home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > INCEST

INCEST

Share:
Author : icaque
Published : 31 Jan 2015, Updated : 31 Jan 2015
Cast : Kim Myung Soo, Park Jiyeon, Huang Zitao, Jung Eunji, Bae Suzy, Choi Minho, Kim Sunggyu
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |9032 Views |4 Loves
INCEST
CHAPTER 3 : Gaza & Oh Hani

“Daebak,” gumam Jiyeon pelan sementara matanya berkeliling menyapu isi ruangan Blade Boxing. “Tempat ini milikmu?”

“Aniyo,” jawab Myung Soo seraya mengeluarkan beberapa kaleng bir dan cemilan sebelum diletakkan di atas meja. “Aku hanya punya ini. Kalau kau mau…”

Jiyeon menoleh dan menatap makanan dan minuman yang sudah Myung Soo susun. “Gwaenchana. Aku juga tidak akan menyentuh bir itu. Aku pemabuk yang buruk.”

Myung Soo hanya mengangguk.

“Sejak kapan kau bergelut di dunia tinju?” Jiyeon mulai menghampiri dan duduk di sebelah Myung Soo.

“Tiga tahun yang lalu kurasa,” jawab Myung Soo seraya berusaha mengingat. “Tetapi Gongchul-Hyung sudah mengajariku sejak usiaku lima belas tahun.”

“Gongchul?” Dahi Jiyeon berkerut bingung.

“Dia pemilik tempat ini,” jawab Myung Soo menjelaskan. “Tiga belas tahun yang lalu aku datang ke tempat ini hanya karena aku tertarik dengan sesuatu yang ada di dalam sini. Tinju.”

“Jadi kau sudah tertarik dengan tinju sejak kecil?” tanya Jiyeon.

Myung Soo mengangguk. “Ayahku seorang petinju.”

“Jinjiha? Mungkinkah itu hobi karena keturunan…”

“Entahlah,” ucap Myung Soo seraya tersenyum singkat. “Ibuku tidak begitu suka aku menggeluti bidang ini. Dia takut jika aku bernasib sama seperti ayahku.”

“Kenapa dengan ayahmu?” tanya Jiyeon semakin penasaran dengan seluk beluk kehidupan si petinju satu ini.

“Dia sudah tidak ada,” jawab Myung Soo, membuat Jiyeon tiba-tiba dihinggapi rasa tidak enak.

“Ah, mianhae…” ucap Jiyeon pelan.

“Gwaenchana. Aku sudah terbiasa menjelaskan hal ini kepada orang-orang yang baru mengenalku,” ucap Myung Soo seraya mengambil sekaleng bir sebelum dibuka dan diteguknya sampai setengah tuntas. “Setelah melihat nasib buruk Appa, ibuku jadi sedikit protektif kepadaku. Tetapi aku benar-benar nakal dulu. Biarpun Eomma melarangku untuk datang ke tempat ini, aku terus melakukannya. Sampai akhirnya Gongchul-Hyung mengajakku masuk. Katanya….lebih enak menonton tinju dari jarak dekat. Dan aku tidak mau hanya menjadi penonton. Aku tertarik dengan olahraga ini…” Tiba-tiba Myung Soo terkekeh dengan kepala setengah tertunduk.

“Waeyo?” tanya Jiyeon yang begitu serius memperhatikan Myung Soo.

“Aku berbohong pada Gongchul-Hyung dan Sunggyu,” jawab Myung Soo. Matanya lurus menatap ke arena ring di depannya. “Aku bilang kepada mereka bahwa aku bertinju bukan sebagai hobi atau untuk mencari kepopularitasan, tetapi untuk menghasilkan uang. Dan aku rasa aku tidak hanya membohongi mereka, tetapi juga membohongi diriku sendiri.”

“Aku mengerti,” ucap Jiyeon. “Jika kau memang tidak mencintai tinju, kau tidak akan mungkin menjadi anak nakal yang berkali-kali berusaha datang ke tempat ini.”

Myung Soo mengangguk seraya mendesah, “Aneh sekali. Di depanmu aku bercerita begitu banyak tentang diriku. Bukan aku yang biasanya.”

“Mungkin kau merasa nyaman dekat denganku?” tanya Jiyeon tiba-tiba, membuat Myung Soo seketika menatapnya dengan tatapan kenapa-kau-bicara-seperti-itu. Merasa sudah salah bertanya, Jiyeon langsung mengubah pertanyannya, ” Bagaimana dengan lukamu?”

“Wajahku terasa kaku sekarang,” jawab Myung Soo. “Aku tidak pernah terluka separah ini.”

“Lalu kenapa kau bisa mendapatkan luka separah itu?” tanya Jiyeon.

“Aku bertanding pagi ini,” jawab Myung Soo. “Demi mendapatkan uang.”

“Uang tadi siang itu?” tanya Jiyeon teringat. Myung Soo pun mengangguk. “Kalau aku boleh tahu, untuk apa kau mencari uang sebanyak itu, sehingga kau rela terluka parah seperti ini?”

“Kau benar-benar ingin tahu masalahku?” tanya Myung Soo seraya menatap Jiyeon. “Kita baru kenal beberapa jam yang lalu….”

“Lalu kenapa tadi kau mau bercerita panjang lebar kepadaku tentang hidupmu?” sela Jiyeon membuat Myung Soo mati kutu.

Myung Soo terlihat berpikir sebelum akhirnya menjawab, “Keluargaku terlibat hutang dengan depkolektor. Uang itu untuk membayar hutang-hutang keluargaku.”

“Apa kau sudah membayarnya?” tanya Jiyeon lagi, seakan-akan rasa penasarannya pada Myung Soo tak kunjung habis.

Myung Soo mengangguk.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan obrolan mereka berdua semakin mengalir dan mengasikkan.

“Kau tidak sesombong yang kupikir ternyata,” ucap Jiyeon setelah meneguk air putih di dalam botol yang Myung Soo belikan untuknya di sela-sela obrolan mereka.

“Aku tidak selalu bisa akrab dengan orang asing,” ucap Myung Soo mengakui sendiri kelemahannya. “Dan sadarkah bahwa hanya aku yang bercerita sedaritadi?”

Jiyeon tertawa seraya bertanya, “Jadi kini kau mulai tertarik untuk tahu tentang kehidupanku?”

“Setidaknya akan terasa adil jika kau mau bercerita juga,” ucap Myung Soo yang sudah menunggu Jiyeon bercerita.

Jiyeon terlihat berpikir sebelum akhirnya berkata, “Bisakah kau temani aku ke suatu tempat besok?”

“M-mwo?” Mata Myung Soo mengerjap tanda bingung dengan pertanyaan Jiyeon.

“Sebetulnya besok aku mau kembali ke rumah untuk mengambil beberapa baju ganti dan barang yang tertinggal,” ucap Jiyeon, masih tidak dimengerti Myung Soo. “Aku pergi dari rumah.” Kalimat terakhir Jiyeon akhirnya menjelaskan semuanya.

“K-kau kabur?” tanya Myung Soo terperangah.

“Aku diusir,” ucap Jiyeon meralat. “Panjang sekali ceritanya.” Tiba-tiba wajah Jiyeon memanas, selalu seperti ini jika dia mulai merasa sedih.

“A-aku benar-benar tidak tahu pasal kehidupanmu bersama dengan keluargamu, tetapi jika kau merasa terlalu berat untuk bercerita, kau tidak perlu…”

“Aniyo,” sela Jiyeon setelah berusaha menguatkan hatinya. “Kemarin malam aku baru tahu bahwa ternyata aku bukan anak kandung kedua orangtuaku.”

Lagi-lagi Myung Soo terkejut akan cerita yang keluar dari mulut Jiyeon.

“Dan Appa mengusirku,” sambung Jiyeon. “Menurut Appa, aku bukan anak yang selama ini dia inginkan. Aku cenderung memiliki sifat pembangkang dan sulit diatur. Tetapi jujur saja, setelah aku keluar dari rumah itu, kini aku merasa lebih bebas.”

“Kita…” ucap Myung Soo bersuara. “….memiliki masalah yang berbeda, yang kupikir sama beratnya.”

Jiyeon tersenyum, berusaha tersenyum lebih tepatnya. Karena setiap dirinya mulai mengingat fakta bahwa dia bukan anak kandung kedua orangtuanya, entah mengapa bagian dari hatinya terasa sakit.

“Dan seharusnya aku tidak memaksamu untuk menceritakan pasal dirimu kepadaku,” sambung Myung Soo.

“Kau tidak memaksaku,” ucap Jiyeon. “Dan aku senang bisa berbagi cerita kepada orang lain. Kau pendengar yang baik. Bahkan lebih baik dari Eunji, sahabatku yang mengidolakanmu itu.”

Myung Soo pun mengangguk seraya berkata, “Baiklah. Aku akan mengantar…um menemanimu besok ke rumahmu.”

“Jinjiha?” tanya Jiyeon. “Aku senang sekali jika kau benar-benar mau mengantarku.”

“Ne, aku mau,” jawab Myung Soo seraya melempar senyumnya yang kini tidak bisa mengembang sempurna karena luka pada sudut bibirnya masih meradang.

**

“Yaa yaa…mau kemana kau pagi-pagi begini?” tanya Eunji seraya menatap bingung ke arah Jiyeon yang kini sedang berpakaian. Hari ini Jiyeon terlihat lebih ceria daripada kemarin, entah karena apa. Merasa tak kunjung mendapat jawaban, Eunji bertanya sekali lagi. “Park Jiyeon, Jung Eunji sedang bertanya padamu!”

“Minggir, kau menduduki tasku,” ucap Jiyeon seraya mendorong sedikit bokong Eunji yang menduduki tasnya.

“Park Jiyeon!” Kini Eunji menaikkan volume suaranya.

“Berisik sekali kau,” desah Jiyeon yang sedang merapikan rambutnya.

“Jiyeon-ah, perlu kau tahu bahwa hari ini aku hendak mengajakmu pergi untuk bertemu dengan teman lamaku,” ucap Eunji kini berdiri di sebelah Jiyeon yang sudah rapi.

“Teman?” tanya Jiyeon yang sekarang sibuk mencari botol parfume di dalam tasnya.

“Ne, aku mau memperkenalkan Choi Minho kepadamu,” jawab Eunji. “Dia petinju juga dan kami satu angkatan sewaktu SMA, bersama dengan Sunggyu.”

“Mianhae, Eunji-ah,” ucap Jiyeon menyesal. “Tidak bisa hari ini. Aku ada janji dan…”

“Janji?” sela Eunji seraya memegang kedua lengan Jiyeon. “Dengan siapa?”

“Nanti kau juga tahu,” ucap Jiyeon seraya beranjak pergi keluar rumah.

Di luar rumah Eunji ternyata sudah ada seseorang yang menunggu Jiyeon. Eunji kaget bukan main saat tahu bahwa orang yang sedang menunggu Jiyeon adalah Kim Myung Soo, idolanya.

“K-kk-kok bisa?” Eunji tidak bisa berkata-kata.

“Myung Soo-ssi, kau ingat dia?” tanya Jiyeon seraya menunjuk Eunji. “Dia pernah meminta tanda tanganmu sewaktu…” Belum Jiyeon selesai bicara, Eunji sudah menyabotase tangan Myung Soo.

“Annyeonghaseyo, Myung Soo-ssi…omo…” Eunji menutup mulutnya dengan sebelah tangan sementara matanya terus menatap Myung Soo. “…aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi, bahkan kau datang ke rumahku. Kau tentunya masih mengingatku sewaktu di Bukchon?”

“Joseonghamnida, sebetulnya aku tidak begitu mengingat wajahmu,” jawab Myung Soo, membuat ekspresi Eunji spontan berubah pahit.

Jiyeon tidak bisa tidak tersenyum geli saat melihat wajah Eunji.

“Kita pergi dulu, Eunji-ah,” ucap Jiyeon seraya beranjak pergi bersama dengan Myung Soo di sebelahnya.

“Anak itu,” desah Eunji masih menatap keduanya yang sudah semakin menjauh. “Sejak kapan dia tertarik dengan petinju?”

**

Mobil Park Jin Hee baru saja keluar dan melesat pergi saat Jiyeon dan Myung Soo tiba.

“Ayo masuk,” ucap Jiyeon mengajak Myung Soo.

“Aku disini saja,” ucap Myung Soo menolak dan lebih suka berdiri di luar dekat pagar.

“Kalau begitu aku hanya sebentar saja,” ucap Jiyeon sebelum meninggalkan Myung Soo ke dalam.

Sang ayah sudah pergi dan hanya tersisa sang ibu yang sedang duduk di meja makan. Lee Na Ran benar-benar terkejut saat melihat Jiyeon kembali ke rumahnya.

“Anakku,” ucap Na Ran seraya memeluk Jiyeon dengan sangat erat. “Akhirnya kau pulang.”

“Eomma…” Jiyeon pun tidak bisa menahan haru, membuatnya mau tak mau menangis ditempat.

“Perlu kau tahu, Jiyeon-ah,” ucap Na Ran setelah mengecup dahi Jiyeon. “Ayahmu tidak benar-benar mengusirmu. Dia hanya emosi sesaat. Ayahmu…”

“Appa benar, Eomma,” sela Jiyeon. “Aku bukan anak yang baik untuknya. Dia menginginkan anak yang….”

“Dia sangat menyayangimu, Jiyeon-ah,” sela Na Ran. “Percayalah pada Eomma.”

“Saat ini aku hanya percaya satu hal….” ucap Jiyeon. “…aku percaya bahwa aku bukan anak kandung kalian.”

Hati Na Ran mencelos, membuatnya tak bisa berkata apa-apa.

“Kau tetap anakku,” ucap Na Ran lirih bersamaan dengan turunnya air matanya. “Sampai kapanpun kau adalah anakku.”

“Dia bukan anakmu, Eomma,” sahut seseorang yang baru turun dari lantai dua. Huang Zitao yang sudah rapi dan hendak pergi, menghampiri keduanya. “Dia sama sepertiku , Eomma. Dia hanya anak angkatmu.”

“Kenapa kau bicara seperti itu?” tanya Na Ran tidak suka.

“Sudahlah, Eomma,” ucap Tao. “Selama ini aku berusaha menaruh hormat padanya karena kupikir dia adalah anak kandung Eomma.” Kini Tao menatap Jiyeon sinis.

“Sampai kapanpun kau harus hormat kepada Jiyeon,” ucap Na Ran menekankan.

“Kita bahkan seumuran, Eomma,” ucap Tao membantah. “Hanya karena dia lebih dulu diadopsi olehmu, itu tidak membuatnya terlihat seperti seseorang yang harus aku hormati.”

“Ada apa denganmu?” tanya Na Ran tidak mengerti dengan perubahan sikap Tao. “Belakangan ini kau berubah, sejak kau pulang dari New York.”

“Mungkin disana dia salah bergaul,” ucap Jiyeon, membuat Tao terkekeh mengejek.

“Sudahlah, Appa sudah mengusirmu,” ucap Tao berusaha memanas-manasi keadaan. “Untuk apa kau kembali?”

“Aku tidak berniat kembali,” ucap Jiyeon. “Aku hanya mau mengambil beberapa baju dan barangku yang tertinggal.”

“Aniyo, Jiyeon-ah,” ucap Na Ran seraya memegang kedua tangan Jiyeon. “Kau tidak boleh pergi lagi. Kau harus tinggal disini bersama kami.”

“Tidak bisa, Eomma,” ucap Jiyeon yang kini merasa kasihan melihat wajah miris sang ibu. “Aku butuh menenangkan diri di tempat lain. Sampai aku sudah benar-benar siap dan menerima kenyataan ini, aku akan kembali menemuimu, Eomma.”

“Paling tidak kau bisa beritahu alamat tempat tinggalmu sekarang,” ucap Na Ran meminta.

“Aniyo, Eomma,” ucap Jiyeon menolak. “Aku benar-benar butuh sendirian sekarang. Percayalah padaku, aku tidak apa-apa.”

“Lalu bagaimana dengan Eomma?” Na Ran mulai terisak.

“Tao…” Jiyeon menatap Tao sekilas. “…dia yang akan menjagamu. Dan Appa…”

Tiba-tiba Na Ran memeluk Jiyeon seraya berkata, “Kau tetap anakku….sampai kapanpun.”

Tao yang berdiri di sebelah mereka berdua hanya bisa melirik sebal saat mendengar ucapan sang ibu.

Sementara itu diluar rumah….

Myung Soo menadahkan kepalanya, berusaha melawan sinar matahari yang sedang menyorot matanya. Dia tidak begitu memperdulikan silaunya, yang dia rasakan saat ini hanya kehangatannya. Sampai akhirnya datanglah sebuah mobil dari ujung jalan sana. Myung Soo sempat melihatnya dan mengingat bagaimana bentuk mobil itu.

“Gaza…” gumam Myung Soo langsung mencari tempat persembunyian.

Sampai akhirnya si mobil datang lalu berhenti di depan pagar rumah Jiyeon. Gaza keluar bersama dengan kroninya dan masuk ke dalam rumah Jiyeon.

“Gaza? Di rumah Jiyeon?” Ribuan pertanyaan seketika menghinggapi kepala Myung Soo. “Bagaimana bisa?”

Jiyeon sudah keluar dari rumahnya beserta dengan tas ranselnya yang cukup besar saat Myung Soo masih berada di tempat persembunyiannya. Jiyeon terlihat bingung karena tidak menemukan Myung Soo. Myung Soo pun tidak menyadari bahwa Jiyeon sudah keluar dan kini sedang mencarinya.

Myung Soo di tempatnya berdiri saat ini masih sibuk berpikir dan menduga hubungan Gaza dengan keluarga Jiyeon.

“Kenapa kau bersembunyi disana?” Suara Jiyeon tiba-tiba terdengar.

Myung Soo keluar dari tempatnya bersembunyi seraya berkata, “Aku hanya mencari tempat berteduh.”

Tanpa bertanya lagi, Jiyeon pun mengajak Myung Soo pergi.

Rasa penasarannya tentang hubungan Gaza dengan keluarga Jiyeon masih mengganggu perasaan Myung Soo. Maka ketika di dalam bus…

“Kau kenal Gaza?” tanya Myung Soo berhati-hati.

“Gaza? Ne, aku mengenalnya,” jawab Jiyeon, membuat degup jantung Myung Soo mulai berdetak tidak normal. “Kau mengenalnya?”

“Bagaimana bisa kau mengenal Gaza?” tanya Myung Soo tanpa memperdulikan pertanyaan Jiyeon untuknya.

“D-dia teman kerja ayahku,” jawab Jiyeon yang merasa bingung dengan pertanyaan Myung Soo kepadanya. “Waeyo?”

“Tolong jawab pertanyaanku dengan jujur,” pinta Myung Soo kemudian. “Apa pekerjaan ayahmu?”

“Jujur saja aku tidak tahu apa pekerjaan ayahku,” jawab Jiyeon berusaha jujur. “Sewaktu aku kecil aku pernah bertanya dan ayahku hanya menjawab aku akan segera tahu setelah aku besar. Sesudah aku besar aku jadi seperti kehilangan minat untuk tahu apa yang ayahku kerjakan selama ini. Eomma bilang keluarga kami mengelola usaha sendiri bersama dengan rekan Appa. Gaza, salah satu rekan Appa.”

Myung Soo terdiam saat mendengar penjelasan dari Jiyeon.

“Waeyo, Myung Soo-ssi?” tanya Jiyeon tidak mengerti dengan ekspresi kaku Myung Soo saat ini.

“Depkolektor,” ucap Myung Soo tiba-tiba.

“M-mwo?”

“Ayahmu adalah depkolektor,” ulang Myung Soo, membuat Jiyeon otomatis terkejut.

“Mworago?” tanya Jiyeon dengan wajah tersinggung. “Kenapa kau bicara seperti itu pasal ayahku? A-aku memang bukan anak kandungnya, tetapi aku tidak bisa melihat orang lain menjelek-jelekan ayahku.”

“Kau tahu demi siapa aku mendapatkan luka seperti ini?” tanya Myung Soo. Keramahannya kepada Jiyeon yang ditunjukkan semalam pudar sudah. “Karena aku berusaha melunasi hutangku pada Gaza, pada ayahmu lebih tepatnya.”

Hati Jiyeon mencelos saat mendengar ucapan Myung Soo. Dan tiba-tiba Myung Soo bangun dari bangku bus, hendak turun. Sebelum dirinya benar-benar turun, dia bertanya, “Apa kau sedang berpura-pura padaku?”

“M-mwo?” tanya Jiyeon tidak mengerti arah pertanyaan Myung Soo.

“Agak terasa aneh, dari awal pertemuan kita, kau berusahas keras untuk mengakrabkan diri denganku,” ucap Myung Soo seraya menatap tajam Jiyeon. “Apa tujuanmu sebenarnya?”

“Myung Soo-ssi, aku benar-benar tidak mengerti dengan arah pembicaraanmu sekarang ini,” ucap Jiyeon mulai merasa tersinggung dengan sikap Myung Soo kepadanya.

“Perlu kau tahu, Jiyeon-ssi,” ucap Myung Soo. “Bertahun-tahun keluargaku berurusan dengan kelompok Gaza dan tidak kunjung selesai. Sekarang aku sudah berhasil keluar dari jerat hutangnya dan tiba-tiba kau muncul. Dan aku yakin kau dan ayahmu cukup baik mengenal siapa Gaza. Apa kau ingin membuat keluargaku berhutang lagi padanya?”

“Yaa, dugaanmu terlalu jauh, Myung Soo-ssi,” ucap Jiyeon dengan intonasi tinggi. “Sekarang aku merasa tersinggung karena ucapanmu. Aku benar-benar tidak memiliki niat jahat padamu.”

Halte bus pun sudah tiba. Tanpa membalas ucapan Jiyeon, Myung Soo segera keluar dari bus, meninggalkan Jiyeon yang masih diliputi kebingungan soal jalan pikiran Myung Soo saat ini.

**

Jiyeon membuka pintu rumah Eunji dengan agak keras, membuat Eunji spontan bertanya, “Kau mau menghancurkan pintu rumahku?”

Jiyeon tidak menjawab. Dia hanya meletakkan tas ranselnya yang cukup berat sebelum dirinya masuk ke dalam kamar untuk merebahkan diri.

“Yaa, wae irae?” tanya Eunji tidak mengerti. “Kenapa wajahmu kusut sekali? Jauh berbeda dengan pagi tadi. Seharusnya kau senang bisa jalan bersama dengan Kim Myung Soo. Belum apa-apa sudah mencuri start dariku…”

“Aku lelah,” jawab Jiyeon seadanya. “Tolong jangan ganggu aku.”

Eunji yang sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati Jiyeon hanya bisa berkata, “Araseo. Terserah dirimu saja.”

**

Gongchul dan Sunggyu sedang melatih beberapa anak baru saat Myung Soo datang.

“Myung Soo-ah, lihat anak asuhan baru Gongchul-Hyung,” ucap Sunggyu yang langsung mengambil tempat di sebelah Myung Soo. “Gongchul-Hyung benar-benar menjadikan tempat ini sebagai lahirnya petinju-petinju baru. Uang kursus latihan mengalir masuk dan  tempat ini akan menjadi semakin terkenal.”

Myung Soo hanya diam, seperti tidak tertarik dengan ucapan Sunggyu.

“Kata Gongchul-Hyung, dia hanya perlu melatih mereka semua delapan bulan sampai satu tahun. Mereka sudah punya tubuh yang bagus dan Gongchul-Hyung hanya cukup melatih dan memberikan teknik…”

“Keumanhae,” sela Myung Soo seraya menutup wajahnya dengan bantal sofa.

Dengan tatapan bingung, Sunggyu bertanya, “Wae irae?”

“Aku lapar,” jawab Myung Soo seraya memberikan selembar uang pada Sunggyu. “Tolong belikan aku sesuatu. Aku belum makan siang.”

“Aku juga,” ucap Sunggyu. “Kita beli dua, oke?”

“Terserah kau saja,” jawab Myung Soo.

Maka pergilah Sunggyu keluar. Myung Soo selalu berhasil menggunakan cara seperti itu untuk mengusir Sunggyu yang hobi ikut campur urusan orang lain.

Gongchul dan kelima anak didik barunya sudah selesai berlatih tepat bersamaan dengan Sunggyu yang sudah kembali dengan dua kotak nasi ayam.

“Yaa, kau hanya beli dua?” tanya Gongchul pada Sunggyu.

“Uangnya hanya cukup dua, Hyung,” jawab Sunggyu disertai cengir kudanya.

“Beli lagi sana,” ucap Gongchul seraya memberikan uang pada Sunggyu. “Enam kotak lagi. Aku dan yang lain butuh makan siang juga.”

“Haish,” desah Sunggyu ogah-ogahan menerima uang dari Gongchul. “Beruntung kalian memiliki pelayan sepertiku.” Sunggyu pun kembali keluar.

“Myung Soo-ah, kenalkan kelima anggota baru Blade Boxing,” ucap Gongchul seraya menunjuk kelima anak buahnya. “Ini Sungjae, Ilhoon, Changsub, Peniel dan yang paling ujung Minhyuk.”

“Annyeong,” ucap Myung Soo seadanya. Dan kelima anak baru ini pun membalas salam Myung Soo seraya mengangguk hormat.

“Wae? Wajahmu suntuk sekali,” tanya Gongchul sama persis dengan pertanyaan Sunggyu kepadanya.

Bukannya di jawab, Myung Soo justru menantang Sungjae untuk bertanding di atas ring.

“Yaa, dia masih anak baru,” ucap Gongchul memberitahu Myung Soo.

Sungjae terlihat agak takut saat dirinya sudah berhadapan dengan Myung Soo di atas ring.

“Jangan perdulikan aku ini seniormu,” ucap Myung Soo seraya melemparkan pelindung gigi dan sarung tinju kepada Sungjae.

“Dia belum makan siang, pabbo,” teriak Gongchul lagi.

Myung Soo yang tidak memperdulikan ucapan Gongchul, justru berkata, “Kau lebih tinggi dariku. Aku yakin kau bisa melawanku.”

Sungjae yang merasa gugup menjadi tidak fokus saat Myung Soo melayangkan pukulan pertamanya ke arah pipinya.

“Yaa! Kau mau membunuhnya?” teriak Gongchul kini menghampiri ring.

Serangan kedua berhasil Myung Soo berikan pada perut Sungjae.

“Chankamman…” Serangan tiga berhasil menjatuhkan Sungjae di tempat.

“Yaa!” Kini Gongchul naik ke atas ring. “Dia belum pernah tanding satu lawan satu.”

“Dan dia baru pertama kali memegang samsak hari ini,” sambung Ilhoon memberitahu dari bawah ring.

Sementara Gongchul berusaha membangunkan Sungjae, Myung Soo sudah turun dari ring menuju keluar pintu. Sunggyu yang baru datang pun bertanya, “Mau kemana kau? Nasi ayammu sudah dimakan?”

“Untukmu saja,” jawab Myung Soo tanpa melihat Sunggyu sedikitpun dan terus melenggang pergi.

**

Malam harinya…

Park Jiyeon kini sedang berhadapan dengan Lee Na Ran di sebuah restoran.

“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu, Eomma,” ucap Jiyeon.

“Sebenarnya ada apa? Kau terlihat serius sekali,” ucap Na Ran seraya memegang tangan Jiyeon.

“Tolong jawab pertanyaanku dengan jujur,” ucap Jiyeon. “Sebenarnya apa yang Appa kerjakan selama ini? Sampai detik ini, disaat aku sudah sebesar ini, aku masih belum tahu apa pekerjaan Appa yang sebenarnya.”

Sang ibu terdiam dan tatapannya mulai terlihat ragu.

“Depkolektor,” ucap Jiyeon tiba-tiba, membuat Na Ran menatap terkejut ke arahnya. “Itukah pekerjaan Appa?”

“Jiyeon-ah…” Na Ran mulai buka suara. “Ayahmu tidak ingin kau tahu karena…”

“Pekerjaan macam itu termasuk salah satu pekerjaan penjahat?” sela Jiyeon. “Itu yang ingin kau katakan, Eomma?”

“Jiyeon-ah, depkolektor sama artinya dengan meminjamkan uang kepada orang yang tidak mampu…yang membutuhkan…” ucap Na Ran berusaha menjelaskan.

“Aku tahu, Eomma,” ucap Jiyeon. “Aku tahu bagaimana cara para depkolektor menghasilkan uang. Mereka memang meminjamkan uang kepada yang tidak mampu…dan dengan bunga yang tinggi.”

“Jiyeon-ah…”

“Depkolektor itu pekerjaan ilegal, Eomma,” sela Jiyeon. “Dan Gaza, dia telah berhasil membuat temanku terluka.”

“Mwo?” Na Ran terlihat terkejut.

“Aku baru saja mendapatkan seorang teman baru dan seketika dalam hitungan jam aku kehilangannya,” ucap Jiyeon. “Dan semua itu karena Gaza dan pekerjaan Appa.”

Na Ran mulai mengerti arah pembicaraan Jiyeon dan kini dia hanya bisa diam, bingung mau bicara apa lagi. Bahkan penjelasan darinya rasanya tidak akan membantu melunakkan perasaan Jiyeon saat ini.

“Aku tidak menyalahkanmu, Eomma,” ucap Jiyeon bersuara lagi. “Hanya kepadamu aku bisa menceritakan hal ini.”

Na Ran mengangguk seraya berkata, “Maafkan kami, terutama ayahmu. Kami tidak pernah menyangka bahwa…”

“Temanku menjadi salah satu korban Appa,” sela Jiyeon membuat sang ibu kembali bungkam. “Maafkan aku, Eomma. Aku bingung sekarang. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku berhenti melakukan semua hal yang pernah menjadi aktifitas rutinku selama ini. Aku pikir aku telah mendapatkan teman baru yang bisa kuajak untuk melakukan sesuatu bersama. Ternyata hal itu hanya sesaat saja.”

“Jiyeon-ah,” Na Ran kembali menggenggam erat tangan Jiyeon. “Kau adalah anakku. Aku terima jika kau tidak mau kembali ke rumah lagi, asalkan aku selalu tahu bagaimana keadaanmu setiap harinya. Dan pasal kuliahmu…kau tidak perlu berhenti.”

“Aku tidak mungkin membiarkanmu tetap membiayai kuliahku sejak aku tahu…”

“Kenapa kau punya pikiran sesempit itu?” sela Na Ran tidak mengerti jalan pikiran sang anak.

“Aku tidak mau biaya kuliahku dibayar dengan uang Appa,” ucap Jiyeon. “Aku tidak mau menggunakan uang yang didapat dengan cara kekerasan.”

Na Ran mengangguk mengerti.

“Eomma yang akan membiayai uang kuliahmu,” ucap Na Ran. “Eomma akan pakai uang dari hasil butik Eomma. Dan perlu kau ingat, Jiyeon-ah. Setiap kau butuh uang, kau hanya cukup mencariku. Aku tidak mau hidupmu terlantar diluar sana. Aku menyayangimu. Kau anakku.”

Beruntunglah Jiyeon, diantara beberapa masalah yang sedang menderanya, masih ada satu orang yang senantiasa memberikan support dan kasih sayang padanya. Walaupun hanya berstatus sebagai anak angkat, Jiyeon tetap mendapatkan tempat yang spesial di hati Na Ran.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Jiyeon dan sang ibu pun sudah berniat untuk pulang.

“Pakai uang ini untuk kebutuhanmu, Jiyeon-ah,” ucap Na Ran seraya memasukkan seamplop uang ke dalam tas Jiyeon. “Kau tidak perlu terlalu irit menggunakannya. Setiap uang itu habis, kau bisa minta lagi kepada Eomma.”

“Gumawo, Eomma,” ucap Jiyeon seraya memeluk sang ibu. Na Ran pun membalas pelukan sang anak dengan sangat erat.

Ditengah-tengah kehangatan yang keduanya rasakan, tiba-tiba muncul seseorang dari belakang Jiyeon. Na Ran spontan terbelalak saat melihat orang itu.

“Lee Na Ran?” ucap si orang itu.

Jiyeon pun melepaskan pelukannya dari sang ibu sebelum menoleh ke belakang.

“Sudah lama tidak bertemu,” ucap si orang itu lagi. Kini matanya menatap Jiyeon.

“O-Oh Hani,” ucap Na Ran gugup.

“Annyeonghaseyo.” Jiyeon pun membungkuk hormat di depan yeoja paruh baya yang bernama Oh Hani di depannya saat ini.

“Annyeonghaseyo,” balas Hani menyapa Jiyeon.

“J-Jiyeon-ah…sebaiknya kau pergi sekarang,” ucap Na Ran seraya menarik Jiyeon ke arahnya lebih dekat.

“Ne, Eomma. Aku pergi dulu,” ucap Jiyeon seraya beranjak pergi.

“E-Eomma?” tanya Hani dengan tatapan terkejut ke arah Na Ran. “D-dia…”

“A-aku pergi dulu, Hani-ah,” ucap Na Ran bersiap meninggalkan Hani, yang tiba-tiba saja memegang tangannya.

“Chankamman,” ucap Hani dengan wajah kaku. “Siapa anak itu?” tanya Hani dengan tangan sedikit bergetar. “Jawab aku, Na Ran-ah, siapa dia? A-apa dia…anakku?”

To Be Continue

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK