“Bagaimana menurutmu, Myung Soo-ah?” Mr. Kang menepuk bahu Myung Soo yang berdiri disebelahnya.
Pandangan mata Myung Soo beredar. Ada begitu banyak kemewahan di dalam ruangan itu. Sepasang sofa yang saling berhadapan, satu meja kaca yang diatasnya terdapat satu ember es berisi wine dan dua gelas krystal di sebelahnya, dua guci besar yang tergeletak di sudut ruangan, beberapa foto besar berbingkai kayu pahatan tangan profesional sewaan Mr. Kang.
“Siapa mereka?” Myung Soo menunjuk wajah-wajah asing yang mengisi bingkai foto pada dinding di ruangan itu.
“Mereka semua petinju asuhanku,” jawab Mr. Kang seraya berjalan ke salah satu foto berbingkai coklat. “Dia….yakin kau tidak mengenalnya?”
Myung Soo maju menghampiri Mr. Kang untuk melihat foto petinju yang Mr. Kang tunjuk. Spontan matanya terbelalak menatap foto tersebut, sementara Mr. Kang masih diam di tempatnya berdiri.
“Dia…” gumam Myung Soo pelan.
“Kim Jang Min,” ucap Mr. Kang perlahan, membuat tangan Myung Soo otomatis mengepal kuat. “Seharusnya kau mengenal petinju hebat seperti dia.”
Myung Soo akhirnya menggeleng setelah lama terdiam dengan tatapan nanar ke arah foto berbingkai coklat di depannya.
“Aku tidak begitu pandai mengingat wajah orang lain,” jawab Myung Soo pelan. “Petinju ini…rasanya baru hari ini aku mendengar namanya.”
Mr. Kang tidak lagi bertanya. Dia pun membopong tubuh besarnya menuju sofa yang berhadapan dengan meja kaca.
“Kita minum dulu untuk mencairkan suasana,” ucap Mr. Kang seraya menuangkan wine pada gelas krystal milik Myungsoo dan miliknya sendiri. “Ruangan ini…aku akan berada disini untuk waktu-waktu tertentu. Dan kau, akan berlatih di lantai bawah. Untuk kamar tidurmu berada di atas ruangan ini.”
Myung Soo yang masih fokus menatap foto petinju Kim Jang Min tidak mendengar celotehan Mr. Kang. Sampai akhirnya Mr. Kang kembali menghampirinya sambil membawa gelas Myung Soo.
“Kau tertarik dengan Kim Jang Min?” tanya Mr. Kang seraya memberikan gelas wine pada Myung Soo. “Kau ingin bertemu dengannya?”
Wajah Myung Soo mendadak mengeras saat mendengar pertanyaan Mr. Kang. Ingin sekali Myung Soo menjawab, “Bukankah dia sudah meninggal? Kenapa aku ingin bertemu dengan orang yang sudah mati?”, tetapi dirinya terlalu pintar untuk tidak memulai masalah di antara Mr. Kang pada hari pertama dirinya datang ke tempat latihan barunya ini. Myung Soo pun lebih memilih diam dan meneguk winenya perlahan.
“Kau tidak akan bisa menemuinya, Myung Soo-ah,” ucap Mr. Kang setelah meneguk winenya sampai tuntas. “Dia sudah mati.”
Myung Soo tahu akan hal itu. Dia sangat tahu.
“Saat itu aku menjadi salah satu orang yang terkejut mendengar berita kematiannya,” sambung Mr. Kang bercerita. “Kuakui dia adalah salah satu petinju favoritku. Setelah dirinya memutuskan untuk berdiri sendiri tanpa harus bergantung lagi padaku, sejak saat itu aku jadi jarang melihatnya. Entah apa yang dia lakukan setelah memutuskan berpisah jalan denganku. Masih bertinjukah atau mungkin dia melakukan hal lain diluar bidang tinju. Aku dengar dia menikahi seorang gadis lalu pergi. Aku juga dengar dia terlibat masalah hutang karena berhubungan dengan depkolektor kelas berat. Ada yang bilang Jang Min memiliki anak yang berhasil dilahirkan tepat dihari yang sama saat kematiannya terjadi. Entahlah berita mana yang harus kupercaya.”
Myung Soo terdiam tanpa membalas satu kata pun yang Mr. Kang ucapkan. Kini perasaannya resmi diliputi perasaan sedih ketika Mr. Kang berhasil menguak semua memory sang ayah yang bahkan belum pernah Myung Soo lihat wujudnya.
“Kim Jang Min…aku berharap aku bisa seperti dia,” ucap Myung Soo pelan.
Mr. Kang pun spontan meletakkan tangan gempalnya di atas bahu Myung Soo.
“Kau sedang menuju kesana,” ucap Myung Soo. “Hanya tinggal beberapa langkah lagi, Myung Soo-ah.”
Myung Soo mengangguk seraya menatap Mr. Kang yang kini sedang berjalan menuju meja wine.
“Satu gelas lagi untuk merayakan kerja sama kita,” ucap Mr. Kang seraya menuangkan wine ke dalam gelasnya sendiri.
**
Jiyeon menatap dua tubuh besar bodyguard sang ayah yang sedang berjaga di depan pintu kelas kampusnya.
“Memalukan,” desah Jiyeon seraya menundukkan kepala. Sepanjang kelas berlangsung Jiyeon tidak dapat menyimak setiap ucapan yang keluar dari mulut sang dosen karena dirinya terlalu sibuk menyembunyikan wajahnya di balik rambutnya yang sengaja di gerai ke depan.
“Ayahmu benar-benar menakjubkan,” desis Eunji yang duduk di sebelah Jiyeon.
“Menakjubkan?” Dahi Jiyeon berkerut bingung. “Menyebalkan, maksudmu?”
“Apa kedua bodyguard ayahmu itu tidak lelah selama tiga jam full berdiri di depan pintu?” tanya Eunji.
“Jangan tanyakan sesuatu yang berhubungan dengan ayahku−ayah angkatku lebih tepatnya,” jawab Jiyeon seraya mencoret-coret buku catatannya. “Dulu dia menyebalkan, sekarang dia lebih menyebalkan.”
“Lalu apa rencanamu?” tanya Eunji tiba-tiba dengan pandangan penuh arti.
“Mwo?” tanya Jiyeon tidak mengerti. “Apa maksudmu?”
“Aku selalu berpikir bahwa ada baiknya jika kau kembali ke rumah orangtua angkatmu, tetapi setelah mendengar dan melihat keadaan hidupmu yang sekarang…aku jadi merasa ayah angkatmu mulai sedikit gila. Bagaimana bisa dia mengurungmu seperti binatang piaraan? Kejam sekali,” racau Eunji dengan pandangan yang masih tertuju ke arah dua bodgyguard di balik pintu.
“Jadi?” Kedua alis Jiyeon kini bertaut.
“Kau mau terus-terusan diperlakukan seperti sekarang? Aku bersumpah akan pura-pura tidak mengenalmu selama kedua bodyguard itu terus mengikutimu,” jawab Eunji. “Kabur, Jiyeon-ah. Aku akan membantumu.”
Seperti mendapatkan pertolongan dari dewa, senyum yang selama tiga hari ini memudar dari wajah Jiyeon kini muncul kembali.
“J-jinjiha?” tanya Jiyeon dengan pekik tertahan. Sang dosen yang sudah berumur masih sibuk menuliskan sesuatu pada whiteboard di depan hidungnya, seakan-akan dia tidak mendengar kebisingan dari meja Jiyeon dan Eunji.
Eunji mengangguk mantab.
“Tapi bagaimana caranya?” tanya Jiyeon putus asa.
“Tenang saja,” jawab Eunji. “Aku sudah memikirkan semuanya disini…” Eunji menunjuk kepalanya seraya tersenyum licik. “….dikepalaku.”
**
Kim Myung Soo mengusap peluh yang bermunculan pada wajah mulusnya sementara Sunggyu sedang mengambilkan air untuknya.
“Daebak!” seru Sunggyu seraya menatap botol minuman Myung Soo. “Mr. Kang benar-benar namja terkaya yang pernah kutemui. Lihatlah, dia benar-benar memberikan sponsor sebanyak ini. Dan jujur ini pertama kalinya aku memegang botol minuman ini. Mereka menjualnya dengan harga yang kelewat tinggi, sehingga manusia berkantung tipis sepertiku tidak akan pernah memiliki kesempatan bahkan hanya untuk menyentuh botolnya saja.”
“Berhenti menggerutu,” ucap Myung Soo seraya mengambil botol minumannya dari tangan Sunggyu.
“Aku juga mau minum!” seru Sunggyu seraya mengambil satu botol lagi dari dalam kardus yang berisi berbotol-botol minuman penambah ion tubuh yang sengaja Mr. Kang siapkan untuk Myung Soo.
“Tetapi…” Sungjae si maknae tiba-tiba bersuara. “…Mr. Kang sepertinya tidak menganggap kami ada.”
Myung Soo pun mendongak untuk menatap wajah melas Sungjae bersama dengan keempat anak didik Gongchul lainnya.
“Kalau begitu beruntunglah kalian,” jawab Myung Soo seraya kembali naik ke atas ring.
“M-maksudmu, Hyung?” tanya Sungjae tidak mengerti.
“Tetaplah bersama dengan Gongchul,” jawab Myung Soo. “Dan jangan pernah berpikir untuk bergabung dengan Mr. Kang jika kau mau…”
Suara Myung Soo terhenti saat melihat kedatangan Mr. Kang bersama dengan Gongchul ke dalam arena latihan.
“Myung Soo-ah, Mr. Kang ingin bicara denganmu,” ucap Gongchul seraya menarik kelima anak buahnya untuk menyingkir dari hadapan Mr. Kang.
“Myung Soo-ah, untuk pertama kalinya aku akan menyalurkanmu pada pertandingan besar di Gangnam,” ucap Mr. Kang seraya menarik senyum kepada Myung Soo. “Lusa, Gongchul akan mengantarmu ke GamBox World. Tunjukkan kemampuanmu dan kau akan bisa menjadi seperti Kim Jang Min.”
Myung Soo hanya mengangguk pelan sementara Gongchul terlihat sedang menahan nafas saat Mr. Kang menyebut nama petinju itu.
Malam harinya…
“Mr. Kang…..sepertinya dia tidak tahu siapa aku,” ucap Myung Soo yang sedang duduk bersama Gongchul di depan danau sambil menikmati soju.
“Tentu saja dia tidak tahu,” jawab Gongchul setelah meneguk botol sojunya. “Ayahmu merahasiakanmu dengan sangat baik.”
“Apa maksudmu, Hyung?” tanya Myung Soo tidak mengerti.
“Perlu kau tahu, Myung Soo-ah…” ucap Gongchul. “Setiap petinju pasti memiliki musuh. Musuh yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Ayahmu, Kim Jang Min, salah petinju yang cukup melegenda yang ternyata memiliki banyak musuh. Aigo…rasanya aku tidak pantas berbicara seperti ini. Dan memang bukan aku sebetulnya yang harus mengatakan hal ini padamu.”
“Apa maksudmu, Hyung? Aku benar-benar tidak mengerti,” ucap Myung Soo penasaran.
“Apa ibumu tidak pernah memberitahumu?” tanya Gongchul dengan dahi penuh kerut.
Myung Soo tidak sabaran.
“Apa kau tahu semua rahasia tentang ayahku?” tanya Myung Soo seraya mengubah posisi duduknya lebih menghadap Gongchul.
“Harusnya aku tidak berbicara terlalu banyak jika ibumu saja tidak mau memberitahumu,” desah Gongchul merasa keberatan untuk bercerita.
“Hyung, selamanya ibuku tidak akan pernah memberitahuku, semuanya…yang berhubungan dengan ayahku. Termasuk tinju,” ucap Myung Soo menekankan “Jika bukan karena kau, aku yakin sampai saat ini ibuku tidak akan pernah mengizinkanku bertinju.”
Gongchul masih belum bersuara.
“Hyung, aku cuma ingin tahu kehidupan ayahku seperti apa dulunya,” pinta Myung Soo tidak menyerah.
“Dengar, Myung Soo-ah,” Gongchul kini menepuk bahu Myung Soo. “Ada alasan mengapa aku menerima kerja sama dengan Mr. Kang.”
Myung Soo terdiam, sementara matanya menatap fokus ke arah Gongchul,
“Kau pasti berpikir aku gila, mengapa aku bisa menerima kerja sama dan menyerahkanmu pada Mr. Kang,” sambung Gongchul. “Ini bukan untukku. Ini untukmu dan untuk almarhum ayahmu.”
Myung Soo menggeleng seraya berkata, “Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu.”
“Satu hal yang perlu kau tahu, aku sudah menganggap ayahmu sebagai kakakku,” ucap Gongchul. “Selain ibumu, ada aku yang tidak bisa menerima kematian Jang Min-Hyung. Melihat dirimu, aku merasa seperti melihat Jang Min-Hyung. Semangatmu dan semangat Jang Min-Hyung hampir tidak bisa di bedakan. Maka dari itu, aku tidak percaya saat kau bilang tinju sama artinya dengan uang. Kau hanya butuh uang, kau tidak benar-benar mencintai tinju. Aku tahu kau sedang berbohong, Myung Soo-ah. Kau mencintai tinju. Hanya saja kau terlalu takut untuk melanggar janji pada ibumu. Luka-luka pada tubuhmu itu sama artinya dengan luka-luka pada hati ibumu. Kau hanya tidak ingin membuat ibumu menangis. Dan aku mengerti.”
Myung Soo terdiam tanpa bicara sepatah kata pun.
“Maafkan aku jika aku belum bisa memberitahu sekarang pasal Mr. Kang,” sambung Gongchul membuat Myung Soo mendadak kecewa. “Tetapi aku berjanji akan memberitahumu jika waktunya sudah tepat. Saat ini, yang perlu kau lakukan hanya satu, jangan pernah membuat Mr. Kang kecewa. Tunjukkan padanya bahwa kau adalah pilihannya yang tepat.”
“Kau membuatku bingung dan putus asa, Hyung,” desah Myung Soo seraya meneguk sojunya lagi.
“Jangan, Myung Soo-ah,” ucap Gongchul lagi-lagi menepuk bahu Myung Soo. “Jangan pernah putus asa. Lakukan semua ini demi ayahmu.”
**
“Kini aku resmi menjadi buronan,” ucap Jiyeon usai tertawa terbahak-bahak. “Dan ngomong-ngomong, mobil siapa ini?” tanya Jiyeon di sebelah Eunji sedang fokus menyetir mobil.
“Mobil Minho,” jawab Eunji sambil tertawa, membuat Jiyeon spontan terkejut. “Aku ceritakan semua masalahmu pada Minho. Dan dia simpatik. Sudah pasti, dia kan menyukaimu. Maka dari itu dia langsung meminjamkan mobilnya padaku.”
“Lalu kemana kita sekarang?” tanya Jiyeon lagi.
“Ke apartemen Minho tentunya,” jawab Eunji lagi-lagi membuat Jiyeon terkejut.
“M-mwo?” tanya Jiyeon mendadak gugup. “Micheosseo?”
“Untuk seminggu ini kau aman di apartemen Minho,” ucap Eunji menjelaskan.
“Lalu kau pikir aku mau tinggal berduaan dengannya di dalam satu apartemen selama satu minggu?” protes Jiyeon.
“Kau harus mau karena aku sudang bilang padanya,” jawab Eunji sambil menahan tawa.
“Kau benar-benar sudah gila,” desah Jiyeon seraya mengurut keningnya.
“Hahaha, kau benar-benar mengira kau akan tinggal berduaan dengannya di dalam satu apartemen?” Tawa Eunji meledak. “Kau yang gila, Jiyeon-ah. Minho pun tidak akan mengizinkan aku meninggalkanmu dengannya hanya berduaan saja.”
“Apa maksudmu?” tanya Jiyeon tidak mengerti.
“Dia akan pergi ke Thailand selama satu minggu untuk mengikuti pelatihan khusus. Dan dengan baik hatinya, dia menyerahkan kunci apartemennya pada kita tepat pagi tadi,” ucap Eunji seraya mengeluarkan kunci apartemen Minho dan menggoyang-goyangkannya di udara.
“Daebak,” ucap Jiyeon tidak percaya.
“Tinggal sebut namamu, Minho pun akan mau melakukan apa saja,” ucap Eunji.
“Tetapi aku benar-benar merasa tidak enak padanya,” ucap Jiyeon.
“Kenapa kau harus merasa tidak enak segala?” tanya Eunji seraya membanting setir kekiri. “Apa kau masih belum percaya bahwa Minho menyukaimu?”
Jiyeon terdiam.
“Kau benar-benar bodoh, Jiyeon-ah,” desah Eunji seraya menggeleng kepala. “Apa itu benar-benar kenaifanmu atau kau hanya berusaha membutakan diri?”
“Aku hanya tidak mau berpikir terlalu jauh pada seseorang yang baru aku kenal,” ucap Jiyeon menjawab.
“Lalu bagaimana dengan Myung Soo?” tanya Eunji tiba-tiba menyebut satu nama yang belakangan ini mengganggu pikiran Jiyeon. “Aku tidak menyangka kau bisa secepat itu akrab dengan Myung Soo.”
“I-itu…” Jiyeon mendadak tergagap.
“Jujur deh padaku….” ucap Eunji seraya melirik sekilas ke arah Jiyeon. “….apa kau menyukai Myung Soo?”
Kegugupan semakin merajai Jiyeon.
“M-mworago? M-mi-micheosseo?” Jiyeon berusaha mengalihkan wajahnya yang sudah memerah.
“Aku bisa menebak perasaanmu hanya cukup dengan melihat ekspresi wajahmu,” ucap Eunji yang berhasil menebak perasaan Jiyeon. “Sekarang berhenti berbohong padaku dan katakan yang sejujurnya.”
“A-aku…”
“Aku berjanji tidak akan marah atau merasa ditusuk dari belakang,” sela Eunji. “Justru aku akan marah jika kau berbohong padaku.”
Jiyeon pun menghela nafas panjang seraya menatap keluar jendela mobil.
“Entahlah…” desah Jiyeon. “Aku hanya merasa nyaman saat dekat dengannya. Dia tidak mudah ditebak−misterius−mengesankan, tidak membosankan, kadang terlihat lucu menurutku−belum tentu menurut orang lain…”
“Sudah jelas, Jiyeon-ah….kau menyukainya atau mungkin…mencintainya?” tebak Eunji.
Wajah Jiyeon pun semakin memerah.
Cinta? Jiyeon hanya bisa tersenyum di dalam hati saat menyadari bahwa mungkin sebagian hatinya kini sudah menyimpan benih-benih cinta untuk Kim Myung Soo.
**
Tepat pukul delapan malam, Jiyeon dan Eunji sudah tiba di depan gedung apartemen Minho. Apartemen Minho merupakan apartemen terbersih dan terapi untuk ukuran apartemen yang ditinggali oleh pria lajang.
“Jadi Minho sudah pergi tepat setelah dia memberikan mobil dan kunci apartemennya tadi pagi?” tanya Jiyeon sementara matanya masih menatap kagum isi apartemen Minho.
“Geurae. Dia agak menyesal karena tidak bisa bertemu denganmu dulu karena jam penerbangannya pagi tadi tidak bisa diubah,” jawab Eunji seraya membuka kulkas Minho yang dipenuhi dengan aneka makanan dan minuman sehat. “Omona…bahkan aku tidak pernah berpikir untuk mengkoleksi biji almond sebanyak ini.” Gurauan Eunji semakin menjadi setiap dia menemukan makanan sehat yang tidak pernah ada di kulkasnya sendiri. “Ternyata beginilah kehidupan sehat seorang petinju.”
“Mungkinkah Myung Soo juga melakukan hal yang serupa?” gumam Jiyeon seraya mengambil tempat duduk di depan televisi plasma besar milik Minho.
Spontan Eunji mendelik ke arah Jiyeon seraya berkata, “Kalau kau benar-benar mencintainya, sebaiknya kau segera mengatakan padanya.”
“Aniyo, aku tidak bisa segila dirimu yang begitu cepat menyatakan perasaan kepada seorang pria,” jawab Jiyeon yang nyalinya mendadak ciut.
“Kau terlalu banyak berpikir, membuat ketakutan yang datang entah dari mana muncul di dalam dirimu,” ucap Eunji seraya memberikan segelas jus pada Jiyeon. “Hanya aneka jus yang kutemukan di dalam kulkasnya.”
“Untuk saat ini rasanya aku akan bertahan di dalam sini saja,” ucap Jiyeon setelah meneguk pelan jus di dalam gelasnya. “Appa pasti telah mengirim anak buahnya untuk berpencar mencariku.”
“Um…sebenarnya jujur saja, Jiyeon-ah…aku belum memiliki rencana kedepan setelah satu minggu ini,” ucap Eunji. “Andai saja kau masih mau bertahan disini bersama dengan Minho…”
“Andwae!” sela Jiyeon cepat. “Aku harus bertemu dengan Myung Soo.”
“Untuk menyatakan perasaanmu?” tanya Eunji.
“Aniyo, untuk meminta pertolongan,” jawab Jiyeon.
“Kau mau minta dicarikan tempat tinggal olehnya? Yaa, Jiyeon-ah, kau pikir dia pria kaya yang memiliki apartemen mewah seperti ini? Andai saja Myung Soo benar-benar mau menolongmu, aku yakin hal yang akan dia lakukan adalah menyuruhmu untuk tinggal di rumahnya. Sekarang pikir, Jiyeon-ah…Myung Soo dan keluarganya pernah terikat dengan Gaza. Dan Gaza adalah kaki tangan ayahmu yang setia. Gaza dan ayahmu tidak akan melewatkan tempat sesempit rumah Myung Soo untuk dilacak,” ucap Eunji menggebu. “Kau harus sadar, Jiyeon-ah. Tempatmu bersembunyi sangat sempit. Kecuali kau ingin benar-benar pergi dari kehidupan ayah dan ibu angkatmu dan memutuskan untuk hengkang dari Korea.”
“Rumit sekali,” geram Jiyeon seraya memegang kepalanya yang berdenyut.
“Sudahlah, jangan pikirkan hal itu sekarang,” ucap Eunji seraya menyalakan televisi plasma Minho. “Lebih baik kau istirahat malam ini. Dan kita akan pikirkan besok. Paling tidak masih ada enam hari tersisa untukmu bersembunyi disini.”
**
Park Jin Hee berusaha menahan amarah yang sejak kemarin siang berhasil diletupkan oleh kedua anak buahnya yang gagal menjaga Jiyeon. Pagi ini seluruh anah buah Jin Hee di sebar untuk mencari keberadaan Jiyeon.
“Yeobo, kau tahu apa yang kau lakukan ini hanya akan memperburuk keadaan?” tanya Lee Na Ran, sang istri yang duduk disebelahnya.
“Apa maksudmu?” tanya Jin Hee tidak mengerti.
“Jiyeon bukan binatang yang bisa kau perlakukan seperti ini,” jawab Na Ran yang memiliki kadar sayang begitu banyak pada Jiyeon. “Dia akan semakin menjauh dari kita jika kau terus memperlakukannya seperti ini.”
“Kau tidak mengerti, Na Ran-ah,” ucap Jin Hee. “Anak itu, Park Jiyeon, dia akan berusaha mencari cara untuk terus bertemu dengan anak Oh Hani.”
Na Ran pun terdiam cukup lama, sampai akhirnya dia bersuara lagi, “Apa tidak sebaiknya kita beritahu kebenaran ini pada Hani?”
“Apa maksudmu?” Suara Jin Hee pun meninggi, membuat Na Ran terkejut dan ketakutan. “Tolong Na Ran-ah, jangan rusak rencana yang sudah kita buat dan sepakati sejak awal.”
Belum sempat Na Ran membalas ucapan sang suami, Gaza pun datang diiringi kedua anak buahnya.
“Aku sudah sebar anak buahku untuk mencari Jiyeon,” ucap Gaza seraya mengambil tempat duduk berseberangan dengan Jin Hee dan Na Ran. “Bersabar sedikit lagi, Jin Hee-ah. Anak buahku handal untuk jenis pekerjaan seperti ini.”
“Semoga aku bisa mengharapkanmu,” ucap Jin Hee.
**
Sudah lima hari sejak Jiyeon kabur dari pengawasan sang ayah dan berhasil bersembunyi di dalam apartemen Minho. Eunji pun setia menemaninya saat malam hari sementara siang harinya dia berusaha membantu Jiyeon mengejar ketertinggalan tugas-tugas di kampus.
“Gila,” seru Eunji setelah dirinya masuk ke dalam apartemen Minho. “Anak buah ayahmu terus saja membuntutiku di kampus. Sampai akhirnya muncul Kwang Hee dan aku bilang pada mereka bahwa beberapa hari belakangan ini aku tinggal dengan Kwang Hee dan sudah lama tidak bertemu denganmu. Mereka masih mengira bahwa aku yang menculikmu.”
“Kau memang menculikku….ke apartemen Minho,” ucap Jiyeon bergurau.
“Yang penting adalah mereka tidak tahu daerah ini,” ucap Eunji seraya berjalan ke arah kulkas Minho. “Soju…soju…Minho pasti terkejut melihat kulkasnya dipenuhi minuman jahat seperti ini,” ucap Eunji bersenandung seraya memasukkan beberapa kaleng soju yang baru dibelinya ke dalam kulkas.
“Jadi…kau sudah ada rencana setelah Minho pulang?” tanya Jiyeon frustasi.
“Um…sebenarnya sudah ada,” jawab Eunji.
“Jinjiha?!” tanya Jiyeon antusias. “Mwo? mwo?”
“Tetapi aku tidak yakin apa rencana ini akan berhasil….maksudku…mungkin saja Minho akan menolak rencana ini…” gumam Eunji dengan wajah serius.
“Minho? Jadi kita akan meminta bantuan Minho lagi?” tanya Jiyeon kurang mengerti.
“Begini, Jiyeon-ah….” ucap Eunji berdeham. “…kupikir Minho akan bersedia menampungmu disini selama kau dalam proses pelarian dari ayahmu. Dan aku sudah utarakan ideku padanya pagi tadi. Dan benar dugaanku. Mungkin…Minho akan menolak rencana ini…”
“Sudah pasti,” ucap Jiyeon setengah kecewa. “Ini rumahnya dan aku sudah benar-benar menyusahkannya.”
“Dia memang menolaknya karena dia berpikir ada baiknya jika kau bersembunyi di rumah orang tuanya,” ucap Eunji melanjutkan penjelasannya yang terpotong.
“M-mwo?” Kini Jiyeon benar-benar terkejut dengan ide yang muncul di dalam kepala Eunji…eh aniyo, Minho maksudnya. “A-aku? Tinggal bersama o-orang tuanya?”
Eunji mengangguk mantab.
“Micheosseo?” tanya Jiyeon seraya menatap wajah Eunji yang sama sekali tidak terlihat gugup. “Dan kau setuju dengan ide Minho?”
“Tentu saja,” jawab Eunji yakin. “Aku juga berpikir bahwa kau akan lebih aman jika tinggal dengan keluarga Minho. Tenang saja, kedua orangtua Minho tidak tinggal di Korea sejak setahun belakangan ini. Mereka memutuskan untuk menetap di Seattle sejak adik laki-laki Minho terlibat kasus narkoba disana. Dan yang tersisa disini hanya kakak perempuannya yang baik hati dan pembantu rumah tangganya.”
Jiyeon hanya mampu berkata “oh” setelah mengetahui keadaan keluarga Minho yang lumayan pelik.
“Kau benar-benar tahu soal kehidupan Minho dengan sangat baik,” ucap Jiyeon takjub.
“Yaa! Kau lupa? Dia teman dekatku sewaktu SMA,” jawab Eunji. “Minho sudah atur waktu pemindahanmu dari sini ke rumahnya. Tepat Minggu malam pastinya.”
**
Minho muncul dengan senyum paling menawan pada Minggu pagi, membuat Eunji terkejut dengan kehadirannya yang diluar dari rencana.
“Katamu kau pulang malam ini?” tanya Eunji.
“Aku izin untuk tidak mengikuti pelatihan terakhir,” jawab Minho. “Kupikir ada baiknya jika kita bergerak siang hari. Siang atau malam, anak buah ayah Jiyeon pasti tidak akan berhenti bergerak. Jika sialnya kita tertangkap nantinya, paling tidak Jiyeon bisa kabur dan minta pertolongan dari orang-orang yang berkeliaran di jalanan. Tetapi semoga itu tidak terjadi.”
“Omona,” desah Eunji seraya menatap ke arah Minho dan Jiyeon penuh arti. “Minho-ah, apa kau sengaja mengorbankan latihan terakhirmu demi Jiyeon?”
Minho tidak menjawab dan hanya tersenyum singkat seraya mencuri pandang ke arah Jiyeon yang wajahnya sudah semerah tomat busuk.
“Gumawo, Minho-ah,” ucap Jiyeon. “Kau sudah menolongku begitu banyak.”
“Banyak?” tanya Minho. “Aniyo. Bukan apa-apa.”
“Katakan bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini?” tanya Jiyeon menawarkan tanda balas budi.
Minho pun tersenyum, lalu menjawab, “Cukup menjadi temanku saja…teman dekat, maksudku.”
Kini Jiyeon yang melontarkan senyum manisnya seraya mengangguk setuju.
**
Tepat pukul sebelas siang, Minho, Jiyeon dan Eunji mulai bergerak untuk berpindah tempat ke rumah Minho. Ketiganya sedang dalam penyamaran, berharap dengan cara seperti ini mereka tidak dipergoki oleh salah satu anah buah ayah angkat Jiyeon yang sudah menyebar dimana-mana.
“Sepertinya aku harus isi bensin dulu,” ucap Minho seraya berbelok ke arah pom bensin terdekat.
“Apa rumahmu masih jauh?” tanya Jiyeon yang duduk di kursi belakang sementara Eunji mengambil tempat di sebelah Minho.
“Aniyo, sedikit lagi kita sampai,” jawab Minho. “Kita hanya perlu berbelok ke tikungan sebelah sana sebelum akhirnya masuk ke daerah rumahku.”
“Ah, kalau begitu aku jalan saja,” ucap Jiyeon mengejutkan Minho dan Eunji.
“Micheosseo?” tanya Eunji tanda menolak.
“Kau lihat, antriannya masih panjang dan aku khawatir jika salah satu diantara anak buah ayahku ada di…” Jiyeon berhenti berbicara di saat menangkap sosok mobil Gaza sedang mengantri tepat di sebelah mobil Minho.
“Waeyo?” tanya Eunji tidak mengerti dengan perubahan wajah Jiyeon yang mendadak menegang.
“G-Gaza,” jawab Jiyeon terbata seraya membalikkan tubuhnya.
Spontan Eunji menoleh ke arah mobil sebelah. Sama seperti Jiyeon, Eunji bahkan tidak mampu bicara saking terkejutnya.
“Gaza?” tanya Minho tidak mengerti.
“Kaki tangan ayah Jiyeon,” jawab Eunji cepat. “Singkatnya mobil sebelah ini berisi sekumpulan anak buah Ga…”
Ketiganya terdiam kaku di tempat masing-masing disaat wajah Gaza bertengger di depan kaca mobil belakang dekat dengan posisi Jiyeon duduk. Suara ketukan pun terdengar diiringi suara keras Gaza, “Buka jendelanya!”
“J-jadi bagaimana s-sekarang?” tanya Eunji dengan tangan bergetar.
“Percuma kita kabur. Bensinku sudah benar-benar habis,” jawab Minho pelan tanpa bergerak sedikit pun. “Jiyeon-ah, kau kabur lewat pintu sebelah. Sekarang.”
Jiyeon pun mengangguk kaku sebelum akhirnya tangan kanannya dengan cepat membuka pintu mobil Minho. Jiyeon berlari sekencang mungkin diikuti ketiga anak buah Gaza yang sudah diperintahkan untuk mengejarnya. Sementara Minho dan Eunji…
“Bocah ingusan!” geram Gaza seraya mengeluarkan Minho dari dalam mobil sebelum dihajar.
Eunji yang bingung hanya bisa berteriak minta tolong seraya menjulurkan kepalanya lewat kaca jendela.
Minho pun habis di tempat oleh Gaza yang kekuatannya melebihi kekuatan Minho.
**
Jiyeon nyaris kehabisan nafas sementara ketiga anak buah Gaza sepertinya memiliki cadangan oxygen di dalam tenggorokan mereka. Jiyeon sudah memasuki daerah perumahan dan beberapa gedung besar yang sama sekali tidak pernah dikunjunginya. Berlari sejauh dan secepat sekarang ini jelas tidak pernah Jiyeon lakukan. Jiyeon sudah benar-benar kehabisan nafas dan dia pun tersandung tong sampah yang berdiri di pinggir jalan, membuat tubuhnya limbung walaupun tidak sukses jatuh karena sebuah tangan saat itu juga berhasil menahan tubuhnya. Jiyeon dengan nafas tersengal-sengal berusaha mendongakkan kepalanya hanya untuk sekedar melihat siapa yang sudah menolongnya. Matanya pun membulat, begitu juga dengan kedua mata si penolong Jiyeon.
“Kim Myung Soo…” ucap Jiyeon dalam deru nafas rendah.
“Park Jiyeon.” Myung Soo pun melakukan hal yang sama.
Tolong ingatkan sudah berapa lama keduanya tidak bertemu sejak Gaza berhasil mengambil Jiyeon untuk diserahkan kepada Jin Hee? Hampir tiga minggu mereka tidak bertemu, tidak bertukar pandang, ataupun saling menyapa. Dan pada saat itu Jiyeon maupun Myung Soo masing-masing menyadari bahwa keduanya saling merindukan satu sama lain.
“Annyeong…” ucap Myung Soo pelan disertai senyum manisnya. “Sudah lama tidak bertemu…”
To be Continue