home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > MOONLIGHT

MOONLIGHT

Share:
Author : AmaliaChimo
Published : 22 Dec 2015, Updated : 26 Nov 2016
Cast : Kim Jongin - Park Jiyeon - Jung soojung - Kim Myungsoo
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |2743 Views |1 Loves
MOONLIGHT
CHAPTER 2 : "Ada Apa Denganmu?"

Iringan organ. Suara yang merduh. Lagu Over The Rainbow. Terdengar sangat indah. Semua seakan berada di negeri dongeng. Menjadi sosok penonton dalam opera si suara emas—Sojung. Bahkan sang pangeran tampan—Myungsoo—terpana melihatnya. Mereka begitu menikmatinya. Tepuk tangan seisi ruangan musik ini pun menyambut berakhirnya suara merduh itu. Iringan piano Woohyun ikut berakhir.

"Suaramu sangat bagus, Soojung-sii. Aku menyukainya."

Pujian yang keluar langsung dari mulut sang pangeran alias ketua klub musik SMA Jaeguk ini, membuat Sojung hanya mampu tersenyum lebar dengan pipinya yang memerah padam.

"Aku setuju, suaramu sangat bagus."kini Hoya yang bersuara.

Myungsoo dan Hoya duduk di barisan bangku paling depan, yang berhadapan langsung dengan Sojung. Di barisan-barisan belakang ada sekitar 30 lebih anggota baru klub musik, termasuk Jieun yang tersenyum kagum dari sana. Sementara di sekitar Sojung, tersusun berbagai jenis alat musik—salah satunya piano yang dimainkan Woohyun.

"Kamsa hamida, sunbae."ucap Sojung akhirnya, setelah berhasil menetralkan detak jantung yang sejak tadi menggangunya—akibat tatapan menawan pangeran Jaeguk itu. Tes bakat pun dilanjutkan ke anggota baru lainnya. Giliran yang memainkan alat musik.

.

.

"Sepertinya, Sojung sangat cocok menjadi vokal utama bersamamu, Myung. Kau, menyukai suaranya kan?"kata Hoya memastikan dugaannya sambil merengkuh bahu Myungsoo. Tepat pada saat itu, Woohyun meliriknya tanpa ekspresi.

Mereka bertiga bersama-sama tengah menuju parkiran motor. Myungsoo berjalan di antara Hoya dan Woohyun.

Myungsoo terlihat masih menimbang jawabanya,"Soal itu, masih aku pikirkan. Suara Jieun dan Wendy juga tidak kalah bagus."katanya setelah 30 detik berlalu.

"Jieun yang lebih cocok menjadi vokal utama—"Myungsoo dan Hoya menoleh pada seseorang yang mengutarakan kalimat itu—Woohyun,"—dia memiliki suara sopran yang cocok untuk mengimbangi suaramu, Myung."sambungnya tenang dan santai.

Selanjutnya Hoya memutar bola mata ke arah lain sambil sedikit memiringkan kepalanya, sementara Myungsoo hanya menganguk-nganguk. Parkiran yang sepi, membut motor ketigannya terlihat menonjol. Sebelum ketiga motor itu dibawa melaju kencang, Myungsoo memilih pamit.

“Kalian duluan saja, aku ada urusan. Berhati-hatilah!”

Belum sempat mendapat penghakiman dari kedua sahabatnya, Myungsoo sudah lebih dulu melesat bersama motornya.

“Siapa yang duluan? Bahkan, aku belum memakai helem.”komentar Woohyun sambil memandangi kepergian Myungsoo masih tanpa ekspresi.

Hoya menyeringai,”Kau mau bertaruh? Aku yakin, kali ini Myungsoo yang akan patah hati.”katanya yang berhasil membuat Woohyun menoleh.

Menerka urusan pribadi orang lain bukanlah gaya Wohyun, sekalipun itu sahabatnya. Hubungan darah saja kadang memiliki batasan, apalagi persahabatan. Akan tetapi, alasan mengapa Hoya tiba-tiba berkata seperti itu yang membuatnya penasaran. Sampai sebelah mata Hoya berkedip menyambutnya. Menjijikan. Rasa penasaran itu pun langsung lenyap seketika.

“Ramalanmu selalu salah.”sanggah Woohyun sambil memakai helemnya.

“Tidak untuk yang ini, kau harus membayarku.”Hoya menepuk bahu Woohyun dengan penuh keyakinan, lalu tersenyum misterius. Senyuman itu pun terbang bersama motor mereka yang melaju kencang.

.

.

Apartment. Pintu nomor 299. Jongin menekan enam digit angka sebagai password-nya. Setelah terdengar bunyi ‘bib’, ia baru mendorong pintu di hadapannya itu. Perlahan-lahan kakinya melangkah ke dalam. Aroma alkohol mulai mengganggu indra penciuman dan juga pikirannya. Suasana seperti ini memang sudah menjadi ciri khas setiap ia datang ke tempat ini, namun rasa khawatir itu tidak bisa benar-benar hilang dari dirinya. Meski begitu, menurutnya tempat ini jauh lebih nyaman dibandingkan rumah peria malaikat itu.

Sampai di ruang utama. Jongin disambut dengan berbagai jenis barang milik wanita yang bertebaran di mana-mana. Sepasang High heels warna emas. Kemeja. Rok. Celana. Pakaian dalam. Dan masih banyak lagi. Dengan menghela nafas panjang Jongin memungutinya satu-persatu, sambil berjalan mendekati wanita cantik yang tertidur di atas sofa bersama botol alkohol di dalam pelukannya. Gerakan pemuda itu sangat lambat dan tanpa suara. Ia menumpuk seluruh benda yang dipungutnya di atas meja—menemani botol-botol alkohol kosong yang sudah sejak tadi menjadi hiasan di sana.

"Jongin, eomma merindukanmu."

Wanita cantik yang masih bergaun pesta dan make up tebal itu menyebut nama ‘Jongin’ dalam igauannya, dan itu terjadi terus-menerus. Tapi sang pemilik nama tidak menunjukan reaksi apapun, Jongin terlihat biasa saja. Hanya tidak ada yang tahu, di dalam hatinya ia justru merasakan hal yang sama. Sangat merindukan sosok wanita itu. Dengan sangat hati-hati Jongin menyingkirkan botol alkohol dari pelukan wanita itu. Kemudian, mengangkat tubuh langsing wanita itu. Jongin membawa wanita itu ke dalam kamar, lalu membaringkannya di atas kasur. Ia pun ikut berbaring di sana, bersama wanita yang tak lain adalah ibunya.

Dari atas kasur, pandangan Jongin mengarah ke langit-langit kamar ibunya yang berwarna putih bersih. Sebelah tangannya, ia jadikan sebagai bantal dan sebelahnya lagi ia pakai untuk menggengam tangan ibunya yang hangat.

---"Jongin, sepertinya aku menyukai Myungsoo sunbae, dia sangat tampan.”

Pengakuan Sojung waktu itu, lalu anggukan malu-malunya setelah kepergok tengah memandangi Myungsoo. Membayang di atas sana. Kemudian, berlanjut ke percakapan yang tak sengaja terdengar olehnya di kantin.

---"Tentu saja tidak, lihatlah ke belakang!"

---“Aigo, ternyata kau sungguhan menyukainya.”

Semuanya lagi-lagi berputar seperti kaset rusak, bersamaan dengan ingatannya tentang adegan di halte dekat sekolah tadi sore.

Jongin yang baru saja keluar dari gerbang sekolah dengan mengendarai motornya, tidak sengaja memergoki Myungsoo bersama seorang gadis. Jarak keduanya yang terlampau dekat, membuatnya seolah-oleh terlihat akan berciuman.

“Jongin, aku lelah sekali. Meskipun tes menyanyi tadi berjalan sesuai harapan, keadaanku tidak juga berubah sepenuhnya. Semua menjadi lebih buruk karena katak pem—“

"Bersandar dan tidurlah di pinggungku!"seru Jongin memotong perkataan Sojung yang duduk di belakangnya.

Saat itu, satu tangan Jongin langsung menarik pergelangan tangan Sojung, sementara tangannya yang lain bergerak  menancap gas motor lebih cepat. Sampai-sampai wajah Sojung sempat membentur punggunnya, gadis itu pun terlihat agak terkejut sebelum akhirnya benar-benar menyandarkan kepala dan memejamkan kedua matanya di sana. Motor Jongin pun melintasi halte dengan mulus. Ia berhasil mengecoh perhatian Sojung.

"Eomma, sepertinya sifat peria malaikat itu telah menular padaku."senyum pahit menghiasi wajah manis Jongin.

.

.

"Tidak bisa dipercaya, Jieun meningalkanku lagi kali ini."gerutu Jiyeon di bawah halte bus—sendirian.

Berkali-kali Jiyeon mengecek layar ponsel, yang menampilkan pesan dari Jieun. Percuma saja, isi pesan itu tidak juga berubah.

Jiyeon, mian. Aku harus cepat-cepat pulang, perutku sudah tidak kuat menunggumu. Hehe..

“Cepat pulang? Bukannya, klub musik dan klub tari selesai di jam yang sama. Alasan saja.”

Pada akhirnya Jiyeon hanya bisa berdecah, sambil terus menunggu bus tujuannya yang tidak kunjung datang. Sampai suara kelakson membuatnya menoleh. Myungsoo dan motornya sudah berada di samping halte itu.

"Naiklah!"ajaknya.

"Ahh, tidak perlu oppa. Aku naik bus saja, tanggung kan sudah duduk di sini. Hehe.."tolak Jiyeon sambil sesekali tersenyum, berusaha tidak menyingung perasaan Myungsoo.

"Baiklah."

Kali ini Myungsoo tidak memaksa dan juga tidak langsung pergi dari tempat itu. Ia malah  memilih turun dan duduk di samping Jiyeon, setelah selesai memarkirkan motornya di samping halte.

"Aku akan menemanimu di sini."

"Tidak per—“

"Jangan menolak lagi! Aku sudah terlalu lelah memaksamu."gurau Myungsoo meringankan suasana yang terkesan agak canggung itu. Jiyeon pun tertawa renyah dibuatnya.

Myungsoo terhipnotis dengan tawa yang diciptakan gadis itu, ia tidak sanggup mengalihkan pandangannya ke arah lain. Seakan-akan hanya Jiyeon satu-satunya pemandangan yang indah. Menurut Myungsoo, senyuman gadis itu seperti matahari yang memberinya energi.

"Aaaaaa..."

Tiba-tiba Jiyeon berteriak sekaligus menghempaskan tubuhnya ke arah Myungsoo. Alhasil, posisi mereka seperti sepasang kekasih yang tengah berpelukan. Entah teriakan dan gerakan itu, disadari atau tidak oleh Jiyeon. Yang pasti, raut mukanya terlihat ketakutan sekali.

"Kk-au ken-napa, Jiyeon-aa?"tanya Myungsoo, yang tentu saja sulit menghindari rasa gugupnya.

"I-itu d-di ba-wah-ku op-pa!"jawab Jiyeon terputus-putus sambil memejamkan matanya rapat-rapat.

Myungsoo yang terlihat makin mendekap Jiyeon mengarahkan bolah matanya sesuai arahan gadis itu. Ternyata ada seekor katak hijau dengan bercak warna-warni di bawah sana. Entah dari mana katak selucu itu berasal. Hampir saja Myungsoo tertawa menyadari sumber ketakutan gadis yang membuatnya jatuh cinta ini, namun dengan pasti ia tepis hasrat menyesatkan itu.

"Jadi katak ini penyebabnya."Jiyeon buru-buru mengangukan kepala.

Senyum merekah di wajah Myungsoo. Sepertinya, ia sudah tidak perduli lagi dengan suara detak jantungnya yang semakin kencang atau dengan sekujur tubuhnya yang terasa seperti tersengat listrik. Karena yang terpenting, bagaimana caranya menjadi superhero buat Jiyeon. Kekanak-kanakan sekali.

Kaki berbalut sepatu berwarna biru tua itu menghentak-hentak ke bawah, lalu menendang-nendang kecil,“Huss..Husss..!"usir Myungsoo pada si katak hijau.

"Kataknya sudah pergi,”katanya setelah berhasil mengusir katak itu. Jiyeon yang menghembuskan nafas lega, tanpa kendali nafas itu menerpa leher Myungsoo. Pemuda itu merinding dibuatnya.

Saat Jiyeon mendongak, ia mendapati wajah Myungsoo yang sangat dekat dengannya dan sepasang mata pemuda itu yang terus menatapnya. Dengan susah payah Myungsoo menepis pikiran kotor yang muncul akibat pesona gadis ini. Akan tetapi, Jiyeon sama sekali tidak peduli, karena sesungguhnya sorot mata gadis itu bukan mengarah pada Myungsoo, melainkan pada sosok pengendara motor yang baru saja melintasinya. Sekilas, sebelum pengendara motor itu menutup kaca helem, dalam detik waktu itulah mereka saling bertukar pandang.

"Jongin... Kim Jongin... Ne, aku yakin itu dia—"lintas ingatan Jiyeon berakhir saat kata-kata itu, memberi keyakinan penuh padanya."—tapi, kenapa dia terus menatapku seperti itu?"tanyanya kini entah pada siapa.

Langit-langit kamarnya yang ditempeli bintang-bintang, seolah-olah memunculkan wajah Jongin bersama dengan tatapan pemuda itu. Tanpa sadar Jiyeon terus hanyut dalam bayangan yang dibuatnya sendiri.

"Jiyeon! Jiyeon-aa turunlah! Makan malamnya sudah siap."

Teriakan ibunya yang seperti halilintar, membuat ia tersentak kaget. Sambil mengelus-elus dadanya sendiri, Jiyeon bangkit dari kasurnya yang empuk dan langsung berlari keluar kamar. Menuruni tangga. Sampai di meja makan. Sudah ada kedua orangtuanya di sana.

.

.

.

Knop pintu bertuliskan 'Lab. Science' itu terbuka dengan sekali putaran yang Jiyeon berikan. Ia masuk bersama Jieun dengan mengunakan jas putih—mirip-mirip jas dokter pada umumnya. Mereka pun meneruskan jalannya menuju Sojung dan Luna yang sudah berada di hadapan kotak persegi berbahan beling itu. Di dalam kotak tersebut, terdapat hewan yang bentuknya mirip kadal, namun kulitnya terlalu licin untuk disebut kadal. Salamander namanya.

"Waah, binatang yang sangat lucu."dengan sangat antusias Jieun memperhatikan binatang itu,"aku menyukai warnanya yang unik."

Sojung dan Luna tertawa kecil, melihat ekspresi kekaguman Jieun terhadap binatang itu. Tapi, lain hal dengan Jiyeon yang sejak tadi lebih memilih diam. Lirikan mata Sojung menangkap perasaan tertekan yang tersirat di wajah teman barunya itu.

"Jiyeon-aa, gwenchanayeo?"tanya Sojung yang mulai khawatir akan sikap Jiyeon.

"hmm, gwenchana."

"Tapi, kau tidak terlihat baik-baik saja. Apa ada sesuatu yang menggangumu?"

"Karena banyak yang membawa katak, agak sulit buat Jiyeon menerimanya. Dia fobia dengan hewan amfibi itu."kata Jieun yang sudah mengalihkan perhatiannya dari salamander, sambil menyenggol lengan Jiyeon. Akhirnya, dengan terpaksa Jiyeon menganguk.

"Omo? Kenapa tidak mengatakannya sejak awal—"Luna terkejut mendengarnya,"—hampir saja  kita menggunakan katak milik Sojung."

"Mian, aku hanya tidak mau membebani kalian dengan rasa takutku ini, lagi pula aku harus mulai mencoba untuk melawannya."kata Jiyeon agak ragu.

Sojung tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Jiyeon, ia mencoba untuk memberi ketenangan kepada gadis itu.

"Rasa takut adalah hal yang alamiah, setiap orang pasti memilikinya. Lain kali santai saja, kita kan temanmu!"katanya lalu tersenyum lagi. Jiyeon pun membalasnya.

Dia cukup dewasa, untuk orang seusianya, batin Jiyeon.

Ketika Guru Im masuk, seluruh murid di dalam laboratorium berhenti bersuara. Mereka sudah siap dengan hewan amfibi masing-masing. Guru Im memberi pengarahan sedikit. Sekarang waktunya penelitian tentang adaptasi hewan amfibi dimulai. Sojung sebagai pemimpin dalam kelompoknya. Sementara Jiyeon mencatat, Luna dan Jieun mengikuti arahan Sojung. Kelima gadis cantik itu terlihat kompak sekali.

.

.

"Sudah kuduga, kita akan mendapat nilai tertinggi,"ungkap Jieun diselah-selah menyantap makanannya,"ini berkat kau Sojung-aa."

"Anniya, ini berkat kita semua."ia menebarkan senyuman lebar ke sekelilingnya. Jiyeon yang duduk berhadapan dengan gadis itu sekilas tersenyum membalasnya.

"Aku penasaran, kalau tidak salah dengar tadi Luna bilang 'hampir saja kita menggunakan katak milikmu’. Kau memelihara seekor katak, Sojung-aa?"

Tiba-tiba saja ingatan tentang pembicaraan soal katak sebelum praktikum dimulai, terlintas di pikiran Jiyeon. Ia cukup heran dan penasaran, sepengetahuannya belum ada orang yang memilih hewan pliharaan semenjijikan itu.

"Ne, aku memang memeliharanya."lagi-lagi Sojung menebar senyum, sementara Jiyeon makin terheran-heran dibuatnya,"Dari kecil aku menyukai suara katak dan sering sekali menirunya. Karena itu aku mendapatkannya di hari ulang tahunku."ceritanya sedikit.

"Kurasa kita jodoh."kini Sojung yang memasang tampang heran,"Ketika ada katak disekitarku, kau bisa menangkapnya untukku,"berakhirnya kalimat Jiyeon, membuat keduanya tertawa bersama. Ternyata itu hanya candaan di sela-sela makan siang mereka, tapi tidak untuk Jieun dan Luna yang terlihat makin fokus menyantap makanan masing-masing.

"Kebetulan, katakku hilang kemarin. Jadi, kalau ada katak menggangumu, katakan saja."

"Hilang?"

Sojung mengangguk,"Hmm, katakku kabur saat aku akan memindahkannya ke kotak kaca di Lab. Science kemarin. Makanya, digantikan dengan salamander oleh Luna, kau beruntung."

Tidak ada yang salah dari raut wajah dan nada bicara Sojung saat mengatakannya, ia masih saja menebar senyuman manisnya. Akan tetapi, Jiyeon tetap merasa prihatin, ia seperti bisa merasakan kesedihan yang tersirat dari sinar matanya. Ternyata seekor katak bisa menjadi penting bagi sebagian orang. Contohnya Sojung.

"Katak itu pasti dari orang yang sangat penting untukmu."tepat saat Jiyeon memberi kesimpulan begitu,"Sojung-aa,"panggilan seseorang membuat Sojung mendongak. Melihat pandangan mata Sojung, Jiyeon mengikuti arah pandang itu—ia menoleh ke belakang. Yang tertangkap oleh Jiyeon hanya seragam SMA Jaeguk. Saat kepalanya juga ikut mendongak.

"Bisa tidak, sehari saja kau tidak menyusahkanku?"

Ia melihat senyuman di sana. Kim Jongin. Pemuda itu tersenyum. Sesuatu di dalam dada Jiyeon bergemuruh. Perlahan mata Jiyeon semakin membesar, karena menyadarinya. Sudah lama ia tidak merasakan sensasi seperti ini.

"Yaa, gomawoyeo."sahut Sojung setelah membalas seyuman Jongin dengan ekspresi jijiknya. Lalu meraih sebotol air mineral yang terulur dari tangan pemuda itu.

Dari sekian banyak kelebihannya, Sojung kerap kali ceroboh dan melupakan hal-hal kecil yang menyangkut dirinya. Seperti saat ini. Bersyukur, Jongin selalu ada untuknya.

"Vitaminnya juga jangan sampai lupa!"

"Ne, halmeoni."sindir Sojung lalu berdecah.

Yang disindir malah berkedip nakal, sebelum akhirnya berbalik dan pergi. Jiyeon masih terus memperhatikan pemuda itu.

Selesai dengan Jongin, pandangan mata Sojung menemukan Jiyeon yang mematung dengan posisi menoleh ke belakang.

"Jiyeon-aa."panggilnya. Namun, Jiyeon tidak juga merubah posisinya.

"Jiyeon!"panggilnya lagi.

Bingung dengan tingkah Jiyeon, Sojung mengikuti arah pandangnya. Ia tersenyum tipis , seolah-olah telah berhasil mengetahui sesuatu.

"Jiyeon!"kini Jieun yang memangil Jiyeon dengan sedikit senggolan di bahunya.

"Ahk."

Teriakan Jiyeon yang lumayan besar itu, membuat Sojung, Jieun, dan Luna menertawainya. Jiyeon berdecah sambil menggelengkan kepalanya cepet-cepat, sebelum akhirnya ia berbalik dan berhadapan langsung dengan tawa itu.

"Ada apa denganmu? Akhir-akhir ini, kau sering sekali melamun,"sindir Jieun disela-sela tawanya. Jiyeon tak menjawab.

.

.

.

Alunan musik biola mendamaikan suasana hening di sini. Toko buku. Myungsoo berdiri di hadapan deretan buku-buku yang terlalu malas untuk ia mengerti. Datang ke tempat seperti ini, bukanlah rutinitas seorang Kim Myungsoo. Meskipun ia masuk kategori murid pintar, ia bukanlah seorang maniak buku yang mengikrarkan toko buku atau perpustakaan sebagai rumah keduanya.  Myungsoo memiliki cara tersendiri dalam belajar, mendengar penjelasan guru lebih menarik ketimbang harus membaca ribuan buku—menurutnya. Karena itu, kalau bukan karena permintaan ibunda tercinta, jangan harap bisa melihat Myungsoo barang 5 menit saja mengindahkan tempat ini.

"Aishh, kenapa mencari satu buku saja susahnya seperti mencari air digurun sahara."gerutunya asal sambil mengacak rambut frustasi.

"Sunbaenim?"

Karena merasa terpanggil, Myungsoo menoleh ke samping kanan. Benar saja, ada senyuman yang menyambutnya di sana. Berasal dari Sojung.

"Annyeong, sunbae."

"Ah, kau Sojung kan?"Sojung menganguk masih tetap tersenyum,"annyeong."Myungsoo pun membalas senyumanya.

"Sunbae, kau sedang mencari buku apa?"tanya Sojung setelah melirik sebentar ke rak, yang mendapat sentuhan dari tangan putih Myungsoo.

Kehamilan. Itu yang dibaca Sojung dari sisi rak tersebut. Ia ragu Myungsoo benar-benar tertarik dengan hal-hal semacam itu. Myungsoo kan bukan seorang ayah apalagi wanita hamil.

"Buku resep masakan Italia pesanan ibuku. Kau sendiri?"

Myungsoo kembali sibuk mengedarkan padangannya ke rak di hadapannya. Sementara Sojung menyembunyikan tawa kecilnya melihat ekspresi Myungsoo yang terlihat sangat serius itu.

"Sebaiknya Sunbae ikut denganku, kalau terus di situ, bisa dikira sudah menikah nanti."katanya lalu menepuk bahu Myungsoo,"Kajja!"

"Kehamilan."baca Myungsoo sangat pelan,"Aishhh."lalu menepuk kepalanya sendiri. Akhirnya mata pemuda itu bisa menangkap bacaan yang sejak tadi tidak ia sadari.

Penyesalan membuat Myungsoo merasa konyol. Seharusnya ia membaca keterangan dan judul buku-buku di hadapannya ini sejak awal. Mengelilingi toko buku yang luas ini, membuat kepalanya pusing, sampai-sampai ia melupakan hal sedasar itu. Mengekor pada adik kelasnya ini adalah pilihan yang tepat.

.

.

"Gomawo buat bantuannya. Aku tidak terbiasa datang ke toko buku, jadi kebingungan seperti tadi, untung ada kau."pembelaan Myungsoo yang berakhir dengan cengiran tampannya. Sojung tersenyum.

Banyak sekali yang Myungsoo lupakan tadi. Seharusnya ia bisa mengandalkan komputer atau pekerja di toko buku itu untuk mencari buku pesanan ibunya. Untunglah ia bertemu dengan adik kelasnya yang satu ini. Kalau tidak, entah harus sampai kapan ia berkutat dengan buku-buku yang banyaknya tak terhingga itu.

"Hmm, Sunbae bantuanku itu tidak cuma-cuma—"tiba-tiba Sojung menghentikan langkahnya. Membuat Myungsoo mau tidak mau juga ikut berhenti.

Tepat di depan pintu kaca toko buku itu, mereka berdua berdiri. Saling bertukar pandang. Angin sore berhembus ke arah mereka, membuat rambut pendek Myungsoo menari-nari dan rambut panjang Sojung terbang dengan indah. Tring. Ring. Gantungan pintu berwarna perak yang memantulkan bias cahaya matahari itu, mengirim alunan musik.

"—sebagai gantinya boleh aku memangil Sunbae dengan sebutan 'Oppa'?"inilah kata-kata selanjutnya yang membuat Myungsoo jadi tertawa.

Mata Sojung membesar dan pipi putihnya memerah—menyerupai warna ceri matang. Gadis itu merasa malu. Apa Myungsoo menilainya terlalu percaya diri atau berlebihan, hingga menertawainya seperti itu? Sungguh ini benar-benar menggangu pikiran Sojung. Lebih dari soal-soal ujian di seluruh negeri, Myungsoo yang paling sulit menurutnya. Tidak ada satu buku pun yang dapat menjelaskan tentang kakak kelasnya yang tampan ini.

"Kau lucu sekali. Asal usiamu tidak sepantar dengan Halmeoni-ku tentu saja kau boleh memanggilku 'Oppa'."Myungsoo mengacak rambut Sojung, lalu tersenyum lebar setelah mengakhiri tawanya.

Sore itu berakhir menyenangkan, dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Sojung diantar pulang oleh Myungsoo. Keberuntungan hari ini, akan ia tandai dengan stabilo warna pink. Menjadi susunan kalimat yang akan terus ia ingat. Berharap keajaiban cinta berpihak padanya lagi.

.

.

.

Untuk pertama kalinya, tumpukan buku tak sanggup membuatnya berkonsentrasi. Sesekali ia tersenyum, bahkan tertawa kecil sendirian. Selanjutnya ia akan berdehem, sampai kegilaan itu hilang untuk sesaat.  Sambil berjalan mendekat, Jongin keheranan melihatnya. Gadis yang duduk bersama buku-bukunya di salah satu bangku taman SMA Jaeguk ini, sepertinya belum menyadari akan kehadiran Jongin.

“Kau sakit?”tanya Jongin sambil menempelkan punggung tangannya pada kening Sojung, yang kini mengekspresikan keterkejutannya. Sahabatnya ini sudah duduk saja di sebelahnya,”Kau tidak lupa membawa atau meminum vitaminmu kan?”duga Jongin.

“Iss, aku baik-baik saja.”Sojung menyingkirkan tangan Jongin dari atas keningnya,”Lihatlah! Wajahku begitu segar, aku sangat sehat hari ini.”kata gadis itu lalu tersenyum semanis mungkin.

Jongin meraih wajah Sojung dengan kedua telapak tangannya yang menempel di kedua sisi pipi gadis itu,”Benar, kau tidak terlihat pucat sama sekali—”ia memperhatikan setiap detail wajah Sojung,”—kau..”kalimatnya menggantung setelah kata itu.

Wae?”tanya Sojung santai sambil menatap sepasang mata pemuda itu, demi mencari tahu kelanjutan kalimat darinya.

Deg. Deg....semangkin cantik Soojung-aa, Jongin menjawabnya dalam hati. Berpapasan mata di jarak sedekat ini dengan Sojung membuat jantungnya semakin tak terkendali. Pemuda itu selalu menikmati saat-saat seperti ini, namun dengan terpaksa ia harus selalu mengakhirinya. Karena kalau tidak, bukan hanya jantungnya saja, tapi seluruh bagian dirinya akan sulit ia kendalikan. Dengan segera Jongin memalingkan wajahnya ke arah lain dan melepaskan kedua sisi pipi Sojung dari sentuhan lembut telapak tangannya.

“—kau terkena gangguan jiwa?”lanjutnya kikuk.

“Mwo? Apa maksudmu?”tanya Sojung dengan merekatkan sepasang alisnya, membentuk kerutan bingung.

“Tersenyum dan tertawa sendiri itu bukannya tanda-tanda orang sedang terganggu jiwannya, ada apa denganmu?”

Mendengarkan penuturan Jongin, membuat kerutan bingung itu merata tak meninggalkan bekas. Gadis ini memikirkan benar-benar makna yang tersampaikan ke dalam memori otaknya. Ada apa dengannya? Perlahan ia tersenyum.

“Rahasia, yang pasti hari minggu kemarin adalah alasannya. Aku jadi tidak sabar menunggu pengumuman besok, semoga saja yang terpilih sebagai vokal utama itu aku. Siapa tahu, ini akan menjadi jembatanku untuk bisa dekat dengannya.”penjelasan Sojung, membuat Jongin reflek menatap tajam sinar mata gadis yang kini berbinar-binar itu.

“Myungsoo?”Sojung menyengir sebagai jawabannya,“Apa hubungannya hari minggu kemarin dengannya?”kening Jongin mengkerut.

“Kan rahasia hehe..”ia yang tertawa dan menjulurkan lidahnya, untuk pertama kali tidak mengindahkan hati pemuda itu. Jongin hanya bisa mematung, semua ekspresi dirasanya akan serba salah.

Kajja! Kau harus membantuku mengembalikan buku-buku ini.”ajak Sojung selanjutnya sambil menyikut lengan Jongin. Kemudian, gadis itu merapihkan tumpukan buku-buku di sekitarnya.

Jongin bangkit dari duduknya, lalu membantu Sojung merapihkan buku-buku itu. Saat keduanya akan beranjak dengan masing-masing telah membawa tumpukan buku, tak disangka Jongin melihat sepasang insan yang sedang tertawa bersama.

 

---“Rahasia, yang pasti hari minggu kemarin adalah alasannya. Aku jadi tidak sabar menunggu pengumuman besok, semoga saja yang terpilih sebagai vokal utama itu aku. Siapa tahu, ini akan menjadi jembatanku untuk bisa dekat dengannya.”

 

---"Tentu saja tidak, lihatlah ke belakang!"

---“Aigo, ternyata kau sungguhan menyukainya.”

 

---"Jongin, sepertinya aku menyukai Myungsoo sunbae, dia sangat tampan.”

 

Ingatan itu,“Changkkaman!”sepontan menuntut Jongin untuk menahan Sojung yang akan membalikan tubuhnya.

Sojung pun tidak jadi berbalik, ia mendongak pada pemuda itu,“Hah?”singkatnya bingung. Tidak ada jawaban, pemuda itu hanya terus memandang lurus ke depan. Membuat Sojung sangat penasaran, akhirnya ia memilih untuk menoleh saja.

“Tetaplah menatapku!”bentak Jongin yang berhasil membuat Sojung benar-banar terkejut, ia lagi-lagi harus megikuti kata-kata pemuda itu,”Jangan menoleh kemanapun! Kau hanya perlu menatapku!”kali ini nada suranya melemah. Tatapan kedua pasang mata itu pun saling bersambut. Jongin dengan tatapan sendunya, sementara Sojung dengan tatapan tegangnya. Gadis itu baru pertama kali mendapat bentakan dari sahabatnya sejak SMP ini.

Beberapa menit berlalu, Jongin menghembuskan nafas panjang lalu kembali duduk di bangku kayu itu.

Mianhae.”singkatnya.

Gwenchana. Sebenarnya, tadi itu ada apa?”Sojung ikut duduk bersamanya.

“Sojung, ketika kita mencintai seseorang, itu artinya kita harus sanggup menangung segala risiko yang timbul. Yang paling menyakitkan adalah saat perasaan itu tidak berbalas, semakin dekat semakin kuat sakit yang kau rasakan. Kadang lebih baik berhenti, sebelum melangkah terlalu jauh.”

“Kau mengkhawatirkanku?”tanya Sojung menafsirkan maksud dari kalimat panjang itu,”Jongin, pemikiranmu terlalu jauh. Perasaanku ini hanya suatu gairah muda, aku akan baik-baik saja. Percayalah!”lalu tersenyum lebar setelahnya.

“Baiklah, jika kau merasa lelah bersandarlah di bahuku!”Sojung menganguk.

.

.

.

Gerakan-gerakan yang ditunjukan Hyejin di depan sana, membuat Jiyeon berkali-kali menggaruk kepalanya. Bukan karena gatal atau apa, tapi ia merasa kerepotan mengikutinya. Menjadi satu-satunya yang belum berpengalaman, membuat Jiyeon semakin tertantang. Aku pasti bisa, batinnya. Namun, tidak lama kemudia ia langsung terjatuh karena kurangnya keseimbangan ketika berputar.

“Akh.”

Entah karena suara teriakan Jiyeon yang kurang kencang atau memang suara speaker yang terlampau kencang, sampai-sampai tidak satu orang pun menyadarinya. Bisa tidak bisa, Jiyeon harus berdiri sendiri. Padahal kakinya terasa sangat sakit. Percobaan pertama gagal. Kedua gagal. Dan ketiga. Sesosok tangan menghentikan percobaannya. Jiyeon bernafas lega, akhirnya ada juga orang yang mau membantunya. Ia pun berhasil berdiri berkat bantuan orang itu.

“Bagaimana? Apa kakimu masih bisa digerakkan?”tanya orang itu pada Jiyeon yang masih memperhatikan kakinya.

“Entahlah, rasanya sakit se—“ucapan Jiyeon terpotong saat kepalanya mendongak. Orang yang menolongnya adalah Kim Jongin.

Tiba-tiba suasana berubah seperti malam tahun baru. Hatinya melompat-lompat bersama dengan kembang api yang menyala-nyala. Jiyeon merasa senang. Tatapan yang saling bertemu itu berlangsung sangat cepat, karena sang penolong langsung berjongkok untuk memeriksa kaki Jiyeon.

“Auww.”erang Jiyeon akibat sentuhan-sentuhan Jongin di kakinya.

“Sepertinya kakimu terkilir.”

Mwo?”

“Cepat kau bawa saja dia ke Ruang Kesehatan, kalau kalian terus di situ bisa menggangu konsentrasi anggota yang lain.”teriak Hyejin dari depan sana, setelah sebelumnya mengecilkan volume speaker-rnya.

Jiyeon yang mendengar itu, langsung mengnyerang Hyejin dengan tatapan tajamnya, lalu berdecah pelan. Ternyata sejak tadi, mereka memang sengaja tidak memperdulikanku, kejam sekali. Untungnya Hyejin tidak menyadari akan tatapan itu, ia kembali melanjutkan latihan.

Kajja!”ajak Jongin yang sudah memapah Jiyeon.

.

.

“Ini hanya untuk sementara, kau harus tetap memeriksakannya ke dokter.”kata Jongin setelah menyelesaikan perban di kaki Jiyeon. Petugas kesehatan yang sudah pulang, membuat Jongin harus menggantikannya memberi pertolongan pertama pada kaki kiri Jiyeon.

“Hah?”Jiyeon agak terkejut akan tatapan Jongin yang tiba-tiba saja mengarah padanya,”Ye, kamsa hamnida.”merasa kepergok memandangi pemuda itu, sejak tadi membuatnya salah tingkah. Kecangungan tengah menimpanya saat ini,”Untuk seorang murid biasa, kau cukup handal dalam memberi pertolongan pertama Jongin-sii.”katanya lagi—berusaha terlihat biasa saja.

Jongin menanggapinya dengan senyuman tipis,“Terlalu sering cedera, membuatku harus mempelajarinya.”

“Kau sering cedera?”Jongin menganguk.

Gerakan singkat itu, membuat Jiyeon agak kecewa. Padahal ia berharap mendapat jawaban yang panjang dari pemuda itu.

“Apa ada yang kau butuhkan lagi, Jiyeon-sii?”

“Kau..”

Kata singkat yang keluar tanpa permisi dari mulut Jiyeon itu, mengandung banyak arti. Membuat Jongin tak mampu untuk menanggapinya. Menyadari harga dirinya runtuh begitu saja, sekarang juga ingin sekali rasanya Jiyeon mengutuk dirinya sendiri. Mengapa di saat-saat seperti ini, penyakit-asal-bicara Jieun malah menular padanya. Menyesal kemudian tak ada gunanya.

“Hmm Jongin-sii, maksudku kau..ponselmu, boleh aku meminjamnya?”

“Semua ponsel kan tersimpan di dalam loker.”

Aigo, aku lupa,”Jiyeon menyengir bodoh sambil cepat-cepat memikirkan apa yang harus ia katakana selanjutnya,”kalau gitu, aku akan menggambil ponselku.”

Perlahan-lahan Jiyeon menurunkan kakinya dari atas kasur. Namun, belum sempat kedua kaki gadis itu benar-benar menapaki lantai, Jongin sudah lebih dulu menahan kedua bahunya. Jiyeon pun mendongak karena terkejut.

“Biar aku bantu.”

.

.

.

“Apa yang kau pikirkan ketika ada seseorang yang sering memandangimu dengan sepasang mata srigala?”

Dua minggu berlalu, setelah kejadian terkilirnya kaki kiri Jiyeon. Kini gadis itu sudah terlihat baik-baik saja, namun ada hal yang menggangu pikirannya. Ia merasa perlu cerita pada Jieun.

Jieun bergerak menopang dagu sambil berpikir sejenak, lalu berkata,”Tentu saja, aku akan lari untuk menghindarinya. Menyeramkan sekali, bisa saja dia itu siluman.”

Yaa, bukan itu maksudku,”Jiyeon langsung menjitak kening gadis yang duduk di hadapannya itu dengan sedikit bertenaga. Jieun pun mengelus-elus keningnya sambil meringis sebentar.

“Lalu?”

“Ada seseorang yang sering memandangiku, tapi aku belum pernah mengenal dia sebelumnya. Bukankah itu sangat aneh?”

“Apa sekarang kau sudah mengenalinya?”Jiyeon mengangguk.

“Dia seorang pemuda?”Jiyeon mengangguk lagi, kali ini sambil menerawang jauh entah ke mana.

“Myungsoo Oppa?”

“Bukan.”kata Jiyeon dengan tegas, lalu menatap Jieun. Ia heran, kenapa Jieun senang sekali menjodohkannya dengan kakak kelasnya itu.

“Berarti ada satu orang lagi yang menyukaimu, selain Myungsoo Oppa.”simpul Jieun akhirnya, membuat Jiyeon semakin menajamkan tatapannya pada gadis itu.

“Menyukai?”Jieun kini, yang menganguk mantap.

Entah kenapa anggukan itu membuat hatinya berbunga-bunga. Sepertinya musim semi akan singgah lebih lama di hati Jiyeon. Bayangan sepasang mata dengan banyak misteri di dalamnya itu pun, kembali menghantuinya.

“Jiyeon, sepertinya eomma membutuhkan bantuanku, aku tinggal dulu. Nde?”pamit Jieun. Setelah mendapat anggukan dari Jiyeon, ia langsung pergi dengan membawa-bawa nampan ke meja kasir. Penikmat topoki memang selalu banjir di hari minggu.

Tidak mungkin. Jiyeon menggelengkan kepalanya cepat-cepat, lalu menyantap Tteokbokki yang sejak tadi mengangur.

.

.

“Tteokbokki’s Mr. Lee.”

Motor Woohyun berhenti di pinggir jalan, karena kedua matanya berhasil menangkap plang yang baru saja ia baca itu. Ia yakin, ini Kedai Tteokbokki yang dimaksud oleh ayahnya. Akan tetapi, untuk memastikan ingatanya, Woohyun mengambil securik kertas yang ia simpan di dalam jaketnya. Nama dan alamat yang tertera di kertas itu sesuai dengan kedai ini. Tentu saja, ia tak mungkin salah.

Selesai memarkirkan motornya, Woohyun tertegun melihat Jiyeon yang baru keluar dari dalam kedai. Jiyeon? Awalnya pemuda ini agak ragu, namun pada akhirnya ia yakin kalau itu memanglah Jiyeon—ketika gadis itu benar-benar melintas di hadapannya. Melihat Jiyeon yang tidak menyadarinya, Woohyun pun memilih untuk lansung masuk kedai saja.

“Selamat datang di Tteokbokki’s Mr. Lee.”

Jantung Woohyun hampir saja lompat akibat suara yang menyambutnya itu, apalagi ia tidak menemukan wujud si pemilik suara. Sampai seseorng datang, dan membuatnya lebih terkejut lagi.

Yaa, Seulgi-aa suara cemprengmu itu bisa membuat semua pelanggan kabur.”si pemilik suara yang ternyata tingginya tidak lebih dari 100 cm ini, mendapat jeweran dari seseorang yang baru datang itu.

“Aauww, eonni!

Jowsonghamida.”kata seseorang yang baru datang pada Woohyun, dan,”Sunbae?”

-To Be Continue-

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK