Kim Myung Soo membuka matanya dan benda yang pertama kali dia lihat adalah jam dindingnya yang kini menunjukkan pukul delapan pagi. Myung Soo bisa mendengar suara piring berdentang beradu dengan lantai dari luar kamarnya, membuatnya spontan keluar dari kamar untuk mengecek keadaan. Gaza kembali dan kini dia sedang menjambak rambut sang ibu.
“Lepaskan ibuku!” teriak Myung Soo serak. Emosinya meletup di tempat tahu bahwa sang ibu kini sedang duduk di lantai dengan wajah tidak berdaya.
Gaza pun melepaskan rambut Hani sebelum menghampiri Myung Soo.
“Ini belum seminggu,” geram Myung Soo seraya menatap mata Gaza penuh dengan kebencian.
“Itu terlalu lama,” ucap Gaza seraya balas menatap Myung Soo. “Aku ingin uangnya hari ini.”
“Percuma saja,” jawab Myung Soo dengan kedua tangan terkepal. “Aku dan ibuku tidak memiliki uangnya sekarang.”
“Aku tidak perduli,” ucap Gaza santai seraya meludah pada lantai rumah Myung Soo. “Aku mau uangnya hari ini.”
Tiba-tiba Myung Soo teringat akan ucapan Tao semalam.
“Sudah lama aku tidak melawanmu,” ucap Tao lagi. “Aku menantangmu besok. Jika kau tidak berani bertanding di ring besar, aku akan mengalah. Kita hanya cukup bertanding di dalam ring kecil favoritmu itu. Sampai ketemu di ring bobrok Blade.”
“Kau bisa kembali malam ini,” ucap Myung Soo tiba-tiba, membuat Gaza tertawa ditempat. “Aku akan berikan uangnya kepadamu malam ini,” sambung Myung Soo tanpa perduli dengan suara tawa cemooh dari Gaza.
“Araseo,” ucap Gaza sebelum menarik kerah baju Myung Soo dengan sangat kasar. “Aku akan kembali malam ini. Dan jika kau berbohong, itu artinya hari ini adalah hari terakhir ibumu melihat matahari.”
Usai mengancam, Gaza dan kroninya pun pergi.
“Gwaenchanayo, Eomma?” Myung Soo segera memapah sang ibu ke dalam kamar.
“Kenapa kau berjanji kepadanya untuk membayarnya malam ini?” tanya Hani seraya memegang tangan Myung Soo. “Kau mau mendapatkan uang darimana?”
“Kau tidak perlu memikirkan hal itu, Eomma,” jawab Myung Soo. “Percayakan saja semuanya kepadaku.”
**
Di tempat lain, jauh dari kediaman kecil Kim Myung Soo, Park Jiyeon masih bergelut di dalam selimut hangat milik Eunji. Eunji yang sudah bangun lebih dulu kini sedang membuatkan sarapan untuk mereka kedua.
“Malangnya anak itu,” desah Eunji pelan seraya menatap Jiyeon sekilas sebelum kembali berkutat pada roti bakarnya.
Tepat saat semua sarapan sudah selesai di buat, Jiyeon pun terbangun.
“Kau terbangun karena mencium aroma roti bakar buatanku?” tanya Eunji berusaha menyambut Jiyeon dengan senyuman. Malam tadi merupakan malam pertama Eunji melihat Jiyeon begitu merana. Dia menangis tiada henti seraya menceritakan semua kenyataan tentang dirinya yang ternyata bukan anak kandung kedua orangtuanya kepada Eunji. Eunji pun tidak menyangka akan fakta itu.
“Aku bahkan tidak bernafsu untuk makan,” jawab Jiyeon serak seraya mengambil duduk di depan meja makan Eunji.
“Tetapi kau harus makan,” ucap Eunji tegas. “Aku tidak mau kau sakit. Cukup perasaanmu saja yang sakit, jangan tubuhmu juga kau korbankan.”
Berkat paksaan Eunji, Jiyeon pun mau menyentuh roti bakar miliknya.
“Jadi apa rencanamu mulai hari ini?” tanya Eunji setelah selesai sarapan. Kini mereka berdua tinggal menikmati secangkir kopi hangat.
“Sudah jelas bukan?” ucap Jiyeon bertanya balik. “Appa sudah mengusirku dan aku tidak mau kembali ke rumahku. Aku akan menetap disini.”
“Aku tahu kau pasti akan memberikan jawaban seperti itu,” ucap Eunji. “Tetapi bukan itu maksudku. Bagaimana dengan kehidupanmu selanjutnya? Apa kau akan melanjutkan kursus pianomu? Atau mungkin kau hanya ingin fokus dengan kuliahmu?”
“Tidak mungkin,” jawab Jiyeon datar seraya menatap cangkir kopinya yang belum disentuhnya.
“M-mwo? Maksudmu?” tanya Eunji tidak mengerti.
“Aku tidak mau melanjutkan kursus piano itu,” jawab Jiyeon. “Dan aku juga akan berhenti kuliah.”
“Yaa, jangan konyol,” ucap Eunji mengomel. “Hanya sedikit lagi sebelum kampus meluluskan kita. Cobalah berpikir jernih, Jiyeon-ah. Aku tahu masalahmu ini sangat berat, tetapi jangan hanya karena masalah ini kau jadi mengorbankan semuanya yang kau punya.”
“Lalu jelaskan padaku bagaimana caranya aku membiayai uang kuliahku setelah aku tahu bahwa aku bukan anak kandung mereka?” tanya Jiyeon dengan nada agak tinggi, membuat Eunji otomatis terdiam, bingung mau menjawab apa.
“A-aku yakin kedua orangtua tidak benar-benar mengusirmu.” Hanya itu yang Eunji bisa ucapkan. “Bukankah ibumu sangat menyayangimu?”
“Aku malu….dan sedih,” ucap Jiyeon pelan. “Aku tidak bisa menerima kenyataan ini…” Mata Jiyeon pun mulai berkaca-kaca. “Jika benar aku bukan anak kandung mereka, lalu aku anak siapa? Dimana ayahku? Dimana ibu yang sudah melahirkanku?”
Suasana haru kembali memenuhi rumah Eunji. Kalau sudah begini, Eunji pun bingung harus melanjutkan pembicaraan seperti apa.
“Jebal….” Jiyeon bersuara lagi. “…hanya beberapa hari saja, izinkan aku tinggal disini. Aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Aku butuh tempat tenang, tanpa kehadiran kedua orangtua angkatku itu.”
Eunji pun mengangguk mengerti. “Araseo. Aku juga merasa kau butuh waktu untuk memikirkan ini semua.”
**
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat saat Myung Soo tiba di depan pintu masuk Blade Boxing. Mobil mewah terparkir di depan gedung tua milik Gongchul ini. Mobil itu pasti milik Tao, duga Myung Soo. Dia memang sudah tiba sejak sejam yang lalu. Myung Soo merasa agak gugup untuk masuk. Kegugupan yang timbul bukan karena dia akan melawan Tao hari ini, dia gugup karena hal lain yang wajib dia lakukan hari ini.
“Selamat datang, Kim Myung Soo!” sapa Huang Zitao dengan senyum paling lebar yang pernah Myung Soo lihat.
“Myung Soo-ah, benarkah kau akan melawan Tao hari ini?” tanya Gongchul bergegas menghampiri Myung Soo.
Myung Soo mengangguk, matanya tersorot penuh ke arah Tao yang kini sudah berada di dalam ring.
“Kalian tidak akan membuat keributan di tempatku kan?” tanya Gongchul dengan wajah gelisah.
“Tenang saja, Hyung,” jawab Myung Soo. “Hari ini aku benar-benar ingin bertanding dengannya.”
Tanpa banyak bicara, Myung Soo pun menghampiri Tao.
“Kau menantangku, Huang Zitao,” ucap Myung Soo seraya menatap kedua mata Tao. “Aku harus mendapatkan sesuatu jika aku menang.”
Spontan Tao tertawa, pandangannya terhadap Myung Soo terlihat sangat menghina.
“Seharusnya aku yang melontarkan pernyataan itu,” ucap Tao terlihat percaya diri. “Kau yakin bisa mengalahkanku?”
“Kenapa aku harus merasa tidak yakin?” tanya Myung Soo berusaha menyamakan rasa percaya diri Tao. “Aku tidak mau bertanding dengan percuma. Aku akan segera meminta sesuatu setelah aku memenangkan pertandingan hari ini.”
“Araseo,” ucap Tao akhirnya. “Apa yang kau minta? Katakan sekarang.”
“₩ 3 juta.” Jawaban Myung Soo lagi-lagi membuat Tao tertawa.
“Micheosseo?” tanya Tao setelah tawanya berhenti. “Kita hanya bertarung di dalam ring Blade. Gurauanmu benar-benar tidak lucu.”
“Wae?” tanya Myung Soo. “Kau takut bertaruh sebanyak itu? Kurasa ₩ 3 juta tidak ada apa-apanya untukmu.”
“Araseo,” ucap Tao akhirnya menyetujui jumlah taruhan yang Myung Soo tentukan. “Tetapi bagaimana jika aku yang memenangkannya? Apa kau punya uang sebanyak itu?”
Myung Soo terdiam. Dia tidak berpikir sampai sejauh itu. Jika Tao menang, otomatis hutang keluarganya semakin membengkak. Tetapi Myung Soo sepertinya tidak terlalu perduli. Bahkan dia sudah siap bertarung habis-habisan walaupun pada akhirnya dia harus mendapatkan luka yang selama ini dia hindari demi menuruti semua ucapan sang ibu.
“Aku pasti menang.” Jawaban seperti itulah yang akhirnya Myung Soo berikan kepada Tao.
Keduanya sudah siap di tempat masing-masing. Gongchul menjadi wasit hari ini. Dan tepat ketika Gongchul membunyikan peluit tanda pertandingan dimulai, Myung Soo mulai menyerang Tao. Tao bukan anak asuhan Gongchul lagi tepat dua tahun yang lalu setelah Tao memutuskan untuk mulai menjajaki dunia pertinjuan di New York. Benar kata Tao semalam, Tao yang sekarang sangat berbeda. Keahlian tinjunya benar-benar membuat Myung Soo terperangah. Dia berkali-kali berhasil dihantam oleh tinju Tao. Pertandingan sudah berlangsung selama tiga menit dan sudah waktunya untuk keduanya istirahat sebelum kembali bertanding. Keringat mulai membasahi sekujur tubuh Myung Soo dan Tao.
Waktu istirahat sudah berlalu dan keduanya mulai kembali bertanding. Kini Tao berhasil mengunci kepala Myung Soo dengan tangannya. Dengan agak terengah-engah Tao meludahkan pelindung giginya sebelum berbicara kepada Myung Soo.
“Kau bisa rasakan bagaimana jika aku memutuskan kepalamu?” tanya Tao seraya menatap wajah tertekan Myung Soo.
Sunggyu yang baru datang terkejut melihat posisi Myung Soo saat ini sedang tidak aman.
“Hyung, apa Tao akan membunuh Myung Soo?” tanya Sunggyu pada Gongchul yang mulai merasa cemas dengan Tao.
“Bertinju beda artinya dengan membunuh, Tao!” ucap Gongchul memperingatkan Tao.
Myung Soo kini sudah lepas dari tangan Tao. Dia terengah-engah karena nyaris kehilangan nafas. Tao yang melihatnya tidak mungkin memberikan kerenggangan waktu untuk Myung Soo. Dengan gerakan cepat Tao mulai memukuli kepala Myung Soo, yang kini berusaha melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.
“Sudah lama aku tidak merasakan kesenangan seperti ini,” ucap Tao yang masih asik memukuli Myung Soo tanpa memberikan kesempatan sedikitpun untuk Myung Soo menyerang balik dirinya. “Aku akan tunjukkan bagaimana cara orang Amerika bertinju dengan baik. Dan kau bisa merasakan bagaimana rasanya terluka parah saat mendapatkan serangan hebat dariku.”
Myung Soo kewalahan, dia pun terjatuh di lantai ring. Gongchul mulai menghitung dari sepuluh.
“Ayo bangun,” ucap Tao. “Tidak ada aturan dalam pertandingan kita hari ini. Kau dan aku bebas menyerang dengan cara apapun.”
“Kendalikan dirimu, Tao!” teriak Sunggyu.
Pada hitungan ke lima, Myung Soo berhasil bangun. Matanya sedikit berkunang dan entah mengapa tubuhnya tiba-tiba merasa lemah. Myung Soo tidak bisa kalah dengan cara seperti ini. Kenapa kekuatan yang dia berusaha kumpulkan sejak tadi pagi tiba-tiba lenyap. Ini baru satu ronde. Ada apa dengan Kim Myung Soo?
Dan tiba-tiba saja pandangan Myung Soo mengabur sebelum tampaklah wajah seorang yeoja yang sama sekali tidak dikenalnya. Si yeoja sedang meringkuk di atas ranjang, dia menangis dan terlihat sangat sedih. Dan tiba-tiba gambar si yeoja pada pandangannya menghilang saat Tao melayangkan tinju yang cukup keras ke arah pipinya. Pelindung gigi Myung Soo terpental keluar ring bersamaan dengan jatuhnya kembali dia ke lantai ring.
“Lawan aku, pengecut!” ucap Tao seraya mengangkat kepala Myung Soo untuk dihajarnya kembali.
“Istirahat!” ucap Gongchul berteriak, tetapi Tao tidak perduli. Kini Tao membalikkan tubuh Myung Soo sampai terlentang sebelum menaiki tubuhnya. Dihajarnya kembali wajah tampan Myung Soo tanpa rasa ampun.
“Tao!” teriak Gongchul seraya memasuki arena pertandingan. “Aku tidak ingin Myung Soo terluka hanya karena melawanmu!”
“Diamlah, Hyung,” geram Tao seraya memberikan kesempatan Myung Soo untuk merasakan setiap darah yang keluar dari bibir dan sudut matanya. “Aku hanya ingin memberitahu manusia ini bahwa bertinju bukan hanya sekedar memenangkan pertandingan tanpa bekas luka sedikitpun….”
“Aku tahu kemampuan bertinjumu semakin baik, tetapi bukan begini caranya kau membalas rasa sakit hatimu pada Myung Soo,” ucap Gongchul yang ternyata tahu betul masa-masa suram Myung Soo dan Tao sewaktu masih kecil.
Myung Soo sudah tidak berdaya. Kini wajahnya pernuh luka dan darah, jelas penampilan seperti inilah yang selama ini Myung Soo hindari.
“Kau takut ibumu melihatmu terluka parah seperti ini?” tanya Tao seraya beranjak bangun dari atas tubuh Myung Soo. “Kini dengan senang hati aku bawakan wajah tampanmu yang terluka kepada ibumu. Semoga ibumu senang melihatmu seperti ini.”
Tao sudah akan beranjak keluar ring tepat saat Myung Soo kembali bersuara memanggilnya.
“Kau bisa pukul aku lagi,” ucap Myung Soo yang kini berusaha bangun. “Pukul aku, Tao. Pukul aku…”
“Dengan senang hati,” ucap Tao seraya kembali menghampiri Myung Soo.
Sunggyu benar-benar tidak tega melihat Myung Soo seperti itu. Dia yang tidak bisa bertinju, kini hanya bisa membalikkan tubuh, enggan melihat pertandingan sengit mereka. Gongchul pun tidak bisa menahan Tao, dia tahu Tao memiliki temperamen yang sama tingginya dengan Myung Soo. Akan semakin buruk jadinya jika dia ikut campur.
Myung Soo sudah benar-benar terkulai lemas. Wajahnya sudah dipenuhi darah dan Tao pun sudah kelelahan. Dia terengah-engah seraya menatap puas wajah Myung Soo.
“Aku menang,” ucap Tao. “Aku mengalahkanmu, Kim Myung Soo.”
Kedua mata Myung Soo terpejam dan bayangan yeoja itu muncul lagi. Kini yeoja itu sedang berdiri di suatu tempat, seperti sedang menunggu bus di sebuah halte. Bus itu pun datang dan si yeoja masuk. Si yeoja hanya menatap keluar jendela dengan tatapan sendu dan lagi-lagi si yeoja kembali menangis.
“Myung Soo….Kim Myung Soo!” Suara Gongchul terdengar, mencoba membangunkan dirinya. “Bangun, Myung Soo! Kau tidak bisa mati seperti ini!”
Tao masih di dalam ring. Dia sudah melepaskan kedua sarung tinjunya.
Mata Myung Soo pun terbuka, membuat Gongchul otomatis bernafas lega.
“Aku tahu kau tidak mungkin mati konyol karena bertarung di tempat kecilku ini,” ucap Gongchul seraya membantu Myung Soo duduk.
Tepat saat Tao hendak keluar dari ring, Myung Soo berkata, “Aku membutuhkan uang itu.”, membuat Tao otomatis menghentikan langkahnya. Dia pun berbalik untuk menatap Myung Soo. Kini wajah keras dan sombong Kim Myung Soo tidak terlihat, yang ada hanya raut wajah yang mengundang belas kasihan.
“Aku butuh ₩ 3 juta itu,” ucap Myung Soo. Mata kanannya tidak bisa terbuka sempurna karena bengkak dan berdarah cukup parah. “Aku memang kalah, tetapi aku butuh uang itu untuk melunasi hutang ibuku. Aku akan melakukan apapun untukmu.”
Tao terdiam, terlihat berpikir.
“Araseo,” ucap Tao akhirnya. “Aku akan memberikan ₩ 3 juta yang kau minta, tanpa perlu kau kembalikan. Tetapi tidak semudah itu kau mendapatkannya.” Tiba-tiba Tao menjulurkan sebelah kakinya seraya berkata, “Cium kakiku.”
Gongchul dan Sunggyu terkejut mendengar ucapan Tao. Dan Myung Soo sendiri hanya diam seraya memandangi kaki Tao.
“Cium dan kau akan dapatkan uangnya,” ucap Tao sebelum menyuruh Sunggyu mengambilkan ponselnya di atas bangku di luar ring.
Perlahan Myung Soo memajukan tubuhnya menghampiri Tao. Ini semua demi sang ibu. Dia tidak mau melihat Gaza menyiksa sang ibu lagi. Myung Soo bersumpah hari ini adalah hari terakhir melihat sang ibu tersakiti oleh depkolektor macam Gaza. Dan tanpa membuang waktu, Myung Soo segera menunduk untuk mencium kaki Tao. Tepat saat bibir Myung Soo menyentuh kaki Tao, terdengar suara halus jepretan kamera dari ponsel Tao. Seketika Tao tersenyum lalu tertawa puas seraya berkata, “Kusimpan untuk kenang-kenangan.”
**
Kim Myung Soo duduk pada tembok di atas gedung tinggi. Wajahnya berdenyut kesakitan dan rasa menyiksa seperti ini baru bagi Kim Myung Soo. Uang yang diberikan oleh Tao sudah ada di tangannya. Kini tinggal menunggu malam saja sampai waktunya Gaza datang ke rumahnya. Tanpa sadar Myung Soo termenung, dia kembali memikirkan tentang bayangan seorang yeoja yang dua kali mendatangi pikirannya.
“Siapa dia?” gumam Myung Soo seraya mengunyah permen karet yang diberikan oleh Sunggyu. “Kenapa dia selalu menangis.”
Dan pada saat itu terdengar suara isak tangis seorang yeoja. Myung Soo pun membalikkan tubuhnya dan mendapati seorang yeoja sedang berdiri di atas tembok, hendak terjun ke bawah gedung. Myung Soo pun perlahan menghampiri si yeoja. Diperhatikannya wajah si yeoja yang ternyata mirip dengan wajah yeoja asing yang pernah muncul dalam pikirannya. Walau agak ragu, Myung Soo tetap memberanikan diri untuk berbicara kepada si yeoja.
“Kau ingin mengakhiri hidupmu dengan cara seperti itu?” tanya Kim Myung Soo kepada si yeoja yang hendak terjun bebas dari ketinggian gedung yang sedang mereka pijak satu lantai saat ini.
Si yeoja, hidung dan pipinya merah merona. Dia terlalu banyak menangis sehingga perlu beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Myung Soo.
“Jangan cegah aku,” ucap si yeoja sesenggukan.
Myung Soo hanya diam seraya menatap si yeoja, sebelum akhirnya dia maju perlahan menghampiri.
“Jangan mendekat!” ucap si yeoja lagi, kini dengan nada memperingatkan.
“Aku…” Myung Soo mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya sebelum menunjukkannya kepada si yeoja. “…hanya ingin membuang ini.”
Si yeoja meringis jijik saat menatap gumpalan permen karet di tangan Myung Soo.
Setelah membuang permen karet di tangannya, Myung Soo berkata, “Semoga kau sukses….membunuh dirimu sendiri.” Lalu Myung Soo pergi meninggalkan si yeoja yang kini berwajah bingung.
“Chankamman,” teriak si yeoja tiba-tiba. Dia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri demi mengejar Myung Soo. “Kau…Kim Myung Soo?”
Myung Soo tidak menjawab, dia hanya menatap wajah si yeoja tanpa minat.
“Aku kenal kau,” ucap si yeoja lagi. “Kau si petinju yang pernah bertanding di Bukchon.”
“Nuguseyo?” Myung Soo justru melontarkan pertanyaan balik. “Apa aku mengenalmu?”
“A-aku? A-ani, kau tidak mengenalku,” ucap si yeoja seraya menghapus sisa air mata pada wajahnya. “Tetapi aku mengenalmu. Jung Eunji, sahabatku, dia pernah meminta tanda tanganmu di depan gerbang Bukchon.”
Myung Soo pun berusaha mengingat kejadian yang si yeoja ini ucapkan. Tanpa bicara, Myung Soo hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan si yeoja.
“Kau habis bertanding?” tanya si yeoja lagi, membuat Myung Soo menghentikan langkahnya. “Apa kau menang? Lukamu parah sekali.”
Tanpa berbalik dan tanpa menjawab pertanyaan si yeoja, Myung Soo kembali berjalan melangkah pergi. Si yeoja pun dengan agak susah payah mengejar Myung Soo.
“Bisa kita berfoto bersama?” tanya si yeoja kini merentangkan kedua tangannya di depan Myung Soo. “Langkahmu panjang sekali. Aku agak susah mengejarmu.”
“Minggir,” ucap Myung Soo lagi-lagi dengan pandangan tanpa minat.
“Bisa kita berfoto sebentar? Eunji sepertinya mengidolakanmu,” ucap si yeoja menghiraukan ucapan Myung Soo. “Tidak masalah jika wajahmu terlihat agak sedikit aneh saat ini. Aku yakin Eunji pasti senang jika….”
“Aku tidak sedang ingin diganggu,” sela Myung Soo seraya menepis tangan si yeoja dari hadapannya, membuat si yeoja otomatis terkejut.
“A-apa seperti ini cara petinju berbicara kepada para fansnya?” tanya si yeoja terperangah dengan sikap dingin Myung Soo. “Kenapa kau menepis tanganku dengan sangat kasar? Perlu kau tahu, bukan aku yang mengidolakanmu….”
“Jika kau tidak mengidolakanku, lebih baik sekarang kau minggir.” Lagi-lagi Myung Soo menyela ucapan si yeoja.
“Dia benar-benar petinju sombong,” geram si yeoja seraya menatap dingin Myung Soo yang kini sudah pergi meninggalkannya.
**
Park Jiyeon menatap wajah si petinju yang kini berada jauh tiga meter dari tempatnya berdiri.
“Bagaimana bisa Eunji menyukai dia?” gumam Jiyeon pelan. Matanya masih menatap Myung Soo. “Anehnya dia masih terlihat tampan walaupun sedang terluka seperti itu.”
Keduanya sedang berdiri di halte yang sama, menunggu bus yang sebentar lagi akan datang. Dan tepat saat bus datang, Myung Soo lebih dulu masuk, diikuti Jiyeon di belakangnya.
“Dua penumpang?” tanya si sopir seraya melirik ke arah Jiyeon yang kini berada di belakang tubuh Myung Soo.
Myung Soo pun menoleh dan seketika tatapannya bertemu dengan tatapan Jiyeon.
“Aniyo, aku tidak mengenalnya,” jawab Myung Soo datar seraya melenggang masuk, bercampur dengan kerumunan penumpang yang berdiri.
Jiyeon hanya bisa menggerutu sebal seraya menatap Myung Soo. Keduanya berdiri bersebelahan tepat si bus mulai berjalan. Myung Soo hanya diam tanpa berniat menegur Jiyeon sedikitpun. Jiyeon pun sepertinya kapok menegur Myung Soo lebih dulu setelah tahu bahwa petinju satu ini memiliki kadar kepongahan yang luar biasa menyebalkan.
Lima menit berlalu dan penumpang semakin bertambah. Penumpang terakhir naik, mereka seperti tiga orang yang berpenampilan seperti preman jalanan. Merasa tidak nyaman berdiri dekat dengan tiga orang itu, Jiyeon berusaha menyalip ke belakang Myung Soo. Perjalanan kembali di lanjutkan dengan tidak nyaman. Entah mengapa salah satu dari ketiga orang itu semakin lama semakin mendekati Myung Soo. Dan Jiyeon dapat melihat sebelah tangan orang itu mulai berusaha menyusup ke saku celana Myung Soo yang terlihat timbul karena berisi setumpuk uang pemberian Tao.
“Mereka pencuri rupanya,” gumam Jiyeon sangat pelan. Dan tanpa banyak berpikir, Jiyeon langsung memukul tangan si preman dengan tasnya seraya berteriak kepada Myung Soo. “Dia ingin mencuri uangmu!”
Myung Soo yang terkejut spontan memegang leher si preman sebelum meninjunya. Uang Myung Soo berhasil di selamatkan oleh Jiyeon. Ketiga preman itu berhasil keluar saat bus tiba-tiba saja berhenti.
“Pencuri gadungan,” gumam Jiyeon seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
Bus kembali berjalan dan Jiyeon kembali berdiri di sebelah Myung Soo. Tiba-tiba Myung Soo berdeham sebelum akhirnya berkata, “Gumawo.”
Jiyeon tidak langsung merespon ucapan rasa terima kasih Myung Soo. Dia masih berlagak tidak dengar.
“Jika uang ini hilang, aku pasti akan mati,” sambung Myung Soo pelan. Kini Jiyeon menoleh saat mendengar ucapan Myung Soo yang aneh.
“M-mati?” tanya Jiyeon tidak mengerti.
“Gumawo,” ucap Myung Soo kini setengah membungkuk. “Aku benar-benar berterima kasih.”
Jiyeon akhirnya mengangguk, menerima ucapan terima kasih Myung Soo. “Kau turun dimana?” tanya Jiyeon tiba-tiba merubah topik pembicaraan.
“Aku turun di halte selanjutnya,” jawab Myung Soo yang sikap dinginnya terlihat agak mencair.
Jiyeon pun mengangguk seraya berkata, “Aku juga.”
Dan ketika bus sudah tiba di halte selanjutnya, Myung Soo dan Jiyeon turun dari bus.
“Gumawo.” Sekali lagi Myung Soo mengucapkan terima kasih sebelum pergi meninggalkan Jiyeon.
“Chankamman,” ucap Jiyeon lagi-lagi membuat langkah Myung Soo berhenti seketika. “Aku Park Jiyeon.” Dengan berani Jiyeon memulai perkenalan lebih dulu.
“Aku…”
“Kim Myung Soo,” sela Jiyeon seraya tersenyum.
Myung Soo hanya mengangguk dan tersenyum sekilas.
“Aku mau lihat kau bertanding,” ucap Jiyeon tiba-tiba. Jelas permintaan Jiyeon membuat Myung Soo terkejut. “Bisakah?” tanya Jiyeon.
Merasa tidak enak karena Jiyeon sudah menyelamatkan uangnya, Myung Soo akhirnya mengangguk.
“Tetapi saat ini aku sedang tidak ikut suatu pertandingan,” ucap Myung Soo. “Kalau kau mau, kau bisa melihatku berlatih.”
Jiyeon pun mengangguk dengan cepat seraya menjawab, “Cool. Tidak apa-apa biarpun hanya menonton dirimu berlatih.”
“Aku biasa berlatih di Blade Boxing,” ucap Myung Soo.
“Bisa minta alamatnya?” tanya Jiyeon seraya memberikan tangannya dan pulpen yang baru diambilnya dari dalam tasnya. “Aku tidak punya kertas.”
Myung Soo hanya menerima pulpen dari Jiyeon dan tiba-tiba dia mengeluarkan selembar uang dari dalam sakunya. Jiyeon agak terkejut melihat Myung Soo menuliskan alamat Blade Boxing pada uang kertasnya.
“Bukankah uang ini bersangkutan dengan hidup dan matimu?” tanya Jiyeon saat menerima uang tersebut dari Myung Soo.
“Kau bisa menggantinya dengan uang baru lain waktu,” jawab Myung Soo seraya mengembalikan pulpen milik Jiyeon.
“Aniyo,” ucap Jiyeon seraya menolak pulpennya sendiri. “Aku akan ambil pulpenku saat aku mengembalikan uangmu.”
Setelah berkata seperti itu, Jiyeon pun pergi ke arah seberang untuk mencari taksi. Myung Soo pun hanya bisa menatap bingung ke arah Jiyeon yang kini sudah pergi meninggalkannya.
**
Huang Zitao melambai ke arah seorang yeoja yang baru saja keluar dari pintu kedatangan di bandara. Si yeoja terlihat sangat cantik dan berkelas. Saat si yeoja sudah tiba di depan Tao, si yeoja langsung mengecup bibir Tao.
“Aku merindukanmu,” ucap si yeoja seraya memeluk Tao.
Tao pun membalas pelukan si yeoja dengan sangat erat sampai tubuh si yeoja sedikit terangkat dari lantai.
“Kau sudah menyiapkan penginapan untukku?” tanya si yeoja saat keduanya sudah berada di dalam mobil Tao.
“Penginapan?” tanya Tao dengan dahi berkerut bingung. “Kau tidak tinggal di rumah orangtuamu?”
“Aniyo,” jawab si yeoja seraya melepaskan kaca mata hitam dan topi dari kepalanya. “Orangtuaku tidak tahu bahwa aku kembali hari ini. Dan memang lebih baik jika mereka tidak tahu. Aku benci jika mereka mulai membicarakan tentang perjodohanku dengan Choi Minho.”
“Choi Minho?” tanya Tao agak terkejut.
“Kau mengenalnya, Cagi?” tanya si yeoja. “Ah geurae, tentu saja kau mengenalnya. Choi Minho memiliki profesi yang sama denganmu.”
“Aku tidak menyangka dia yang akan dijodohkan denganmu,” ucap Tao yang kini raut wajahnya berubah menjadi dingin.
“Yaa, kau marah padaku?” tanya si yeoja seraya memegang dagu Tao. “Jangan konyol. Aku hanya mencintaimu. Aku pun sudah menolak perjodohan konyol itu.”
“Kalau begitu memang ada baiknya kau tidak bertemu dengan kedua orangtuamu,” ucap Tao. “Aku akan carikan penginapan bagus untukmu.”
Dan mobil mereka pun melesat pergi.
**
Lee Seunggi mengungkapkan, “Kami takut tentang tindakan Suzy pada adegan aksi, karena kita tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkannya.” Dia pun menambahkan, “Orang-orang biasanya mencoba untuk membuat tendangan agar terlihat sebagus mungkin dalam kamera. Tapi, tendangan adegan Suzy adalah salah satu yang serius. Dia melakukan tendangan untuk mengalahkan lawan-nya. Kami semua terkejut”.
Bae Suzy mengambil tempat duduk di sebelah Tao yang kini sedang menonton salah satu berita tentang sang kekasih yang berprofesi sebagai artis.
“Adegan ciumanmu dalam drama terakhirmu patut diacungi dua jempol,” ucap Tao terdengar ngambek.
“Kau masih mau membahas hal itu?” tanya Suzy seraya mencubit pelan pipi Tao. “Aku sendiri sudah merasa bosan. Drama itu sudah lama berlalu. Bahkan aku sudah menyelesaikan liburanku di Jepang selama dua bulan. Itu artinya sudah tidak pantas jika kau masih saja mengambek pasal adegan kissing-ku dengan Seunggi-Oppa.”
Tao seperti tidak memperdulikan ucapan Suzy. Dia tetap pada posisinya tanpa mau menoleh ke arah Suzy sedikitpun. Dan tiba-tiba saja sebuah kecupan hangat mendarat pada bibir Tao. Suzy tersenyum lebar seraya mengecup bibir Tao lagi.
“Tersenyumlah,” ucap Suzy bersenandung seraya menarik pipi Tao dari dua arah dengan tangannya. “Tersenyumlah, Cagiiii….”
Tao tidak bisa menghiraukan Suzy lebih lama lagi jika dirinya sudah mendapatkan kecupan hangat dari sang kekasih.
“Araseo, kau berhasil mengambil hatiku,” ucap Tao seraya membalas mengecup Suzy.
“Kalau begitu aku mandi dulu sebelum kita pergi makan malam,” ucap Suzy seraya beranjak bangun dari ranjang hotel yang didudukinya.
“Tunggu sebentar lagi,” ucap Tao seraya menahan tangan Suzy. “Cium aku lagi.”
Suzy pun kembali duduk sebelum mencium Tao dengan sangat mesra.
**
“Sekarang urusan di antara kita sudah selesai,” ucap Myung Soo kepada Gaza yang kini sedang menyuruh kroninya untuk menghitung jumlah uang di dalam amplop coklat yang baru saja Myung Soo berikan. “Kuharap kau tidak datang lagi menemuiku ataupun ibuku.”
Si Gaza tertawa seraya menepuk-nepuk pipi Myung Soo.
“Jangan begitu,” ucap Gaza. “Bukankah kita saling membutuhkan? Kalau begini terus, aku pun akan berbaik hati meminjamkan uang kepada kalian.”
“Kami tidak akan meminjam uang padamu lagi,” ucap Myung Soo menegaskan.
“Kau sombong sekali, Kim Myung Soo,” desah Gaza seraya membuang puntung rokoknya ke aspal jalanan.
“Aku hanya tidak mau melihat ibuku terluka lagi,” ucap Myung Soo.
“Aku melukaimu ibumu juga karena terpaksa,” ucap Gaza beralasan. “Aku tahu betul, dari dulu keluargamu itu bergantung sepenuhnya padaku. Mulai dari ayahmu, si mantan petinju itu, yang kini akhirnya mati mengenaskan karena….”
“Jangan mulai menjelek-jelekkan ayahku di depan wajahku,” sela Myung Soo memperingatkan.
Gaza lagi-lagi tertawa.
“Araseo,” ucap Gaza akhirnya. “Aku tahu kau bisa membunuhku kapan saja dengan bakat tinjumu itu. Aku pun tidak mau memancing emosimu setelah aku mendapatkan uang yang aku inginkan ini.”
“Kalau begitu cepat pergi darisini,” ucap Myung Soo.
“Kalau begitu sampai jumpa lagi, Kim Myung Soo,” ucap Gaza seraya masuk ke dalam mobilnya. “Kita pasti akan bertemu dilain kesempatan.”
Mobil Gaza pun melesat pergi tepat saat ponsel Myung Soo berbunyi. Oh Hani, sang ibu, menelponnya.
“Eomma tenang saja, aku sudah membayar semua hutang kita pada Gaza,” ucap Myung Soo pada ponselnya. “Percayalah padaku, Eomma. Aku tidak apa-apa. Aku tidak terluka dan Gaza tidak menyakitiku seujung kuku pun. Uang? Um…Gongchul-Hyung yang membantuku melunasi hutang kita…. Ne, Eomma, kau tidak perlu khawatir. Um, untuk malam ini sepertinya aku akan menginap di rumah Gongchul-Hyung. Aku harus bantu-bantu dia sedikit karena dia sudah membantu kita hari ini. Ne, Eomma…jaga dirimu baik-baik.”
Myung Soo pun memutuskan sambungan telepon. Kini dia berdiri tepat di depan pagar rumahnya yang tinggi dan tertutup. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Myung Soo tidak berani menunjukkan wajahnya yang terluka pada sang ibu untuk beberapa hari ini. Paling tidak Myung Soo sudah dapat bernafas lega karena nyawa sang ibu sudah aman. Gaza tidak akan mengusik keluarga mereka lagi.
Maka berjalanlah Myung Soo ke halte bus terdekat dengan rumahnya. Malam ini dan beberapa malam kedepan Myung Soo akan menginap di Blade Boxing. Setelah membeli beberapa kaleng bir dan cemilan, Myung Soo berjalan kaki ke arah Blade Boxing yang jaraknya sudah cukup dekat. Ketika jaraknya tinggal lima meter dari pintu Blade Boxing, Myung Soo menghentikan langkahnya.
“Kau datang juga,” ucap seorang yeoja seraya tersenyum ke arah Myung Soo.
“K-kau?” Myung Soo sangat terkejut melihat kehadiran Park Jiyeon di depan pintu Blade Boxing. “Mau apa kau kesini dimalam selarut ini?”
Jiyeon pun mengeluarkan selembar uang dari dalam tasnya.
“Aku mau mengembalikan uangmu,” jawab Jiyeon disertai senyum paling manis yang pernah Myung Soo lihat selama hidupnya.
To Be Continue