home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > MOONLIGHT

MOONLIGHT

Share:
Author : AmaliaChimo
Published : 22 Dec 2015, Updated : 26 Nov 2016
Cast : Kim Jongin - Park Jiyeon - Jung soojung - Kim Myungsoo
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |2743 Views |1 Loves
MOONLIGHT
CHAPTER 3 : “Keberuntungan Di Antara Harapan Dan Kenyataan.”

Memandangi jalan raya dari balik kaca besar di sampingnya, menjadi aktivitas Woohyun saat ini. Sesekali ia berpaling pada ponsel pintar di tangnnya. Tak ada yang menarik. Kebosanan  terlanjur menempel seperti permen karet padanya. Sampai suara nyaring menyentak kebosanan itu.

Oppa….”

Woohyun menoleh ke sumber suara dengan senyuman termanisnya, lalu mengacak rambut gadis kecil yang membawa-bawa 2 kantung plastik berisi bungkusan-bungkusan Teokbokki. Menurutnya, Seulgi terlihat sangat lucu dengan kedua sisi pipi yang terangkat ke atas—membentuk aegyo. Meski begitu rasa kecewa tengah bersemayam di balik senyuman manis pemuda itu.

"Gomawo,"ucap Wohyun sambil meraih pesanannya—2 kantung plastik berisi bungkusan-bungkusan Teokbokki—dari tangan mungil Seulgi.

Sambil berdiri, Woohyun melirik ke arah kasir. Tampak sosok Jieun yang sedang kualahan melayani pelanggan di sana. Woohyun menghembuskan nafas panjang, lalu mulai melangkah pergi. Diikuti Seulgi yang mengintilinya sampai berpisah di luar ruko.

.

.

 

          ---“Berarti ada satu orang lagi yang menyukaimu, selain Myungsoo Oppa.

 

Siang yang tidak panas juga dingin. Menyukaiku? Jongin? Jiyeon bertanya dalam hati. Layaknya angin yang melintas tanpa bertanggung jawab, begitulah cara kata-kata Jieun terus muncul di benaknya. Antara sadar atau tidak, mulai menumbuhkan harapan tanpa kepastian di hati Jiyeon. Seulas senyum terbentuk di wajahnya. Rasa senang membuat gadis ini melupakan penyakit-asal-bicara yang menjangkit sahabatnya itu. Bahkan ia juga melupakan, sedang apa dan berada di mana ia sekarang. Semoga musim gugur yang kian terasa, tak sampai hati menggugurkan harapan seumur jagung ini.

Pandangan yang tidak tentu arah, kini menetap lurus ke depan. Jiyeon mulai sadar akan keanehannya. Bagaimana bisa ia tersenyum sendiri di antara banyak pejalan kaki di sini? Pikirnya setelah senyuman itu berakhir. Jiyeon menggeleng beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar fokus. Sepertinya, akhir-akhir ini ia punya masalah dalam pengendalian diri.

Dari kejauhan, matanya menangkap sosok pemuda yang mampu membuat langkahnya melambat. Di antara jajaran pohon berdaun kuning kecolatan yang berbaris membentuk jalan, jarak mereka makin menipis. Jantung Jiyeon bergemuruh tak sabar, sampai langkahnya yang lambat tak sanggup lagi untuk ia lanjutkan. Ini seperti mimpi, bagaimana bisa dia muncul ketika aku memikirkannya? Pemuda itu berhenti tepat di hadapannya.

Apa benar kau menyukaiku, Jongin? Hati Jiyeon bertanya bersama tatapannya yang disambut oleh sepasang mata Jongin. Jawabannya tidak lebih dari tiupan angin kecil yang berhasil menjatuhkan sehelai daun di tengah mereka. Jongin melepas sound earphone dari salah satu telinganya, sementara lagu berjudul Over The Rainbow masih terdengar di telingannya yang lain.

Annyeong.”sapa Jongin santai.

Jiyeon tidak langsung menjawab sapaan itu, sensor otaknya bekerja sangat lambat saat ini. Sampai 2 menit berlalu, ia baru sanggup merespon.

"An-nyeong."terdengar sangat kaku di telinga Jongin.

“Syukurlah kakimu sudah benar-benar pulih.”simpul Jongin, setelah sekilas melirik ke bawah.

“Ah? Ne, tidak akan seperti ini—“ucap Jiyeon masih terdengar kaku di awal,”—tanpa ada pertolongan pertama.”sampai akhirnya berusaha untuk tertawa ringan. Walau hanya Jongin balas dengan senyuman tipis.

“Jangan cepat menyerah hanya karena cedera, nde! Aku duluan.”Jongin menepuk bahu mungil Jiyeon, sebelum berlalu—melanjutkan perjalanannya yang tertunda.

“Tentu saja,”gumam Jiyeon sangat pelan, lalu menoleh ke belakang—memandangi kepergian Jongin—sambil tersenyum,”Good bye, hati-hati di jalan Jongin-aa.”lanjutnya berteriak.

Sampai sosok Jongin menghilang dari jangkawan matanya, Jiyeon menepuk-nepuk dadanya sendiri. Sepertinya ia harus sering-sering menonton film laga, untuk mempelajari jurus-pengendalian-diri. Jiyeon membuang nafas panjang, sebelum melanjutkan jalannya.


***

---“Lagu apa yang paling kau suka?”

---“Hmm, Over The Rainbow.”

---“Omo? Itu lagu pertama yang aku hafal saat kecil.”

---“Hmm?”

---“Pinjam ponselmu!”

---“Untuk apa?”

---“Tentu saja untuk merekam.”

---“Merekam?”

---“Ne, sekarang dengarkan aku baik-baik!”

 

Somewhere over the rainbow.. way up high..

There’s a land, that I heard of once, in a lullaby..

Somewhere over the rainbow.. skies are blue..

And the dreams, that you dare to dream, really do come true..

 

Di pinggir Sungai Han. Kedua anak muda berseragam SMP itu, duduk berdampingan di atas bangku kayu. Sojung bernyanyi dengan tulus sambil memandang jauh ke langit, sementara Jongin fokus memperhatikannya dari samping.

 

Somewhere over the rainbow.. blue birds fly..

Birds fly.. over the rainbow..

Why, then why can’t I..

Happy Birthday Jongin-aa

 

---“Simpan hadiah dariku ini, ne!”

---“Baiklah. Tapi lain kali, kau harus memberikan yang lebih!

---“Iss..”

 

Sojung menyipitkan matanya pada Jongin, lalu berdecah-decah—tidak habis pikir. Selanjutnya mereka tertawa bersama di antara suara aliran sungai Han yang damai. Kenangan dua tahun lalu itu, tepat di hari ulang tahun pertamanya bersama Sojung. Jongin akhirnya mengerti pentingnya memiliki teman atau mungkin sahabat, sekaligus mengerti arti Soojung baginya. Meski makin lama, rasanya semakin rumit. Apa mungkin perasaan seperti ini, yang ayah tirinya maksud?

---“Kenapa kau begitu mencintai wanita, yang bahkan tidak diakui oleh anak kandungnya sendiri?”

Pertanyaan itulah yang sering dilontarkan Jongin pada ayah tirinya, sejak ia mengetahui semua rahasia tentang keluarganya. Anak berumur 10 tahun yang malang, selain perceraian ia harus menghadapi kenyataan pahit, tentang kisah cinta masa lalu kedua orangtuanya. Hubungan yang saat itu belum sepenuhnya ia mengerti, membuatnya terauma untuk berhubungan dengan siapa pun untuk alasan apa pun. Titik awal seorang Kim Jongin menjadi introvert. Akan tetapi, kedatangan gadis pintar yang pandai bergaul seperti Sojung, sedikit demi sedikit mengubah pandangan pemuda itu. Sampai akhirnya ia terjebak, dalam pertannyaannya sendiri.

          ---“Kau baru bisa mengerti, kalau kau sudah merasakannya.”

Satu jam sudah Jongin terpaku memandang skeptis, peria paruh baya yang tertidur di meja makan mewah itu. Meja yang dipenuh dengan makanan-makanan dingin. Berhentilah berperan seperti ayah kandungku, batinya lalu memutar tubuh tegapnya perlahan sambil melepas sound earphone yang menutupi sepasang telinganya. Rekaman lagu Over The Rainbow dari Sojung sudah tak terdengar lagi. Kenangan-kenangan yang berputar bersama lagu itu pun, ikut lenyap tak bersisa.

“Syukurlah Tuan Muda sudah pulang,”hanya senyuman tipis yang Jongin berikan untuk sekedar menghormati sapaan pelayan tua, yang baru saja masuk ke ruang makan ini,”Tuan besar sengaja mengambil penerbangan malam, demi menunggu Tuan Muda yang mungkin saja pulang hari ini.”

Ayah tirinya itu, seharusnya sudah berangkat ke Jepang pagi tadi. Begitulah yang Jongin tahu dari Pak Lee—sekertaris ayah tirinya. Tapi nyatanya, peria super sibuk itu sudah semangkin pintar mengatur waktunya demi menjebak Jongin. Apalagi tinggi kemungkinan ayah tirinya dengan Pak Lee saling bekerja sama untuk itu. Peria malaikat itu belum juga berubah, pikir Jongin.

“Sudah tahu aku akan terus menghindarinya, seharusnya dia tidak perlu menungguku,”ucap Jongin,”aku permisi, Pelayan Gong.”lalu berjalan melewati Pelayan Gong, yang hanya bisa memandang prihatin kedua tuannya ini secara bergantian.

.

.

Myungsoo masuk ke dalam ruangan Dokter Jung bersama katak, yang bersarang di dalam kotak kaca yang digendongnya. Sapaan ramah dan senyuman manis Dokter Jung, menyambut kehadiran Myungsoo bersama kataknya. Sementar Lucky—nama katak itu—mendapat pemeriksaan, saatnya Myungsoo bertindak seperti Sherlockhome di ruangan yang berhiaskan kandang dan berbagai jenis binatang di dalamnya ini. Bagaimana Myungsoo memiliki seekor katak? Berawal dari kejadian di halte depan sekolahnya. Myungsoo menyebutnya keberuntungan.

Senyuman manis Jiyeon lenyap bersama bus yang pergi, menyisakan Myungsoo bersama seekor katak di bawah halte.“Lain kali, kau tidak akan lepas dariku Park Jiyeon.”ucap Myungsoo sambil tersenyumm, lalu berjalan mendekati motor yang ia parkir di samping halte.

“Kuebek..kuebek…”suara ini membuat Myungsoo terdiam sejenak, sebelum mengedarkan pandangannya ke bawah.

“Kau?”Myungsoo terkejut, melihat katak yang sudah berhasil diusirnya tadi, kini muncul kembali,”Kuebek..kuebek..”bahkan katak itu, seakan-akan terus menyahuti setiap ucapannya.

“Hmm..“Myungsoo terlihat berpikir sejenak sambil menegakkan tubuhnya,”bagaimana kalau kau ikut denganku?”

“Kuebek..kuebek..”

Keputusan yang tidak pernah terbayangkan oleh seorang Kim Myungsoo sebelumnya. Memelihara katak? Lelucon macam apa yang telah ia buat saat itu? Namun mengingat secara kebetulan katak hijau bercorak unik itu, yang menyebabkan ia mendapat kesempatan memeluk Jiyeon. Membuat Myungsoo yakin dengan keputusan anehnya.

Myungsoo yang tengah asik melakukan penyelidikan, tiba-tiba menolehkan wajah antusiasnya pada Dokter Jung. ”Omo?Noona, kau memiliki katak yang sama persis seperti Lucky?”tanya Myungsoo dengan tangan menunjuk-nunjuk pada kota kaca yang tepat berada di sampingnya kini.

Lucky termasuk katak dengan warna yang unik. Latarnya yang hijau memang sering ditemukan pada katak lainya, namun coraknya yang tidak beraturan dengan warna yang bermacam-macam membuatnya menjadi langka. Myungsoo mengetahui hal itu dari internet, maka ia cukup antusias sekaligus terkejut saat menemukan lagi kembaran Lucky. Mungkin.

Dokter Jung hanya tersenyum misterius menanggapi antusiasme Myungsoo, sambil kembali memasukan Lucky ke dalam kotak kaca dengan sangat hati-hati. Tidak puas dengan tanggapan Dokter Jung yang seperti itu, Myungsoo mengambil langkah cepat demi mendekatinya.

Noona?”tanya Myungsoo agak menuntut.

“Itu bukan miliku, tapi milik adik sepupuku.”jawab Dokter Jung sekenanya, yang malah membuat Myungsoo makin penasaran.

“Adik sepupumu?”ulang Myungsoo dengan tingkat penasaran yang mencapai maksimal.

Dokter Jung menganguk tepat di hadapan wajah Myungsoo,”Nde, dia seumuran denganmu,”lalu berkedip cantik. Saat ini, keduanya memang berada di jarak yang cukup dekat, sehingga membuat Myungsoo agak kikuk.

“Akan ada vitamin untuk Lucky, kau harus memberinya secara rutin nanti!”ucap Dokter Jung berikutnya. Myungsoo hanya diam.

.

.


---"Adik sepupuku memiliki katak dengan warna dan corak yang sama persis seperti milikmu. Tapi sayang, kataknya hilang saat dia bawa ke sekolah—untuk plaktikum. Karena katak itu pemberian sahabat terbaiknya, dia meminta bantuanku untuk menemukan katak yang sama persis, agar sahabatnya itu tidak salah paham lalu kecewa. Akhirnya, aku bisa menemukannya tanpa harus mencuri Lucky darimu hhehehe.."

 

Myungsoo keluar dari klinik hewan dengan ingatan tentang cerita Dokter Jung tadi. Tepat di depan pintu masuk klinik, Myungsoo mengangkat kotak kaca yang digendongnya hingga sejajar dengan wajahnya.

“Sepertinya akan menyenangkan jika kita bisa bermain bersama adik sepupu Dokter Jung dan juga kataknya itu.”

“Kuebek..kuebek..”

Mendengar sahutan Lucky yang seolah menyetujui ucapannya, Myungsoo tertawa kecil lalu melanjutkan jalannya. Setelah tiga langkah berlalu dengan mulus, sepatu Myungsoo terinjak oleh seseorang yang berlawanan arah jalan dengannya. Sayang sekali, belum sempat Myungsoo melihat wajahnya dengan jelas sekaligus perotes padanya, orang itu sudah lebih dulu berlalu tanpa basa-basi—melewatinya.

Mian.”tapi ia sempat mengucapkan kata singkat ini, sebelum rambut hitam panjangnya benar-benar lenyap dari balik pintu klinik. Tepat pada saat itu, Myungsoo menoleh setelah sebelumnya berdecah kesal melihat Sepatu Adidas putihnya terkena noda. Dasar kurang sopan, pikir Myungsoo.

Aishh.”

.

.

.

Menggendong tumpukan buku tulis yang tebalnya tak seberapa, ternyata cukup bermanfaat juga untuk mengurangi kalori. Lihat saja wajah kedua gadis cantik ini, hampir penuh dengan keringat. Entah berapa banyak tangga yang telah mereka pijak demi sampai ke lantai 4 ini. Dengan kompaknya Jiyeon dan Jieun membuang nafas lelah mereka masing-masing. Rasa lelah pun seolah menguap begitu saja. Jieun memilih untuk mendahului Jiyeon, yang masih betah berdiri di atas tangga terakhir.

“Jieun, chakkaman!”terdengar suara lemah Jiyeon. Langkah Jieun jadi makin berat untuk terus dilanjutkan. Ia pun berhenti dengan setengah hati,“Ne, cepatlah!”serunya masih tampak kelelahan.

“Maksudku, kemarilah!”ujar Jiyeon.

Jieun menghela nafas, setelah sebelumnya berdecah. Lagi-lagi dengan setengah hati, ia menuruti permintaan Jiyeon. Ayolah cacing-cacing diperutnya kini tengah berdemo—meminta asupan. Waktu istirahat hanya sebentar Jiyeon-aa, perotesnya dalam hati. Dan ketika berbalik, Jieun terkejut hingga menelan liurnya sendiri. Tubuh kecilnya terhalang oleh tubuh Wohyun yang tentunya jauh lebih besar darinya. Dari sekian banyak murid yang melintasi koridor ini, kenapa harus Wohyun yang menghalangi jalannya? Pikir Jieun.

Festival Akhir Tahun. Judul poster yang menjadi pusat perhatian Jiyeon saat ini. Festival tersebut akan diselenggarakan pada malam pergantian tahun baru. Semua klub akan berpartisipasi di dalamnya. Kira-kira konsep tarian seperti apa yang akan klubnya tampilkan nanti? Sungguh membuat Jiyeon penasaran. Ia jadi tidak sabar untuk kembali memulai latihan besok. Mungkin rencana tentang festival akhir tahun ini, salah satu yang terlewatkan olehnya setelah musibah cedera itu.

Sementara itu. Jieun masih sibuk memilih langkah yang tepat, agar tidak berbernturan lagi dengan Woohyun. Ke kanan. Lalu ke kiri. Keduanya terus terjebak dalam langkah yang berlawanan. Sampai sepasang tangan kekar Wohyun bergerak menahan kedua sisi bahu mungil Jieun, lalu pemuda itu pun mulai melangkah ke kiri. Akhirnya, mereka terbebas dari acara memilih langkah yang berlarut-larut itu. Suasana canggung yang sempat muncul, berangsur hilang seiring pandangan Jieun yang dapat bergerak bebas.

Fokus Jiyeon pecah, setelah mendapati Jieun yang sudah berada di sampingnya,"Jieun-aa, ini kan festival yang kau ceritakan?"tanyanya tampak antusias. Keduanya tepat berdiri di hadapan poster berlatar kuning mencolok itu, kini.

Sayang sekali, keadaan sepertinya berbalik. Jiyeon tampak berlebihan sementara Jieun malah tampak tenang dan biasa saja. Sampai suara cacing seolah menjawab segalanya. Jiyeon pun tak kuasa untuk menahan tawa, sementara Jieun menghela nafas panjang sambil mengucap sukur dalam hati. Setidaknya tawa itu, berarti Jiyeon tahu bahwa dirinya tengah kelaparan sekarang, pikir Jieun.

“Kau lapar yaa?”tanya Jiyeon diselah tawanya yang meledek.

Jieun hanya menganguk lemah, sebelum memilih berpaling dari wajah menyebalkan Jiyeon dan sisa-sisa tawanya yang tak kalah menyebalkannya.

“Uhh, kasihannya perut sahabatku yang kosong ini.”singgung Jiyeon sambil mengikuti langkah Jieun yang kembali mendahuluinya.

.

.

Setelah menaruh tumpukan buku-buku tulis di atas meja Pak Lee. Selesai sudah tugas mereka. Dengan serempak Jiyeon dan Jieun memberi hormat pada guru Bahasa Korea, yang sibuk dengan komputer layar datarnya itu. Keduanya pun berlalu dari hadapan Pak Lee, tanpa menerima ucapan terimakasih.

“Soojung..“

Pintu ruang guru yang terbuka, membuat siapa saja yang melintas di luar ruangan terlihat sampai ke dalam. Akan tetapi, Jiyeon yang berjalan tepat di belakang Jieun, terhalang oleh punggung sahabatnya itu.

“Soojung?”gumam Jiyeon sambil berusaha melihat ke luar.

“Segeralah keluar dan tutup pintunya!”teriak guru olah raga bermulut besar—Pak Shin. Dari suaranya saja Jiyeon sudah bisa memastikan.

Ye, ssaem.”panik Jiyeon yang langsung ngibrit sambil mendorong tubuh Jieun ke luar ruangan, dengan tidak lupa menutup pintunya rapat-rapat.

“Yah, sayang sekali Soojung tidak mendengar suaraku.”lirih Jieun sambil memandang lurus ke ujung koridor. Reflek Jiyeon mengikuti pandangan sahabatnya itu.

“Pasangan yang serasi, mereka benar-benar cocok kan, Jiyeon-aa.”

Pasangan serasi yang dimaksud, sukses membentuk seulas senyum di bibir Jieun. Kedua punggung yang berjalan berdampingan. Mereka saling merangkul dan tertawa bersama. Seperti perapian di musim dingin, sederhana dan hangat. Bahkan Jieun sampai bisa merasakan kehangatan di antara mereka. Jongin dan Sojung.

“Jangan suka asal menjodohkan orang, mereka hanya bersahabat seperti kita,”sanggah Jiyeon ketus.

Entah karena apa tampang Jiyeon mendadak murka. Sebelas-duabelas dengan boneka Annabelle di film The Conjuring. Cantik. Tapi menyeramkan. Jieun sampai merinding dibuatnya. Ini kan era-demokrasi, siapapun bebas berpendapat, apa yang salah? Batin Jieun, membela diri.

Pali! Bukankah kau lapar.”terdengar suara ajakan Jiyeon, yang lebih terdengar seperti perintah, langsung mengintrupsi Jieun.

.

.

.

Usai terjebak dengan cedera kaki yang cukup menganggu aktivitasnya, akhirnya Jiyeon kembali bergabung bersama anggota klub tari lainnya. Namun, sepertinya tidak ada yang peduli. Mereka—yang berada di dalam ruang latihan, terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kebanyakan tengah melakukan pemanasan ringan, sementara sisanya asik menari dengan memasang earphone di telinga. Inilah yang membuat Jiyeon kadang kesulitan dalam beradaptasi. Mereka orang-orang yang sangat serius. Alhasil, Jiyeon jadi ikut-ikutan melakukan pemanasan ringan dalam keheningan. Di saat seperti ini, Jieun menjadi orang yang paling ia rindukan.

“Gerakan itu salah, kau bisa cedera lagi nanti.”

Mata Jiyeon membulat, karena melihat wujud Jongin dalam keadaan terbalik. Entah pemanasan macam apa yang sedang ia lakukan. Yang pasti, dengan posisi berdiri kakinya membuka lebar, sementara tubuhnya menekuk 180 derajat ke bawah—seperti menyelinap di antara kedua kakinya yang terbuka itu. Jongin yang berdiri di belakangnya, hanya bisa menggeleng dengan tangan melipat di dada. Dalam posisi seperti ini, setidaknya Jiyeon bisa menerka seberapa besar ukuran lubang hidung Jongin. Krik.

Setelah jarum jam cukup jauh berputar,“Jongin?”akhirnya otak Jiyeon yang juga ikut terbalik mampu mengirim respon ke mulutnya yang kaku. Kemudian buru-buru Jiyeon mengangkat setengah tubuhnya supaya kembali berdiri normal, tapi sayang keseimbangannya tak mampu mendukung pergerakan itu. Kalau saja tidak ada Jongin di belakangnya, mungkin nasib Jiyeon sudah seperti kecoa-terbalik.

“Berhati-hatilah!”kata Jongin datar.

Si-pemula-Jiyeon pun mendapat arahan dari Jongin yang sudah cukup berpengalaman, mereka melakukan pemanasan bersama-sama. Jiyeon tampak sangat menikmatinya, ia bersukur karena ada Jongin di sini. Tidak lama, sesosok wanita cantik masuk dan berhasil menghentikan segala aktivitas di ruang latihan ini. Hanya dengan tiga kali tepuk tangan, wanita itu berhasil membuat seluruh anggota berbaris dengan rapih dan tertip, termasuk Jiyeon yang hanya ikut-ikutan. Tapi tunggu, siapa dia? Pikir Jiyeon.

Latihan dengan wanita itu, diawali dengan kalimat-kalimat lugas dan tegas. Jika dilihat secara fisik dan penampilan, wanita itu lebih terlihat seperti salah satu anggota girls band korea, yang terkenal cantik dan sexy. Akan tetapi, caranya mengajar memang menunjukan bawah ia merupakan seorang dancer profesional. Jiyeon yang terus memikirkan tentang wanita itu, tidak menyadari wanita dalam pikirannya itu, kini berjalan mendekatinya.

“Aku Kim Hyoyeon—“wanita pemilik nama Kim Hyoyeon itu, sudah berdiri di hadapan Jiyeon,”—kau Park Jiyeon, bukan?”

“Ha? Nde.”

Nada bicara Hyoyeon yang terdengar bersahabat, membuat Jiyeon bingung harus berekspresi seperti apa. Bahkan wanita itu sekarang tersenyum ramah padanya.

“Panggil aku Pelatih Kim, oke!”

Nde.”Jiyeon menunduk hormat.

“Ternyata Hyejin benar, konsentrasimu sangatlah buruk.”simpul Hyoyeon setelah acara menunduk-horamat-Jiyeon selesai.

Mwo?”

Hyoyeon kembali tersenyum menanggapi kebingunan Jiyeon, namun bedanya kali ini sambil melipat kedua tangannya di atas dada.

“Ulangi gerakanya dari awal!”teriaknya penuh emosi.

Dengan terpaksa gerakan yang sudah berlangsung lebih dari dua puluh menit itu, kembali diulang oleh seluruh anggota termasuk Jiyeon.

“Ingat konsentrasimu Park Jiyeon.”

Nde.”

“Aku tidak butuh jawabanmu, ulangi lagi!”

“Aishh.”di saat semua anggota hanya berani menggerutu dalam hati, berani-beraninya Jiyeon bersuara seperti itu. Meskipun suaranya berbisik, tetap saja terdengar oleh telinga tajam Hyoyeon.

“Kau tidak terima, Park Jiyeon?”

“Hmm, a-aku masih belum mengerti,”tenggorokan Jiyeon seperti tercekat mendapati tatapan tajam Hyoyeon, yang tepat menyorot matanya,”sebenarnya konsentrasi seperti apa yang Pelatih Kim maksud?”namun pertanyaan itu tetap berhasil keluar dari mulutnya.

Hyoyeon tersenyum,”Pertanyaan yang bagus.”lalu sang pelatih cantik pun menjelaskan kembali secara singkat peraturan latihan yang terlewatkan oleh Jiyeon.

Kunci latihan dengan Hyoyeon adalah kekompakan dan konsentrasi. Kekompakan bukan hanya bergerak dengan gerakan dan tempo yang sama, tetapi juga berhubungan dengan saling percaya dan pengendalian emosi. Seorang penari profesional diharuskan untuk bisa bekerja sendiri dan dituntut untuk bisa bekerja bersama-sama juga. Tanpa saling mempercayai satu sama lain dan mengendalikan emosi agar porsinya sama, sudah pasti kombinasi keseluruhan anggota tidak akan kompak. Sedangkan konsentrasi yang Hyoyeon maksud adalah apapun yang terjadi, penari harus tetap menyelesaikan tariannya. Prinsipnya,‘tidak ada yang dapat menghentikan tarian, kecuali tarian itu sendiri’. Jiyeon salah, karena menanggapi setiap ucapan dan tindakan Hyoyeon ketika sedang menari. Gadis itu baru mengerti, Hyoyeon hanya mengujinya tadi.

Latihan yang sangat melelahkan pun selesai, seluruh anggota dibiarkan Hyoyeon untuk duduk bersandar di tembok. Sebelum dibubarkan pelatih cantik ini, ingin menginformasikan sesuatu yang penting—katanya.

Hyoyeon duduk bersila di tengah ruang latihan sambil mengatur nafasnya, ia terlihat semakin sexy dengan keringat mengucur di sekitar tubuhnya. Hampir seluruh anggota laki-laki fokus memperhatikannya, karena hanya Jongin yang tidak peduli. Jiyeon tersenyum senang menyadari hal itu.

“Aku tidak peduli posisi apa yang membuat kalian nyaman saat ini, yang penting kalian tetap fokus mendengarkan informasi dariku. Mengenai festival yang sempat kita bahas minggu-lalu, para senior dan aku sudah selesai menyusun konsepnya. Oh iya, sebelum aku melanjutkan, apakah ada yang ingin kau tanyakan tentang festival ini, Jiyeon?”

Jiyeon menggeleng,“Anniyeo, aku sudah baca posternya kemarin siang Pelatih Kim.”

“Oh begitu, baiklah.”Hyoyeon mengedarkan pandangan ke sekitarnya,”Konsep tariannya menjadi rahasia aku dan para senior, tapi aku akan membagi kalian ke dalam kelompok yang terdiri dari dua anggota.”

“Kenapa begitu?”tanya Jiyeon sepontan. Semua mata langsung terkejut menatap Jiyeon, suaranya yang kecang dan terdengar kecewa sudah pasti mencuri perhatian. Jongin tersenyum tipis melihat gadis yang hanya bisa menyengir bodoh itu, sekarang. Hyoyeon pun tak sanggup lagi menahan tawanya.

”Karena tidak semua dari kalian bisa ikut dalam festival,”jawab Hyoyeon setelah tawanya berakhir,”aku akan membuat kompetisi dan memilih dua perwakilan dari kalian.”

Anggota-anggota yang tadinya masih asik bersandar di sisi-sisi ruangan, mulai duduk tegak. Mereka semua mulai penasaran mendengar informasi yang akan Hyoyeon berikan selanjutnya.

“Kompetisi ini sama saja dengan test kemampuan dan perkembangan kalian selama berlatih denganku. Karena itu, prinsip penilaiannya seperti prinsip yang aku ajarkan, yaitu kekompakan dan konsentrasi. Dan meskipun nanti kalian tampil di hadapanku berkelompok, aku akan tetap menilai kalian secara individu. Ada yang ingin ditanyakan?”

“Pelatih Kim,”kali ini Jiyeon mengacungkan tangannya,”kenapa kita harus berkelompok?”

Para anggota lagi-lagi dibuat terkejut oleh pertanyaan Jiyeon. Banyak di antara mereka mencemooh gadis itu tanpa bersuara. Memang sejak awal, Jiyeon selalu diremehkan karena hanya dirinyalah yang tidak berpengalaman. Akan tetapi, Jongin tidak begitu, pemuda itu justru menaggapi pertanyaan Jiyeon dengan serius. Bahkan Hyoyeon—sang pelatih—pun berekspresi sama seperti Jongin.

 “Jiyeon, katakana apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu?”Hyoyeon malah balik bertanya.

Jiyeon berpikir sejenak sebelum menjawabnya,”Aku hanya berpikir bahwa Pelatih Kim menjebak kita.”

“Lalu?”

“Karena dalam menari bersama kita harus memiliki emosi yang sama dan saling percaya. Tapi kalau penilaiannya individu, itu artinya kita akan saling melawan dan bertindak egois satu sama lain. Dengan begitu kita semua akan kalah, apa memang dari awal Pelatih Kim tidak berniat memilih perwakilan dari kami? Itu yang ada dalam pikiranku.”

Jongin menganguk-nganguk kecil, tanda setuju. Sepertinya sejak tadi ia juga memikirkan hal yang sama seperti gadis ajaib ini. Hyoyeon memberi tepuk tangan untuk Jiyeon.

“Memang itu tujuanku, kau luar biasa Park Jiyeon. Di saat yang lain hanya bisa diam memperhatiakanku, kau justru mencerna setap ucapanku. Aku tidak akan menjelaskan apapun, kalian harus bisa mencari jawabannya sendiri. Kalau sudah ketemu, pasti kalian akan menemukan cara untuk melewati jebakan dariku ini.”

Para anggota yang diam-diam mencemooh Jiyeon tadi, hanya bisa diam memikirkan apa yang baru mereka sadari. Jiyeon memang tidak berpengalaman dibandingkan mereka, tetapi gadis ini memiliki penalaran yang bagus. Ia tidak bisa diremehkan begitu saja.

“Kompetisinya diadakan tanggal 25 November di Auditorium 1 SMA Jaeguk. Kalian bebas menampilkan apapun saat kompetisi, sekarang aku akan membagi kelompoknya. Setelah itu, kalian boleh langsung pulang. Joon dengan Kwangin, Hani dengan Minho, Mino dengan Taeyong, Jongin dengan—”

Jiyeon, Jiyeon, Jiyeon, doa Jiyeon dalam hati.

“—Jiyeon, Hyosung dengan Yeonhee…”

Jiyeon tertegun, masih menatap Hyoyeon. Ia tidak menyangka, bahwa doanya akan langsung terkabul. Terima kasih Tuhan, sukurnya sambil memejamkan mata.

.

.

.

Dingin mulai menghapus daun-daun yang gugur, namun langit belum juga menurunkan saljunya. Jongin duduk memperhatikan orang-orang yang melintas di hadapannya. Tidak mengeluh, apalagi merasa bosan. Selama apapun menunggu gadis itu, bukan masalah baginya. Jongin justru menikmatinya. Ah-choo. Suara bersin, membuat pemuda itu menoleh.

Jiyeon tersenyum, lalu menyapa Jongin,“Annyeong.”

Annyeong,”Jongin ikut tersenyum.”duduklah!”

“Sedang apa, di sini?”tanya Jiyeon, berusaha memulai percakapan setelah duduk di sebelah Jongin.

“Menunggu, kau sendiri?”ucap Jongin sekenanya.

“Aku juga,”Jiyeon menoleh pada Jongin. Tidak disangka, pemuda itu masih menoleh ke arahnya. Deg. Deg. Deg. Jantunya mulai beraksi lagi, tapi kali ini Jiyeon sudah mulai terbiasa.

Ah-choo. Kembali mengulang bersinnya, membuat Jiyeon salah tingkah. Apalagi saat itu, wajahnya dengan wajah Jongin saling berhadapan. Sungguh merusak suasana saja. Ah-choo. Ah-choo. Ah-choo. Bersinnya makin menjadi-jadi. Angin memang tengah berhembus lumayan kencang. Jongin melepas syal yang melingkar di lehernya, kemudian memasangkannya di leher Jiyeon.

“Lain kali, tutupi juga lehermu!”Jiyeon tak mampu merespon, hanya tatapan bertanya-tanya yang Jongin dapat. Tiba-tiba,“Kajja!”ajak Jongin sambil menarik tangan mungil Jiyeon, tanpa permisi.

Genggamannya yang kuat dan hangat, membuat Jiyeon tak mampu menolak. Hati yang begitu bahagia, membuat Jiyeon melupakan segalanya. Gadis ini bukan hanya diajak berkeliling Lotte World, tetapi juga menaiki berbagai wahana yang ia suka bersama Jongin. Sampai akhirnya berakhir duduk di bangku kayu itu lagi. Mereka menikmati kopi hangat bersama.

Omo?”Jiyeon menepuk kepalanya sendiri.

Waeyo?”tanya Jongin santai, lalu menoleh pada Jiyeon. Saat itu, Jongin bisa melihat dengan jelas raut muka Jiyeon yang dihantui rasa bersalah.

“Jongin, bukankah kita tadi sedang menunggu?”Jiyeon mulai terlihat panik, ia pun menoleh pada Jongin. Sehingga tatapan mereka saling bertemu kini.

Jongin menurunkan tatapan ke kopi hangat miliknya,”Hmm.”lalu menganguk.

“Mungkin saat ini, mereka sedang mencari kita. Aku harus pergi.”Jiyeon langsung beranjak dan pergi begitu saja tanpa meminta persetujuan dari Jongin. Sampai tanpa sadar ia menjatuhkan kopi, yang bahkan belum sempat ia minum.

.

.

Jiyeon berdiri di tengah keramaian sambil mengatur nafasnya, ia bersukur karena berhasil menemukan Myungsoo. Pemuda yang ia cari itu, sedang berdiri bersama seorang gadis. Meski posisi Myungsoo membelakanginya, Jiyeon hafal benar dengan pakaian dan model rambut pemuda itu. Perlahan Jiyeon berjalan semangkin dekat dengan nafasnya yang masih terengah-engah.

Oppa.”panggilnya. Namun, suara keramaian menenggelamkan suara panggilan itu. Myungsoo tidak menoleh sedikitpun.

“Myungsoo Op—“

Belum sempat Jiyeon menyelesaikan panggilannya kali ini, ia terkejut melihat seseorang yang membalikan badannya hanya dengan satu tarikan tangan. Semua pergerakan di dunia seakan berhenti, hanya kedua nafas yang saling beradu ini menyadarkan Jiyeon bahwa ia dan pemuda di hadapannya ini tidak ikut berhenti.

Mian.”

Kata singkat yang keluar dari bibirnya membuat Jiyeon semangkin tidak mengerti dengan situasi ini. Apalagi ciumannya yang menyerang sekarang. Lembut dan dalam. Jiyeon sungguh tidak menyangka bisa merasakan sentuhan bibir Jongin secepat ini. Begitupun Myungsoo dan Soojung yang menyaksikan itu.

-To Be Continue-

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK