“Trauma karena kehilangan ya...”
Donghae mengangguk. “Ya, sahabatku.”
Pria tua di hadapan Donghae menundukkan kepalanya, memandangi kertas di atas mejanya kemudian mulai menuliskan sesuatu. Donghae tidak yakin apa, tapi yang jelas Dokter ini dapat membantu sahabatnya. Dia berharap bahwa dengan datang ke sini, mungkin bisa memperbaiki keadaan.
“Tindakan apa saja yang dia lakukan?”
“Selama beberapa minggu setelah kematian Ibu dan kakak perempuannya, sahabatku selalu datang ke tempat kejadian perkara di mana mereka meninggal karena kecelakaan. Dia selalu ke sana dan melamun, kemudian pulang saat malam.” Donghae menjelaskan lirih, matanya menerawang. Sama sekali tidak menatap sang Dokter. “Dia tidak pernah bicara, bahkan hampir tidak pernah makan. Aku harus menyuapi dan memaksanya untuk membuatnya tetap hidup. Tapi malam itu...”
“Apa yang terjadi?”
“Dia pulang dengan sangat ceria. Tidak seperti Hyukjae yang baru kehilangan orang-orang yang dicintainya, dia seperti kembali ke jati dirinya yang dulu.”
Sang dokter mengernyit, “Bukankah itu pertanda baik?”
“Ya, memang. Kukira dia telah pulih, tapi nyatanya...” Donghae menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan. “dia bertingkah seperti orang mabuk.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Dia memberitahuku bahwa dia bertemu dengan seorang gadis, mengencaninya, dan akhir-akhir ini pegawaiku mendapatinya datang ke restoran milikku. Hyukjae bilang bahwa dia ke sana dengan gadis yang dia kencani, tapi pelayanku mengatakan lain. Sahabatku itu datang sendirian.”
“Kau yakin pegawaimu tidak berbohong?”
“Aku yakin sekali, Dok.” Tekan Donghae. “Dia bahkan berjanji padaku untuk mempertemukan kekasihnya denganku, tapi malam itu saat kami bertemu tidak ada seorang gadis pun yang dia bawa. Dia terus berkata bahwa kekasihnya sedang duduk di sampingnya, di hadapanku. Sedangkan pada kenyataannya, aku sama sekali tidak melihat siapapun di sana.”
“Aku mengerti.” Sang dokter mengangguk mengerti.
“Aku sempat berpikir bahwa sahabatku sudah gila.” Donghae berkata lirih. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada sahabatku, Dok?”
“Tuan Lee, sahabatmu tidak gila.” Sang dokter meyakinkan. “Kurasa dia hanya sedang berhalusinasi, tapi aku tidak yakin jika aku tidak mendengar penuturannya langsung.”
“Apa maksud Dokter?”
“Maksudku adalah kau perlu membawa sabahatmu kemari untuk berkonsultasi denganku.”
***
“Ahjumma, kami pesan dua botol soju dan dua porsi kue beras.” Hyukjae mengangkat tangannya.
“Tunggu sebentar.” Sahut sang penjual.
Hyukjae menoleh pada Hyuri, tangannya memegangi telapak tangan gadis itu yang mulai bergetar. “Kau kedingingan?” Pertanyaan Hyukjae mendapatkan sebuah anggukan dari Hyuri. “Kuharap kau suka kue beras di sini.”
“Aku suka ke mana pun kau membawaku, asal bersamamu.” Tutur Hyuri.
“Haruskah aku tersanjung dengan perkataanmu?” Hyukjae tersenyum jahil.
“Harus.”
Mereka tertawa keras pada candaan mereka sendiri, tepat ketika Ahjumma penjual kue beras datang membawakan pesanan mereka.
“Ini dia pesananmu, Nak.” Kata Ahjumma itu.
“Terima kasih, Ahjumma.”
“Sama-sama.”
Merasa sedang dipandangi, Hyukjae menoleh ke samping. Di sana si Ahjumma sedang memperhatikannya dengan heran. “Ada apa, Ahjumma?”
Si Ahjumma tersenyum ramah sambil menggelengkan kepala. “Sejak tadi aku memperhatikanmu dari kejauhan, aku bertanya-tanya apa yang membuatmu begitu senang sehingga tersenyum selebar itu.” Akunya.
“Bukan apa, tapi siapa.” Hyukjae mengoreksi. “Wanita ini yang membuatku banyak tersenyum akhir-akhir ini.” Dia menunjuk Hyuri yang duduk di hadapannya.
Si Ahjumma mengernyit. “Wanita mana?” Tanyanya tiba-tiba.
Hyukjae cukup terkejut dengan pertanyaan si Ahjumma. Baru saja dia ingin menampik keheranan si penjual kue beras itu, karena percaya atau tidak dia mulai sebal. Kenapa semua orang memperlakukannya seperti orang bodoh. Jelas-jelas Hyuri sedang duduk di hadapannya. Kenapa mereka... Hyukjae cepat-cepat mengerling ke arah Hyuri, namun Hyuri sudah tidak lagi duduk di sana. Dia terlonjak mundur, sehingga dia terjatuh dari kursi dan mendaratkan bokongnya di tanah. Antara syok dan takut memenuhi wajahnya, sementara si Ahjumma hanya bisa bertanya kenapa berulang kali.
Kenapa Hyuri menghilang begitu saja? Kemana dia pergi?
“Ahjumma, kau tidak lihat wanita yang barusan duduk di sini?” Tanya Hyukjae dalam kepanikan.
Ahjumma itu menggeleng sambil memegangi pundak Hyukjae. “Wanita mana?” Pertanyaan itu lagi. “Aku tidak melihat siapapun sejak kau datang ke sini, Nak.”
Kesal, kecewa, dan marah.
Dia bangkit dari tanah. “Sudahlah, lupakan saja.” Katanya seraya menyodorkan beberapa ribu won ke dalam tangan si Ahjumma.
Berbalik, Hyukjae mulai berjalan menjauh dari kedai pinggir jalan itu.
“Nak, kau tidak akan menghabiskan makananmu?” Teriak sang Ahjumma dari kejauhan.
Pada saat itu, Hyukjae tidak peduli. Dia tidak menghiraukan sahutan itu, bahkan dia terus berjalan. Meskipun dia sendiri tidak tahu harus berjalan ke mana.
Kenapa orang-orang di sekitarnya menganggap Hyuri tidak ada? Bahkan seorang Ahjumma yang tidak dikenalnya. Lalu ke mana Hyuri pergi? Kenapa gadis itu tega sekali meninggalkannya?
Apakah perkataan Donghae benar?
Hyuri tidak nyata?
Hyukjae mengacak rambutnya dalam kefrustasian, ini benar-benar menguras pikirannya. Dia lelah. Dia hanya ingin tidur, tapi dia tidak akan bisa tidur jika dia belum mendapatkan jawaban atas keanehan sore ini. Maka, tujuan yang paling jelas adalah pergi ke rumah Hyuri.
Rumah Hyuri. Beruntung sekali bahwa Hyukjae sempat berkunjung ke rumah gadis itu, jadi dia sama sekali tidak buta dengan harus ke mana dia mencari gadisnya.
Hyukjae sempat berhenti di sebuah toko bunga, berencana memberikan hadiah istimewa pada gadis itu ketika dia berkunjung untuk ketiga kalinya ke sana. Dia membeli satu buket mawar merah, itu adalah bunga favorit Hyuri.
Saat berjalan menuju rumah Hyuri yang cukup jauh jika hanya ditempuh dengan berjalan kaki, perasaan Hyukjae sangat tidak menentu. Dia masih tidak mengerti apa yang terjadi dan dia kesal, bahkan hampir naik pitam dengan kelakuan semua orang padanya. Hyuri itu nyata dan gadis itu adalah kekasihnya. Dia terus berjalan dan berjalan sambil menekankan kalimat itu di kepalanya.
“Hey, lihat-lihat kalau berjalan!”
Seseorang berteriak memakinya saat Hyukjae menabrak seseorang yang entah siapa, dia tidak peduli. Yang Hyukjae tahu dia hanya harus terus berjalan, dia berlari ketika dia bisa. Terus berlari melewati jembatan besar dan menuju ke dalam sebuah hutan, sampai dia berdiri di depan sebuah bangunan sederhana yang di kelilingi pohon. Dia telah sampai di rumah Hyuri.
Hari sudah gelap. Pria itu bahkan tidak menyadari waktu yang telah dia habiskan untuk sampai ke tempat ini hanya dengan berjalan kaki, tapi di sinilah dia berada. bukannya melangkah maju kemudian mengetuk pintu rumah gadisnya, dia malah mematung di tempatnya sambil memandangi rumah itu.
Ini nyata.
Hyuri nyata.
Kemudian dia maju satu, dua, tiga langkah. Dia berhenti mendadak saat tiba-tiba Hyuri keluar dari rumahnya, membawa payung di tangan kanan. Gadis itu sama sekali tidak menyadari keberadaannya, dia bahkan tidak melihat ke arahnya dan terus menundukkan kepala.
Ketika akhirnya Hyuri hampir lewat begitu saja, wanita itu menoleh. Dia berhenti di sebelah Hyukjae, wajahnya memberikan sebuah tatapan kecewa. Saat itu Hyukjae benar-benar tidak mengerti, dia sama sekali buntu dengan apa yang terjadi.
Sambil menyodorkan buket bunga mawar, Hyukjae mencoba untuk tersenyum. Percayalah, pria itu mencoba dengan sangat keras. Tanpa menatap mata Hyuri, pria itu bertahan di sana dan menunggu.
Ketika Hyuri meraih satu tangkai dari puluhan bunga yang dia bawakan, hatinya mencelos. Terlebih ketika gadis itu berkata, “kau tidak yakin kalau aku cukup nyata.” Bisiknya. “Aku benar, ‘kan, Oppa?”
Hyukjae tidak menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu, alih-alih hanya bisa diam di tempatnya. Dia tidak yakin lagi apakah semua yang terjadi padanya adalah nyata, bahkan ketika bayangan Ibu dan Sora terbersit di kepalanya. Itu semua masih tidak nyata. Mungkinkah ini juga...
Tepat saat itu, Hyukjae melihat satu tangkai bunga mawar jatuh ke tanah mengenai kakinya. Hyuri membuang bunga itu seraya berjalan menjauh darinya. Hatinya semakin tertohok. Tidak... dia tidak ingin kehilangan Hyuri, tapi gadis ini menjauhinya. Untuk dapat menggapainya kembali, dia harus yakin akan satu hal. Tapi saat ini, keyakinannya meluntur. Jadi, dia membiarkan gadis itu pergi. Jauh dan semakin menjauh, tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipi.
Hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi dan menghapus jejak kepergian Hyuri. Hatinya begitu sakit, dia melempar bunga itu ke tanah. Bunga mawar merah tercecer di sana tanpa bentuk. Ini sama sekali bukan keinginannya.
Apa yang sedang dia tangisi?
Kemeranaan?
Ataukah...
Kesendirian?
***
Hyuri tidak datang malam ini ke rumahnya, gadis itu tidak pernah datang lagi semenjak kejadian di kedai kue beras di pinggir jalan dan di depan halaman rumahnya. Sekarang, semua terasa sepi lagi.
Hyukjae sempat berharap bahwa dia bisa memperbaiki keadaan, tapi pernyataan semua orang tentang Hyuri membuatnya ragu. Jika dia ingin Hyuri kembali, maka dia harus menghilangkan keraguannya.
Beberapa hari terlewat begitu saja. Tanpa kabar dari kekasihnya, Kim Hyuri. Tanpa kabar pula dari sahabatnya, Donghae.
Lee Donghae...
Kini Hyukjae mulai cemas. Donghae selalu mampir ke tempatnya, sesibuk apapun pria itu. Tapi sekarang, dia sama sekali tidak melihat batang hidup pria Mokpo itu.
“Hyuk,”
Hyukjae mendongakkan kepalanya saat dia mendengar suara itu, dia menemukan Donghae berdiri di ambang pintu. Ekspresi cemas yang sama tersirat di wajah sahabatnya itu.
“Donghaek.” Hyukjae menyapa dengan sapaan konyolnya, mencoba untuk mencairkan suasana.
“Hyuri ada di sini?” Tanya Donghae, berhati-hati dengan ucapannya.
Hyukjae menggelengkan kepala. “Dia tidak datang hari ini.” Jawabnya, mencoba untuk tidak menyiratkan wajah sedihnya. “Kenapa?”
Hyukjae hampir merasa percakapan ini kembali normal, seperti tidak pernah terjadi pertengkaran hebat di antara mereka. Nyatanya tidak, karena ekspresi Donghae belum menunjukkan bahwa mereka baik-baik saja.
“Kau masih berbicara padanya?” Hyukjae tidak segera menjawab pertanyaan Donghae, malah terdiam untuk beberapa saat. “Hyuk, aku bertanya padamu.” Donghae mengingatkan.
Menggeleng, Hyukjae menatap Donghae tepat di mata. “Tidak.” Gumamnya, kemudian tiba-tiba bertanya. “Kenapa semua orang mengangapnya tidak ada?”
Donghae mendekat, dia menepuk pundak sahabatnya. “Percayalah, aku tidak sedang mempengaruhimu. Tapi itulah kenyataannya.” Tuturnya. “Kau harus bertemu dengan kenalanku untuk membicarakan mengenai ini.”
***
“Aku tidak bisa mengatakan kau mabuk atau gila, Tuan Lee.” Dokter menyatakan. “Kau mengalami masa yang sulit dengan kematian orang terdekatmu, itu menyebabkan pukulan yang berat sehingga kau mulai berhalusinasi.”
Hyukjae hanya diam di kursinya. Setelah menjelaskan keadaan yang terjadi padanya, pria itu diam seperti batu di sana. Mendengarkan dan menunduk patuh. Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini, selain berharap bahwa dia keluar dari kesengsaraan yang telah dia buat sendiri.
Halusinasi katanya? Apa sekarang dia adalah seorang yang delusional?
“Ini bisa disebut skizofrenia, namun biasanya penderita penyakit ini lebih memandang orang yang dihalusinasikan bahaya baginya. Dalam kasusmu, kedatangan wanita ini ke dalam hidupmu memang membangkitkan semangatmu, itu adalah hal yang bagus. Kau mengalami perkembangan yang pesat dengan kehadirannya, tapi kau akan kesulitan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarmu jika kau terus membawanya dalam kehidupan nyata.” Dokter menjelaskan panjang lebar. “Ada berbagai macam pengobatan yang harus dilakukan, tapi itu hanya akan membuatmu menderita. Kurasa kau masih bisa ditangai dengan hipnotis, Tuan Lee.”
“Hip...notis?” Hyukjae terbata.
“Ya.” Sang dokter mengangguk. “Ini adalah pilihan paling bijak daripada membius atau mengurungmu di sel rumah sakit. Apakah kau bersedia melakukan ini? Maksudku, apakah kau bersedia menghilangkan kehadiran wanita ini dalam hidupmu? Karena, Tuan Lee, semua ini harus berawal dari keinginanmu sendiri.”
Selama beberapa menit, Hyukjae berpikir.
Ini harus dia lakukan demi masa depannya. Jika dia tidak memiliki orang yang masih peduli padanya, mungkin dia akan melanjutkan kepura-puraan ini. Tapi tidak, masih ada Donghae yang peduli padanya. Dia yakin dia bisa sembuh dan dia akan mencobanya.
“Aku bersedia, Dok.”
***
Hyukjae berdiri di gedung tertinggi pada malam itu. Sendirian. Tempat favoritnya saat memandang kota di malam hari. Angin kencang berhembus meniup rambutnya, dia sadar seseorang dari halusinasinya mencoba mendatanginya lagi.
“Oppa,”
Memejamkan matanya rapat-rapat, dia berusaha keras membuang suara itu. Namun, nada memohon itu seolah memaksanya untuk membuka mata. Saat itulah dia menatap Hyuri berdiri di hadapannya mengenakan gaun abu-abu.
“Kau seharusnya tidak kembali, Hyuri.” Hyukjae berkata lirih. “Kau tidak nyata.”
“Aku membantumu keluar dari penderitaan dan kau menolak kehadiranku sekarang, teganya kau.” Hyuri berbisik.
“Hyuri, kumohon, pergilah.”
Hyuri terisak, benar-benar isakan yang sangat menyedihkan. Tapi Hyukjae bertahan pada pendiriannya, dia tidak ingin bayang-bayang ini membelenggunya lagi dan membuat retak hubungannya dengan orang sekitar yang lebih nyata ketimbang wanita ini.
Hyuri mengembalikan cincin dari Hyukjae, menyodorkannya langsung ke tangan pria itu sambil berkata. “Kau tahu, kau telah menyakitiku, Oppa.” Dengan itu dia memalingkan wajah dan pergi.
Benar-benar pergi dan menghilang dari halusinasinya.
Hembusan nafas lega keluar begitu saja dari mulut Hyukjae. Tangannya meraih pagar pembatas di gedung pencakar langit itu, bertumpu pada benda metal itu karena khawatir tubuhnya bisa ambruk kapan saja. Kelegaan itu membawanya kembali pada dunia nyata yang ada di hadapannya. Ini memang harus segera di akhiri, batinnya.
Donghae menghampirinya tak lama kemudian. Pria itu berdiri di sampingnya, memandang kota di bawah sana. “Kau sudah lepas darinya?”
Hyukjae mengangguk. “Ya, kurasa.”
“Selamat datang di dunia nyata, Lee Hyukjae.”
Three