home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > INCEST

INCEST

Share:
Author : icaque
Published : 31 Jan 2015, Updated : 31 Jan 2015
Cast : Kim Myung Soo, Park Jiyeon, Huang Zitao, Jung Eunji, Bae Suzy, Choi Minho, Kim Sunggyu
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |9032 Views |4 Loves
INCEST
CHAPTER 1 : The Beginning

“Kau tidak bermain dari hati,” ucap seorang pelatih piano kepada seorang yeoja yang kini sedang duduk di sebelahnya, berhadapan dengan piano besar. “Kau tahu, Jiyeon-ssi? Ayahmu akan segera memecatku jika kau masih bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Aku tidak pernah melihat keseriusan darimu selama berlatih.”

Park Jiyeon menarik nafas panjang sebelum menoleh ke arah si pelatih. Dia tersenyum sesaat sebelum berkata, “Aku lapar.”

“Sekarang masih jam latihan,” ucap si pelatih dengan wajah tersinggung. “Jangan mempermainkanku. Kau selalu beralasan begitu ketika aku mulai mengkritik cara bermainmu.”

Jiyeon sudah beranjak dari bangku panjang yang didudukinya. Dan sekali lagi dia berkata, “Aku lapar, Seonsaengnim.”

**

“Sunggyu-ah, air…mana air?” Gongchul menepuk bahu seorang petinju di depannya saat ini. “Aman?” tanya Gongchul seraya menatap wajah Kim Myung Soo yang dipenuhi keringat. “Minum dulu.” Gongchul pun memberikan sebotol air pada Myung Soo yang diterimanya dari Sunggyu.

Tatapan Kim Myung Soo tersorot tajam ke arah mata lawannya yang sedang duduk di seberang ring. Nafasnya memburu pelan sementara keringatnya mengalir pada pelipisnya.

“Dengar aku,” ucap Gongchul seraya memegang kepala Myung Soo, sehingga wajah keduanya kini berhadapan lurus. “Jika kau memenangkan pertandingan ini, itu artinya kau telah menyelamatkan tempat latihan kita. Dan jasamu ini tidak akan pernah aku lupakan. Mengerti?”

Myung Soo mengangguk sebelum berdiri dan berjalan ke tengah ring, siap melanjutkan pertandingan. Si lawan yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar daripada Myung Soo pun melakukan hal yang sama. Kini keduanya berhadapan, saling pandang, saling melontarkan tatapan tajam, seakan-akan keduanya enggan mau kalah.

“Berjuanglah, Kim Myung Soo!” teriak Gongchul dari luar ring. “Selamatkan Blade Boxing kita!”

Tepat ketika wasit memberi tanda bahwa pertandingan dimulai, Myung Soo dengan cepat mengambil start untuk menghajar wajah lawannya lebih dulu. Si lawan yang tidak rela dengan pukulan Myung Soo pun berusaha membalas. Pertandingan diantara keduanya terjadi cukup sengit. Ini adalah ronde ketiga dan yang terakhir. Myung Soo disini mempunyai dua tujuan, kalahkan si lawan dan pertahankan Blade Boxing.

**

Jiyeon membuka plastik bening pembungkus kimbab di depannya saat ini. Dengan malas-malasan dia memasukkan potongan pertama kimbab pada mulutnya. Dia tidak lapar. Dia hanya sedang berusaha menghindari latihan dan kicauan dari pelatih pianonya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Jung Eunji, sahabat terbaiknya menghubunginya.

“Neo odiga?” Suara Eunji terdengar agak bising, membuat Jiyeon menjauhkan jarak ponselnya dari telinganya.

“Aku di tempat latihan,” jawab Jiyeon dengan wajah murung. “Neo odiga? Berisik sekali suaranya dari sini.”

“Aku sedang menonton pertandingan tinju,” jawab Eunji berteriak.

“Kau tidak perlu berteriak,” ucap Jiyeon seraya mengubah posisi telepon ke telinga sebelahnya.

“Disini berisik sekali. Kalau aku tidak teriak, suaraku pasti tidak akan terdengar,” ucap Eunji diakhiri kekehan khas miliknya. “Bisa kau jemput aku setelah latihanmu selesai? Kau bisa datang ke Bukchon Gwontu Gyeong-Gijang.”

“Araseo,” jawab Jiyeon singkat seraya mengambil gelas kertas kopinya. “Sepuluh menit lagi aku pergi kesana.”

Sambungan pun terputus, bersamaan dengan datangnya sang pelatih ke ruang kantin, tepatnya ke meja Jiyeon.

“Sepuluh menit lagi kau akan pergi?” tanya si pelatih yang ternyata mencuri dengar. “Kau tahu latihan kita belum selesai, Jiyeon-ssi.”

“Jeosonghamnida,” jawab Jiyeon tanpa melihat wajah si pelatih. Dia pun beranjak berdiri seraya menggantungkan tasnya pada bahunya. “Urusanku yang satu ini lebih penting daripada latihan piano.”

Jiyeon pun benar-benar meninggalkan si pelatih untuk menjemput Eunji.

Perjalanan ke Bukchon Gwontu Gyeong-Gijang membutuhkan waktu tiga puluh menit. Dan Jiyeon berhasil tiba di depan gerbang tempat arena tinju itu cukup dengan dua puluh menit saja. Eunji sudah berdiri di luar ternyata.

“Ayo kita pergi,” ucap Jiyeon seraya menyuruh Eunji masuk ke dalam mobilnya.

“Tunggu sebentar lagi bagaimana?” pinta Eunji tergesa-gesa. Kedua tangannya sibuk memegang buku dan pulpen.

Dan tepat ketika pintu gerbang terbuka, diiringi dengan tiga orang yang baru keluar, Eunji dengan terburu-buru langsung menghampiri ketiga orang itu. Jiyeon rasa lagi-lagi Eunji berusaha memburu tanda tangan seorang petinju yang tadi bertanding di dalam gedung ini. Eunji memang penggemar olahraga tinju dan kebiasaan anehnya ini sudah tidak membuat Jiyeon heran.

Eunji kembali sambil bersenandung.

“Dapat tanda tangannya?” tanya Jiyeon saat Eunji duduk di sebelahnya.

“Tentu saja,” jawab Eunji senang.

Jiyeon tidak lagi bertanya, kini matanya menatap ketiga orang itu. Namja yang berdiri di sebelah kiri terlihat paling tua dengan sedikit kumis dan berewok di dagunya. Paling ujung kanan sana, namja yang wajahnya terlihat sama mudanya dengan dirinya dan Eunji. Dan yang paling tengah, rambutnya basah, tatapannya tidak bersahabat dan wajahnya dipenuhi memar kecil. Jiyeon bisa menebak siapa yang baru saja Eunji mintai tanda tangannya.

“Aku belum pernah melihatnya,” ucap Jiyeon yang ternyata belum juga menjalankan mobilnya.

“Mwo?” tanya Eunji seraya menoleh ke arah Jiyeon. “Nugu?”

“Namja itu,” jawab Jiyeon. “Yang kau mintai tanda tangannya.”

“Ah, Kim Myung Soo, maksudmu?” tanya Eunji.

“Mana kutahu namanya,” jawab Jiyeon, matanya masih menatap si petinju yang bernama Kim Myung Soo.

“Hari ini memang pertandingan pertamanya di Bukchon Gwontu Gyeong-Gijang,” jawab Eunji mulai menjelaskan. “Dia bukan petinju terkenal, tetapi riyawatnya di dunia tinju lumayan cukup lama, mungkin tiga tahunan. Dia biasa bertinju pada pertandingan kecil di daerahnya tinggal.”

Mobil sudah berjalan dan Jiyeon sengaja membuka kaca mobilnya saat melewati ketiga orang itu. Jiyeon berhasil melihat Kim Myung Soo dari arah depan, hanya saja namja itu tidak melihatnya balik. Dia menunduk, entah memperhatikan apa. Tatapannya terlihat sendu, atau mungkin matanya berhasil kena hantam lawannya sewaktu bertanding tadi?

“Dia kalah?” tanya Jiyeon yang sudah melewati jauh Kim Myung Soo di belakangnya. Matanya masih berusaha melihat Kim Myung Soo lewat spion dalam mobilnya.

“Tidak mungkin,” jawab Eunji yang betul-betul membanggakan Kim Myung Soo. “Tentu saja dia menang.”

“Kau bilang dia petinju baru di Bukchon. Lalu kenapa kau tahu begitu banyak tentang dirinya?” tanya Jiyeon yang rasa penasarannya tentang Kim Myung Soo belum habis.

“Kau lihat namja yang berdiri di sebelah kanan Myung Soo? Namanya Sunggyu,” ucap Eunji mulai menjelaskan. “Dia teman SMA-ku dulu dan aku tahu banyak tentang Myung Soo darinya. Sudah lama kami tidak bertemu, Sunggyu banyak berubah. Walaupun sepertinya keidiotannya masih tetap sama. Aku tidak menyangka dia tidak melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari SMA. Dia bilang dia suka dengan pekerjaannya sekarang. Bisa dibilang Sunggyu berperan sebagai kaki tangannya Myung Soo…” Eunji terus saja berceloteh pasal Sunggyu, padahal Jiyeon tidak terlalu memperdulikannya. Bisa dibilang dia lebih tertarik membahas Kim Myung Soo daripada si Sunggyu yang entah siapa itu.

**

“HIDUP KIM MYUNG SOO!” teriak Gongchul seraya mengangkat tangan kanan Myung Soo tinggi-tinggi. Beberapa makanan dan botol soju sudah tersedia di meja di depan mereka saat ini. Gongchul sengaja membeli ini semua demi merayakan kemenangan Kim Myung Soo pada pertandingan tinju pertamanya dan keberhasilan mereka mempertahankan Blade Boxing, tempat latihan tinju milik Gongchul.

“Ingat, aku hanya mau melakukan itu sekali saja,” jawab Myung Soo seraya menuangkan soju ke dalam gelasnya sendiri. “Dan semua yang aku lakukan itu demi Blade Boxing.”

“Aku tahu itu, Myung Soo-ah,” ucap Gongchul seraya merangkul bahu Myung Soo. “Kau memang benar-benar penyelamatku.”

“Tetapi…” sahut Sunggyu menyela. “…kau yakin tidak mau melakukan pertandingan macam itu lagi kedepannya?”

“Ne, soal itu pun sudah kupikirkan,” ucap Gongchul mengambil alih jawaban. “Kau tidak bisa berhenti begitu saja setelah kau berhasil memenangkan pertandingan pertamamu di ring besar dan di hadapan puluhan penonton macam tadi….”

“Hyung, sudah kubilang, aku hanya mau melakukan hal itu sekali saja. Dan itu pun demi tempat ini,” ucap Myung Soo sedikit menekankan.

Gongchul pun mendesah kecewa seraya menatap Myung Soo. “Kau benar-benar keras kepala. Sudah tiga tahun kau hidup di dunia tinju dan yang kau lakukan hanya berlatih dan bertanding kecil-kecilan di tempatku ini. Apa gunanya kau berlatih keras selama ini? Diluar sana, banyak lawan yang menunggumu.”

“Kau tahu, Hyung? Aku bertinju bukan sebagai hobi atau untuk mencari kepopularitasan,” ucap Myung Soo. “Aku bertinju untuk ibuku. Agar aku bisa menghasilkan uang….”

“Jika kau mau melakukan pertandingan besar seperti tadi, pemasukanmu pasti lebih besar,” sela Gongchul memberi saran.

“Dan aku pasti akan terluka lebih parah,” ucap Myung Soo. “Ibuku tidak mau melihatku terluka.”

“Geurae,” timpal Sunggyu setelah meneguk soju dalam gelas kecilnya. “Kau memang tidak pernah terluka karena selama ini lawan tinjumu hanya seorang petinju amatiran yang tubuhnya lebih kecil daripada kau.”

“Aku hanya butuh uang,” ucap Myung Soo tetap keukeh dengan pendapatnya. “Dan kau, Hyung…” Myung Soo menepuk pelan bahu Gongchul. “Uang darimu selama ini cukup membantu perekonomian keluargaku.”

“Apa yang aku lakukan selama ini tidak seberapa setelah pertolongan besar darimu kau berikan padaku hari ini,” desah Gongchul seraya menatap Myung Soo. “Blade Boxing, tempat yang sangat kucintai ini bisa selamat.” Mata Gongchul mulai berkaca-kaca. “Kupikir aku akan meninggalkan tempat ini….”

“Berhentilah menangis, Hyung,” ucap Sunggyu seraya menatap jijik ke arah Gongchul.

“Bagaimana aku bisa membalas jasa besarmu hari ini padaku?” tanya Gongchul seraya memegang tangan Myung Soo.

“Berhentilah memaksaku untuk ikut pertandingan besar lagi,” jawab Myung Soo. “Hanya itu yang perlu kau lakukan untuk membalas jasaku.”

“Tetapi…” Gongchul masih tidak rela dengan pikiran kolot Myung Soo. “Uang yang kau hasilkan dari pertandingan…”

“Cukup, Hyung,” sela Myung Soo seraya beranjak bangun. “Aku harus pulang cepat hari. Ibuku minta dibelikan nasi ayam.”

“Kalau begitu belilah dengan uang ini,” ucap Gongchul seraya memberikan beberapa lembar uang kepada Myung Soo.

“Aku punya uang untuk membelinya, Hyung,” ucap Myung Soo menolak kebaikan Gongchul.

“Pabbo, ini uang hasil dari menang tinju tadi,” ucap Gongchul seraya memasukkan uang tersebut ke dalam saku baju Myung Soo. “Sudah, pergi sana. Jangan membantahku lagi.”

Myung Soo hanya tersenyum singkat sebelum dirinya pergi.

**

Eunji menarik Jiyeon yang sudah mulai tipsi  untuk duduk.

“Kau bisa terjatuh jika terus menari seperti orang gila,” ucap Eunji seraya memberikan Jiyeon segelas air putih.

“Aniyo,” erang Jiyeon menolak. “Wine….mana gelas wineku?”

“Kau sudah mabuk, pabbo,” ucap Eunji seraya menyingkirkan gelas wine milik Jiyeon. “Ada apa dengan dirimu? Biasanya kau hanya pesan cocktail tanpa soda. Mencoba mabuk segala. Kau tidak sadar, heh? Kau ini pemabuk amatiran. Jika sudah begini, yang susah ya aku….” Eunji terus mengomel sementara Jiyeon sudah tertidur di dalam pelukannya.

**

Myung Soo baru saja keluar dari restoran Hanguk Yori setelah membeli sekotak nasi ayam untuk ibunya tepat ketika pesaing beratnya muncul di depannya. Huang Zitao menyeringai padanya. Dan Myung Soo berusaha untuk tidak memperdulikannya.

“Begini caramu menyambut pesaing lamamu?” tanya Tao seraya berjalan di sebelah Myung Soo.

Myung Soo tidak menjawab.

“Aku tadi lihat pertandinganmu,” ucap Tao, membuat wajah Myung Soo sedikit menegang. “Akhirnya kau mau berpartisipasi dalam pertandingan besar. Padahal aku menantang diriku sendiri, yakin bahwa kau akan terus bertahan dengan ring kecil konyolmu itu paling tidak lima tahun lagi. Ternyata aku salah. Tekadmu itu mengendur karena uang kan?”

Myung Soo menghentikan langkahnya sebelum menoleh menatap Tao.

“Sudah berapa lama kita tidak bertemu?” Myung Soo justru melontarkan pertanyaan yang membuat kening Tao berkerut bingung.

“Dua tahun kurasa,” jawab Tao.

“Dua tahun? Waktu selama itu ternyata tidak bisa mengubah kepribadianmu, Huang Zitao?” tanya Myung Soo dengan ekspresi meremehkan.

“Apa maksudmu?” tanya Tao seraya memandang tajam Myung Soo.

“Dua tahun kau meninggalkan ring Blade demi bertanding di New York,” ucap Myung Soo, membuat Tao tersenyum bangga. “Seharusnya kau tidak melakukan itu. Seharusnya kau gunakan waktu selama itu untuk memperbaiki kepribadianmu.”

“Yaa!” Tao menunjuk Myung Soo dengan tangan bergetar. Amarahnya berhasil meletup di tempat. “Kau sadar? Hidupku lebih baik daripada hidupmu.”

“Tentu saja aku sadar,” jawab Myung Soo. “Sejak kau diangkat anak oleh pengusaha besar, kau semakin besar kepala.”

Tao pun terkekeh pelan sebelum berkata, “Aku hanya berusaha menunjukkan sikap seorang bangsawan yang sebenarnya kepadamu, Kim Myung Soo.” Tao mulai berjalan mengelilingi Myung Soo dengan perlahan. “Kita besar bersama, hidup di tempat yang sama dengan status kemiskinan yang sama pula. Tetapi ternyata aku lebih beruntung daripada dirimu. Di ulang tahunku yang sepuluh, aku diberkahi sepasang suami istri kaya yang tidak bisa memiliki anak. Aku merasa kasihan padamu. Itulah yang membuatku tetap bertahan di ring Blade yang bobrok. Tetapi kehidupan terus berjalan dan aku tidak mungkin terus bergaul dengan manusia macam kau selama kedua orangtua memiliki potensi untuk membawaku menuju pertandingan yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar menunjukkan otot di dalam ring Blade-mu itu. Aku tidak ingin besar kepala. Semuanya terjadi begitu saja. Dan kalau sudah begitu, apa itu salahku?”

“Hanya satu kesalahan yang sudah terjadi….” ucap Myung Soo seraya menatap tajam mata Tao. “Seharusnya kau tidak pernah muncul di depan kami. Huang Zitao yang masih miskin, yang kelaparan dan kedinginan. Yang hanya bisa menatap pertandingan di dekat pintu masuk….”

“Aku lebih baik daripada kau sekarang!” sela Tao dengan nada tinggi. “Kuakui ibu kandungku memang manusia terburuk yang tidak bisa kuandalkan, sehingga diriku harus menjadi manusia paling mengenaskan saat itu. Tetapi itu sudah berlalu. Tidak ada Huang Zitao miskin lagi. Kini aku berbeda. Bahkan kini aku mampu membeli dirimu untuk menjadi babuku.”

Myung Soo menggeram pelan seraya mengepalkan sebelah tangannya. Tao pun melihatnya.

“Wae? Tidak terima dengan ucapanku?” ledek Tao membuat emosi Myung Soo semakin membara. “Kau ingin memukulku, heh? Ayo pukul aku….” Tao mempersilahkan pipi pulusnya kepada Myung Soo. “Ayo pukul aku…ayo… Jika kau merasa lebih hebat daripadaku, ayo pukul aku. Jika kau merasa yakin bisa mengalahkan petinju high class sepertiku, ayo pukul aku. AYO PUKUL AKU!” teriak Tao menekankan kalimat terakhirnya, berteriak di depan wajah Myung Soo.

Myung Soo masih diam di tempatnya berdiri.

“Tidak berani, heh?” tanya Tao seraya membentuk senyum sinis pada bibirnya. “Ring Blade berhasil membuatmu menjadi pengecut, heh? Dan sekarang kau tahu mengapa aku lebih tertarik di ajak ke New York daripada harus mempertahankan diriku di sana? Aku tidak ingin menjadi seorang petinju pengecut seperti dirimu sekarang!”

Orang-orang yang berlalu-lalang mulai memperhatikan mereka, terlebih lagi saat Tao berteriak beberapa kali.

“Sudah lama aku tidak melawanmu,” ucap Tao lagi. “Aku menantangmu besok. Jika kau tidak berani bertanding di ring besar, aku akan mengalah. Kita hanya cukup bertanding di dalam ring kecil favoritmu itu. Sampai ketemu di ring bobrok Blade.”

Tao pun pergi meninggalkan kekesalan yang masih menggumpal di hati Myung Soo.

**

Myung Soo sudah tiba di rumah tepat ketika empat orang berpenampilan seperti mafia keluar dari pagar rumahnya yang kecil. Si pemimpin yang bernama Gaza langsung menarik kerah baju Myung Soo.

“Aku sudah bicara banyak pada ibumu yang miskin itu,” ucap Gaza dengan ekspresi menakutkan. “Aku akan kembali seminggu lagi dan kau harus membayar semua hutang ibumu itu. Jika tidak, aku tidak hanya akan menyita rumahmu dan isi di dalamnya, tetapi aku juga akan menghabisimu dan ibumu.”

Setelah mengancam, Gaza pun pergi bersama dengan kroninya. Setelah mobil Gaza menghilang di ujung belokan sana, Myung Soo dengan segera menghampiri sang ibu yang kini tergeletak lemas dilantai, lengkap dengan luka-luka pada wajahnya.

“Eomma…” ucap Myung Soo lirih seraya meletakkan kepala sang ibu di atas pahanya.

“Kau sudah pulang?” tanya sang ibu, Oh Hani, dengan suara serak, bahkan nyaris tak terdengar.

Myung Soo mengangguk bersamaan dengan jatuhnya air matanya.

“Uljima,” ucap Hani seraya berusaha bangun agar dapat memeluk Myung Soo. “Bukankah Gaza sudah sering melakukan hal ini kepada kita?”

“Lalu kau bangga dengan hal itu?” tanya Myung Soo yang jelas menganggap serius pasal hutang-hutang milik sang ibu. “Gaza manusia paling berbahaya, Eomma.”

Hani mengangguk seraya berkata, “Semuanya memang salahku. Tidak seharusnya aku dan ayahmu berhubungan dengan depkolektor macam dia.”

Setelah memeluk sang ibu dengan erat, Myung Soo berkata, “Sudahlah. Kita sudah sering membahas hal ini. Aku akan coba mencari jalan keluar agar minggu ini kita bisa melunasi hutang-hutang itu.”

“Ingat, Myung Soo-ah…” ucap Hani seraya memegang erat tangan Myung Soo. “Aku tidak ingin kau terluka hanya karena berusaha melunasi semua hutang-hutangku.”

Myung Soo mengangguk seraya menjawab, “Aku tahu. Aku hanya akan bertanding di tempat Gongchul-Hyung.”

Hani pun mengangguk.

“Aku sudah membelikan nasi ayam kesukaan, Eomma,” ucap Myung Soo seraya mengeluarkan sekotak nasi ayam dari dalam bungkusan. “Makanlah, setelah itu aku akan obati luka-lukamu, Eomma.”

**

Park Jiyeon mengurut keningnya yang pening.

“Cepat minum ini lalu masuk ke dalam,” ucap Eunji seraya memberikan obat dan sebotol air pada Jiyeon. “Jangan sampai ayahmu yang galak itu tahu bahwa malam ini kau mabuk,” sambung Eunji seraya menyemprotkan minyak wangi pada sekeliling baju Jiyeon.

“Aku minum berapa gelas tadi?” tanya Jiyeon setelah menelan obat pemberian Eunji.

“Satu gelas kecil,” jawab Eunji. “Dan kau langsung tipsi di tempat. Lain kali aku tidak akan membiarkanmu meminum minuman lain kecuali cocktail yang biasa kau pesan itu.”

Setelah Jiyeon merasa sudah siap untuk masuk ke dalam rumahnya, dia pun turun dari mobilnya yang kini dikemudikan oleh Eunji.

“Jangan lupa bawa mobil ini besok ke tempat latihanku,” ucap Jiyeon seraya melenggang masuk ke dalam rumahnya. Dan Eunji pun bersama dengan mobil milik Jiyeon melesat pergi.

Jiyeon tidak pandai mengendap-endap dan kedua orangtuanya sepertinya belum berniat masuk ke dalam kamar. Jiyeon nyaris terkejut karena melihat sang ayah kini sedang menunggunya bersama dengan sang ibu di sebelahnya.

“Kemana saja kau sampai pulang larut begini?” tanya sang ayah, Park Jin Hee, seraya bangkit dari tempat duduknya.

Jiyeon tidak menjawab karena kepalanya masih sedikit pening.

“Pelatihmu bilang bahwa hari ini kau kabur ditengah-tengah jam latihan,” sambung Jin Hee, masih dengan nada bicara yang sama.

“Tidak ditengah-tengah latihan,” ucap Jiyeon mencoba mengklarifikasi. “Aku pergi saat jam istirahat.”

“Jam istirahat?” tanya Jin Hee kini menghampiri Jiyeon. “Aku tidak pernah tahu Paran memberikan jam istirahat pada sesi latihannya.”

“Aku yang meminta waktu istirahat padanya,” ucap Jiyeon pelan.

“Kau meminta waktu istirahat untuk kabur?” tanya Jin Hee masih berusaha mengontrol emosinya.

“Ada suatu hal yang harus aku kerjakan dan itu penting sekali,” ucap Jiyeon kehabisan alasan. Otaknya yang kini sedang lelet berpikir berusaha keras untuk mencari alasan lain yang siap menjadi jawaban untuk sang ayah nantinya.

“Tidak ada hal yang lebih penting selain berlatih piano,” ucap Jin Hee menekankan. “Dan hal ini sudah berulang kali aku ingat padamu. Apa kau meremehkan ucapanku ini, Jiyeon-ah?”

“Appa…” desah Jiyeon seraya memegang keningnya yang justru semakin berdenyut. “Aku pusing. Dan mengantuk. Aku mau tidur.”

Jiyeon sudah berniat meninggalkan kedua orangtuanya ke kamar tepat saat Jin Hee bertanya, “Kau mabuk?”

Jiyeon menghentikan langkahnya sementara Jin Hee menghampirinya.

“Apa urusan penting yang kau bilang tadi adalah bersenang-senang di pub?” tanya Jin Hee dengan intonasi semakin tinggi.

Jiyeon sudah benar-benar tidak tahan dengan sikap sang ayah. Dan tanpa pikir panjang Jiyeon menjawab, “Geurae. Aku mabuk dan baru pulang dari pu…” Belum sempat Jiyeon menyelesaikan kata-katanya, sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya. Sang ibu pun terkejut, begitupun dengan Jiyeon sendiri.

“Kenapa kau selalu membangkangku?” tanya Jin Hee dengan nafas menderu.

Jiyeon terdiam. Pipinya masih terasa sakit bersamaan dengan rasa panas yang timbul di sekeliling wajahnya.

“Kau benar-benar mengecewakanku, Park Jiyeon,” ucap Jin Hee seraya berusaha mengontrol emosinya.

“Aku bukan robot,” ucap Jiyeon tiba-tiba, membuat emosi Jin Hee kembali meninggi. “Aku bukan robot piaraanmu. Aku ini manusia yang punya perasaan, yang punya kehidupanku sendiri.”

“Kehidupanmu ada di tangan kami sejak kami memutuskan untuk membelimu!” Jelas Jin Hee sudah lepas kontrol sekarang. Bahkan dia tidak sadar bahwa ucapannya yang terakhir itu membuat satu pertanyaan besar timbul dalam benak Jiyeon.

Sang istri, Lee Na Ran, spontan menghampiri Jin Hee. “Yeobo….”

Jin Hee pun terdiam, seperti merasa bersalah dan kini bingung mau bicara apa.

Na Ran pun menghampiri Jiyeon seraya berkata, “Jangan dengarkan ucapan ayahmu tadi.”

Jiyeon menggeleng seraya berkata, “Ani, Eomma. Aku bisa mendengar jelas apa yang Appa katakan tadi. Lalu apa maksudnya? A-aku tidak mengerti…”

Jin Hee kembali duduk di sofa kebesarannya, membelakangi tubuh Jiyeon. Dia pun mengurut keningnya. “Kau bisa pergi darisini kalau kau mau,” ucap sang ayah dengan ekspresi dingin.

“Yeobo, apa maksudmu bicara seperti itu?” Na Ran kembali menghampiri sang suami. “Jiyeon anak kita. Kenapa kau mengusirnya?”

“Cukup, Na Ran-ah,” ucap Jin Hee pada sang istri. “Aku tidak mau menyembunyikan hal ini lagi.”

“Kita sudah berjanji untuk tidak membahas hal itu lagi, Yeobo!” ucap Na Ran mulai terisak.

Tanpa mendengarkan ucapan sang istri, Jin Hee bangkit dari tempat duduknya untuk menatap Jiyeon.

“Akhirnya kau tahu, bahwa kau bukan anak kandungku.” Jin Hee mengatakan hal itu perlahan dan penuh penekanan.

“Yeobo,” isak sang istri di sebelahnya. Dia tak kuasa mendengarkan semua ucapan yang keluar dari bibir suaminya yang dapat menyakiti sang anak.

“Aku hanya ingin memiliki anak yang mau menuruti semua ucapanku,” sambung sang ayah. “Bukankah kau sudah jengah dengan semua aturan yang kuberikan kepadamu?”

Park Jiyeon, ditempatnya berdiri saat ini, berusaha keras menjaga keseimbangan tubuhnya yang mendadak melemah. Fakta ini jelas sangat mengejutkan dirinya. Kepalanya tiba-tiba saja berputar, membuat pandangannya ke arah kedua orangtuanya mendadak mengabur. Jiyeon pingsan di tempat dan hal terakhir yang bisa dia dengar hanyalah teriakan panik sang ibu.

To Be Continue

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK