home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Love Story In School

Love Story In School

Share:
Author : MinamiMaretha
Published : 09 Mar 2015, Updated : 16 Jul 2015
Cast : Kim Suho, Yoo Youngjae, Jeon Jungkook, Choi So Yeon (OC) , Ryu Nana (OC)
Tags :
Status : Complete
2 Subscribes |25580 Views |2 Loves
Love Story in School
CHAPTER 5 : Happy But . . . Sick

Title : Love Story in School

Author : Minami Maretha

Genre : AU, School Life, Soft Romance, Angst

Rated : General

Length : Chapter

Casts :

*Choi So Yeon – OC

*Ryu Nana – OC

*EXO’s Suho

*B.A.P’s Youngjae

*BTS’s Jungkook and other casts  

Disclaimer : Minami Maretha © 2014. All casts of this fan fiction belong to themselves. But, this story is mine.

 

HAPPY READING!!!

 

 

            Murid-murid di kelas writing club menoleh saat pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok cantik yang bisa dipastikan ia adalah guru pembimbing kelas tersebut.

 

            “Selamat siang semuanya,” sapa guru bertubuh langsing itu dan tentu saja dijawab serempak oleh para muridnya. Guru wanita itu mengambil spidol lalu menuliskan sesuatu di papan tulis.

 

            “Licia Kim. Itu nama saya,” ujar Lissy begitu ia balik badan dan menatap para muridnya, “tapi kalian bisa panggil Miss Lissy. Dan kali ini saya yang akan membimbing kalian di kelas writing club.”

 

            “Baiklah sebelum kita mulai, ada yang ingin saya sampaikan terlebih dahulu. Kelas ini akan berkolaborasi dengan kelas drama. Jadi tugas kita di sini adalah yang menulis skenario untuk pementasan sebuah drama yang akan ditampilkan oleh anak-anak yang mengikuti kelas drama,” jelas Lissy.

 

            “Jadi, buatlah skenario yang baik dan mengesankan. Kalian semua mengerti?” lanjut wanita itu kini sudah duduk di kursinya. Matanya memperhatikan satu per satu murid yang tampak mengangguk.

 

            “Geurrae, kita mulai saja kelasnya. Ada yang langsung ingin menyampaikan ide ceritanya? Atau sudah punya gambaran akan membuat skenario yang seperti apa?” Pertanyaan Lissy langsung membuat beberapa siswa saling pandang. Sepertinya beberapa siswa siap menyampaikan ide ceritanya.

 

 

****

 

 

            Bibirnya menggerutu sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya. Sesekali tangannya menyendokkan salad kentang yang ia pesan diselingi sumpah serapah terdengar dari mulut kecilnya.

 

            “Jungkook sialan! Dia yang memberi ide cerita tapi kenapa aku yang harus buat ceritanya?” Kalimat itu yang terus-menerus keluar dari bibir Nana. “Awas saja jika aku bertemu dengannya nanti!” Salad kentang itu dimasukkan ke dalam mulutnya sedikit kasar, dan pandangannya kembali ke layar laptop.

 

            “Arrgh! Damn It!” Napas Nana memburu begitu sedikit berteriak tadi, beberapa orang di kantin menatapnya heran namun tidak dihiraukan sang gadis. Jari-jari Nana memijat pelan pelipisnya yang mendadak berdenyut.

 

            “Hei! Jangan teriak-teriak, ini di kantin bukan di hutan.” Nana menoleh saat ada yang menegurnya dan mendapati sosok itu sudah duduk di sampingnya tengah membawa nampan berisi spaghetti tuna.

 

            “Eotteo? Sudah selesai menulisnya? Sini biar kulihat!” gadis bermarga Ryu itu masih terkejut dan tak sadar laptop di depannya sudah bergeser. Mata hitam lelaki tersebut bergerak ke kiri dan ke kanan, membaca setiap kalimat yang tertuang di layar laptop. Sesekali garpu yang ia pegang menggulung salah satu makanan favoritnya itu.

 

            Jungkook memasukkan spaghetti itu ke dalam mulutnya sebelum berujar, “Sudah bagus. Ternyata dugaanku tidak salah melimpahkan tulisan ini padamu.” ia menggeser laptop putih itu lagi. “Kau bisa lanjutkan ceritanya, jika kesulitan beritahu aku.”

 

            “YA!” Nana menoyor keras kepala Jungkook. “Seenaknya saja bicara seperti itu. Aku lelah memutar otak untuk merangkai cerita ini dan kau hanya bilang begitu? Bantu aku, Jungkook-ah!”

 

            “Hei! Jangan menoyor kepala orang sembarangan! Aku sudah membantumu, memberitahu garis besar jalan ceritanya.”

 

            “Kau saja yang bodoh. Masa mengembangkan ide cerita yang kau sebutkan tadi tidak bisa? Dan melimpahkannya pada orang lain?”

 

            “Sudah jangan terus-menerus mengeluh. Cepat selesaikan!” Jungkook menyendokkan lagi spaghetti ke mulutnya. Ia tak mau berdebat dengan Nana karena pasti ujung-ujungnya ia kalah berdebat.

 

            Namun bukannya mengerjakan apa yang disuruh Jungkook, gadis bermarga Ryu ini malah cemberut. Atau mengeluarkan ekspresi seperti ingin menangis. Jungkook yang tak sengaja melirik menghentikan aktifitas makannya.

 

            “Jangan pasang ekspresi seperti itu.” Jungkook menaruh garpu lalu membetulkan posisinya—menghadap Nana. Dengan kedua telunjuknya, pemuda itu menarik sudut bibir Nana agar terlihat tersenyum.

 

            “Tersenyumlah. Kau jauh lebih manis jika tersenyum.”

 

            Nana terpaku sejenak tapi ia langsung menguasai diri. “Ya! Lepaskan!” Tangan sang gadis menurunkan tangan Jungkook di wajahnya.           “Tidak sopan menyentuh orang sembarangan. Aku tahu aku manis saat tersenyum. Tidak perlu dipertegas.”

 

            “Boleh aku duduk di sini? Semua kursi sudah penuh.” Tepat saat Nana berbalik, suara bariton seorang lelaki mengundang perhatian sepasang manusia ini. Keduanya serempak mendongak dan sepertinya sama sekali tidak terkejut. Bahkan salah satu dari mereka memasang wajah datar.

 

            “Jungkook-ah, aku harus kembali ke asrama. Di sini semakin ramai. Aku butuh tempat sepi untuk menulis cerita ini.” Nana segera membereskan barang-barangnya dan langsung pergi meninggalkan kantin. Membiarkan dua orang di meja yang baru saja ditempatinya itu menatap punggung tegap yang menghilang di tikungan.

 

            “Duduklah. Maaf atas sikapnya tadi.” Jungkook mempersilahkan sosok di depannya—yang ternyata Youngjae—untuk duduk sambil menggulung spaghettinya lagi.

 

            “Kau kenal dengan gadis itu?” tanya Youngjae.

 

            Jungkook mengangguk. “Ya, sekitar dua hari yang lalu kalau tidak salah. Ada sesuatu?”

 

            “Tidak. Tidak ada.” lelaki tersebut menggeleng seraya mengambil sumpit—bersiap menyantap bibimbap yang sudah ia pesan. Tapi ia tak mampu menahan rasa penasarannya untuk bertanya.

 

            “Hanya saja kalian terlihat sangat akrab sekali. Bahkan kupikir kalian adalah pasangan kekasih.”

 

            Satu alis Jungkook terangkat naik. “Dua hari bukan waktu yang cukup untuk saling mengenal. Lagipula kami hanya rekan kerja di ekstrakulikuler Writing Club.”

 

            “Begitu rupanya.” pemuda ini mulai melahap bibimbapnya. “Kita belum berkenalan. Yoo Youngjae imnida kelas 10 asrama Adonis. Kau?”

 

            “Jeon Jungkook imnida kelas 10 asrama Primrose. Bangapseumnida, Youngjae-ssi.” Jungkook membungkuk sedikit tubuhnya seraya tersenyum, mau tak mau Youngjae tersenyum lalu menyendokkan kembali bibimbap ke dalam mulut.

 

            Mata lelaki itu tak berhenti menatap Jungkook yang tampak asyik sendiri. Ada rasa tidak suka saat Jungkook bersenda gurau dengan Nana tadi. Tapi tunggu dulu. Bukankah dirinya menyukai So Yeon? Ada apa ini?

 

 

****

 

 

            Langkah kakinya terhenti saat mata hitamnya tak sengaja menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia mendekat untuk memastikan penglihatannya tidak salah.

 

            “Kenapa ada anak anjing di sini?” gumamnya sambil membawa anak anjing tersebut ke dalam gendongan. Dielusnya bulu putih itu—membuat hewan mungil itu nyaman digendongannya.

 

            Sebaiknya kubuat pengumuman saja, pikir lelaki ini dan ternyata Suho—sang ketua asrama laki-laki Primrose—yang tengah berjalan-jalan di jalan Lotus. Lantas ia melangkahkan tungkai kakinya meninggalkan jalan yang di samping kanan kirinya berjajar pohon-pohon raksasa.

 

            Namun belum seratus persen meninggalkan jalan Lotus, langkah Suho terhenti—untuk yang kedua kalinya. Ia menajamkan indra penglihatannya dan seketika tertegun. Antara percaya dan tidak.

 

            Bukankah itu Ji Hyun? Dan ia sedang bersama . . . .

 

            “Tidak mungkin!”

 

 

****

 

 

            So Yeon mempercepat langkahnya, tak peduli sepatunya kotor terkena lumpur atau basah karena cipratan air hujan. Tangannya menggenggam erat payung biru laut, berharap kabar yang sampai ke telinganya hanya bualan belaka.

 

            Kaki-kaki So Yeon berhenti di depan UKS yang pintunya sudah terbuka, ia tertegun melihat dua orang sedang sibuk menidurkan seseorang di ranjang UKS.

 

            “Hye Bi-ya.” Seorang gadis berambut hitam legam menoleh saat So Yeon memanggil namanya.

 

            “Untung kau segera datang, So Yeon-ah.” Hye Bi menginstruksikan So Yeon mendekat ke arah mereka.

 

            “Apa yang terjadi?” Setelah menutup payung dan menyimpannya di dekat pintu, So Yeon menuruti instruksi Hye Bi dan tertegun melihat siapa yang tertidur di salah satu tempat tidur UKS.

 

            Gadis bermarga Choi itu menatap sang ketua asrama perempuan Adonis. “Seul Ra?” bisik sang gadis sepelan mungkin—berharap suaranya tak membangunkan atau mengganggu konsentrasi seseorang yang tengah merawat Seul Ra yang masih tertidur pulas atau pingsan?

 

            “Sepertinya kelelahan atau terlalu lama kehujanan? Entahlah,” balas Hye Bi ikut berbisik. So Yeon menghela napas lalu mengalihkan tatapannya pada Kris yang masih setia mencelupkan handuk ke dalam sebuah baskom berisi air hangat.

 

            “Jangan cemas. Dia baik-baik saja. Hanya perlu istirahat.” Kris tersenyum lembut—seakan tahu apa yang dipikirkan So Yeon. Gadis berambut coklat ini tentu saja khawatir karena ini menyangkut saudara kembarnya. Tidak banyak yang tahu mereka kembar karena wajah mereka sama sekali tidak mirip. Hanya orang-orang terdekat.

 

            “Tapi tetap saja aku khawatir.” So Yeon menghela napasnya terlebih dahulu. “Terima kasih sudah membawanya kemari.”

 

            “Tidak masalah So Yeon-ah.” Hye Bi langsung merangkul bahu mungil gadis itu sambil sesekali memberi tepukkan semangat. “Tersenyumlah. Seul Ra baik-baik saja.”

 

            So Yeon mau tak mau menarik dua sudut bibirnya begitu Hye Bi mengusap jejak air mata di pipinya. Ia bahkan sama sekali tidak menyadari dirinya telah menangis, matanya kembali menatap sang kakak kembaran yang masih terlelap damai. Semoga ini bukan pertanda buruk.

 

 

****

 

 

            Ji Hyun mengangkat kepala dari buku bacaannya saat ia merasa ada seseorang duduk di bangku yang sama dengannya. “Apa yang kau lakukan di sini, Tao?”

 

            Tao menoleh sambil mengusap hidungnya. “Oh! Kau, Ji Hyun-ah. Aku hanya menghindar Suho yang sedang sibuk memperlihatkan hewan peliharaan barunya.”

 

            “Suho? Punya hewan peliharaan baru?”

 

            “Ya, tak sengaja ia temukan di jalan Lotus. Kau lihat pengumumannya ‘kan?”

 

            “Ye, tadi aku sekilas melihat pengumuman itu.” Ji Hyun menunduk lagi sambil membuka lembaran lain buku bacaannya. “Lalu kenapa menghindar? Jangan bilang kau alergi bulu hewan.”

 

            “Pertanyaanmu sudah kau jawab tadi, Nona Jung. Jadi, aku tidak perlu repot-repot menjawab.”

 

            “Jadi, benar kau alergi hewan?”

 

            “Menurutmu?” Tao mengusap hidungnya yang masih berlendir. Sedari tadi ia bersin-bersin dan baru detik ini berhenti. “Kau sendiri? Sepertinya seluruh murid Asian Pasific International High School akan tahu skandal terbesarmu dengan Lee Jong Hyun Songsaenim.”

 

            Mata sipit Ji Hyun melebar. “K-Kau ta-tahu?”

 

            “Sebelum Suho memamerkan hewan peliharaannya ia tak sengaja atau memang sengaja ingin memberitahuku berita itu. Katanya dia melihatmu dan guru IPA itu sedang duduk di rerumputan Bukit Salvia,” jelas Tao panjang lebar. “Hei! Kau tidak benar-benar serius menerima Jong Hyun Ssaem sebagai kekasihmu ‘kan?”

 

            Kening Tao mengernyit saat Ji Hyun sudah tidak ada lagi di sampingnya. Gadis itu pergi dengan sejuta makian yang hanya ditujukan untuk musuh bebuyutannya.

 

            “Ji Hyun-ah, jika mencari Suho dia ada di kamar asramanya.” Ji Hyun masih bisa menangkap suara Tao yang berteriak—memberitahukan keberadaan seseorang yang ingin ia bunuh saat ini juga.

 

            Kim Joon Myeon, bersiaplah mati!

 

 

****

 

 

            Langkah Youngjae terhenti saat matanya menangkap sosok tak asing. Terlihat seperti Nana, hanya saja gadis itu seperti sedang menunggu seseorang. Youngjae mendongak dan ternyata ia berhenti di depan bioskop mini Asian Pasific International High School, lelaki itu menatap kembali sang gadis yang masih berdiri di tempatnya.

 

            Entah hanya perasaannya saja atau ia habis terbentur sesuatu, dalam hatinya ia mengakui penampilan Nana kali ini. Terusan soft pink dengan motif garis-garis, heels emas yang tidak terlalu tinggi, rambutnya dibiarkan tergerai alami dan sebagai pemanis jepit rambut merah diselipkan di antara rambut coklatnya. Nana berdiri gelisah seraya mengedarkan pandangan—mencari sosok yang akan menonton bersama gadis tersebut.

 

            Youngjae baru sadar ini sudah memasuki akhir pekan. Dan bioskop memang buka di hari Sabtu. Tapi pertanyaannya adalah Nana akan menonton di bioskop? Dengan siapa?

 

            “Apa aku terlambat?” Youngjae tersentak dari lamunan saat suara berat tapi terdengar lembut itu. Bola mata Youngjae nyaris jatuh saat tahu siapa yang ditunggu Nana.

 

            “Aniyo. Aku juga baru sampai.” Nana tersenyum. “Ayo, filmnya sudah menunggu.”

 

            Lalu dua orang itu masuk ke dalam. Meninggalkan Youngjae yang masih mematung di tempatnya. Ia tak percaya. Nana sama sekali tidak melihatnya di sini—yang hanya berjarak beberapa meter di tempat gadis itu berdiri tadi. Meski Youngjae sempat melihat Nana melirik ke arahnya, namun tak tak lantas membuat gadis bermarga Ryu tadi langsung menghampiri dan menyapanya.

 

            Sebegitu bencikah Nana padanya? Apa Nana terluka karenanya?

 

 

****

 

 

            So Yeon memicingkan mata—berusaha mempertajam indra penglihatannya—saat siluet biru itu menghilang di balik pepohonan besar jalan Lotus. Bahkan gadis itu tak sadar sosok yang ditunggunya sudah datang.

 

            “Kau mencari sesuatu, So Yeon-ah?” Pertanyaan tersebut sedikit mengagetkan So Yeon dan tersadar bahwa dirinya sedikit tidak mengacuhkan keberadaan Suho yang baru tiba dengan sepedanya. Area Asian Pasific International High School sangat bersih, maka dari itu para siswa dan guru hanya diperbolehkan mengendarai sepeda yang sudah disediakan di sepanjang jalan ini. Atau jika ingin sekalian berolahraga, jalan kaki juga bagus. Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai ke gerbang utama sekolah—yang terhubung dengan dunia luar.

 

            Sesuai janji, keduanya kini bersiap jalan-jalan karena ini sudah memasuki akhir pekan. Namun hembusan angin sore membuat keduanya sama-sama menggunakan mantel—menghindari angin dingin yang akan membuat mereka sakit.

 

            “Tidak,” sahut So Yeon pendek. “Hanya saja aku seperti melihat ada seseorang yang sedari tadi memperhatikanku dari jauh. Entah siapa itu.”

 

            “Seseorang?” Suho mengernyit lalu mengikuti arah pandang gadis itu. Tak ada siapapun. Hanya pohon menjulang tinggi yang daunnya melambai ditiup angin. “Mungkin hanya perasaanmu saja.”

 

            “Kau benar. Mungkin hanya perasaanku.” So Yeon menjatuhkan pandangannya pada jalan setapak. Meski ia bicara seperti itu tapi sudut hatinya berkata lain. Ia yakin sekali tadi ada sosok yang menatapnya intens.

 

            “Jadi pergi tidak?” Lagi-lagi pertanyaan Suho menyadarkannya dari lamunan dan kali ini gadis tersebut sedikit bersalah.

 

            “Y-Ya, jadi.” So Yeon langsung memposisikan dirinya duduk di kursi penumpang. Sesekali ia merapikan roknya yang kusut.

 

            “Mungkin orang itu menatapmu karena kau cantik memakai rok.” Suara Suho terdengar. “Setahuku kau jarang memakai rok ‘kan? Perasaanku mengatakan kalau orang itu terpesona atau—Aaww!” Ucapan lelaki bermarga Kim ini berganti dengan ringisan kecil karena ia merasakan pinggangnya dicubit So Yeon.

 

            “Sudah jangan banyak bicara. Kita pergi sekarang sebelum sore.” So Yeon melingkarkan tangannya ragu. “Tapi jangan terlalu cepat.”

 

            Suho menunduk—melihat sepasang jari-jari lentik itu saling terikat satu sama lain. Tubuhnya serasa dialiri listrik, sensasinya aneh tapi menyenangkan. Tanpa sadar bibirnya membentuk satu senyuman manis.

 

            “Baiklah.” Suho pun mengenjot pelan pedal sepeda abu-abu itu. Meninggalkan jalan Lotus yang daunnya berguguran karena ditiup angin. Meninggalkan sepasang mata yang sejak tadi memandang mereka dengan tatapan tidak suka. Dan datar tanpa ekspresi.

 

 

****

 

 

            Jungkook hanya bisa pasrah, membiarkan tangannya ditarik Nana yang sepertinya sudah tidak sabar ingin menonton film The Legend of Hercules. Film itu sebenarnya biasa saja dan sama sekali tidak membuat lelaki itu antusias karena ia tidak begitu minat dengan genre film tersebut. Tapi karena tadi Nana yang memilih, jadi sungkan untuk ditolak.

 

            Sore ini keduanya janji menonton bersama, Nana yang mengajak dan tentu saja Jungkook tak menolak ajakkan gadis itu. Keduanya sepakat, Nana yang membeli popcorn dan minuman, sedangkan Jungkook yang membeli tiket. Sepertinya cukup adil.

 

            “Aww!!” Ringisan Jungkook membuat Nana menoleh dan otomatis langkah keduanya terhenti.

 

            “Ada apa?”

 

            “Hanya tersandung. Jalannya tidak perlu terlalu cepat. Aku tahu kau bersemangat sekali, tapi satu tanganku membawa popcorn. Kumohon kau mengerti.” Nana menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia bahkan tidak sadar terlalu bersemangat sampai-sampai menarik tangan lelaki itu dan menyebabkan kaki Jungkook tersandung salah satu bangku studio satu.

 

            “Maaf.” Nana menampilkan cengiran khasnya lantas duduk di barisan kedua studio berukuran mini ini. Suasananya memang seperti bioskop sungguhan hanya saja lebih kecil dengan kursi empuk dan nyaman.

 

            Tak lama film dimulai. Film yang dibintangi Kellan Lutz hanya cerita klasik yang diangkat ke layar lebar. Namun dengan sentuhan action yang nyata dan merupakan salah satu box office yang paling dicari.

 

            Nana tampak begitu serius menonton, sesekali tangannya mengambil popcorn berukuran yang diletakkan di tengah-tengah dirinya dan Jungkook. Tak lupa ia menyeruput minuman sodanya.

 

            Namun tak sampai film setengah jalan, Jungkook mulai mengantuk. Berkali-kali ia menegakkan tubuhnya karena nyaris saja tertidur dengan posisi duduk sambil menopangkan pipinya di dagu. Tapi rasa kantuk yang menderanya membuat ia menyerah. Kelopak matanya perlahan menutup, ditambah lagi suara musik klasik yang terdengar lembut semakin membuatnya terlelap tanpa bisa dicegah. Meski ia tahu Nana akan memarahinya habis-habisan karena dirinya tertidur saat film masih berjalan.

 

            Sekitar dua jam film selesai. Nana yang memang menikmati film itu langsung bertepuk tangan—memberikan applause seakan-akan ia disuguhi film sangat bagus. Begitu menoleh ke kiri ia terkejut melihat Jungkook tertidur, ia memutar bola matanya malas. Jika lelaki itu tidak suka dengan filmnya kenapa tidak bilang saja? Malah tertidur seperti sang pemuda kekurangan jatah tidur.

 

            “Jungkook-ah, ireona.” Nana mengguncang pelan bahu Jungkook. “Filmnya sudah selesai. Ayo kita kembali.”

 

            Tidak ada reaksi. Bahkan Jungkook masih betah pada posisinya. Kelopak mata laki-laki bermarga Jeon itu seperti direkatkan oleh lem. Sukar untuk dibuka.

 

            “Jungkook-ah, ayo bangun. Atau kutinggalkan kau sendirian di sini.” Kini Nana mengeluarkan ancaman—berharap Jungkook akan terbangun—namun sayang faktanya tidak berkata demikian. Astaga! Apa Jungkook berubah menjadi Sleeping Prince dalam dua jam?

 

            Eh? Sleeping Prince?

 

            Putra Tidur?

 

            Tiba-tiba Nana terpikir sesuatu. Ia mendekatkan bibirnya tepat ke telinga Jungkook lalu berbisik pelan, “Hei, Sleeping Prince, wake up! Jika kau tidak bangun dalam sepuluh detik, maka aku akan menciummu.”

 

            Tentu saja perkataan Nana hanya gurauan, dan gadis ini sedikit terkekeh begitu selesai mengucapkan beberapa kata mujarab berharap lelaki bernama lengkap Jeon Jungkook itu segera bangun dari tidur-tidak-sengajanya.

 

            Entah karena insting atau tidak mau dicium, Jungkook membuka matanya lebar-lebar lalu menoleh. Tepat di mana Nana belum sepenuhnya menarik kepalanya untuk menjauh. Wajah mereka cukup dekat dan sama-sama merasakan deru napas masing-masing. Keduanya hanya diam seperti terhipnotis satu sama lain.

 

            “Baiklah aku bangun.” Jungkook langsung berdiri karena takut terhanyut dan berbuat yang aneh-aneh. Dadanya bergemuruh hebat, dan kakinya sedikit gemetar. Apa karena efek yang tadi? Ck! Mustahil.

 

            “Filmnya sudah selesai ‘kan? Sekarang kita mau kemana?”

 

            Nihil. Nana seperti kehilangan pita suaranya, tak ada pergerakan yang berarti dari bibir tipisnya.

 

            “Nana-ya.” Sebuah tepukkan pelan di bahu Nana membuat sang gadis tersentak.

 

            “Ya?”

 

            Jungkook tersenyum maklum. Mungkin Nana hanya melamun atau terlalu banyak berpikir. “Kita mau kemana setelah ini?”

 

            “Eum . . . Rumah pohon?” tanya gadis itu ragu. Entahlah, hanya itu yang terlintas di pikirannya. Lagipula ia juga belum pernah ke sana.

 

            “Geurrae, kita ke sana.” Jungkook langsung menggenggam tangan gadis itu meninggalkan studio satu. Meninggalkan sepasang manusia yang baru saja memasuki area bioskop. Nana melirik sekilas. Sepertinya itu Yixing Sunbae dan Meizhu Sunbae.

 

            Tangan mereka masih bertautan. Namun anehnya Nana membiarkan jari-jemarinya digenggam erat oleh Jungkook. Rasa itu muncul lagi, dan benda hidup di dadanya mulai bertalu kencang.

 

            Aish, sebenarnya aku ini kenapa? batin Nana.

 

 

****

 

 

            Bus berwarna kuning pucat itu berjalan pelan, meninggalkan distrik Asian Pasific dengan kepulan asap putih. Kursi di bagian belakang diisi dua orang yang duduk bersebelahan. Salah satu dari mereka meletakkan kepalanya di bahu tegap itu—membuat sang pemilik bahu menoleh sekaligus menghentikan aktifitasnya.

 

            “Ada apa?”

 

            “Tidak ada.” Hanya jawaban singkat, namun tangan gadis itu mengambil sebelah headset yang baru saja dikeluarkan dari saku mantel Suho.

 

            So Yeon memasangkan sebelah headset ke telinga kanannya, begitu pula Suho. Musik berirama pelan mulai terdengar dan seketika membuat So Yeon memejamkan mata—seakan menikmati.

 

            “So Yeon-ah.”

 

            “Hmm?”

 

            Suho tersenyum sambil merapikan poni gadis itu yang sedikit berantakan. “Aniya. Kupikir kau tertidur.”

 

            “Aku tidak tertidur. Hanya menikmati lagu yang sedang diputar. Lagu ini lagu favoritku.”

 

            “Jeongmalyo? Forever Love lagu favoritmu?”

 

            Hanya sebuah anggukkan yang menjadi jawaban dari pertanyaan Suho tadi. Gadis itu terlalu menghayati setiap lirik yang dinyanyikan oleh Yunho dan kawan-kawan.

 

            Mata Suho terus memperhatikan So Yeon yang masih terpejam, ia . . . terlalu terpesona oleh gadis ini. Dan ia sudah jatuh terlalu dalam dengan pesona yang dipancarkan sang gadis.

 

            “So Yeon-ah,” panggil Suho lagi. “Lihat aku.”

 

            So Yeon menghela napas pelan dan mau tak mau menegakkan kepalanya. “Ada apa eum?”

 

            Tanpa basa-basi Suho mendekatkan wajahnya dan tepat menempelkan bibirnya ke bibir pink yang sedari tadi ingin ia cium. So Yeon mengedipkan mata beberapa kali—mencoba mempelajari situasi ini, anehnya gadis tersebut baru tersadar beberapa detik kemudian. Beruntung bus hanya diisi beberapa kursi. Jika tidak, mungkin skandal keduanya yang sedang berciuman di dalam bus langsung menyebar.

 

            So Yeon segera menarik kepalanya dan langsung menatap tajam Suho dengan tatapan apa-yang-kau-lakukan?

 

            “Menciummu. Lalu apa lagi?”

 

            Aish! Wajah sok polos itu benar-benar memuakkan.

 

            “Akkh! Pabo! Kau menginjak kakiku?” Suho bertanya tak percaya sambil menunduk—membuat headset di sebelah telinganya terlepas. Bibirnya meringis kecil memegangi kakinya yang baru saja diinjak So Yeon.

 

            “Tentu saja, lalu apalagi?” So Yeon menirukan ucapan Suho sebelum lelaki tersebut kini sibuk mengadu kesakitan. Ia terkekeh sendiri melihat ekspresi kesakitan Suho, tapi laki-laki ini sudah merebut ciuman pertamanya. Dan Suho pantas mendapatkan itu.

 

            “Haish! Dasar bodoh!” Suho menegakkan kembali tubuhnya sambil mengumpat kesal. Memuji gadis itu karena memakai rok mendapat cubitan di pinggang, mencium sang gadis tepat di bibir mendapat injakkan, habis itu apa? So Yeon memang manis tapi bisa kasar juga.

 

            Bus berhenti di tempat tujuan mereka. Suho menatap sekeliling dan ya, ini adalah tempat tujuannya. Suho tersenyum tipis.

 

            “Kita sudah sampai.”

 

            “Eh? Sampai?” tanya So Yeon yang baru menempelkan headset yang tidak sengaja terjatuh ke telinganya.

 

            “Ne, kita sampai.” Suho berdiri diikuti gadis tersebut. Tangan Suho melepaskan headset putih yang masih melekat di telinga So Yeon, memasukkannya ke saku mantel coklat milik sang pemuda.

 

            “Ayo.”

 

 

****

 

 

            Obrolan Hae Rin dan Sung Hwa terhenti saat salah satu dari mereka melihat sesuatu yang menarik. Sudah hampir menuju jam malam, dan Sung Hwa menggantikan Kris yang berhalangan untuk mengumumkan jam malam. Ia meminta Hae Rin untuk menemaninya—karena jujur ia takut berjaga sendirian di ruang Osis.

 

            “Hae Rin-ah, ada apa?” tanya Sung Hwa tak mengerti kenapa Hae Rin tiba-tiba berhenti.

 

            “Itu.” Hae Rin menunjuk seseorang yang berjalan menuju mereka, Sung Hwa menoleh—mengikuti telunjuk gadis itu. Dan ternyata benar, siluet hitam yang sedang menggendong seseorang tengah berjalan ke arah keduanya.

 

            “Apa yang terjadi di sini?” Hae Rin bertanya begitu siluet itu ternyata sosok lelaki. Mungkin adik kelasnya.

 

            “Dia pingsan. Aku akan membawanya ke UKS,” sahut lelaki tersebut mengedikkan kepala—menunjuk punggungnya yang membawa seseorang.

 

            “Baiklah, tapi sebaiknya cepat. Ini sudah waktunya jam malam,” Sung Hwa memperingatkan, pemuda itu mengangguk lantas meninggalkan dua gadis yang saling melempar pandang bingung. Gadis yang berada digendongan pemuda tersebut dalam keadaan pucat, apa sedang sakit?

 

            Begitu Hae Rin dan Sung Hwa berbalik, mereka terkejut karena di belakang mereka ternyata ada sosok laki-laki lain yang juga ikut terkejut.

 

            “Aku hanya sedang berjalan-jalan. Aku akan segera kembali ke asrama.” Sebelum Sung Hwa membuka mulut, lelaki tersebut—dan ternyata Youngjae—langsung berucap kemudian lantas berbalik. Berjalan menuju asrama Adonis, meninggalkan Sung Hwa dan Hae Rin yang berjalan menuju ruang Osis.

 

            Namun langkah Youngjae terhenti sebelum benar-benar sampai di dalam asramanya. Terlalu banyak yang ia pikirkan. Salah satunya sosok gadis yang berada di gendongan lelaki yang ia tahu itu Jungkook. Apa yang dilakukan Jungkook? Apa dia menyakiti Nana?

 

            Youngjae berbalik, melupakan tujuan awalnya untuk kembali ke asrama. Kaki-kakinya malah berjalan menuju UKS. Ia harus melihat sendiri apa yang terjadi. Ia harus melihat sendiri sebenarnya apa yang terjadi pada Nana. Hatinya diliputi kekhawatiran tentang gadis itu.

 

 

To Be Continued

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK