“Lee Na Ran?” ucap si orang itu.
Jiyeon pun melepaskan pelukannya dari sang ibu sebelum menoleh ke belakang.
“Sudah lama tidak bertemu,” ucap si orang itu lagi. Kini matanya menatap Jiyeon.
“O-Oh Hani,” ucap Na Ran gugup.
“Annyeonghaseyo.” Jiyeon pun membungkuk hormat di depan yeoja paruh baya yang bernama Oh Hani di depannya saat ini.
“Annyeonghaseyo,” balas Hani menyapa Jiyeon.
“J-Jiyeon-ah…sebaiknya kau pergi sekarang,” ucap Na Ran seraya menarik Jiyeon ke arahnya lebih dekat.
“Ne, Eomma. Aku pergi dulu,” ucap Jiyeon seraya beranjak pergi.
“E-Eomma?” tanya Hani dengan tatapan terkejut ke arah Na Ran. “D-dia…”
“A-aku pergi dulu, Hani-ah,” ucap Na Ran bersiap meninggalkan Hani, yang tiba-tiba saja memegang tangannya.
“Chankamman,” ucap Hani dengan wajah kaku. “Siapa anak itu?” tanya Hani dengan tangan sedikit bergetar. “Jawab aku, Na Ran-ah, siapa dia? A-apa dia…anakku?”
“H-Hani-ah….” Na Ran tergagap seketika.
“Na Ran-ah, apa dia anakku? Yang pernah kau beli dariku?” tanya Hani yang wajahnya kini sama tegangnya dengan Na Ran.
Perlahan tetapi pasti Na Ran pun mengangguk.
**
“Dia tumbuh dengan baik,” ucap Hani seraya berusaha menahan tangis. “Dia sangat cantik.”
Na Ran yang duduk di sebelahnya hanya diam.
“Myung Soo…” ucap Hani lagi. “…sampai saat ini aku belum memberitahunya bahwa dia memiliki saudara kembar.”
“J-jadi…yang laki-laki itu kau beri nama Myung Soo?” tanya Na Ran, berusaha keras menghilangkan kegugupannya.
Hani mengangguk dan tanpa bisa dicegah lagi si air mata pun menetes membasahi pipinya.
“Kim Myung Soo,” ucap Hani. “Itu nama dari ayahnya sebelum dia pergi meninggalkan kami.”
“Park Jiyeon,” ucap Na Ran setelah terdiam cukup lama. “Namanya Park Jiyeon.”
“Nama yang cantik,” ucap Hani seraya mengusap wajahnya yang basah.
“Mianhae, Hani-ah,” ucap Na Ran kini memegang tangan Hani. “Aku tidak pernah memberitahu kabar Jiyeon selama ini kepadamu.”
“Gwaenchana,” jawab Hani. “Sekarang aku sudah melihatnya dan aku lega. Dia tumbuh menjadi yeoja yang sangat cantik, sehat, tanpa kekurangan apa-apa.”
Ada yang menggelitik perasaan Na Ran sewaktu Hani berbicara soal itu pasal Jiyeon.
Tiba-tiba ponsel Na Ran berbunyi, sang suami yang menghubunginya. Setelah mengakhiri panggilan, Na Ran pun pamit untuk pergi.
“Na Ran-ah,” panggil Hani membuat Na Ran yang sudah bersiap melangkah pergi, spontan menghentikan langkahnya. “Bisakah…kita bertemu lagi? A-aku…ingin bertemu dengan Park Jiyeon.”
“H-Hani-ah…” Na Ran terlihat agak keberatan.
“Aku berjanji tidak akan memberitahu pasal kebenaran bahwa aku adalah ibu kandungnya,” ucap Hani menambahkan dengan cepat. “Aku…hanya ingin melihatnya.”
“Aku tidak bisa berjanji, Hani-ah. K-kami akan meninggalkan Korea dalam bulan ini,” ucap Na Ran berbohong.
“M-meninggalkan Korea?” tanya Hani agak terkejut. “K-kalian akan pergi kemana?”
“N-New York,” jawab Na Ran cepat saat nama negara itu tiba-tiba terlintas di pikirannya.
“New York?” Wajah Hani terlihat sedih bercampur kecewa. “Jauh sekali.”
“Mianhae, Hani-ah,” ucap Na Ran sebelum pergi meninggalkan Hani.
**
Na Ran masuk ke dalam mobil yang di dalamnya sudah ada sang suami, Park Jin Hee. Walaupun awalnya ragu, tapi Na Ran tetap menceritakan pasal dirinya yang bertemu Hani hari ini.
“Oh Hani?” Jin Hee langsung menunjukkan wajah tidak suka. “Lalu kalian bicara apa saja?”
“Aku tidak bisa bicara banyak,” ucap Na Ran. “Aku benar-benar ketakutan saat melihat wajahnya muncul di depanku dan Jiyeon…”
“Jiyeon? Kau bertemu dengan Jiyeon?” tanya Jin Hee terkejut. Nada suaranya pun meninggi.
Merasa sudah salah bicara, Na Ran hanya bisa diam sesaat, sampai akhirnya Jin Hee mendesaknya untuk bercerita.
“Jiyeon bersikeras menanyakan pekerjaanmu, Yeobo,” ucap Na Ran. “Dia bilang salah satu temannya menjadi korban Gaza.”
Jin Hee hanya diam. Tatapannya tajam dan dalam.
“Lalu kau membiarkan anak itu pergi tanpa ikut denganmu?” tanya Jin Hee.
“Jiyeon butuh waktu untuk sendiri,” ucap Na Ran membela. “Dan Hani, aku tidak bisa tidak menyuruh Jiyeon pergi saat Hani menghampiri kita. Dia sudah melihat Jiyeon.”
“Jadi dia sudah tahu semuanya?” tanya Jin Hee agak gugup, walaupun tidak terlihat dibalik wajahnya yang tidak pernah tersenyum.
Na Ran pun menggeleng.
“Bagus kalau begitu,” ucap Jin Hee merasa lega. “Oh Hani tidak boleh bertemu dengan Jiyeon lagi. Hari ini adalah pertemuan pertama dan terakhir buat mereka berdua.” Jin Hee pun langsung menghubungi anak buahnya untuk mencari Jiyeon dan membawanya kembali ke rumah. “Jiyeon harus kembali ke rumah.”
Na Ran merasa senang karena Jiyeon akan kembali, tetapi disisi lain dia merasa takut jika cara sang suami yang terlampau keras membuat Jiyeon semakin tidak ingin kembali ke rumah.
**
“Annyeonghaseyo, Choi Minho imnida,” ucap seorang namja tampan yang sedang duduk di sofa milik Eunji.
“Annyaeonghaseyo,” ucap Jiyeon membalas perkenalan. “Park Jiyeon imnida.”
“Ini dia si petinju tampan yang hendak aku perkenalkan padamu pagi ini,” ucap Eunji. “Dia ngotot sekali mau datang malam ini hanya karena ingin menemuimu.”
Wajah Minho spontan memerah saat mendengar ucapan Eunji pasal dirinya yang memiliki ketertarikan pada Jiyeon saat awal dirinya melihat paras cantik Jiyeon lewat foto yang Eunji perlihatkan padanya.
“Kamsahamnida,” ucap Jiyeon mengangguk sopan.
“Karena Minho dan Myung Soo sama-sama petinju, jadi kau tidak perlu mendekati Myung Soo lagi, Jiyeon-ah,” ucap Eunji. “Kau cukup bersama dengan Minho, selama aku berusaha mendekati Kim Myung Soo si tampan itu.”
“Bicara apa kau ini,” gerutu Jiyeon seraya mencubit pelan tangan Eunji. “Tidak usah kau dengarkan ucapan Eunji.”
“Gwaenchana,” ucap Minho seraya tersenyum kepada Jiyeon.
**
Oh Hani di dalam rumahnya kini sedang membongkar beberapa barang yang selama dua puluh tahun ini tidak pernah disentuhnya. Kini di hadapannya ada sebuah kotak kecil yang sudah terlihat sangat usang. Di dalamnya terdapat beberapa pernak-pernik milik Hani dulu, salah satunya adalah selembar foto hitam putih yang sudah sedikit rusak bagian tepinya. Di dalam foto itu terdapat gambar dirinya bersama dengan dua anak kembar yang berhasil di hadirkan ke dunia ini. Gambar itu diambil beberapa hari setelah Hani melahirkan.
Tiba-tiba Hani menangis seraya menatap foto itu.
“Mianhae, Jiyeon-ah,” isak Hani. “Ibumu ini mengaku salah. Tidak seharusnya aku menjualmu. Keadaan yang memaksaku. Mianhae…”
“Eomma…” Suara Myung Soo tiba-tiba terdengar. Dengan agak serampangan dan terburu-buru, Hani kembali menyimpan foto itu ke dalam kotak usang di depannya. “Eomma, aku bawakan nasi ayam kesukaanmu.” Myung Soo sudah tiba di depan pintu kamar Hani.
“N-ne,” jawab Hani seraya mengusap asal air mata pada wajahnya.
“Wae irae, Eomma?” tanya Myung Soo yang sempat melihat air mata pada wajah sang ibu. Myung Soo pun merasa aneh dengan kamar sang ibu yang berantakan karena barang-barang yang belum pernah dilihatnya berserakan di lantai. “Kenapa kamarmu berantakan sekali?”
“E-Eomma sedang membongkar beberapa barang lama,” jawab Hani.
“Kalau begitu biar kubantu,” ucap Myung Soo yang tiba-tiba mengambil kotak usang di depan Hani.
“Andwae!” jawab Hani cepat seraya merebut kotak usang itu dari tangan Myung Soo.
“W-wae irae, Eomma?” tanya Myung Soo menatap aneh kelakuan sang ibu.
“D-di dalam sini ada beberapa f-foto kenanganku bersama dengan ayahmu,” ucap Hani berusaha berdiplomasi sebaik mungkin. “Aku tidak mau kau membukanya. A-aku pasti akan menangis jika…”
“A-Araseo, Eomma,” ucap Myung Soo mengerti. “Aku tidak akan membukanya.”
“Makanlah nasi ayammu lebih dulu,” ucap Hani. “Aku akan menyusul setelah aku selesai memberesi kamar ini.”
Myung Soo pun mengangguk seraya keluar kamar. Nasi ayam punya Myung Soo sudah habis tepat saat Hani datang dan duduk di depan dirinya.
“Kau terluka!” Hani baru sadar bahwa wajah Myung Soo memar dan terluka pada beberapa bagian.
“Eomma,” ucap Myung Soo cepat seraya memegang tangan sang ibu. “Aku…”
“Kau terluka, Myung Soo-ah,” sela Hani seraya bangun kembali untuk mengambilkan kotak obat.
“Eomma, nomuhajima,” desah Myung Soo yang sudah jengah dengan sikap protektif sang ibu kepada dirinya. “Ini hanya luka biasa bagiku.”
“Sudah jangan bicara,” ucap Hani mulai mengobati luka Myung Soo.
“Ini bukan luka baru, Eomma,” ucap Myung Soo.
“Kau melanggar janji kita, Myung Soo-ah,” ucap Hani dengan nada marah. “Aku sudah bilang bahwa aku tidak mau melihatmu terluka hanya karena…”
“Luka seperti ini sudah sewajarnya didapat oleh petinju mana pun!” sela Myung Soo dengan nada tinggi. “Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku, Eomma?”
“Aku akan terus bersikap seperti ini selama kau masih berstatus sebagai anakku!” balas Hani menekankan, membuat Myung Soo terdiam sesaat.
Tiba-tiba air mata Hani menetes, membuat Myung Soo bingung.
“Kau tahu ayahmu itu…”
“Aku tahu, Eomma,” sela Myung Soo sebelum sang ibu bicara lebih banyak lagi soal sang ayah yang kini sudah tiada. “Kau sudah berjanji untuk tidak membahas hal itu lagi.”
“Kau pun sudah berjanji untuk tidak terluka,” ucap Hani mengingatkan. “Dan kau melanggarnya.”
“Aku harus melakukan ini, Eomma,” ucap Myung Soo. “Aku tidak bisa membiarkan Gaza menyakitimu. Melihatmu disiksa Gaza, itu terasa lebih menyakitkan daripada mendapatkan luka seperti ini.”
Hani terdiam, masih menangis.
“Mianhae,” ucap Hani tiba-tiba. “Tidak seharusnya aku dan ayahmu berurusan dengan Gaza.”
“Kita sudah membahas hal itu berulang kali, Eomma,” ucap Myung Soo seraya memeluk sang ibu. “Dan maafkan aku, aku sudah membohongimu pasal pelunasan hutang pada Gaza. Gongchul-Hyung tidak membantuku. Aku bertanding untuk mendapatkan uang yang akan kuberikan pada Gaza kemarin malam. Awalnya aku tidak ingin menunjukkan wajahku padamu untuk beberapa hari ini, paling tidak setelah luka-luka pada wajahku membaik. Tetapi aku tidak bisa meninggalkanmu terlalu lama di rumah sendirian. Perasaanku sedang buruk sekarang. Hanya dengan melihat ibuku ini, aku merasa sedikit membaik.”
Hani pun membalas pelukan Myung Soo. “Mianhae, Myung Soo-ah. Aku telah meletakkan begitu banyak beban padamu.”
“Kau memang harus melakukannya, Eomma,” ucap Myung Soo yang sangat mencintai sang ibu. “Aku tidak mau kau menanggung beban dan luka sendirian. Kau harus membaginya padaku. Dan aku akan selalu berusaha untuk mengurangi bebanmu.”
Sementara itu di kediaman Eunji…
“Aku akan bertanding besok,” ucap Minho pada Jiyeon sementara Eunji sedang membuatkan pancake di dapurnya. “Maukah kau datang untuk menyaksikan pertandinganku?”
“Besok sepertinya aku akan kembali ke kampus, sudah beberapa hari ini aku tidak masuk,” jawab Jiyeon membuat Eunji yang mencuri dengar perbincangan mereka spontan memekik senang.
“Jinjiha? Kau akan kembali ke kampus?” tanya Eunji dari dapurnya.
“Ne,” jawab Jiyeon. “Aku akan mengejar ketertinggalanku selama beberapa hari ini.”
“Akhirnya kau mampu berpikir waras, Jiyeon-ah,” ucap Eunji yang kini sibuk meletakkan pancake di atas piring sebelum dihidangkan. “Cobalah pancake buatanku ini.”
“Dari dulu kau hanya bisa membuat pancake,” ucap Minho membuat Eunji bersungut kesal.
“Paling tidak aku lebih baik daripada Jiyeon yang sama sekali tidak bisa memasak,” ucap Eunji membela diri. “Um…pasal pertandingan tinjumu, kurasa aku dan Jiyeon bisa datang besok.”
“Aku harus kuliah, Eunji-ah,” ucap Jiyeon menolak.
“Kau tidak kuliah sampai sore kan?” tanya Eunji.
“Pertandingan pun baru mulai jam empat sore,” ucap Minho memberitahu. “Aku benar-benar mengharapkan kedatanganmu.” Kini Minho memberikan pandangan memohon ke arah Jiyeon.
“Baiklah,” jawab Jiyeon akhirnya setuju.
“Aku pasti akan menang jika kau datang,” ucap Minho seraya melempar senyum senang.
**
“Myung Soo-ah!” teriak Gongchul saat Myung Soo menerima panggilan pada ponselnya.
“Hyung, kau tidak perlu berteriak,” desah Myung Soo seraya mengusap telinganya.
“Kau harus ikut pertandingan besar besok di Gumi,” ucap Gongchul terdengar sangat menggebu-gebu.
“Hyung, sudah kubilang…”
“Kau tidak bisa menolak kali ini, Myung Soo-ah,” sela Gongchul tidak mau mendengar penolakan. “Hadiahnya ₩ 10 juta! Gila kalau kau masih menolak hadiah sebesar itu!”
“Hyung, aku tidak…”
“Aku sudah mendaftarkanmu!” sela Gongchul lagi. “Aku bisa mati jika kau tidak mau datang besok!”
“Besok?!” tanya Myung Soo terbelalak.
“Ada Chaebol penggila tinju yang mau bertaruh untukmu, Myung Soo-ah,” ucap Gongchul. “Aku bilang kau berpotensi untuk memenangkan pertandingan besok. Dan jika kau benar-benar memenangkannya, kau tidak hanya akan dapat ₩ 10 juta, tetapi si Chaebol itu akan bekerja sama denganku untuk meningkatkan Blade Boxing agar menjadi terkenal.”
“Hyung…” desah Myung Soo yang sepertinya sudah tidak ada celah untuk menolak.
“Tolong aku, Myung Soo-ah,” pinta Gongchul memohon. “Aku bisa mati jika kau membatalkan semuanya. Chaebol itu pasti mengira aku telah mempermainkannya. Kau mau lihat aku mati di tembak si Chaebol itu? Dia punya banyak pasukan berkemeja hitam yang siap membunuhku!”
“Hyung, kau selalu memutuskan segala hal tanpa berunding denganku,” desah Myung Soo. “Aku sudah tidak bisa mengatakan apa-apa sekarang. Terserah kau saja, Hyung.”
“Azaaaa!” Gongchul terdengar senang. “Kalau begitu kau siapkan dirimu dan kita akan berangkat ke Gumi besok siang. Pertandingan akan diakan jam empat sore.”
Sambungan pun terputus.
“Nugu?” tanya Hani yang masih duduk di depan Myung Soo saat ini.
“Um…Gongchul-Hyung…dia menyuruhku datang ke Blade karena d-dia memesan beberapa samsak baru,” ucap Myung Soo mencoba mencari jawaban yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan sang ibu. “Dia selalu begitu…memesan barang tanpa berunding denganku. Sekarang dia kelimpungan mencari tempat untuk meletakkan samsak-samsak itu.”
“Memang dia beli berapa samsak?” tanya Hani yang sedang mengupasi apel untuk Myung Soo.
“Banyak, lima kurasa,” jawab Myung Soo.
“Lima?” Hani terkejut. “Untuk apa samsak sebanyak itu?”
“Gongchul-Hyung merekrut beberapa petinju baru yang masih butuh dilatih,” jawab Myung Soo. “Kurasa dia menjatahkan satu samsak untuk satu orang. Dia memang begitu. Suka bertindak gila.”
Hani pun hanya bisa tersenyum mendengar kegilaan Gongchul yang sering Myung Soo ceritakan padanya.
**
Dan keesokan harinya…
Gumi, Gyeongsang Utara…
Sangdong Boxing Arena…
Park Jin Hee bersama dengan sang istri di sebelahnya menempati tribun spesial yang berada lumayan dekat dengan ring. Sementara itu, Huang Zitao bersama dengan sang kekasih, Bae Suzy, yang baru datang langsung menghampiri mereka.
“Kau disini saja bersama dengan orangtuaku,” ucap Tao kepada Suzy yang kini sibuk menutupi wajahnya dengan kacamata hitam dan topi demi menghindari sorotan kamera tersembunyi. “Appa, Eomma…aku kebelakang dulu, mau bersiap-siap.”
“Lakukan yang terbaik, Huang Zitao,” ucap Jin Hee tanpa tersenyum sedikit pun.
“Ne, Appa,” jawab Tao. “Aku akan memenangkan pertandingan hari ini untukmu.”
Maka pergilah Tao ke belakang bersamaan dengan datangnya Jiyeon dan Eunji yang langsung mengambil tempat duduk di tribun seberang.
Sementara itu di belakang arena tinju…
“Kau datang, pengecut?” Tao menghampiri Myung Soo yang sedang berkumpul dengan Gongchul, Sunggyu dan kelima anak asuhnya yang baru yang hari ini hanya menjadi penonton biasa saja.
Myung Soo berusaha tidak menghiraukan ejekan Tao pada dirinya.
“Tao, jangan memulai perkelahian bahkan sebelum pertandingan dimulai,” ucap Gongchul memperingatkan.
“Kita bertanding secara sehat hari ini, Myung Soo-ah,” ucap Tao. “Kudengar lawanmu hari ini adalah Choi Siwon. Kau tahu siapa dia? Petinju Gangnam yang tidak pernah kalah satu kalipun. Jika kau berhasil mengalahkan Siwon, kemungkinan besar kau akan bertemu denganku di final.”
Belum sempat membalas ucapan Tao, datanglah si Chaebol yang rela bertaruh untuk Myung Soo.
“Mr. Kang,” ucap Gongchul seraya membungkuk hormat pada si Chaebol yang bernama Mr. Kang.
“Dimana jagoanku hari ini, Gongchul-ah?” tanya Mr. Kang yang memiliki postur tubuh gendut.
“Ini dia,” jawab Gongchul seraya memperkenalkan Myung Soo pada Mr. Kang.
“Annyeonghaseyo, Kim Myung Soo imnida,” ucap Myung Soo memperkenalkan diri.
“Kudengar dari Gongchul, kau adalah petinju yang hebat,” ucap Mr. Kang seraya meletakkan tangan gendutnya pada bahu Myung Soo.
Spontan Tao yang mendengarnya hanya bisa terkekeh mengejek. Jelas Myung Soo telah kalah telak kemarin saat bertanding di Blade. Bahkan Myung Soo terlihat seperti pecundang kecil setelah mau mencium kaki Tao.
“Aku mempercayaimu, Myung Soo-ssi,” ucap Mr. Kang lagi. “Aku yakin kau pasti bisa memenangkan pertandingan hari ini. Aku sudah bicarakan semuanya pada Gongchul. Jika kau menang, kau dan aku resmi bekerja sama.”
Myung Soo hanya bisa mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.
Sepuluh menit kemudian pertandingan resmi dimulai. Si host berewok, lewat mikrofonnya mengumumkan pertandingan pertama yang akan dilakukan oleh Huang Zitao dan Choi Minho.
Keduanya sudah berada di dalam ring.
“Jadi kau yang akan dijodohkan oleh Suzy?” tanya Tao seraya menghampiri Minho di sudut ring.
Minho yang tiba-tiba mendapatkan pertanyaan macam itu hanya bisa memandang terkejut.
“Kita belum pernah bertanding sebelumnya,” sambung Tao. “Aku mau lihat seberapa kuat kau mengalahkanku. Dan perlu kau ingat, menang atau kalahnya dirimu, kau tidak akan pernah mendapatkan Suzy. Dia hanya milikku.”
Maka kembalilah Tao pada sudut ringnya sendiri. Keduanya kini sudah siap dan wasit pun membunyikan peluitnya setelah memperkenalkan masing-masing pihak yang bertanding.
Tao melayangkan tinju pertamanya bersamaan dengan tatapan tajamnya ke arah Minho, yang ternyata pandai menghindari serangan pertama Tao. Suara riuh, sorakan dan dukungan dari tribun pun memenuhi ruangan. Sementara keduanya sedang bertanding…
“Aku tidak menyangka Minho akan melawan Tao!” seru Eunji penuh semangat dari atas tribun. Dan dia selalu seperti ini jika sedang menonton tinju. “Kau pilih mana, Jiyeon-ah? Jelas aku pilih Minho! Dia temanku dan teknik bertinjunya patut di acungi jempol!”
Jiyeon yang tidak begitu tertarik dengan tinju hanya diam saja di tempatnya duduk saat ini.
Pertandingan sudah berlalu setengah jalan sampai akhirnya ronde satu berakhir dan dimenangkan oleh Minho. Tao pun semakin geram dibuatnya.
“Fokus, Huang Zitao!” teriak si pelatih Tao seraya menepuk-nepuk wajah Tao.
Dengan nafas tersengal-sengal, mata Tao masih memandang tajam dan penuh kebencian ke arah Minho.
“Minho-ah!” teriak Eunji dari tribun. “Fighting!!!”
Minho hanya membalas support Eunji dengan senyuman dan matanya pun beralih ke Jiyeon yang kini hanya diam di sebelah Eunji.
“Untuk siapa pun kau bertanding hari ini, kau harus memenangkannya, Minho-ah!” ucap si pelatih seraya menepuk kedua bahu Minho, untuk menyalurkan semangat.
Minho tidak menjawab, lagi-lagi matanya beralih ke arah Jiyeon.
Pertandingan kembali di mulai dan sementara itu di belakang arena pertandingan…
“Hyung, kau akan melawan Choi Siwon!” ucap Sungjae antusias. “Daebak!”
“Kau harus tetap fokus, Myung Soo-ah,” ucap Gongchul yang duduk disebelahnya. “Aku berjanji akan melakukan apapun yang kau minta jika kau memenangkan pertandingan hari ini.”
“Demi Blade Boxing!” timpal Sunggyu seraya menjulurkan tangannya ke bahu Myung Soo.
**
Tak diduga Choi Minho berhasil mengalahkan Huang Zitao. Park Jin Hee dari tribun tampak sangat marah dan kecewa.
“Aku tidak akan menyentuh kekasihmu sedikitpun,” ucap Minho pada Tao. “Karena memang aku tidak tertarik dengannya.”
Mendengar Minho berkata seperti itu, kebencian Tao pada Minho meningkat menjadi seratus persen.
“Tunggu pembalasanku,” geram Tao pelan seraya turun dari ring dengan kondisi terluka.
Jin Hee yang sudah hilang minat untuk melanjutkan menonton kini sedang turun dari tribun dan hendak keluar dari ruangan. Tanpa disengaja keduanya berjalan melewati tribun yang ditempati Eunji dan Jiyeon.
“I-itu orang tuamu,” ucap Eunji terkejut seraya menyenggol tangan Jiyeon yang ternyata juga melihatnya. “Mereka menonton juga ternyata.”
“Mereka pasti menonton karena Tao,” ucap Jiyeon saat kedua orangtuanya sudah keluar dari ruangan.
Pertandingan pasangan kedua pun di mulai. Jiyeon benar-benar tidak bisa tidak terkejut saat melihat Kim Myung Soo sedang berdiri di atas ring.
“Dia juga bertanding?!” pekik Eunji senang bukan main. “Omo dia melawan Choi Siwon? Eotteokhae?”
“Wae?” tanya Jiyeon yang tidak mengerti siapa Siwon dan kenapa petinju satu itu patut di takuti.
“Dia petinju dari Gangnam yang tidak pernah kalah satu kali pun,” jawab Eunji yang kini terlihat sangat resah. “Myung Soo yang baru sekali ikut pertandingan besar harus melawan Siwon. Apa dia bisa menang?”
Tiba-tiba Jiyeon teringat dengan luka-luka pada wajah Myung Soo. Keresahan yang entah timbul darimana dan kenapa tiba-tiba muncul di hati Jiyeon. Tanpa sadar Jiyeon meremas tangannya sendiri saat si wasit sudah membunyikan peluit, tanda pertandingan sudah dimulai.
Kenyataan bahwa Siwon adalah petinju yang hebat yang tidak pernah kalah, membuat Myung Soo gugup bertanding hari ini. Terlebih lagi tuntutan dari Gongchul dan Mr. Kang yang mengharuskan dirinya memenangkan pertandingan hari ini membuat Myung Soo setengah tidak fokus dalam pertandingan. Maka jab (pukulan pembuka pertandingan) dari Siwon berhasil mengenai kepala Myung Soo.
“Fokus, Myung Soo-ah!” teriak Gongchul dari luar ring.
Ronde pertama Myung Soo kalah, membuat Gongchul langsung menggeret Myung Soo ke tepi ring saat waktu istirahat.
“Jangan bodoh, Kim Myung Soo!” ucap Gongchul di depan wajah Myung Soo. “Apa yang sedang kau pikirkan, heh? Kenapa pukulan yang seharusnya mudah kau hindari dari Siwon mampu menjatuhkanmu?”
“Mianhae, Hyung,” ucap Myung Soo setelah melepas pelindung giginya. “Aku terlalu gugup…”
“Tidak ada alasan, Myung Soo-ah,” ucap Gongchul. “Mr. Kang melihatmu hari ini. Jangan buat dia kecewa. Kau masih mau melihatku hidupkan?”
“Aku akan berusaha fokus kali ini,” ucap Myung Soo seraya memasang kembali pelindung giginya.
Sementara di tribun Jiyeon dan Eunji…
“Kenapa dengan Myung Soo?” gumam Eunji. “Aku yakin dia bisa melakukan lebih baik dari yang dia lakukan tadi.”
“Kenapa dia mau mengikuti pertandingan besar ini.” Jiyeon pun ikut bergumam di dalam hati. Matanya hanya tersorot penuh ke arah Myung Soo. Walaupun si petinju satu itu sempat membuatnya kesal, tetapi keresahannya pada Myung Soo tidak bisa dihindari.
Beberapa ronde sudah bergulir dan kini tiba ronde terakhir untuk menentukan siapa yang berhak maju ke pertandingan final. Keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk melawan Choi Minho nantinya.
“Yaa, anak baru!” panggil Siwon sebelum memasang pelindung giginya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengalahkanku.”
Maka pertandingan ronde terakhir pun dimulai…
Myung Soo berusaha melepaskan diri dari tubuh berotot Siwon yang kini berhasil mengunci tubuhnya sehingga dirinya tidak bisa bergerak sedikit pun. Gongchul dan Mr. Kang sama resahnya sekarang, sementara Jiyeon berusaha tidak menyaksikan bagaimana cara Siwon mengalahkan Myung Soo saat ini. Myung Soo dalam keadaan terjepit dan tidak mampu mengalahkan otot besar Siwon.
Dan tiba-tiba Myung Soo meludahkan pelindung giginya sebelum berkata dengan suara tercekik, “K-kau memang bisa mengalahkanku dengan mudah. T-tetapi aku yakin….kau tidak akan bisa mengalahkan Minho….”
Mendengar ucapan Myung Soo, membuat Siwon semakin geram.
“M-Minho yang terbaik…” ucap Myung Soo semakin memanas-manasi Siwon. “K-kau akan terlihat seperti pecundang nantinya…”
Siwon yang mudah terpancing emosi langsung melepaskan tangannya dari leher Myung Soo, berganti menjadi pukulan ganas dan bertubi-tubi. Menurut Myung Soo ini lebih baik daripada dia harus kehabisan nafas dan mati konyol di atas ring. Dan mudah ditebak, Myung Soo terkapar di lantai ring dengan darah mengalir pada pelipisnya. Wasit pun mulai menghitung mundur. Myung Soo berhasil bangun pada hitungan ke tiga dan pada saat itulah tanpa sengaja kedua matanya menangkap sosok Jiyeon yang berdiri di atas tribun sana. Tiba-tiba saja rasa kesalnya pada Jiyeon kembali muncul dan semua itu berhubungan dengan Gaza. Emosi Myung Soo berhasil meletup di tempat. Sementara Siwon yang hendak meluncurkan pukulannya lagi berhasil Myung Soo tahan dengan kedua tangannya. Dan tanpa aba-aba, Myung Soo langsung membenturkan kepalanya pada perut Siwon sehingga Siwon terdorong dan terpental ke arah tali ring. Siwon terjatuh dan Myung Soo langsung menduduki tubuhnya sebelum dirinya meluncurkan pukulan pembalasan. Suara sorak sorai pun membahana. Pihak pendukung Myung Soo bersorak senang, termasuk Eunji dan Jiyeon. Entahlah…mengapa Jiyeon ikut bersorak senang.
Pertandingan berhasil dimenangkan oleh Myung Soo. Mr. Kang pun percaya bahwa Myung Soo memang petinju terbaik.
“Kau memang hebat, Myung Soo-ah!” teriak Gongchul seraya memeluk Myung Soo. “Sungjae, air mana air?”
“Aku tidak percaya kau mampu mengalahkan Siwon!” ucap Sunggyu seraya mengusap keringat Myung Soo dengan handuk.
Pertandingan final pun tiba. Perasaan gugup semakin menyerang Eunji maupun Jiyeon.
“Kalau sudah begini aku bingung mau mendukung yang mana,” ucap Eunji frustasi. “Masa bodoh, siapapun yang menang atau kalah, keduanya tetap jagoanku!”
Ini pertama kalinya Myung Soo dan Minho bertemu dalam satu ring. Sebelumnya Myung Soo hanya melihat pertandingan Minho dari jauh. Sementara Minho tidak pernah kenal bahwa ada petinju seperti Myung Soo.
Minho melontarkan pukulan dengan cara mengayunkan tangannya dari jarak jauh ke arah Myung Soo. Myung Soo sempat beberapa kali kewalahan dengan cara Minho melawan dirinya. Myung Soo akui, Minho memang petinju yang hebat. Berkali-kali Myung Soo dibuat lengah oleh uppercut yang Minho berikan padanya.
“Fokus, Myung Soo-ah!” teriak Gongchul tidak pernah lelah memberikan Myung Soo semangat.
Myung Soo tidak boleh kalah hari ini. Paling tidak dia harus membantu Gongchul menepati janjinya kepada Mr. Kang. Jika dia kalah, beberapa pihak akan merasa dirugikan. Gongchul pasti akan menjadi salah satu buruan Mr. Kang dan dirinya akan ikut masuk ke dalam daftar yang paling ingin Mr. Kang hancurkan. Sementara Blade Boxing, mungkin akan runtuh. Mr. Kang termasuk salah satu manusia terkaya penghuni Cheongdam-dong. Dia punya segalanya. Kekayaan dan kekuasaan.
Dan tiba-tiba Myung Soo teringat akan sebuah pesan yang pernah sang ayah tuliskan pada dinding rumahnya.
Aku membenci setiap menit dari latihan, tapi aku bilang pada diriku sendiri untuk tidak berhenti. Menderita sekarang dan jalani sisa hidup sebagai juara.
Dia memang belum pernah melihat sang ayah hidup dengannya. Tetapi Myung Soo yakin, segala bakat dan semangat yang pernah tumbuh didirinya merupakan warisan berharga dari sang ayah. Mengingat pesan dari sang ayah, membuat Myung Soo semakin terobsesi untuk memenangkan pertandingan hari ini.
Saat ini memasuki ronde terakhir dalam pertandingan final. Minho mulai kewalahan menanggapi pukulan croos yang Myung Soo layangkan kepadanya secara terus menerus. Myung Soo pun sepertinya tidak akan memberikan kesempatan kepada Minho untuk menghajar dirinya lagi.
“Myung Soo hebat, tetapi kasihan Minho,” gumam Eunji. “Lihat dia, bahkan Minho tidak sempat memberikan serangan balik.”
Obsesi Myung Soo jelas membuat dirinya terlihat menakutkan. Minho memang tidak punya masalah pribadi dengannya, tetapi jika melihat cara Myung Soo menjatuhkan Minho, siapa pun pasti akan berpikir bahwa Myung Soo memiliki dendam membara pada Minho.
Minho pun terjatuh di lantai ring. Tak berdaya bahkan sampai wasit selesai menghitung mundur, dia tak juga bangkit. Maka menanglah Kim Myung Soo pada pertandingan hari ini. Si wasit mengangkat tinggi sebelah tangan Myung Soo. Tribun pun riuh dengan sorak sorai dan suara tepuk tangan. Gongchul pun menghambur masuk ke dalam arena untuk memeluk Myung Soo.
“Kau menang, Myung Soo-ah!” teriak Gongchul seraya memegang kepala Myung Soo dengan kedua tangannya. “KITA MENAAAANG!!!!!”
Gongchul, Sunggyu, Mr. Kang dan kelima anak asuh Gongchul bersuka cita atas kemenangan Kim Myung Soo.
**
“Kim Myung Soo!” Choi Minho menghampiri Myung Soo sewaktu pertandingan selesai sejak satu jam yang lalu. “Selamat.” Minho menjulurkan tangannya ke arah Myung Soo.
“Kamsahamnida,” ucap Myung Soo seraya menyambut uluran tangan Minho.
“Aku baru lihat kau dan kau memang hebat,” ucap Minho.
“Berbeda denganku, aku sering melihatmu bertanding. Hanya melihat…” ucap Myung Soo.
Tiba-tiba datang Sunggyu menghampiri mereka.
“Sunggyu-ah, sudah lama tidak bertemu,” ucap Minho seraya memeluk Sunggyu dengan pelukan khas teman lama. “Jadi kalian berteman? Kau dan Myung Soo?”
“Geurae, aku ikut dengan Gongchul-Hyung di Blade Boxing,” jawab Sunggyu. “Kau sangat hebat, Minho-ah. Tetapi jangan tersinggung, temanku yang satu ini bisa mengalahkan kehebatanmu.”
Minho pun tertawa seraya berkata, “Geurae. Kim Myung Soo mampu mengalahkanku. Dan aku menerima kekalahan ini.”
“Dimana Gongchul-Hyung?” tanya Myung Soo pada Sunggyu.
“Dia sedang bertemu Mr. Kang,” jawab Sunggyu. “Untuk membicarakan soal kontrak kita.”
“Mr. Kang?” tanya Minho terkejut. “Kalian berhubungan dengan Chaebol itu?”
“Ne, waeyo, Minho-ah?” tanya Sunggyu.
“Ani, aku hanya merasa berhubungan dengan Chaebol itu bukanlah hal yang baik,” jawab Minho. “Temanku dulu, dia pernah menjalin kontrak dengan Mr. Kang. Mendadak dia menjadi kaya dan terkenal. Tetapi ingat satu hal, Mr. Kang tidak kenal dengan kata kalah. Sekali kau kalah, kau akan habis olehnya.”
Sunggyu pun menciut ditempat saat mendengar ucapan Minho pasal Mr. Kang.
“Apa dia semengerikan itu?” tanya Myung Soo mulai merasa khawatir.
Minho mengangguk seraya berkata, “Dia lebih mengerikan dari yang kau kira. Sebaiknya kau cegah pelatihmu itu sebelum dia menandatangani kontrak diantara kalian.”
“Sunggyu-ah, dimana mereka berada?” tanya Myung Soo segera.
“A-ada di kantor pusat gedung ini,” jawab Sunggyu.
“Minho-ah, terima kasih atas peringatannya,” ucap Myung Soo sebelum dirinya benar-benar pergi meninggalkan Minho, diikuti Sunggyu di belakangnya.
“Jadi kau akan membatalkan kontrak, heh?” tanya Sunggyu berusaha menyamai langkah kaki Myung Soo yang setengah berlari.
“Aku tidak mau berurusan dengan manusia mengerikan seperti dia,” jawab Myung Soo yang sudah memasuki lobi utama. “Cukup Gaza, aku tidak mau ada lagi manusia seperti…” Myung Soo telah menabrak seseorang hingga keduanya terjatuh pada tempat yang sama.
Seorang yeoja mengaduh saat tubuh Myung Soo kini tengah meniban tubuhnya.
“K-Kim Myung Soo?” gumam si yeoja seraya menatap wajah Myung Soo yang kini begitu dekat dengan wajahnya.
“Jiyeon-ah, gwaenchana?” Eunji terlihat berlari kecil menghampiri mereka. “Omo…Myung Soo-ssi? K-kalian?”
“M-mianhae,” ucap Myung Soo yang tiba-tiba terbata saat sepasang manik mata Jiyeon mampu membuat jantungnya berdetak tidak normal.
“Sedang apa kalian?” tanya sebuah suara lagi. Huang Zitao yang sedang menggandeng Bae Suzy di sebelahnya pun menghampiri Jiyeon dan Myung Soo yang sudah sama-sama berdiri. “Jiyeon-ah, kau berkencan dengan Kim Myung Soo?”
“A-aniyo,” jawab Jiyeon berusaha tidak gugup.
“Kalian saling mengenal?” tanya Myung Soo merasa aneh melihat cara Tao begitu akrab menyapa Jiyeon.
“Tentu saja, dia kan saudaraku,” jawab Tao seraya merangkul bahu Jiyeon. “Saudara angkat, maksudku…”
Sejurus kemudian, Myung Soo menatap terkejut ke arah keduanya, ke arah Jiyeon dan Tao.
To Be Continue