Hoon tersentak dari tidurnya karena mendengar suara teriakan anak kecil yang berasal dari luar kamarnya. Ini seharusnya hari dimana ia bisa menikmati tidurnya hingga siang tapi sekarang hal itu tidak akan terjadi karena suara itu membangunkannya.
“Berisik sekali!”
Hoon membuka pintunya dan berdiri di tulang pintu sambil menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Matanya memicing melihat keadaan di hadapannya dan menemukan sosok anak kecil berusia empat tahun tengah berlalu ke arahnya.
“Oppa….”
Senyum kebanggaan karena anak kecil itu memanggilnya oppa bukan paman terkembang sempurna, ia merendah dan menangkap anak perempuan itu masuk ke dalam pelukannya lalu menggendongnya.
“Yuri… dia paman bukan oppa.”
“Biarkan saja Yuri memanggilku oppa. Aku tidak cukup tua dipanggil paman.”
Hoon membawa Yuri ke ruang makan dan menaruhnya duduk di atas meja makan yang terbuat dari marmer kuning lalu meraih gelas dan teko yang berada di tengah meja makan. Hoon meneguk air dalam gelas hingga habis lalu menurunkan Yuri ke lantai.
Yuri berlari dengan tubuh montoknya menuju kakek dan neneknya yang berada di teras. Hanya tinggal Hoon, Minjung dan Jinwoo di ruangan itu. Keheningan diantara mereka tak begitu bertahan lama karena suara gelas ditaruh dengan gugup terdengar dari Minjung.
“Eer… Hoon… Soal ayah….”
Sunggingan senyum tanda mengerti arah pembicaraan Minjung terukir jelas di wajah Hoon, pada akhirnya kakak perempuannya ini akan berbicara padanya juga tentang hal ini lengkap bersama cinta satu minggu yang kini menjadi suaminya, Kim Jinwoo.
Minjung melihat ke arah taman dimana Yuri tengah bermain dengan kakek dan neneknya lalu mengalihkannya pada Hoon yang kini sudah duduk di belakang meja makan. Ia pun kini melangkah menuju meja makan dan duduk di hadapan Seunghoon sementara Jinwoo berdiri dan bersandar pada sandaran kursi Minjung.
“Err… Kau tahu ayah, kan? Seperti apa kerasnya dia kalau sudah berkeinginan bahkan perasaan orang pun tak terjaga olehnya.”
“Aku tahu.” Jawab Hoon datar.
“Aku harap kau benar-benar memiliki seorang kekasih… wanita.”
“Ya! Lee Minjung! Kau juga meragukanku?”
Minjung terkekeh kecil saat mencoba menggoda adik laki-lakinya. Hoon dengan kesalnya berdiri dan meninggalkan Minjung dan Jinwoo yang masih terkekeh, ia masuk ke dalam kamarnya dan menghempaskan dirinya di atas kasur empuk berukuran king size miliknya.
Deratan bunyi pintu terbuka tak membuat Hoon penasaran siapa yang masuk, ia masih saja tak bergerak dari tempatnya. Hoon sebenarnya sudah menebak siapa yang datang dari aroma parfum yang digunakannya namun ia enggan membalikkan tubuhnya untuk melihat wajah tamu di kamarnya.
“Hoon….”
Hoon tidak bergerak mendengar suara manja Minjung. Ia tidak membalikkan tubuhnya untuk menatap Minjung hingga Minjung memilih untuk merebahkan kepalanya di atas punggung adik laki-lakinya itu. ia menatap langit-langit kamar Hoon namun sebenarnya tak benar-benar menatapnya.
“Kalau kau tidak mau ayah terus mengganggu hidupmu, kau harus mengenalkannya dengan seorang wanita. Entah wanita itu adalah kekasihmu atau wanita yang kau bayar untuk pura-pura menjadi kekasihmu,”
Hoon tak menanggapi nasihat Minjung tapi ia mendapatkan sebuah ide untuk membuat ayahnya berhenti mengganggunya dengan pertanyaan aneh itu.
“Aku tidak mengatakan ini di depan suamiku karena aku takut melukai perasaannya, tapi aku harap kau tidak mengambil tindakan gegabah seperti yang kulakukan. Sekalipun suamiku adalah pria yang baik tapi tidak seharusnya aku menjebaknya dulu. Apa kau mengerti, Lee Seunghoon?”
“Aku mengerti. Minggirlah, kepalamu berat! Apa kau mengisi kepalamu dengan batu?”
Minjung mengangkat kepalanya dan melayangkan sebuah pukulan ke punggung Hoon membuatnya menggelinjang karena kesakitan. Derap langkah berlari dan pintu yang terbuka lalu tertutup dengan cepat membuat Hoon berteriak di dalam kamarnya. Ia meneriakkan nama Minjung dengan keras.
Minjung terkekeh mendengar teriakan Hoon sementara Ayah dan Ibunya memandang Minjung dengan tatapan penuh tanya. Nyonya Lee menghampiri Minjung yang berada di dapur, mereka berbincang ringan sambil menyiapkan bahan makanan untuk makan siang nanti.
Tuan Lee bersama cucunya duduk manis di sofa yang berada di ruang keluarga menonton tayangan pororo, Jinwoo perlahan bergabung dengan kakek dan cucu yang terlihat senang. Gambaran seperti inilah yang biasa terjadi setiap hari minggu di minggu ke dua dan ke empat setiap bulan. Minjung dan Jinwoo sengaja melakukan ini karena tidak ingin Yuri terlalu dimanjakan tuan Lee.
Hoon yang berada di kamar kembali memikirkan ucapan Minjung. Seperti mendapatkan sebuah inspirasi, Hoon bangun dan segera meraih ponselnya dan menghubungi seorang teman lama yang ia ingat sebagai playboy, Song Mino.
“Apa besok malam kau ada waktu? Aku rasa sudah lama sejak terakhir aku, kau, dan Seungyoon menghadiri reuni sekolah dua tahun lalu.”
“Hahaha… Baiklah. Sampai jumpa besok.”
Senyum dari bibir Hoon terkembang sempurna, semangatnya bahkan kembali dengan cepat. Hoon berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, ia sudah melucuti pakaiannya dan menghidupkan shower lalu mulai membasahi tubuhnya dengan air yang mengalir. Senandung kecil darinya pun terdengar ringan.
Tiga puluh menit berlalu dan ia sudah siap bergabung untuk makan siang dengan keluarganya, panggilan dari Yuri pun sudah mulai terdengar dari balik pintu kamarnya. Hoon membuka pintu kamar dan meraih Yuri dalam pelukannya, bocah berusia empat tahun itu pun terlihat senang digendong Hoon yang sudah wangi.
“Oppa mau pergi kencan ya?”
Semua mata menatap Hoon dan Yuri menagih jawaban ‘ya’ tapi Hoon tidak memedulikan itu, “Kau mau kencan denganku, gadis manis?”
Jawaban dari Hoon membuat yang lain mendengus kecil dan kembali pada kesibukan masing-masing termasuk tuan Lee. Hoon mendudukkan Yuri di kursi dekat ayahnya sementara dirinya duduk setelah kursi Jinwoo.
Suara renyah Yuri menjadi irama yang merdu bagi keluarga Lee yang biasanya hanya ada tiga orang dimana dua diantaranya tidak terlalu suka terlibat pembicaraan kecuali dalam urusan bisnis. Saat ini Yuri tengah bercerita tentang teman sekolahnya yang buang air kecil di kelas, tuan Lee tertawa mendengar cara Yuri menjelaskannya. Tawa yang hanya terjadi dua minggu sekali.
Yuri yang sudah lebih dulu menyelesaikan makannya berlari menarik ayahnya untuk kembali menonton pororo dan meninggalkan keluarga inti itu di meja makan dengan keheningan.
“Bawa kekasihmu minggu depan, Lee Seunghoon.”
Hoon hanya mengangguk kecil dan beranjak dari tempatnya, berjalan menuju Yuri.
“Kekasih wanita, bukan pria!”
“AKU MENGERTI!”
.
= W E D D I N G A F F A I R =
.
Tak seperti kemarin, pagi ini suasana sarapan keluarga Lee lebih tenang. Tidak ada suara ketegangan antara Hoon dan tuan Lee, nyonya Lee pun merasa lega melihat dua orang pria yang ia sayangi tidak terlibat perdebatan pagi ini.
“Aku dengar manager pemasaran Kim tengah dipromosikan untuk jabatan kepala manager, apa mereka lupa dengan kasus pelecehan manager Kim? Tsk tsk.”
“Itu kan kasus dua tahun lalu dan dia sudah menerima sanksi, kenapa ayah masih saja mengingatnya. haaa… Kinerja manager Kim sangat bagus akhir-akhir ini, aku sedang meninjau penilaiannya.”
Hoon meneguk habis kopi yang dibuat nyonya Lee. “Aku pergi dulu. Ah, aku akan pulang terlambat malam ini.”
Hoon beranjak lalu mendekat ke nyonya Lee dan mencium singkat pipi ibunya sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan ruangan itu.
…
…
…
Rapat bulanan sudah berjalan satu setengah jam namun suasana masih terlihat tegang, perbedaan pendapat antara dua kubu tentang rencana pemasaran produk baru yang akan rilis bulan depan masih saja terjadi. Hoon yang memimpin jalannya rapat hanya diam dan memandang enggan dengan dua kubu yang berseberangan itu.
“Direktur Lee, anda harus mengambil tindakan sebelum suasana menjadi tidak terkendali.”
Bisikan sekretaris perusahaan hanya didengarkan Hoon tanpa tindakan, Hoon melakukan ini bukan tanpa alasan. Di saat seperti ini, ia sedang menganalisa dua karakter yang bertentangan itu untuk mengetahui mana yang terburuk dari yang terburuk.
“Direktur Lee….”
“Aku akhiri rapat bulanan kali ini, berikan padaku proposal pemasarannya sore ini. Aku akan menentukan proposal mana yang akan perusahaan gunakan.”
Hoon berdiri dan melangkah keluar dari ruang rapat. Ia berjalan diiringi oleh sekretaris perusahaan dan beberapa jajaran di bawahnya menuju lift perusahaan. Tiba di depan pintu lift yang belum terbuka, Hoon memandang jam di tangannya sesaat lalu kembali memandang pintu lift yang masih tertutup.
Pintu lift terbuka dan ketika ia akan masuk secara tak terduga seseorang menerobos masuk ke dalam hingga tubuh Hoon terguncang karena orang itu. Wajah menahan kekesalan pun terlihat dari Hoon, beberapa staff membantunya menyeimbangkan tubuhnya namun Hoon menolak dan merapikan jasnya sendiri. Sebelum pintu lift tertutup, kakinya sudah berada di antara pintu lift.
Pemakai lift yang lain hanya menunduk tapi penerobos yang ternyata seorang wanita itu justru memandang Hoon dengan wajah yang kesal karena sudah tiga menit berlalu namun Hoon tak juga menentukan pilihan akan masuk atau tidak sementara ia harus segera kembali ke ruanganya yang berada di lantai tiga.
“Kau mau masuk atau tidak? Kakimu menghalangi pintu lift ini.”
Hoon tidak bergeming, ia masih saja menghalangi pintu lift. Ketidaksabaran wanita itu akhirnya berujung pada penarikan lengan Hoon hingga ia masuk ke dalam lift dan menahannya sementara telunjuk kanannya menekan tombol untuk menutup pintu lift. Setelah pintu lift tertutup barulah wanita itu melepaskan pegangannya pada ujung lengan jas Hoon.
“Jika aku dimarahi oleh atasanku, kau harus bertanggung jawab. Siapa namamu?”
Wanita itu melihat ke depan dada Hoon, ia mencari tanda pengenal yang pegawai perusahaan ini pakai namun tak menemukannya di tubuh Hoon.
“Siapa namamu? Aku memerlukannya jika atasanku bertanya siapa penghalang tiga menit berhargaku.”
“Lee Seunghoon.” Jawab Hoon dingin.
Pintu lift terbuka dan wanita itu keluar, sebelum pintu lift tertutup lagi si wanita itu memandang wajah Hoon lekat-lekat lalu teringat akan sesuatu.
“Kau….”, dan pintu lift tertutup.
…
…
…
Hoon memasuki sebuah café yang dilengkapi dengan bar. Pandangannya mulai menyisiri café itu hingga akhirnya berhenti saat sudah menemukan keberadaan dua sahabatnya yang sudah lebih dulu bercengkerama.
“Woaahh… Lee Seunghoon, kau tampak gagah dengan setelan jas itu.”
Hoon tersenyum dan menyambut tangan Seungyoon yang menariknya masuk dalam pelukannya, hal yang sama terjadi pada Mino. Hoon duduk di depan kedua teman terdekatnya yang masih saja memuji kehidupannya yang semakin terlihat perubahannya setelah dua tahun tak bertemu.
“Kapan kau kembali ke Korea?”
“Enam bulan lalu. Wajahmu ada dimana-mana sekarang, aktor Kang. Aku bahkan melihatmu setiap hari dari dalam ruanganku.”
Mereka mulai berbincang dengan topik yang ringan, Hoon menikmati waktu dengan dua teman dekatnya. Menertawakan masa lalu saat mereka masih sama-sama bersekolah hingga akhirnya Mino memulai semuanya.
“Mengapa tiba-tiba kau minta dikenali dengan seorang wanita?”
Hoon menaruh gelas birnya, “Aku memerlukannya untuk dikenalkan ke keluargaku. Kalian tahu ayahku orang seperti apa jadi aku harus membungkamnya dengan mengenalkan seorang wanita sebagai kekasihku di depannya.”
“Aku punya beberapa nama model-“
“Tidak… Jangan seorang model, ayahku akan mudah melacaknya. Aku ingin seorang wanita biasa yang sedikit ceroboh dan yang paling penting tidak menyusahkan.”
“Apa kau akan membayarnya?”
“Tentu saja, aku akan membayar berapapun yang ia minta.”
= To be continued =