pun memutar balik arah jalannya—menuju Jongin.

Karena tidak sengaja menemani Baekhyun bermain basket sepulang sekolah kemarin, Jongin diajak masuk ke tim basket sekolah. Kemampuan Jongin bermain basket lumayan bagus menurut Baekhyun, jadi sayang jika tidak dimanfaatkan.

“Aku bertanya padamu,”Baekhyun merangkul bahu Jongin,”bagaimana, kau mau bergabung dengan tim basket atau tidak?”tanyanya lagi sambil mengikuti arah padang mata Jongin.

Jadi ini pelakunya. Baekhyun mengenal salah satu pemain piano itu. Sebenarnya sejak melewati ruangan ini, suara permainan piano yang indah ini sudah terdengar ke telinganya, namun ia tidak perduli. Tidak disangka ia mengenali sang pemain piano itu.

“Jiyeon.”ucap Baekhyun, yang membuat Jongin menoleh karena terkejut.”Kau suka padanya?”tanya Baekhyun berikutnya, meninggalkan topik tentang ‘ajakan masuk tim basket’.

”Bagaimana kau tahu?”Rupanya Baekhyun mulai berhasil mencuri perhatian Jongin. Pemuda itu tengah dilanda rasa penasaran.

Baekhyun tersenyum penuh kemenangan,”Aku bisa melihatnya dari matamu.”ia meninggalkan pemandangan dua pemain piano di dalam sana untuk sekedar melihat ekspresi tertangkap basah milik Jongin.

“Mataku?”Jongin bingung.

Nde, caramu memandangi Jiyeon, seperti orang yang sedang jatuh cinta.”jelas Baekhyun yang langsung dicemooh Jongin.

“Bagaimana kau tahu namanya? Itu maksudku.”kata Jongin sambil meninju perut Baekhyun.

“Akh.”teriak Baekhyun merasakan sakit dari tinjuan Jongin yang tidak sungguh-sungguh itu.”Yaa, tunggu aku.”

Setelah meninju Baekhyun, Jongin pergi meninggalkannya begitu saja, tepat ketika permainan piano Jiyeon dan Myungsoo berakhir.

Dari dalam Ruang Musik, Jiyeon menoleh ke arah pintu yang belum sepenuhnya tertutup. Ia mendengar rintihan Baekhyun tadi, sehingga membuat gerakan refleknya berfungsi.

“Dia itu satu SMP denganku. Kalau kau mau masuk tim basket, akan aku beritahu semua tentangnya.”

Jiyeon melihat sosok Jongin yang melintas dari selah pintu itu,”Ada apa?”tanya Myungsoo sambil celingukan ke arah pintu juga. Baekhyun yang melintas berikutnya dengan memegangi perutnya seperti orang hamil.

Oppa lupa menutup pintunya?”dugaan Jiyeon tepat sasaran. Myungsoo tertawa garing.

Mian, suara musik kita mungkin sudah menyebar sampai ke ujung koridor.”ucap Myungsoo, yang membuat Jiyeon tersenyum senang.

.

.

.

Liburan awal musim dingin sudah sampai pada hari ke lima. Jongin memperhatikan katak—hadiah ulang tahunnya untuk Soojung, yang tengah melompat-lompat di dalam kandangnya. Entah kenapa ia merasa ada yang berbeda dengan katak itu.

Kajja, aku sudah siap.”Soojung muncul dari sampingnya.

“Cepat juga.”komentar Jongin melihat Soojung yang tampak cantik dengan gayanya yang sederhana.

“Tentu saja, ini kan bukan kencan.”Soojung menjulurkan lidah, seolah mengejek Jongin. Mereka pun tertawa bersama.

Memenangkan undian, sebenarnya hanya alasan Jongin untuk mengajak Soojung ke Lotte World. Dari ramalan cuaca dua hari yang lalu, ia mendengar bahwa salju pertama akan turun pada hari ini. Menurutnya, akan menyenangkan jika ia menikmati salju pertama bersama Soojung di tempat itu. Kencan yang tersembunyi, seperti perasaan di dalam hatinya

.

.

Ajakan Myungsoo di Ruang Musik waktu itu, ternyata untuk pergi ke Lotte World. Jiyeon baru tahu, setelah sampai ke tempat tujuan yang dirahasiakan oleh kakak kelasnya itu.

“Aku harap, kau akan menikmati kencan pertama kita.”begitu kata Myungsoo saat turun dari motornya, sementara Jiyeon hanya tersenyum.

Lotte World terdiri dari dua bagian, yaitu indoor dan outdoor. Kedua bagian ini memiliki wahana dan suasana yang berbeda, namun sama-sama menyenangkan bagi semua kalangan. Bagian outdoor di Lotte World di namakan Magic Island yang tidak lebih luas dari bagian indoor-nya. Jiyeon dan Myungsoo kini tengah menikmati wahana di bagian indoor Lotte World.

Setelah menikmati sensasi indoor dari Lotte World, Jiyeon dan Myungsoo berjalan menuju Magic Island. Mereka duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di sana, sambil meminum kopi hangat. Udara semangkin dingin, langit pun mulai meredup.

“Jiyeon,”ucap Myungsoo,”kau tunggu di sini sebentar, aku mau ke toilet.”Jiyeon menganguk.

.

.

Jongin memapah Soojung sampai ke depan toilet, selanjutnya gadis itu masuk ke dalam sendirian. Menahan rasa takut membuat Soojung merasa lemas dan mual. Sepanjang menaiki wahana ekstrim dengan Jongin, ia hanya berpura-pura berani, padahal ia takut setengah mati. Sampai akhirnya Soojung tidak sanggup untuk berbohong lagi, ia pun penyerah dan berkata sejujurnya pada Jongin.

“Jongin maaf aku berbohong, sebenarnya aku sangat takut.”Soojung tampak sangat pucat saat itu, sementara Jongin menertawainya tanpa rasa empati.

Sesuai dengan permintaan Soojung sebelum masuk ke dalam toilet, Jongin menunggu gadis itu di bangku dekat wahana kuda putar. Menurut pengakuan Soojung berikutnya, wahana kuda putar adalah wahana yang paling ia sukai. Jongin semangkin menertawainya, ini alasan kenapa Soojung lebih memilih berbohong. Soojung sadar wahana yang ia sukai sangat kekanakan. Akan tetapi, tanpa Soojung ketahui, wahana kekanakan inilah tujuan Jongin sebenarnya.

Akan sangat menyenangkan, jika salju pertama benar-benar turun hari ini. Harap Jongin dalam hati sambil memandangi wahana kuda putar yang dipenuhi oleh anak-anak itu. Pemandangan kuda putar itu mendadak berubah ke masa lalu. Masa di mana semua rahasia belum terbongkar, ketika Jongin masih sangat kecil. Jongin menaiki wahana itu dengan sang peria malaikat—ayah tirinya. 

.

.

Jiyeon mengelus perutnya sendiri, sambil melihat lesuh ke ponselnya yang mati. Mata gadis itu celingukan mencari kehadiran Myungsoo, tapi sayang tidak ada tanda-tanda kehadiran kakak kelasnya itu. Akhirnya Jiyeon memutuskan untuk meninggalkan pesan melalui kap kopi yang ia tinggalkan di atas bangku panjang.

.

.

Toilet laki-laki dan perempuan yang posisinya bersebelahan membuat kedua orang ini bertemu. Myungsoo dan Soojung saling memandang terkejut. Detik berikutnya Soojung tersenyum tipis dengan mata berbinar.

Oppa?”

Annyeong.”sapa Myungsoo dengan tersenyum lebar.

.

.

 

Jongin, aku tidak sengaja bertemu dengan Myungsoo Oppa. Jadi, mian  sepertinya kau harus menungguku lebih lama lagi

 

Pesan dari Soojung membuat Jongin menghela nafas panjang setelah membacanya. ia memang hanya rumah untuk Soojung pulang, Jongin sangat sadar akan hal itu.

Aku semakin mirip denganmu. Jongin tersenyum miring, sementara banyak orang berlalu-lalang di hadapannya.

 

---“Ayah rumah yang selalu menunggu ibumu pulang.”

 

---Cinta sering membuat orang mengatakan hal yang tidak masuk akal dan bertindak diluar akal sehat. Suatu saat kau akan mengerti Jongin.”

 

Jiyeon membeku di tempat, tak sanggup melanjutkan langkahnya lagi, ia melihat sosok Jongin. Di bangku yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, Jongin hanya duduk sendirian. Takdir memang mengejutkan. Setelah menuntaskan rasa lapar dengan burger berukuran sedang, Jiyeon tidak pernah menyangka akan dipertemukan dengan pemuda yang selalu menggangu pikirannya ini. Kesempatan yang tak mungkin ia lewatkan. Ah-choo. Jiyeon pun menghampiri Jongin setelah disadarkan oleh bersinnya sendiri.

Kini gantian Jongin yang dikejutkan oleh bersin Jiyeon. Ah-choo. Pemuda itu meninggalkan  pemandangan kuda putar dan orang-orang yang berlalu lalang, untuk menoleh. Hal pertama yang Jongin lihat adalah senyuman Jiyeon.

.

.

 

Oppa, aku pergi mencari makan sebentar

–J iyeon—

 

Myungsoo membaca kalimat yang tertulis di permukaan kap kopi yang ia temukan di atas bangku. Untuk sesaat Myungsoo teringat pesan yang ia tulis di buku lagu. Aku tunggu royalti darimu, Jiyeon-aa, batinnya.

Oppa.”Myungsoo menoleh ke belakang, yang disambut langsung dengan senyuman manis Soojung.

”Kau masih mengikutiku?”tanya Myungsoo, yang terdengar meledek,”bukankah kita sudah berpisah tadi.”

Soojung tertawa kecil,”Oppa datang ke sini sendiri?”Myungsoo menggeleng.

“Sebenarnya,”Myungsoo mengantung ucapannya sebentar,”dengan seorang teman.”

“Di mana teman Oppa?”tanya Soojung sambil celingukan.

“Dia pergi mencari makan,”jawab Myungsoo,”sepertinya dia bosan menungguku.”

Soojung menganguk paham, lalu tersenyum tipis mengingat tujuannya menghampiri Myungsoo,”Hmm, bisa aku meminjam Oppa sebentar?”

“Meminjamku?”tanya Myungsoo tidak mengerti, lalu Soojung menganguk.

“Sebentar saja,”ungkapnya memohon. Meskipun tidak menjawab pertannyaan Myungsoo, tapi sepertinya pemuda itu mulai mengerti.

Setelah berpikir sebentar, Myungsoo pun menganguk,”Baiklah, hanya sebentar saja.”katanya.

Setelah pertemuan di depan toilet, membuat Myungsoo dan Soojung tak sengaja jalan bersama. Namun, tujuan yang berbeda telah memisahkan mereka di jalan yang berbeda, sehingga waktu itu seakan cepat berlalu. Soojung tak kuasa membiarkannya begitu saja, ia mengumpulkan keberanian sambil memutar balik jalannya untuk mengikuti Myungsoo.

Ternyata usahanya membuahkan hasil. Soojung seolah tidak ambil pusing dengan siapa sebenarnya Myungsoo datang ke sini. Setidaknya, festival yang tengah berlangsung saat ini, bisa memberinya waktu lebih dengan Myungsoo.

Seperti apa yang aku katakana pada Oppa waktu itu, aku akan berjuang, batin Soojung sambil tersenyum dan menatap Myungsoo dari samping. Bertepatan dengan kembang api yang meledak dan menyebar di langit malam.

Sedangkan Myungsoo hanya terus memikirkan Jiyeon, meski ia juga tidak enak hati jika harus menolak permintaan Soojung sejak awal, atau meninggalkan gadis ini sebelum festival berakhir.

Oppa.”

Di antara suara kembang api dan keceriaan orang-orang yang menonton festival terbuka ini. Myungsoo merasa ada yang memanggilnya, ia pun menoleh pada Soojung yang terlihat sangat ceria.

“Myungsoo Op—“

Kali ini bukan perasaan lagi, Myungsoo mendengar namanya disebut dengan jelas. Meskipun suara itu tak mampu mengalahkan kebisingan di sekitarnya, Myungsoo tidak mukin salah. Pemuda itu membalikan tubuhnya, meninggalkan senyuman Soojung dan festival kembang api yang masih berlangsung.

Tidak lama, Soojung juga ikut membalikan tubuhnya. Tak bisa dipungkiri Soojung juga bisa mendengar suara itu. Hal pertama yang menyambut Soojung adalah sepasang mata Jongin. Di sana, sepasang mata itu menyelinap di balik kepala seorang gadis, yang tidak Soojung kenali sosoknya.

“Jiyeon?”gumam Myungsoo yang tidak terdengar oleh siapapun. Meski posisi gadis di tengah jalan sana memunggunginya. Tapi, rambutnya, mantel coklatnya, celananya, sepatu bootnya, serta tas yang dijinjingnya. Itu Jiyeon, gadis yang sepertinya tengah berciuman itu Jiyeon. Sakit dan sesak menjalar di dada Myungsoo.

Setelah membeku dengan wajah datar dalam beberapa menit, emosi Myungsoo pun memuncak tak terkendali. Myungsoo menarik kasar tangan mungil Soojung dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Mau tak mau, Soojung mengikuti langkah pemuda itu dengan banyak pertanyaan sekaligus menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.

Salju pertama benar-benar turun seperti ramalan cuaca yang Jongin dengar. Banyak pengunjung Magic Island berlari menghidari salju, sementara sisanya malah asik merasakan butiran salju yang turun. Suasana pun berangsur sepi, tidak ada lagi suara bising kembang api yang bercampur dengan keceriaan orang-orang. Jongin melepaskan ciuamannya dan menatap Jiyeon kaku, sementara yang ditatap hanya menunduk.

Ah-choo. Suara bersin Jiyeon kembali terdengar. Jongin merenggangkan sallnya yang membalut leher Jiyeon, lalu membuat sall itu menjadi kerudung untuk menutupi sebagian kepala gadis di hadapannya ini. Membuat Jiyeon tak sanggup untuk tetap menunduk. Alhasil, Jongin bisa melihat kedua pipi Jiyeon yang merona memerah seperti cherry blossom. Keduanya pun saling bertatapan sebelum Jiyeon lagi-lagi kembali bersin.

-To Be Continue-

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK