“Kim Myung Soo…” ucap Jiyeon dalam deru nafas rendah.
“Park Jiyeon.” Myung Soo pun melakukan hal yang sama.
Tolong ingatkan sudah berapa lama keduanya tidak bertemu sejak Gaza berhasil mengambil Jiyeon untuk diserahkan kepada Jin Hee? Hampir tiga minggu mereka tidak bertemu, tidak bertukar pandang, ataupun saling menyapa. Dan pada saat itu Jiyeon maupun Myung Soo masing-masing menyadari bahwa keduanya saling merindukan satu sama lain.
“Annyeong…” ucap Myung Soo pelan disertai senyum manisnya. “Sudah lama tidak bertemu…”
“A-annyeong…” balas Jiyeon nyaris tak dengar.
Ketiga anak buah Gaza nyaris sampai tempat saat Myung Soo bertanya, “Gwaenchana?”
“Tolong aku,” pinta Jiyeon seraya menerima uluran tangan Myung Soo untuk membantunya berdiri.
“Wae irae?” tanya Myung Soo tidak mengerti dengan ekspresi ketakutan yang sedang melekat pada wajah cantik Jiyeon saat ini.
Belum sempat Jiyeon menjawab, ketiga anak buah Gaza sudah berjejer berhadapan dengan mereka. Mengetahui ada yang tidak beres, Myung Soo langsung menarik tangan Jiyeon ke belakang tubuhnya.
“Yaa! Bocah ingusan! Kau belum jera juga dengan bogem mentah dariku beberapa minggu yang lalu?” tanya salah satu dari mereka yang ternyata ikut menghabisi Myung Soo tepat dimalam saat Jiyeon dibawa oleh kumpulan Gaza. “Berhentilah bersikap sok pahlawan!”
“Untuk masalah waktu itu aku mengaku salah. Tidak seharusnya aku membiarkan kalian membawa Jiyeon,” ucap Myung Soo yang ternyata belum sadar bahwa tangannya masih menggenggam erat tangan Jiyeon yang kini sedang berdiri di belakang tubuhnya dengan raut wajah ketakutan. “Kalian melakukan ini demi siapa? Ayah Jiyeon? Tuan Park? Demi siapapun aku tidak perduli. Jiyeon tidak ingin kembali ke rumahnya. Dan aku yang akan membawa dia pergi.” Tepat bersamaan dengan kata terakhir yang keluar dari bibir Myung Soo, pada saat itu pula Myung Soo menarik tangan Jiyeon untuk ikut berlari dengannya.
Jiyeon terkejut dan tanpa berbicara dia terus mengikuti langkah kaki Myung Soo. Tepat saat belokan pertama dekat telepon umum, Myung Soo menarik tangan Jiyeon untuk masuk ke sela-sela tembok yang hanya cukup dimasuki dua tubuh manusia−dengan konsekuensi kedua tubuh diantaranya nyaris tidak berjarak. Sela-sela itu terlalu dalam dan luput dari pandangan mata orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Terbukti ketika ketiga anak buah Gaza yang melewati begitu saja celah sempit itu. Myung Soo maupun Jiyeon belum berani untuk keluar dari tempat persembunyian mereka dan lebih memilih diam saat tatapan keduanya bertemu. Jarak yang begitu dekat untuk pertama kalinya. Bahkan Jiyeon berani bersumpah dia mampu merasakan hangatnya deru nafas si petinju satu ini. Jiyeon juga mampu melihat jelas bekas-bekas luka yang pernah Myung Soo dapatkan beberapa bulan belakangan ini.
“Kau berlari cukup banyak.” Myung Soo yang lebih dulu bersuara.
“N-ne?” tanya Jiyeon tidak mengerti.
Tatapan keduanya masih sama, tidak lepas satu sama lain.
“Degup jantungmu berdetak kencang,” ucap Myung Soo yang ternyata dapat merasakan degup jantung Jiyeon.
Spontan Jiyeon memundurkan tubuhnya−walau tidak bisa begitu jauh. Wajah Jiyeon spontan memerah, sementara Myung Soo tidak bicara lagi.
“Aku tidak terlalu yakin jika penyebab detak jantungku seperti ini karena berlari dari kejaran anak buah Gaza,” ucap Jiyeon pelan dengan kepala setengah tertunduk.
“Lalu karena apa?” tanya Myung Soo yang sepertinya enggan mengajak Jiyeon keluar dari celah sempit itu.
Lama Jiyeon tidak menjawab, sampai akhirnya dia bersuara, “Bagaimana jika semua ini karenamu?”
Myung Soo tidak langsung merespon ucapan Jiyeon karena saat ini dia terlalu sibuk untuk mencerna maksud ucapan Jiyeon. Dan pada akhirnya yang bisa Myung Soo lakukan hanya mendengus lalu tertawa singkat.
“Kau berhasil membuatku terlihat bodoh,” ucap Myung Soo seraya mengambil tangan Jiyeon untuk mengajaknya keluar dari celah sempit itu. Tetapi Jiyeon menahannya, seakan-akan dia ingin lebih lama berada disana.
“Dan kau berhasil membuatku nyaris gila,” ucap Jiyeon membalas ucapan Myung Soo.
Kini degup jantung Myung Soo yang berdetak tidak wajar. Saking kerasnya, Myung Soo takut jikalau Jiyeon mampu mendengarnya.
Tanpa peringatan dan tanpa diduga-duga Jiyeon memajukan wajahnya mendekati wajah Myung Soo. Pelan tetapi pasti, Jiyeon mengecup lembut pipi Myung Soo, yang kini hanya bisa terdiam kaku tanpa bersuara sedikitpun.
“Aku menyukaimu,” ucap Jiyeon berani−entah dari mana keberanian itu berasal. Beberapa menit yang lalu, tepat saat wajah Myung Soo muncul dihadapannya, Jiyeon mulai tersadar akan suatu hal, sadar akan ucapan yang pernah Eunji lontarkan padanya beberapa hari yang lalu…
“Entahlah…” desah Jiyeon. “Aku hanya merasa nyaman saat dekat dengannya. Dia tidak mudah ditebak−misterius−mengesankan, tidak membosankan, kadang terlihat lucu menurutku−belum tentu menurut orang lain…”
“Sudah jelas, Jiyeon-ah….kau menyukainya atau mungkin…mencintainya?” tebak Eunji.
Wajah Jiyeon pun semakin memerah.
Cinta? Jiyeon hanya bisa tersenyum di dalam hati saat menyadari bahwa mungkin sebagian hatinya kini sudah menyimpan benih-benih cinta untuk Kim Myung Soo.
“J-Jiyeon-ah…” Myung Soo mulai bersuara.
“Mm?” tanya Jiyeon sambil menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman manis.
“Kurasa aku yang mulai gila sekarang,” desah Myung Soo seraya mengusap pelan bekas ciuman Jiyeon pada pipinya.
**
“Manusia kejam,” desah Eunji seraya membantu Minho mengobati luka-luka pada wajahnya. “Bagaimana bisa ada manusia sekejam Gaza di dunia ini?”
“Jiyeon…kuharap dia bisa lepas dari kejaran mafia itu,” ucap Minho pelan sementara Eunji sedang berusaha menghubungi ponsel Jiyeon.
“Jebal, angkat teleponnya…” gumam Eunji dengan nada panik.
“Kau bilang ponsel Jiyeon disita oleh ayah angkatnya?” tanya Minho mengingatkan Eunji yang spontan menepuk dahinya.
“Geurae, bodohnya aku,” ucap Eunji seraya mematikan sambungan. “Lalu bagaimana sekarang? Dia sama sekali tidak tahu rumahmu dimana.”
Belum sempat Minho bicara, ponsel Eunji berbunyi.
“Nomor tidak dikenal,” gumam Eunji sebelum menjawab panggilan ponselnya. “Jiyeon-ah!” pekik Eunji kelewat keras saat suara Jiyeon terdengar di seberang sana, membuat Minho pun terkejut mendengarnya. “Dimana kau? M-mwo? Bagaimana bisa? A-araseo, yang penting kau aman sekarang. Lalu dimana alamatnya? Aku dan Minho akan menjemputmu. Mwo? Yaa! Kau tidak mau memberitahuku dimana alamatnya? Karena Kim Myung Soo kau jadi pelit begini padaku? Jeongmal!”
Dahi Minho sedikit berkedut saat Eunji mengucapkan nama Kim Myung Soo di sela-sela percakapannya dengan Jiyeon. Kim Myung Soo, si petinju yang berhasil mengalahkannya waktu itu. Jiyeon sedang bersama dengannya? Perasaan cemburu tiba-tiba saja berdesir di hatinya.
“Anak ini,” gerutu Eunji setelah sambungan terputus. “Aku tahu, dia hanya tidak ingin aku mengganggunya.”
“Jiyeon…sedang bersama Kim Myung Soo?” tanya Minho, membuat Eunji tersadar bahwa sedaritadi Minho mendengar ucapannya. Mendadak Eunji merasa tidak enak hati. Eunji tahu betul bagaimana bentuk perasaan Minho pada Jiyeon.
“G-geurae, Kim Myung Soo…kau masih ingat petinju satu itu kan? Yang waktu itu mengalahkan…m-maksudku, yang waktu itu bertanding denganmu,” jawab Eunji kikuk. “J-Jiyeon bertemu dengan Myung Soo di jalan. Dan sekarang mereka berada di tempat yang aman, yang jauh dari jangkauan anak buah Gaza.”
“Baguslah kalau begitu,” jawab Minho pelan. Raut wajahnya mendadak berubah−terlihat kecewa.
“Tetapi merupakan hal langka mengetahui Myung Soo berada disekitar daerah sini,” ucap Eunji lagi.
“Maksudmu?” tanya Minho kurang mengerti.
“A-aniyo…aku hanya sedang mengira-ngira sedang apa Myung Soo berada di daerah sini,” jawab Eunji seraya tersenyum lebar. “Lebih baik sekarang kita pulang.” Eunji sudah bergegas bangun.
“Lalu bagaimana dengan Jiyeon?” tanya Minho menahan. “Bagaimana caranya kita bisa menjemputnya ke rumahku?”
“Um…sebenarnya…anak itu…baru saja membatalkan rencananya untuk tinggal di rumahmu,” jawab Eunji terputus-putus. Sebenarnya hal inilah yang berusaha Eunji tidak katakan pada Minho. Jiyeon memutuskan untuk tinggal di tempat latihan Myung Soo untuk beberapa hari ini. Dan keputusan Jiyeon itu membuat Eunji jadi serba salah.
Minho terdiam sesaat−terlihat berpikir, sebelum akhirnya bertanya, “Apa Jiyeon memutuskan untuk tinggal di rumah Kim Myung Soo?”
Eunji benar-benar kikuk sekarang dan bingung mau menjawab apa.
“Sebenarnya bukan di rumah Kim Myung Soo, tetapi…di tempat latihannya. Tempat latihan baru lebih tepatnya,” jawab Eunji meralat. “Sejak Myung Soo bekerja sama dengan chaebol bernama Mr. Kang, dia memutuskan untuk meninggalkan Blade Boxing. Aku pun baru tahu dari Jiyeon tadi.”
Minho hanya mengangguk pelan dan raut wajahnya tetap tidak berubah−tetap menunjukkan ekspresi kekecewaan.
“G-gwaenchana, Minho-ah?” tanya Eunji kikuk.
“Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Minho tiba-tiba seraya beranjak bangun dan langsung berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Eunji yang masih berdiri di belakangnya dengan perasaan bersalah.
**
“Bagaimana?” tanya Myung Soo pada Jiyeon yang sedang duduk bersebelahan dengannya saat ini.
“Tempat barumu ini benar-benar terlihat hebat,” jawab Jiyeon sementara matanya masih berkeliling menyapu seisi ruangan.
“Dari semua ini, aku hanya mengharapkan satu hal,” ucap Myung Soo. “…aku ingin membawa pergi ibuku keluar dari rumahku yang sekarang.”
“Waeyo?” tanya Jiyeon dengan dahi berkerut tanda bingung.
“Ada begitu banyak masa lalu pahit yang terjadi di dalam rumahku yang sekarang,” jawab Myung Soo. “Aku hanya ingin membawa ibuku ke dalam suasana tempat tinggal yang jauh lebih baik dari sekarang. Aku akan bekerja keras, mengumpulkan uang, sampai akhirnya aku bisa membawa ibuku ke suasana kehidupan yang baru. Dan kami berdua hanya akan membuat kenangan indah di tempat baru kami nantinya.”
Jiyeon hanya bisa tersenyum mendengar niat mulia Myung Soo untuk ibunya.
“Apa hanya ibumu yang kau miliki di dunia ini?” tanya Jiyeon tiba-tiba.
Myung Soo pun mengangguk.
“Dia satu-satunya energi positifku saat ini. Dia satu-satunya orang yang mampu membuat aku bertahan sampai saat ini,” jawab Myung Soo.
“Bertahan?” tanya Jiyeon merasa janggal dengan kata-kata Myung Soo.
“Hidup yang kumiliki tidak semulus yang kau lihat,” jawab Myung Soo. “Tetapi karena ibuku, aku mampu bertahan. Bahkan aku mampu melawan semua kesulitan yang pernah muncul dalam hidupku.”
“Kau sangat mempesona,” ucap Jiyeon tiba-tiba, membuat Myung Soo spontan mendongakkan kepalanya dengan ekspresi tanda tanya. “Dan karena itulah…” Jiyeon pun memajukan kepalanya. “…yang membuatku bisa menyukaimu.”
Lagi-lagi Jiyon berhasil membuat wajah si petinju satu ini terlihat seperti udang rebus.
“Aku tidak memiliki apa-apa,” ucap Myung Soo setelah wajahnya kembali normal.
“Lalu kau pikir aku menginginkan apa darimu?” tanya Jiyeon menanggapi ucapan Myung Soo.
“Kau gadis baik, aku tahu itu,” jawab Myung Soo. “Kau pun sudah memiliki segalanya dan mampu menyanggupi keinginan dirimu sendiri tanpa harus meminta padaku. Tetapi…”
“Aku hanya punya satu keinginan saat ini,” sela Jiyeon seraya mendaratkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Myung Soo. “…melihatmu pada setiap waktu yang kupunya. Hanya itu, Myung Soo-ah.”
Myung Soo terdiam sementara kedua matanya fokus menatap kedua mata Jiyeon yang sedang memancarkan ketulusan. Ini pertama kalinya jantungnya berdebar hebat karena ucapan seorang wanita. Memiliki kekasih, tidak pernah terbayang sedikitpun di benak Myung Soo.
“Apa permintaanku yang satu itu terlalu sulit untukmu?” tanya Jiyeon kembali bersuara.
“J-Jiyeon-ah…”
Belum sempat Myung Soo menuntaskan ucapannya, kecupan hangat pun mendarat pada pipi Myung Soo untuk yang kedua kalinya, membuat Myung Soo seketika bungkam dan mendadak lupa apa yang ingin dia ucapkan beberapa detik yang lalu.
“Aku menyukaimu,” ucap Jiyeon untuk kedua kalinya. “….sangat menyukaimu.”
Tiba-tiba Myung Soo mengambil tangan Jiyeon. Ditatapnya tangan putih Jiyeon yang terasa hangat pada kulit tangannya sendiri.
“Jujur saja…” Myung Soo mulai bersuara lagi. “Bagaimana caramu mengutarakan perasaanmu, membuatku teringat pada ibuku.”
“I-ibu?” Kedua alis Jiyeon terangkat.
“Aku menyanyangimu,” ucap Oh Hani seraya mengelus kepala Kim Myung Soo. “…sangat menyayangimu.”
“Ne, Eomma…” Myung Soo kecil yang kala itu masih berumur tujuh tahun menyunggingkan senyumnya kepada sang ibu. “Myungie juga sayang Eomma.”
Oh Hani hanya bisa tersenyum bahagia.
“Hanya kau yang Eomma miliki sekarang.” Air mata Oh Hani pun menetes, membuat Myung Soo kecil kebingungan.
Dengan polosnya, Myung Soo kecil mengusap air mata sang ibu seraya bertanya, “Kenapa kau menangis?”
Oh Hani pun menggeleng seraya menjawab, “Ini tangisan kebahagiaan, Myung Soo-ah. Eomma sangat bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk melihatmu sampai sebesar ini.”
“Tenang saja, Eomma,” ucap Myung Soo kecil. “Aku akan tumbuh lebih besar dari sekarang. Bahkan suatu saat nanti, tinggiku mampu mengalahi tinggimu.”
Oh Hani pun tersenyum. “Geurae. Kau akan tumbuh besar dan menjadi pria tampan. Dan pada saat itu, Myung Soo-ah…aku hanya punya satu keinganan. Melihatmu pada setiap waktu yang kupunya. Hanya itu, Myung Soo-ah….”
“Kau tahu?” tanya Jiyeon membuyarkan lamunan Myung Soo akan ibunya. “Aku benar-benar ingin melihat ibumu saat ini.”
Myung Soo pun tersenyum seraya bertanya, “Kenapa begitu? Mungkin karena aku terlalu sering menceritakan pasal ibuku padamu?”
“Salah satunya itu,” jawab Jiyeon. “Dan seperti yang kau tahu, Myung Soo-ah. Aku bukan anak kandung kedua orang tuaku. Seperti apa orang tua kandungku pun aku tidak tahu.”
Myung Soo merasa dirinya telah salah bicara, membuat Jiyeon mau tak mau teringat kembali pasal kedua orang tua kandungnya yang entah berada dimana.
“Dimanapun orang tua kandungmu saat ini berada, aku yakin mereka sedang dalam kondisi baik-baik saja,” ucap Myung Soo seraya meletakkan tangannya pada bahu Jiyeon.
Jiyeon pun mengangguk seraya berkata, “Semoga saja.”
**
Huang Zitao baru saja akan masuk ke dalam mobilnya tepat ketika matanya menangkap sosok Oh Hani yang baru keluar dari salah satu rumah makan.
“Cagiya, tunggu disini sebentar,” ucap Tao pada Suzy di dalam mobil.
“Kau mau kemana lagi?” tanya Suzy yang saat itu sedang men-touch up wajahnya.
“Sebentar saja,” jawab Tao seraya pergi menghampiri Oh Hani.
Tao berhasil menahan tangan Oh Hani yang bersiap ingin menyeberang jalan.
Dengan agak kikuk Oh Hani mencoba mengenali wajah Tao yang sudah banyak berubah.
“T-Tao? Huang Zitao?” tanya Oh Hani.
“Geurae, Ahjumma,” ucap Tao seraya membungkukkan tubuhnya di depan Oh Hani. “Sudah lama tidak bertemu.”
“Omona, kau banyak berubah,” ucap Oh Hani seraya tersenyum.
“Aku masih Huang Zitao yang dulu,” ucap Tao berusaha merendah. “Dan bagaimana kabar Kim Myung Soo? Aku dengar sekarang dia sudah menjadi petinju terkenal. Wajar saja jika dia ikut Mr. Kang. Siapapun bisa langsung menuju puncak jika berhubungan dengan chaebol satu itu.”
“Myung Soo ikut Mr. Kang?” tanya Oh Hani mendadak panik. “A-apa maksudmu, Tao?”
“Mianhae, aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Itupun aku dengar selentingan kabar dari teman terdekat disini. Benar atau tidaknya aku kurang yakin,” jawab Tao berusaha terlihat naif.
“Myung Soo tidak cerita soal itu,” ucap Oh Hani mulai terlihat emosi. “Mr. Kang….aniyo, dia tidak boleh bertemu dengan orang itu.”
“Sepertinya aku telah membawa kabar buruk untukmu,” ucap Tao pura-pura merasa bersalah. “Kita sudah lama tidak bertemu, Ahjumma. Seharusnya aku bisa memberitahu kabar yang lebih baik dari ini.”
“Aniyo. Justru aku merasa bersyukur bisa bertemu denganmu disini,” ucap Oh Hani. “Jika tidak, mungkin sampai saat ini aku tidak tahu bahwa Myung Soo sudah membohongiku. Pantas saja anak itu belakangan ini jarang pulang ke rumah. Lagi-lagi dia melanggar janjinya padaku. Bahkan dia berani berhubungan dengan Mr. Kang.”
Tanpa Oh Hani sadari, Tao berusaha menahan untuk tidak menunjukkan senyum liciknya.
“Tao, bagaimana kau bisa kenal dengan Mr. Kang?” tanya Oh Hani tiba-tiba.
“Siapa yang tidak kenal orang itu?” tanya Tao balik. “Dan perlu kau tahu, Ahjumma….aku ini juga petinju. Petinju manapun pasti kenal dengan Mr. Kang.”
“Kalau begitu kau tahu dimana tempat keberadaan Mr. Kang?” tanya Oh Hani lagi.
“Aku hanya tahu tempat latihannya,” jawab Tao. “Jika Ahjumma benar-benar mau datang ke tempat itu…” Tao pun mengeluarkan kartu nama milik Mr. Kang.”….aku baru dapat satu beberapa hari yang lalu dari asisten Mr. Kang. Ahjumma bisa datang ke alamat yang tertera disini.”
Oh Hani pun menerima kartu nama dari Tao seraya berkata, “Terima kasih, Tao. Kau membantuku begitu banyak setelah lama tidak bertemu.”
“Aniyo, Ahjumma,” ucap Tao seraya melempar senyum palsunya. “Aku senang bisa membantumu.”
**
Tao kembali ke dalam mobilnya dengan wajah puas.
“Yaa, kau punya masalah dengan Ahjumma itu?” tanya Suzy yang sedaritadi melihat percakapan antara Tao dengan Oh Hani dari dalam mobil.
“Aku memang punya masalah. Bukan dengan Ahjumma itu…” ucap Tao. “…tetapi dengan anaknya yang pengecut.”
“Lalu mau kemana kita sekarang?” tanya Suzy seraya mengecek ponselnya yang berbunyi.
“Bagaimana kalau ke apartemenku?” tanya Tao.
“Apartemen?” Sebelas alis Suzy terangkat.
“Ne, apartemen baruku,” jawab Tao menjelaskan.
“Untuk apa kau membeli apartemen?” tanya Suzy tidak mengerti dengan jalan pikiran Tao. Tao memiliki rumah besar yang bisa dia tinggali dengan nyaman bersama dengan kedua orang tua angkatnya yang beruntungnya sangat memperdulikan dia.
“Aku hanya ingin privasi,” jawab Tao. “Aku juga perlu waktu dan ruang disaat aku hanya ingin berduaan denganmu.”
Suzy hanya tersenyum sementara Tao mulai menjalankan mobilnya.
**
“Apa ini punyamu?” Myung Soo memperlihatkan seuntai kalung berbandulkan sebelah sayap kepada Jiyeon.
Dengan mata terbelalak, Jiyeon menjawab, “Ne, ini punyaku. Bagaimana bisa ada padamu?”
“J-jinjiha?” Mau tak mau Myung Soo ikut terkejut menyadari bahwa kalung itu benar kepunyaan Jiyeon.
“Kalung ini hilang tepat saat dimalam Gaza membawa paksaku pulang,” ucap Jiyeon menjelaskan.
“Aneh sekali,” gumam Myung Soo.
“Apanya yang aneh?” tanya Jiyeon tidak mengerti.
“Aku juga memiliki kalung yang serupa dengan itu,” jawab Myung Soo.
“Jinjiha? Omona, bagaimana bisa?” tanya Jiyeon.
“Entahlah. Mungkin ibuku membeli yang imitasi, sementara punyamu yang asli,” gurau Myung Soo membuat Jiyeon tersenyum. “Tepat di belakang bandul sayap kalung milikku, terdapat inisial K.J.M−nama ayahku, Kim Jang Min.”
Mendengar ucapan Myung Soo, Jiyeon pun langsung mengecek bandul kalung miliknya sendiri.
“Dibandul kalungku juga ada inisialnya,” ucap Jiyeon. “O.H…”
“O.H?” gumam Myung Soo pelan. Dan tanpa sadar, bibir Myung Soo mengucapkan satu nama yang menjelaskan inisial huruf yang terdapat di balik bandul sayap milik Jiyeon. “Oh Hani…”
Belum sempat Jiyeon merespon ucapan Myung Soo, si petinju satu ini sudah berdiri dengan ekspresi terkejut.
“Eomma…” ucap Myung Soo pelan sementara kedua matanya memandang terbelalak ke arah pintu masuk.
“E-Eomma?” tanya Jiyeon seraya berbalik untuk melihat apa yang sedang Myung Soo lihat saat ini. Jiyeon tidak terkejut seperti Myung Soo saat menatap sosok ibu paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu. Jiyeon justru terlihat kagum setelah tahu bagaimana bentuk wajah ibu Myung Soo yang ternyata lebih cantik dari dugaannya. Sesaat Jiyeon terdiam….dan mulai berpikir. Dimana dia pernah melihat wajah ibu Kim Myung Soo. Wajahnya tidak terlalu asing, walaupun tidak terlalu familiar.
Jiyeon pun melepaskan pelukannya dari sang ibu sebelum menoleh ke belakang.
“Sudah lama tidak bertemu,” ucap si orang itu lagi. Kini matanya menatap Jiyeon.
“O-Oh Hani,” ucap Na Ran gugup.
“Annyeonghaseyo.” Jiyeon pun membungkuk hormat di depan yeoja paruh baya yang bernama Oh Hani di depannya saat ini.
“Annyeonghaseyo,” balas Hani menyapa Jiyeon.
“J-Jiyeon-ah…sebaiknya kau pergi sekarang,” ucap Na Ran seraya menarik Jiyeon ke arahnya lebih dekat.
“Ne, Eomma. Aku pergi dulu,” ucap Jiyeon seraya beranjak pergi.
“Dia ibumu?” tanya Jiyeon seraya menunjuk si ibu paruh baya yang kini sedang berjalan menghampiri mereka.
Belum sempat Myung Soo menjawab, si ibu paruh baya yang tidak lain tidak bukan adalah Oh Hani langsung menampar Myung Soo, membuat Jiyeon spontan terkejut dan memundurkan kakinya beberapa langkah. Myung Soo sendiri hanya terdiam dengan wajah pias yang mulai memanas dan memerah akibat tamparan keras sang ibu.
“Kau anggap aku apa, Myung Soo-ah?” tanya Oh Hani yang kini sulit meredakan amarahnya. “Apa kau menganggap remeh perjanjian kita? Kau sudah membohongiku terlalu sering. Dan jangan salahkan aku jika aku mulai melepas kepercayaanku padamu.”
“Eomma…”
“Kau bilang hanya Blade Boxing,” sela Oh Hani. “Hanya karena Gongchul, aku bersedia mengizinkanmu bertinju, Myung Soo-ah. Dan itu pun tanpa luka-luka yang mampu membuat hati ibumu ini perih. Sekarang kau berhubungan dengan Mr. Kang. Darimana kau mengenal chaebol itu? Apa Gongchul yang memberitahumu?”
“Eomma, dengarkan aku dulu…”
“Kau yang harus dengarkan aku, Myung Soo-ah!” ucap Oh Hani seraya menepis tangan Myung Soo yang hendak memegang lengannya. “Semua ini bukan duniamu. Ini dunia ayahmu. Dan kau hanya berusaha mengikuti jejak ayahmu…dengan keterpaksaan…”
“Aku menjalankan semua ini tanpa paksaan sedikitpun.” Giliran Myung Soo yang menyela ucapan sang ibu. “Aku benar-benar mencintai dunia tinju. Aku mulai mencintai tinju memang karena Appa, tetapi aku tulus melakukannya. Bahkan aku rela terluka agar bisa menjadi seperti Appa…”
“Kau tidak boleh menjadi seperti ayahmu!” Kini Oh Hani berteriak, membuat Myung Soo maupun Jiyeon terkejut melihat Oh Hani lepas kontrol seperti itu. “Ayahmu sudah mati. Apa kau juga ingin mati?”
“B-bukan begitu maksudku…”
“Apa kau juga ingin meninggalkanku?” sela Oh Hani masih dengan nada tinggi.
“Eomma…”
Niatan Myung Soo untuk membantah mendadak sirna saat melihat Oh Hani meneteskan air mata.
Mendadak Oh Hani terjatuh duduk.
“Hanya kau yang aku punya, Myung Soo-ah,” isak Oh Hani pilu. “Aku sudah banyak kehilangan seseorang yang aku cintai. Aku tidak mau merasakannya lagi. Aku hanya ingin hidup bersama dengan orang yang kucintai.”
“Eomma…” Myung Soo pun mendekap Oh Hani dengan sangat erat. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu….sampai kapanpun.”
“Aku tahu bagaimana bahayanya manusia seperti Mr. Kang, Myung Soo-ah,” isak Oh Hani.
Myung Soo pun melepaskan pelukannya untuk mengusap air mata yang sudah membanjiri wajah sang ibu.
“Aku juga tahu, Eomma,” ucap Myung Soo. “Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan aku tidak bisa mengakhiri di tengah jalan. Jika aku melakukannya, aku akan mati. Dan aku tidak mau mati jika artinya aku harus meninggalkanmu.”
“Kau sudah salah mengambil jalan,” ucap Oh Hani. “Dan seharusnya dari awal aku memang tidak perlu mengizinkanmu untuk hidup di dalam dunia ini, di dunia yang sudah mengambil nyawa ayahmu.”
“Cukup, Eomma,” ucap Myung Soo. “Jangan bahas soal kematian Appa lagi. Dan mulai saat ini, tolong izinkan aku untuk menyelesaikan semua ini. Aku berjanji padamu, Eomma. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau bisa pegang janjiku yang satu ini.”
Tanpa bicara lagi, Oh Hani pun memeluk Myung Soo sementara air matanya mengalir keluar kembali.
Park Jiyeon tidak bisa tidak menangis melihat keadaan haru di depannya saat ini. Menyadari rasa sayang dan cinta Myung Soo yang begitu besar kepada sang ibu, membuat Jiyeon semakin tidak bisa berpaling dari petinju satu ini.
“Sekarang aku antar kau pulang, Eomma,” ucap Myung Soo seraya membantu Oh Hani berdiri. “Tidak baik kau berada di tempat ini.”
“Aku tidak bisa tinggal di rumah sendirian, apalagi setelah aku menyadari kau berada di sarang Mr. Kang,” ucap Oh Hani terlihat miris.
“Aku akan pulang, Eomma,” ucap Myung Soo. “Malam ini aku berjanji akan tidur di rumah. Dan juga untuk malam-malam selanjutnya.”
“Kau harus benar-benar memegang janjimu yang satu itu,” ucap Oh Hani memaksa. “Jika tidak, aku akan datang dan menghadap Mr. Kang untuk membebaskanmu dari kontrak dengannya.”
“Araseo, Eomma,” ucap Myung Soo. “Aku tahu kau orang yang nekat. Sekali kau berucap seperti itu, kau pasti akan benar-benar melakukannya.”
“Kau tahu bagaimana sifat ibumu ini dengan baik,” ucap Oh Hani seraya mengecup kening Myung Soo.
Karena terlalu serius menanggapi kehisterisan sang ibu beberapa menit yang lalu, membuat Myung Soo lupa akan keberadaan Jiyeon.
“Eomma, aku sampai lupa…aku punya teman yang ingin sekali bertemu denganmu,” ucap Myung Soo seraya menarik Jiyeon lebih dekat pada ibunya. “Perkenalkan, Eomma….”
Oh Hani yang terlalu fokus pada Myung Soo, sampai tidak sadar bahwa ada orang lain yang sedang berada di ruangan itu. Dan bukan main terkejutnya Oh Hani saat tahu bahwa orang itu adalah Park Jiyeon.
“K-kau…” ucap Oh Hani terbata dengan mata terbelalak. “P-Park J-Jiyeon….”
“Eomma? Bagaimana bisa kau tahu nama Jiyeon?” tanya Myung Soo ikut terkejut.
“K-kau…bagaimana bisa?” Oh Hani seperti tidak mendengar pertanyaan Myung Soo. Dengan perlahan Oh Hani mengulurkan sebelah tangannya untuk menggapai wajah mulus Jiyeon. Bersamaan dengan itu, air mata Oh Hani kembali menetes. “S-sudah lama….t-tidak bertemu…”
To be Continue