“Jiyeon, kau yakin tidak akan berubah pikiran?”tanya Jieun memperingatkan bahwa lebih baik memilih klub musik dibanding klub tari.
Seperti sekolah pada umumnya SMA Jeguk juga memiliki kegiatan luar sekolah. Bagi murid baru, tentunya wajib untuk memilih kegiatan yang paling mereka minati, dan itulah yang sedang diperdebatkan oleh kedua gadis ini—Jiyeon dan Jieun.
“Ne, tentu saja aku yakin.”jawab Jiyeon masih dengan selembar formulir yang menjadi pusat perhatiannya sekarang.
“Aish, kita belum pernah terpisah sebelumnya. Kenapa tiba-tiba sekali kau ingin berlatih menari?”keluh Jieun yang lebih terdengar perotes di telinga Jiyeon, hingga membuat gadis pemilik nama lengkap Park Jiyeon ini terkekeh geli. Sahabatnya itu terlihat seperti anak balita yang merengek minta es krim, tapi sang ibu malah balik menasehatinya.
“Yaa, apanya yang lucu?”kini Jieun benar-benar memberi perotes pada Jiyeon, ia tidak terima melihat tawa renya sahabat karibnya ini, yang lebih terlihat seperti hinaan di matanya.
Jiyeon menghentikan langkahnya, ia mengalihkan seluruh perhatiannya kini pada Jieun yang juga ikut berhenti di sebelahnya,”Jieun, mianhae. Aku hanya ingin mencoba hal yang baru, seperti halnya dirimu yang suka bernyanyi aku juga sangat suka tantangan. Araseo?”
“Lantas kau membiarkanku sendiri?”tanya Jieun masih belum mau mengerti, ia memberi tatapan heran pada Jiyeon yang kini berhadapan dengannya.
“Ani, kita hanya terpisah bukan membiarkan satu sama lain sendiri. Aku yakin kau akan cepat bersosialisasi dengan yang lain, meski tanpa aku. Jadi, kau tidak akan pernah sendiri.”jelas Jiyeon meminta pengertian Jieun sekali lagi, namun sepertinya ada hal lain yang masih mengganjal dari embusan nafas panjang sahabatnya itu.
“Lalu bagaimana ini dengan Myungsoo oppa?”gumam Jieun setelahnya, ia tidak sadar akan perubahan raut muka Jiyeon karena kalimat paniknya itu.
“Jadi kau membujuku masuk klub musik karenannya?”tanya Jiyeon akhirnya, tidak habis pikir.
Sepontan Jieun membesarkan matanya di hadapan Jiyeon, ia sungguh merasa tidak enak hati. Bukan maksud gadis imut ini membuat Jiyeon salah paham. Namun, kalimat itu keluar begitu saja tanpa bisa ia kendalikan.
“Ah, aniya Jiyeon-aa. Itu hanya salah satu alasanku. Kemarin, aku bilang padanya kalau kau juga suka bernyanyi sepertiku, jadi pasti kau akan memilih kelas musik. Ta-tapi, tidak sepenuhnya seperti itu. Kita kan sudah terbiasa selalu bersama, melihat kau lebih memilih jalan yang lain, itu rasanya sangat aneh.”jelas Jieun akhirnya agak gugup.
“Ne, arasso. Sampaikan saja salamku padanya, dan kau harus bisa menerima kalau setiap orang pasti punya jalannya masing-masing. Kita akan tetap bersama meskipun di jalan yang berbeda. Nde?“
“Ne, ara.”
Di antara banyaknya murid yang berlalu lalang, Jiyeon dan Jieun kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas 10.1—kelas mereka.
.
.
Jendela yang letaknya paling pojok bergeser ke atas. Setelah berhasil menggerakannya, tangan itu beralih membenahi rambut pajang yang sebenarnya masih terlihat rapih. Selanjutnya indra pengelihatanlah yang beraksi, Jung Sojung memandang ke bawah sana. Dari jendela kelasnya yang terletak di lantai dua Sojung tersenyum begitu melihat tawa riang, Kim Myungsoo. Tanpa sadar, ada seseorang yang kini sudah berdiri di belakangnya.
Ia seorang pemuda berkulit coklat dengan tinggi jauh melebihi Sojung. Pemuda itu mempersempit jaraknya dengan Sojung, ia memilih posisi tepat di samping gadis itu. Sejak tadi iris mata pemuda ini tidak lepas dari sosok Sojung. Melihat seyum manisnya dengan sorot mata yang berbinar. Apa yang membuatnya jadi seperti ini? Pikir pemuda itu. Bola mata coklatnya pun mengikuti arah pandang Sojung.
Di bawah sana terlihat banyak sekali murid meramaikan halaman sekolah, tapi satu objek penyebab raut bahagia gadis itu. Ia sedikit ragu untuk mengakuinya, ia jadi teringat perkataan Sojung beberapa hari yang lalu. Saat pulang sekolah—di hari terakhir masa orientasi murid baru.
---“Jongin, sepertinya aku menyukai Myungsoo sundae, dia sangat tampan.”
Jongin mengangkat ujung bibir sebelah kirinya melihat Myungsoo yang tengah bermain basket bersama teman-temannya di bawah sana.
“Jadi, kau benar-benar suka padanya?”
Sojung terkesiap mendengar suara itu, ia menoleh ke samping dan sudah mendapati Jongin di sana,”Jongin? Sejak kapan kau sudah berdiri di sampingku?”tanyanya heran, ia tidak merasakan kehadiran Jongin. Jangankan kehadiran Jongin, suara bising teman-teman sekelasnya saja, tidak begitu ia sadari.
“Sekitar lima menit yang lalu,”jawab Jongin lalu membalas padangan mata Sojoong yg kini mengarah padanya,”kau benar-benar menyukai Myungsoosunbae?”pertanyaan itu kembali keluar dari mulutnya, namun dengan pilihan kata yang agak berbeda.
Tidak sanggup menjawabnya dengan kata-kata, Sojung hanya menganguk gugup, seperti murid SD yang tertangkap basah sedang mencontek. Sojung sendiri bingung kenapa ia gugup, bukankah ia pernah mengaku sebelumnya pada Jongin, dan saat itu ia biasa saja. Aneh, pikir Sojung.
Seulas senyum terpaksa menghiasi wajah Jongin karena menyadari kegugupan Sojung. Sudah sedalam itukah perasaanmu? Batinya.
“Lain kali jangan menyusahkan orang lain karena kecerobohanmu sendiri!”seru Jongin menyampaikan tujuannya tadi datang ke kelas Sojung.
Gadis itu menautkan sepasang alis matanya, tidak mengerti maksud seruan Jongin. Sedikit ganjal, ketika kalimat lugas itu menjadi kelanjutan percakapan mereka tentang perasaannya pada Myungsoo.
Sesuatu dikeluarkan Jongin dari saku celananya,”Ini ambil vitaminmu!”serunya lagi sambil menyodorkan botol berukuran kecil yang berisi pil-pil berwarna merah.
“Omo? bagaimana ini bisa ada padamu?”tanya Sojung tidak menyangka lalu meraih obat penambah darahnya yang Jongin sebut ‘Vitamin’ itu. Ia pikir obatnya ini tertingal dirumah.
“Tidak usah banyak bertanya, minum saja vitamin itu! Jangan sampai masa SMA-mu di awali dengan berbaring di UKS.”ujar Jongin sambil mengacak rambut Sojung lalu beranjak dari hadapan gadis itu,”Gomawo.”suara Sojung terdengar agak samar di telinganya.
Jongin tersenyum tipis dan tidak sengaja lengannya menyengol lengan seseorang yang berlawanan arah dengannya, ketika itu ia baru keluar dari kelas 10.1—kelas Sojung.
“Jwosong hamida.”katanya sambil menunduk—tanpa menoleh sedikit pun dan tetap melanjutkan jalannya.
Tanpa ia ketahui selembar kertas melayang dari tangan seseorang yang ia sengol, kertas itu jatuh tepat di bawahnya. Dan kejadian selanjutnya, bagian bawah sepatu Jongin sukses menginjak kertas tersebut.
“Aishh.”
Samar-samar terdengar suara keluhan seseorang di belakang Jongin. Namun karena situasi di sana agak ramai dengan murid yang berlalu-lalang, suara itu leyap begitu saja dari telinganya.
“Sepertinya kau memang tidak diizinkan mengikuti klub tari Ji.”gurau Jieun asal melihat selembar formulir Jiyeon yang tergeletak di lantai.
Usai memberikan tatapan kesal pada punggung pemuda yang baru saja menyebabkan keadaan mengenaskan pada formulirnya itu, Jiyeon menjitak kening Jieun.
“Jangan suka asal bicara!”katanya melampiaskan kekesalan pada Jieun lalu memungut formulir itu.
“Aku kan hanya bercanda.”ujar Jieun membela diri sambil mengelus-elus keningnya sendiri.
.
.
Waktu Istirahat. Wajah tampan itu perlahan mengukir senyum, memandang seseorang yang baru tertangkap oleh matanya.
“Myungsoo! Yaa, Kim Myungsoo?”Hoya menyengol lengan Myungsoo yang duduk tepat di hadapannya,”sejak tadi kau tidak mendengar ceritaku?”pertanyaan-pertanyaan itu muncul, sebab hanya Wohyun yang sempat ketakutan mendengar kisah horror buatanya.
“Tentu saja tidak, lihatlah ke belakang!”ucap Wohyung amat santai sambil menunjuk dengan dagunya.
Hoya menuruti ucapan santai pemuda yang duduk di samping Myungsoo itu. Pertanyaannya pun terjawab sudah, setelah melihat Jiyeon dan Jieun yang tengah celingukan dengan nampan berisi makanan mereka masing-masing. Tentu saja, kantin yang terlalu ramai membuat mereka kebingungan mencari tempat duduk.
“Aigo, ternyata kau sungguhan menyukainya.”simpul Hoya lalu kembali ke posisinya seperti semula—menghadap pada Myungsoo dan Wohyun.
Ketika itu, tangan kanan Myungsoo melambai. Sudah bisa dipastikan kedua sahabatnya ini, kalau lambaian tangan Myungsoo semata-mata hanya untuk Jiyeon. Tujuannya mengajak adik kelas itu mengisi tiga bangku kosong di antara mereka. Hoya dan Wohyun menghela nafas bersamaan, berusaha untuk tidak terlalu peduli dengan tingkah tidak biasa sahabatnya itu.
Tidak butuh waktu lama, kedua adik kelas itu pun datang menghampiri mereka. Lebih tepatnya hanya Myungsoo.
Menyadari posisinya yang mungkin saja disesali Myungsoo, Wohyun berdiri dan mengajak Jiyeon untuk mengisi tempatnya. Jiyeon agak ragu, namun sengolan Jieun yang telalu bersemangat membuat ia akhirnya duduk di sana. Dan Wohyun pun mengisi bangku kosong di sebelah Hoya, sedang Jieun memilih bangku di sisi lain.
Aksi menyantap makanan masing-masing kembali dimulai, tentunya sambil sesekali merangkai percakapan. Jiyeon yang sedang menjadi topik percakapan justru tidak konsen, sejak tadi ia agak terusik dengan pandangan seseorang yang duduk di sebelah meja mereka—Myungsoo, Hoya, Wohyun, Jiyeon, dan Jieun. Entah hanya perasaannya saja, tapi seseorang itu memandangnya penuh selidik. Sampai tepukan Jieun di bahunya membuat gadis ini sadar.
“Yaa, Jiyeon-aa Myungsoo oppa bertanya padamu!”kata Jieun.
“Ha? Oh, mianhae oppa. Wae?”
Ya, dengan bodoh pertanyaan itu keluar dari bibir merah Jiyeon. Hoya dan Wohyun tertawa mendengarnya, dan Jieun pun ikut tertawa garing. Sebenarnya Hoya dan Wohyun bukan tertawa karena pertanyaan bodoh Jiyeon, tapi mereka berdua menertawai Myungsoo yang terlihat salah tingkah karena pertanyaannya tidak ditanggapi.
“Kenapa kau berubah pikiran, sampai lebih memilih klub tari dibanding musik? Padahal aku berharap kau bisa satu klub denganku.”
Myungsoo mengulang pertanyaannya, namun kini ditambah embel-embel tentang harapannya yang justru membuat wajahnya sendiri memerah. Hoya hampir kembali menertawai sahabatnya yang mendadak lucu itu, beruntunglah Wohyun lebih dulu menendang kakinya.
Lirikan mata tajam Jiyeon seperti mengutuk Jieun yang berusaha terlihat biasa saja dengan makanannya. Berubah pikiran? Lebih memilih? Bahkan baru tadi pagi aku memutuskan pilihan. Batin Jiyeon. Gadis itu pun berdehem, sebelum memberi jawaban pada Myungsoo.
“Oh, itu. Mianhae oppa, aku hanya ingin mencoba hal baru.”ia pun tersenyum setelah mengatakan itu.
Jiyeon harap Myungsoo bisa mengerti dengan jawabannya tadi. Karena dari awal ia sendiri tidak pernah berkata akan masuk klub musik. Pasti ini berhubungan dengan Jieun yang suka asal bicara, sehingga kakak kelasnya ini mungkin salah paham dengan pilihannya.
Anggukan Myungsoo membuatnya lega, kini keduanya kembali fokus pada makanan masing-masing. Sampai Hoya yang banyak bicara itu kembali membuat topik tidak jelas, suasana pun kembali ramai dengan tawa Wohyun, Jieun, dan Myungsoo. Sedangkan Jiyeon?
“Yaa, Kim jongin kau mau kemana?”tanya Baekhyun, saat melihat teman satu kelasnya itu beranjak dari tempat mereka makan.
“Makananku sudah habis.”jawab Jongin sekiranya, kini pemuda itu sudah berdiri dan akan melangkah pergi.
“Lalu kau mau meninggalkanku begitu saja?”
“Aku ada urusan di perpustakaan, kau lanjutkanlah sendiri! Sudah, ne!”
Pemuda itu pun berjalan meninggalkan Baekhyun. Sorot mata Jiyeon mengarah padanya. Pemuda itu ialah seseorang yang memberi pandangan menyelidik pada Jiyeon tadi.
Gadis ini heran dengan pandangan yang menurutnya tidak berdasar, bahkan ia sama sekali tidak mengenal pemuda itu. Lama-lama melihat punggungnya yang makin menjauh. Membuat Jiyeon seperti pernah melihatnya. Entahlah.
.
.
Senyum tulusnya selalu terukir untuk gadis ini. Gadis yang sejak dulu selalu membelanya, satu satunya orang yang mau memulai untuk berteman dan mengajari bagaimana cara berteman. Padanya. Seseorang yang introvert seperti Jongin.
Buku selalu bisa membuatnya fokus, dan tidak peduli dengan sekitar. Sojung sampai baru menyadari ada Jongin yang kini sudah menopang dagu di bangku sebelahnya duduk.
“Yaa, ada apa dengan senyumanmu itu?”tanyanya tanpa menoleh pada Jongin yang terus memandangnya–ia masih fokus pada buku di hadapannya itu.
“Neomu yeppo.”kata Jongin kali ini membuatnya menoleh,”Kau baru tahu?”guraunya santai sambil menyengol pertahanan tangan Jongin yang masih menopang dagu itu.
“Akhhh.”teriak Jongin sepontan akibat ulah Sojung yang membuat sebelah kepalanya membentur meja kini.
Sejurus jari manis bertengger di mulut Jongin yang mengatup lagi. Tentu, itu jari manis Sojung.
“Jangan berisik ini kan perpustakaan!”serunya berbisik, seolah melupakan penyebab munculnya teriakan Jongin.
Perlakuan semacam itu, membuat Jongin tak sanggup merespon. Ia hanya diam menatap jari manis yang masih menempel di bibir merahnya. Sedangkan si pemilik jari manis sibuk menunduk-nunduk—meminta maaf—pada para kutu buku yang merasa tergangu dengan teriakan itu.
Setelahnya Sojung menghela nafas lega, dan jari manisnya yang masi setia di bibir Jongin, ditarik oleh lelaki itu. Jongin menyingkirkan tangan Sojung dari hadapannya.
“Ini salahmu.”katanya tepat di hadapan wajah Sojung, kini pandangan mereka sejajar—membentuk satu garis lurus.
Sojung terkekeh,”Mianhae, Jongin-aa.”katanya lalu tersenyum tanpa beban.
Ekspresi seperti ini yang paling disukai Jongin. Untuk beberapa detik mereka terkunci dalam posisi itu bersama debaran jantung Jongin yang entah disadari atau tidak oleh Sojung. Sebelum akhirnya gadis itu kembali pada posisi awal, yang fokus akan buku-buku ilmiah bacaannya.
Sebungkus roti jatuh di atas buku yang Sojung baca,”Makanlah!”suruh Jongin tanpa ekspresi, lalu beranjak dari duduknya,”Kajja!”
.
.
Istirahat usai. Jam pelajaran kembali berlangsung di SMA Jeguk . Saat mata pelajaran Biologi, di kelas 10.1 ada acara pembagian kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 orang. Beruntunglah kedua sahabat yang sulit terpisahkan itu—Jiyeon dan Jieun—tetap berada dalam satu kelompok. Dengan ditambah dua anggota lainnya, yaitu Sojung dan Luna.
“Kelompok ini, saya bagi untuk praktikum minggu depan. Jadi, saya harap sebelumnya kalian bisa berdiskusi dan bersiap-siap terlebih dulu sebelum praktikum berlangsung!”kata Bu Im—guru mata pelajaran Science—menjelaskan maksud dan tujuannya membentuk kelompok tersebut,”Sekarang saya rasa kalian sudah bisa bersiap-siap untuk pulang, beberapa menit lagi bel akan berbunyi. Terima kasih atas perhatiannya.”
“Ne, Ssaem.”sahut seluruh murid di dalam kelas itu.
Beberapa menit pun berlalu setelah bel berbunyi, Luna menghampiri Jiyeon dan Jieun yang masih membereskan peralatan sekolahnya. Begitu juga dengan Sojung. Mereka berempat saling berdiskusi dan bertukar nomor handphone.
“Aku dengar, kau sering ikut olimpiade sejak SD. Pasti kau sangat pintar.”celoteh Jieun tiba-tiba.
Tiga pasang mata dari Jiyeon, Sojung, dan Luna tertuju padanya.
“Sojung, dia sangat pintar. Kita beruntung bisa satu kelompok dengannya.”kata Jieun lagi lebih jelas memuji Sojung.
“Wahh, benarkah?”Luna yang berada di sebelah Sojung menepuk bahu gadis itu.
Sojung hanya terkekeh,”Itu hanya kebetulan yang membuatku seolah terlihat beruntung. Bukankah setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing.”
“Maksudnya, otak yang jenius itu hanya kebetulan?”tanya Jiyeon meminta penjelasan.
“Ani, aku rasa semua orang itu jenius. Hanya saja sebagian dari mereka kebetulan suka belajar, itu yang membuat mereka seolah-olah lebih jenius dari yang lain. Sama seperti, pangeran di negeri dongeng. Kebetulan dia adalah pangeran, karena itu semua orang bisa dengan mudah menyukainya.”jawab Sojung lalu tersenyum lebar.
Jiyeon, Jieun, dan Luna menganguk-nganguk mengerti, lalu diskusi berlanjut pada persiapan praktikum minggu depan. Hingga tanpa sadar mereka berempat kini sudah berada di luar kelas. Diskusi pun berakhir, Sojung berjalan ke arah berlawanan dengan Jiyeon, Jieun, dan Luna yang akan langsung keluar gedung sekolah. Dan pada saat itu, mereka bertiga tanpa Sojung, berpapasan dengan Myungsoo yang baru keluar dari Ruang Musik.
“Jiyeon-aa,”panggil Myungsoo, sebagai orang pertama yang menyadari akan hal itu.
“Oppa.”sahut Jiyeon dan Jieun hampir bersamaan. Sedangkan Luna hanya membulatkan matanya melihat kakak kelasnya yang terkenal akan ketampanannya ini.
“Annyeonghasimika sunbae.”sapa Luna akhirnya karena Myungsoo kini menghampiri mereka—lebih tepatnya menghampiri Jiyeon.
“Ahh, annyeong.“balas Myungsoo ramah sambil tersenyum.
Dan itu sukses membuat siapapun akan terpesona berulang kali padanya. Termasuk Luna. Namun, keindahan itu tidak berlangsung lama untuk Luna. Karena kini lengannya ditarik oleh Jieun.
“Oppa, aku pamit dulu. Ada yang harus aku urus dengan Luna.”bohong Jieun lalu berlari dengan menarik lengan Luna yang terlihat tidak terima itu,”Kajja!”
“Yaaa, tung—”saat Jiyeon akan menyusul, sayang sekali tangan Myungsoo lebih dulu menahannya.”Oppa? Aku har—”
“Tidak usah menyusulnya! Kau pulang denganku saja, nde!”
“Tapi, Oppa.”
“Kajja!”
Kini Myungsoo berjalan sambil menggandeng tangan Jiyeon. Dan dari kejauhan Jieun mengintip di balik tembok dengan membekap mulut Luna. Gadis itu tersenyum sambil berkata dalam hati, aku harap Myungsoo Oppa bisa membantu Jiyeon melupakan Sehun.
“Yaa, sebenarnya ada apa ini?”tanya Luna yang kini telah berhasil lepas dari bekapan Jieun.
“Mianhae Luna, tidak ada apa-apa kok.”jawab Jieun berusaha terlihat meyakinkan, dan setelahnya terkekeh garing karena melihat tatapan menyelidik Luna.
“Kalian masih di sini?”
Suara seseorang mengintrupsi Jieun dan Luna untuk menoleh. Ternyata itu suara Sojung. Untunglah, jadi Luna tidak akan bertanya macam-macam, batin Jieun.
“Annyeong.”sapa Jieun dan Luna hanya tersenyum menyambut Sojung yang kini mendekat pada mereka berdua—Jieun dan Luna,”kami ada urusan tadi.”lanjut Jieun lagi.
“Ahhh ne, tapi di mana Jiyeon?”
“Dia sudah pulang lebih dulu bersama—”
“Sojung, apa dia kekasihmu?”tanya Jieun sengaja menyela Luna yang tengah menjawab pertanyaan Sojung.
Akibatnya seseornag yang berdampingan dengan Sojung sejak tadi itu menoleh padanya. Begitu juga dengan Luna.
“Aniyaa, dia Jongin. Kim Jongin dari kelas 10.3, sahabatku sejak SMP.”
Sojung menjawabnya dengan santai, lalu tertawa kecil sambil berusaha merangkul bahu Jongin yang jauh lebih tinggi darinya. Berikutnya Jongin tersenyum menyapa dua orang gadis yang baru ditemuinya ini—Jieun dan Luna.
.
.
Pintu kamar bernuansa putih-hitam itu terbuka dari luar. Dengan wajah lelah Sojung masuk ke dalamnya, dan langsung berjalan ke meja belajar yang letaknya di samping rak buku besar miliknya. Ditaruhnya tas yang tadi ia gemblok di atas meja belajar itu, lalu duduk di bangku kayu yang tersedia di sana sambil mengembuskan nafas lelahnya. Seketika sepasang alisnya menyatu, ia melihat botol berukuran kecil yang berbahan dasar kaca itu terletak di atas meja tersebut.
Sojung coba mengingat di mana saat Jongin memberikan botol yang sama persis. Ia ambil lagi botol yang diberikan Jongin dari dalam tasnya, lalu ia bandingkan dengan yang ada di atas meja belajarnya itu. Yang Jongin berikan masih terisi penuh, dengan obat penambah darah, sedangkan yang ada di atas mejanya sudah terisi setengah. Sojung memang baru meminum dua pil obat penambah darah tadi—saat di sekolah. Apa mungkin—pikiran Sojung melayang ke berjam-jam sebelumnya.
Di parkiran sekolah pagi tadi. Sojung baru turun dari motor sport milik Jongin. Ketika gadis itu melepaskan helm yang dipakainya, ia pun bergumam.
“Aishh, obat penambah darahku tertinggal.”Jongin yang selesai memarkirkan motornya langsung menoleh pada gadis yang bergumam itu.
“Mwo?”tanyanya.
“Ahh, aniya.”jawab Sojung berbohong sambil menggelengkan kepala.
Kini, Sojung seperti bisa mengambil kesimpulan apalagi setelah mengingat lagi kata-kata Jongin saat memberi sebotol obat penambah darah itu padanya.
“Lain kali jangan menyusahkan orang lain, karena kecerobohanmu sendiri!”
“Yaa, kan tidak ada yang menyuruhmu untuk membelikannya.”kata Sojung berbicara pada sebotol obat penambah darah yang berada di tangan kananya. Seolah-olah itu adalah Kim Jongin.
.
.
.
“Jiyeon cepat sedikit, di luar sudah ada yang menunggumu!”teriak Taehee dari luar kamar anaknya itu. Paginya di rumah Jiyeon.
“Mwo?”kejutnya tepat di depan cermin dengan tampilan dirinya yang sudah rapih dan siap untuk berangkat, tentunya ke sekolah.
Siapa yang pagi-pagi begini sudah menjemput? Tanya Jiyeon dalam hati. Tidak mungkin Jieun, dia kan sering bangun kesiangan, makanya aku selalu meninggalkannya. Pikirnya sambil berjalan ke jendela yang sudah terbuka sejak ia bangun tadi.
Dan dari jendela kamarnya yang terletak di lantai atas itu Jiyeon bisa melihat motorsport dan sang pemiliknya—Kim Myungsoo. Berikutnya, terlihat Taehee membukakan pintu pagar untuk pemuda itu. Jiyeon melihatnya tanpa ekspresi yang berarti.
.
.
“Kau seperti baru pertama kali jatu cinta saja.”celetuk Hoya ketika mendudukan drinya di samping pemuda yang sedang meneguk air mineral itu—Myungsoo.
Mendengar celetukan yang tiba-tiba itu Myungsoo menyudahi kegiatan minumnya,“Yaa, apa maksudmu?”tanyanya tidak mengerti.
“Semenjak mengenal adik kelas itu kau selalu terlihat lucu di mataku. Myungsoo yang selalu keren dan berkarisma malah mendadak jadi Myungsoo yang apa adanya. Belum lagi, kau sering salah tingkah, padahal kau sudah berkali-kali pacaran.”
Sebelum menanggapi penjelasan Hoya, terlebih dulu ia berpikir sambil kembali memperhatikan lapangan futsal di hadapannya. Beberapa temannya sedang bertanding di sana. Ya, saat itu Myungsoo dan Hoya sedang berada di bangku penonton—bertukar posisi dengan dua teman lainnya.
“Berkali-kali pacaran belum, tentu berhasil jatuh cinta kan.”kata Myungsoo akhirnya.
Hoya tertawa mendengar kata-kata dari Myungsoo, sama sekali tidak terpikir olehnya. Seorang ‘Good Boy’ seperti Myungsoo akan berkata seperti itu.
Ia tersenyum di balik helm yang menutupi seluruh wajahnya, usai mengingat percakapan bersama Hoya—kemarin sore. Ya, Myungsoo sendiri bisa merasakannya. Seperti saat ini, detak jantungnya sudah di luar batas normal hanya karena lingkaran tangan Jiyeon di pinggangnya. Padahal ini bukan pertama kalinya ia membonceng seorang gadis.
Lampu merah menyala. Myungsoo menghentikan motornya bersama beragam kendaraan di sekitarnya. Dan, di antara banyak kendaraan itu terlihat juga motor yang jenisnya tidak jauh berbeda dengan milik Myungsoo. Sepasang orang yang menaiki motor tersebut juga menggunakan seragam SMA Jeguk.
Posisi motor tersebut sejajar dengan motor Myungsoo, namun berselang satu motor. Myungsoo tidak terlalu memperhatikan, tapi Jiyeon justru tertarik untuk mengarahkan pandangannya ke sana. Begitu juga sang pengendara motor yang kini menoleh ke arah Jiyeon. Entah apa yang mengarahkan mereka untuk saling berpandangan dari balik helm itu. Lampu merah pun berganti kuning.
“Jongin, perhatikan lampunya!”
.
.
Jongin masuk ke dalam kelasnya, setelah dari toilet tadi. Terlihat kelasnya yang sudah hampir ramai, termasuk Baekhyun teman sebangkunya. Dan sepuluh menit lagi waktu istirahat akan selesai.
Baru saja sampai di tempat duduknya, Jongin melempar pertanyaan pada Baekhyun,”Kotak apa ini?”lalu duduk di sana.
Baekhyun melirikan matanya pada kotak berwarna biru tua yang berada di atas meja Jongin,”Sojung yang menaruhnya tadi, kau buka saja!”jawabnya lalu kembali fokus membaca komik.
Mendengar itu, Jongin langsung meraih kotak tersebut lalu membuka tutupnya. Di dalamnya terdapat uang seharga obat penambah darah yang Jongin beli kemarin dan selembar memo bertuliskan ‘Gomawo, Jongin-aa’. Pemuda itu pun tertawa kecil memahami maksud dan tujuan sang pemberi kotak ini.
.
.
.
Di dalam ruangan berukuran 10 x 7 m, terpasang kaca besar yang menutupi salah satu temboknya. Jiyeon berada di dalam ruangan itu bersama 21 teman seangkatannya, namun di antara mereka tidak ada yang berasal dari kelasnya. Selang lima menit lima, kakak kelas masuk, tiga orang pemuda dan dua lainya seorang gadis. Pertemuan pertama di klub tari.
Seperti pertemuan pada umumnya, selalu diawali oleh perkenalan. Kini seluruhnya duduk bersila di lantai. Kelima kakak kelas yang adalah anggota lama itu duduk berhadapan dengan Jiyeon dan para anggota baru lainnya. Setelah kelima kakak kelas dan beberapa anggota baru memperkenalkan diri, sekarang Jiyeon gilirannya. Semua poros mata pun tertuju padanya.
“Namaku Park Jiyeon dari kelas 10.1, teman-teman bisa memanggilku Jiyeon. Menari adalah pengalaman baru untukku, jadi mohon bantuan—“
Seseorang memotong perkenalannya,”Jwosong hamnida.”itu pemuda yang berdiri di ambang pintu dengan membungkukan badannya. Sekarang semua tidak lagi fokus pada Jiyeon, tapi menoleh ke arah pemuda itu, termasuk Jiyeon.
“Siapa namamu?”tanya Hyejin—salah satu dari kelima kakak kelas di sana.
Pemuda itu baru mengangkat setengah tubuhnya yang membungkuk tadi,”Aku, Kim Jongin.”jawabnya.
Jiyeon mengerutkan keningnya.
“Sepertinya kita akan mendapatkan pertunjukan menarik hari ini, berikan tepuk tangan untuk Jongin!”kata Changmin—kakak kelas yang duduk di sebelah kiri Hyejin.
Kontan semua memberi tepuk tangan dengan raut bingung dan bertanya-tanya. Jongin menelan liurnya gugup, sullit rasanya ia untuk menegakkan wajahnya.
Hyejin tersenyum sebelum berkata,”Menarilah! Hibur teman-temanmu yang sudah terganggu karena kau datang terlambat.”lalu musik pun mulai berdentam dari speaker Handphone-nya.
Namun, tidak ada gerakan dari Jongin,”Pali!”seru kakak kelas lainya—tidak sabar.
Satu menit berlalu dengan mengatur nafas, setelah itu Jongin baru menurunkan tasnya lalu melangkah maju dan memulai tariannya. Luar biasa, tidak ada yang menyangka kalau kemampuan Jongin bahkan menyamai profesional. Semua menatap kagum padanya, tak terkecuali Jiyeon yang sesekali mengukir senyuman manis. Musik pun berakhir setelah dua menit, kini tepuk tangan meramaikan ruangan.
“Gerakanmu bagus juga, kau boleh duduk sekarang!”suruh Hyejin.
Jongin hanya menunduk hormat, lalu berjalan menuju tembok paling pojok dan duduk bersandar di sana. Satu-satunya orang yang masih memperhatikannya adalah Jiyeon.
Seminggu yang lalu, aku masih ingat pemuda inilah yang memandangiku di kantin, batinnya.
-To Be Continue-