Jiyeon tak bisa bicara apa-apa setelah mendengar semua kebenaran yang baru saja Oh Hani katakan padanya.
“Aku tidak menyangka…” gumam Jiyeon dengan wajah pias. “Bagaimana bisa ayahku…a-ani…Jin Hee…dia…”
“Jiyeon-ah,” Oh Hani meletakkan kedua tangannya di wajah Jiyeon. “Satu hal yang harus kau lakukan saat ini. Jangan buat ayah angkatmu itu curiga, terutama untuk masalah dimana kau sudah tahu bahwa kau adalah anakku. Karena demi Tuhan sampai saat ini aku tidak tahu maksud Jin Hee mengapa dia melarangmu untuk bertemu denganku.”
“Sudah jelas, Eomma,” ucap Jiyeon. “Jin Hee memang menginginkan keluarga kita hancur sampai ke akar-akarnya.”
Tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah anak tangga. Gaza tersenyum seraya melambai seperti biasanya.
“Maaf jika aku lancang, ikut datang kesini untuk menyimak obrolan kalian,” ucap Gaza seraya menghampiri Jiyeon dan Oh Hani. Dibelakangnya mengekor keempat anak buahnya yang bertubuh besar dan berwajah sangar. “Jujur saja, Noona-ah. Ceritamu benar-benar menarik.”
Keduanya terdiam dengan wajah dan tubuh membeku.
“Ahjussi,” ucap Jiyeon akhirnya bersuara. “Kau sudah dengar semuanya. Tolong…”
“Aku sedang tidak ingin menolongmu, Jiyeonie,” sela Gaza cepat. “Yang aku inginkan saat ini hanyalah membawamu kembali pada ayah angkatmu, sementara aku mengurus ibumu ini.”
Dengan gerakan cepat, para anak buah Jin Hee langsung memboyong Jiyeon masuk ke dalam mobil. Gaza mengambil tugas mengikat Oh Hani yang tidak melakukan perlawanan sedikitpun.
“Bagus, Noona-ah,” ucap Gaza. “Tidak melawan memang itu yang aku harapkan darimu.”
Maka dibawalah Jiyeon dan Oh Hani di mobil terpisah.
“Lepaskan aku!” teriak Jiyeon di dalam mobil. “Ahjussi, tolong jangan sakiti ibuku. Tolong…”
“Sudah aku bilang aku sedang tidak ingin menolongmu,” sela Gaza seraya menutup hidung Jiyeon dengan sapu tangan yang sudah diberikan cairan bius. Mata Jiyeon segera menutup. “Sekarang kalian bawa anak ini pada Jin Hee, sementara aku mengurus ibunya. Dan ingat, jangan katakan apapun soal keberadaan ibunya pada Jin Hee.”
**
Jin Hee menatap Jiyeon yang sedang tidak sadarkan diri di atas ranjang tidurnya. Setelah memanggil anak buahnya untuk menjaga Jiyeon dengan sangat ketat, Jin Hee kembali halaman depan rumahnya untuk bertemu dengan anak buah Gaza.
“Dimana bos kalian?” tanya Jin Hee.
“Gaza-nim sedang mencari keberadaan Kim Myung Soo,” jawab anak buah Gaza mencoba berdiplomasi.
Sementara itu di rooftop rumah Sunggyu, Gaza mengambil ponsel Jiyeon yang tergeletak di atas meja. Dengan cepat Gaza menuliskan pesan singkat untuk Kim Myung Soo sebelum akhirnya membanting ponsel Jiyeon sampai rusak.
“Permainan akan segera dimulai,” gumam Gaza menyeringai lebar.
**
Gaza berjalan santai menghampiri Jin Hee yang sedang berada di halaman depan rumahnya.
“Bagaimana?” tanya Jin Hee pada Gaza. “Kau sudah temui anak itu?”
Gaza pun tersenyum seraya menjawab, “Lebih baik kita berangkat sekarang.”
Maka pergilah Jin Hee dan Gaza ke rumah Sunggyu.
Ternyata Myung Soo sudah disana dengan kondisi babak belur.
“Sepertinya dia kalah banyak hari ini,” gumam Gaza.
“Eomma…” desah Myung Soo dengan sisa tenaga yang dipunyanya sementara matanya melihat ponsel Jiyeon yang tergeletak rusak di dekat pot tanaman. “Park Jiyeon…dimana kalian?”
“Berhenti menangisi anakku…” ucap Jin Hee yang untuk pertama kalinya melihat Myung Soo dengan sangat jelas. Wajahnya memiliki bentuk yang sama dengan almarhum Kim Jang Min.
Myung Soo pun berbalik dan mendapati sosok yang selama ini tidak pernah ditemuinya secara langsung.
“Akhirnya kita bertemu…” ucap Jin Hee tanpa senyum.
“Apa yang akan kita lakukan dengan si petinju kecil ini, Jin Hee-ah?” tanya Gaza sudah tidak sabaran.
“Jin Hee?” gumam Myung Soo.
Jin Hee tersenyum seraya berkata, “Sebaiknya kita berkenalan secara resmi. Aku Park Jin Hee, ayah dari kekasihmu.”
Wajah Myung Soo pun menegang dan tanpa sadar kedua tangannya mengepal erat.
“Kau…tidak berencana untuk menghajarku sekarang kan?” tanya Jin Hee diiringi tawa mengejek dari Gaza.
“Dimana ibuku?” tanya Myung Soo tanpa memperdulikan tawa mengejek dari Gaza. “Dan dimana Park Jiyeon?”
“Untuk apa kau mencari anakku?” tanya Jin Hee balas bertanya.
“Anakmu?” Myung Soo menyipitkan kedua matanya. “Apa aku tidak salah dengar? Dia anak ibuku. Dia saudaraku…”
“Lalu mengapa kau mengencaninya jika kau tahu dia adalah saudara kembarmu?” Pertanyaan Jin Hee berhasil mengaduk-aduk perasaan Myung Soo.
Myung Soo terdiam. Matanya kembali menatap surat dan ponsel Jiyeon yang berada di dalam genggaman tangannya.
“Dimana kau menyembunyikan ibuku?” tanya Myung Soo mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak tahu dimana ibumu berada,” jawab Jin Hee. “Tetapi aku sudah mengambil Park Jiyeon. Dan aku peringatkan padamu untuk tidak menemuinya lagi.”
“Kenapa aku tidak boleh menemuinya?” tanya Myung Soo dengan dahi berkerut. “Dan kenapa kau memperlakukannya dengan sangat buruk? Jiyeon selalu mengeluh pasal dirimu yang selalu memperlakukannya seakan-akan dia binatang piaraan.”
“Karena ibumu sudah menjualnya kepadaku dulu,” jawab Jin Hee. “Dan perlu kau tahu, sejak aku mengambil bayi Oh Hani, itu menandakan putusnya hubungan antara keluarga Park dengan keluarga Kim.”
“Mwo?” Myung Soo semakin terlihat bingung dengan arah pembicaraan Jin Hee. “Putus hubungan? Apa maksudmu?”
“Kurasa sudah saatnya aku ceritakan tentang dendam pribadiku pada keluarga Kim,” ucap Jin Hee. “Pada ayahmu lebih tepatnya…”
#flashback#
Tahun 1990…
“Jang Min-ah!” teriak seorang pria. “Aku kesini untuk menagih hadiah ulang tahunku.”
“Yaa! Kau seperti anak kecil saja,” desah Jang Min yang sedang sibuk berlatih dengan samsaknya. “Masih minta hadiah untuk ulang tahunmu.”
“Jangan katakan hal serupa dengan yang ayahku katakan! Menyebalkan sekali,” ucap Park Jin Hee seraya mencopot kalung name tagnya. “Pekerjaan hari ini benar-benar melelahkan. Terkadang aku iri dengan pekerjaanmu sebagai petinju. Kau memiliki banyak waktu untuk berlibur, sementara aku harus berkutat di depan meja kerjaku.”
“Maksudmu, berlibur dengan wajah babak belur?” tanya Jang Min seraya menghampiri sahabat karibnya itu.
“Tidak buruk juga,” ucap Jin Hee setelah melihat memar biru pada wajah Jang Min. “Paling tidak wajahmu masih terlihat tampan.”
“Kau pun tidak kalah tampannya denganku,” ucap Jang Min. “Paling tidak kau tidak perlu merasakan wajah dan sekujur tubuh linu di saat tidur.”
“Ah, jadi kita punya kelebihan dan kekurangan pada pekerjaan kita masing-masing,” desah Jin Hee seraya merebahkan tubuhnya di atas ring tinju yang kosong. “Um…atau aku ikuti saja jejak ayahku?”
“Mwo?” tanya Jang Min terkejut. “Kau tidak tahu betapa sengsaranya ayahmu saat ini karena pekerjaannya?”
“Yaa, ayahku bisa dengan sangat mudah mendapatkan banyak uang hasil dari pekerjaannya saat ini,” ucap Jin Hee.
“Depkolektor, Jin Hee-ah. Ingat, pekerjaan ayahmu adalah depkolektor!” ucap Jang Min mengingatkan. “Jelas itu pekerjaan ilegal.”
“Tetapi ayahku menyukainya,” desah Jin Hee.
“Tidak lagi,” bantah Jang Min. “Kemarin ayahmu datang padaku untuk minta bantuan. Katanya belakangan ini banyak polisi berseliweran di depan gudang kantornya. Dan besok gudang tempat ayahmu bekerja akan diperiksa oleh pihak kepolisian.”
“Mwo? Jinjiha?” tanya Jin Hee terkejut. “Aku benar-benar tidak tahu soal itu. Lalu bantuan seperti apa yang ayahku minta padamu?”
“Nanti malam dia menyuruhku datang ke gudangnya,” jawab Jin Hee. “Dia menyuruhku untuk membakar habis gudang kantor ayahmu itu sebelum polisi menemukan jejak tentang usaha ilegal yang sedang ayahmu jalani saat ini,” jawab Jang Min.
“M-membakar kantor? Micheosseo?” tanya Jin Hee semakin terkejut. “C-chankamman…kalau kantor ayahku terbakar, darimana keluargaku bisa mendapatkan uang untuk melanjutkan hidup?”
“Yaa, bukankah kau sudah bekerja? Tentu ayahmu bisa mengandalkanmu mulai sekarang,” jawab Jang Min seraya kembali ke samsaknya.
“Um…i-iya, tetapi penghasilan terbesar yang bisa keluarga kami dapat hanya dari pekerjaan ayahku itu…” jawab Jin Hee terbata.
“Sudahlah, kau bicarakan saja dengan orangtuamu bagaimana baiknya,” ucap Jang Min. “Disini tugasku hanya membantu.”
**
22.00 PM…
“Aboji, kau serius dengan rencanamu ini?” tanya Jang Min pada Tn. Park. Dia sudah siap dengan kostumnya bak seorang maling.
“Tentu saja, bahkan Jin Hee tidak bisa melarangku,” ucap Tn. Park. “Sudah kuputuskan aku akan membangun bisnis baru setelah kau membakar habis gudang bobrok ini beserta isinya. Aku pun sudah menyiapkan tiket pesawat dan rumah kecil di Brunei untukku.”
“Apa Jin Hee akan ikut?” tanya Jang Min.
“Entahlah, aku bingung dia mau melakukan apa setelah kantor memecatnya,” desah Tn. Park.
“M-mwo?” tanya Jang Min terkejut. “Jin Hee dipecat?”
“Dia ketahuan menghamili Na Ran, anak Presdir dikantornya,” jawab Tn. Park terlihat marah. “Anak bodoh.”
Jang Min mulai mengerti mengapa siang tadi Jin Hee terlihat sangat kusut dan khawatir dengan rencana sang ayah yang ingin mengakhiri bisnis depkolektornya.
“Lalu bisnis apa yang hendak kau mulai nanti di Brunei, Aboji?” tanya Jang Min.
“Entahlah, mungkin aku akan membuka restoran,” jawab Tn. Park. “Bisnis apa saja akan aku bangun nantinya disana. Paling tidak aku masih punya banyak uang saat ini untuk memulai hidup yang baru.”
“Ada baiknya kau membawa Jin Hee ke Brunei setelah aku membakar gudang ini,” ucap Jang Min. “Dia tidak akan mampu hidup sendiri tanpamu, Aboji.”
“Kita lihat saja nanti,” ucap Tn. Park seraya membuka pintu ruangan kerjanya. Di dalamnya sudah terdapat berbotol-botol minyak tanah. “Sekarang kau sirami semua yang ada di dalam ruangan ini. Terutama ini…” Tn. Park menunjukkan berkardus-kardus berkas hutang piutang yang ditumpuk di dalam satu ruangan. “Bakar ini semua sampai tak bersisa.”
“Araseo,” ucap Jang Min seraya mengambil botol minyak tanah pertama dan mulai sibuk menyiraminya dari ruangan yang berisikan berkas-berkas hutang piutang.
Tanpa Jang Min ketahui, Tn. Park pun pergi ke lantai dua tempat beberapa hartanya disimpan. Dengan agak tergesa-gesa Tn. Park memasukkan semua uangnya di dalam satu tas besar.
“Istriku…” desah Tn. Park seraya menatap foto sang istri yang dibingkai. “Aku akan memulai hidup baru di Brunei, tempat kelahiran ibuku. Setelah ini aku tidak bisa sesering dulu datang makammu. Jin Hee, entahlah aku harus mengajaknya ikut denganku atau tidak. Anak bodoh itu baru saja menghamili seorang wanita…”
Usai bercakap dengan foto sang istri, Tn. Park pun menyirami seluruh ruangannya dengan minyak tanah. Dan tepat saat dia berbalik dan keluar dari ruangan di lantai duanya itu, kobaran api sudah menghadangnya. Tidak ada jalan keluar bagi Tn. Park untuk menyelamatkan diri. Tn. Park berusaha berteriak memanggil Jang Min yang sudah berada di halaman belakang gudang. Api dengan cepat menyambar dari satu benda ke benda lainnya. Tn Park semakin panik. Tas yang berisi uang ditangannya pun terjatuh saat api sudah mulai memasuki ruangan lantai dua. Tn. Park habis terbakar bersama gudang dan isinya.
“Aboji…dimana dia?” desah Jang Min yang tidak tahu bahwa Tn. Park ikut terlalap api di dalam gudang. Asap hitam mulai menyusup keluar lewat celah-celah bawah pintu gudang.
Tiba-tiba ponsel Jang Min berbunyi.
“Jang Min-ah,” Suara Jin Hee terdengar. “Kuharap kau bisa ikut bersamaku dengan Aboji untuk makan malam. Aku sudah pesan tempat di restoran tempat biasa keluarga kami berkumpul. Sepertinya aku akan ikut Aboji ke Brunei. Ini akan jadi makan malam yang terakhir untuk kita, Jang Min-ah.”
“Ne, Jin Hee, aku akan datang sebentar lagi…” jawab Jang Min. “Paling tidak setelah aku membersihkan diri dari kepulan asap ini.”
“Araseo, aku tunggu kedatanganmu,” ucap Jin Hee sebelum mematikan sambungan.
“Jadi, Aboji sudah pergi menyusul Jin Hee,” gumam Jang Min seraya masuk ke dalam mobil baknya. Dengan cepat Jang Min meluncur keluar dari area gudang yang kini sudah hampir terbakar sepenuhnya.
**
“Saekki-ah!” Jin Hee menghajar wajah Jang Min tanpa peringatan. “Bagaimana bisa kau membunuh ayahku?”
“Aku tidak membakarnya,” ucap Jang Min berusaha menjelaskan. “Aku bahkan tidak tahu dia masih di dalam gudang itu. Kupikir Aboji sudah pergi meninggalkanku untuk menyusulmu ke restoran.”
“Jangan banyak bicara, Saekki-ah!” teriak Jin Hee. “Bagaimana bisa kau tidak tahu bahwa Aboji masih ada di dalam gudang itu? Yaa! Katakan padaku sekarang! Apa kau memiliki dendam padaku? Sehingga kau membunuh satu-satunya orangtuaku yang masih tersisa?”
“Demi Tuhan aku tidak pernah memiliki niatan untuk membunuh ayahmu!” balas Jang Min berteriak. “Aku sahabatmu dan ayahmu sudah kuanggap seperti ayahku sendiri!”
“Banyak bicara!” teriak Jin Hee seraya menghantam wajah Jang Min untuk yang kesekian kalinya. “Dengarkan aku, Saekki-ah. Kita tidak akan melanjutkan persahabatan ini. Aku anggap kita tidak pernah saling mengenal. Mulai saat ini kau adalah musuhku, musuhku karena telah membunuh ayahku.”
Jin Hee pun pergi meninggalkan Jang Min yang sedang tersungkur dengan wajah penuh darah.
“Saekki…” geram Jin Hee di penuhi derai airmata sementara mobilnya sedang melaju kencang. “Bagaimana bisa kau membunuh ayahku?”
Tepat pada lampu merah, ponsel Jin Hee berbunyi. Jin Hee terdiam sementara ponselnya jatuh dari genggamannya. Lee Na Ran mengalami keguguran karena jatuh dari tangga dikantornya. Suara suster yang memberitahunya terus terngiang di telinga Jin Hee. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Dia baru saja kehilangan ayah yang sangat disayanginya. Kini dia harus kehilangan anaknya yang bahkan belum terlahir kedunia.
**
“Na Ran-ah,” Jin Hee mengusap lembut wajah Na Ran yang sedang tergeletak lemah di ranjang rumah sakit.
“Jin Hee-ah, kau bisa meninggalkanku,” ucap Na Ran dipenuhi derai air mata.
“Kenapa kau bicara seperti itu?” tanya Jin Hee. “Banyak orang yang mengalami hal serupa dengan apa yang kau rasakan saat ini, Na Ran-ah. Dan kau masih bisa punya kesempatan untuk hamil lagi…”
“Ani,” sela Na Ran membuat Jin Hee terdiam sesaat. “Dokter baru saja mengatakan bahwa aku sudah tidak bisa memiliki anak.”
“M-mwo?” Genggaman tangan Jin Hee pada Na Ran tiba-tiba saja menegang.
Untuk menjelaskannya saja rasanya Na Ran tidak sanggup. Maka tanpa banyak berpikir, Jin Hee langsung pergi keluar kamar untuk menemui dokter.
Satu jam kemudian…
Jin Hee tampak lesu saat dirinya kembali ke kamar rawat Na Ran.
“Jin Hee-ah, aku bisa menerimanya,” isak Na Ran. “Kau bisa tinggalkan aku dan cari wanita…”
“Aniyo,” sela Jin Hee seraya menghampiri Na Ran. Dipeluknya kekasihnya itu dengan sangat erat. “Aku tidak bisa meninggalkanmu. Aku akan menikahimu, merawatmu, menjagamu sampai akhir.”
Tangisan Na Ran semakin menjadi mendengar ketulusan hati Jin Hee untuk tetap bersamanya.
“Semuanya sudah terjadi,” ucap Jin Hee yang tangisnya hampir pecah. “Sudah terjadi…”
**
Tiga tahun kemudian…
“Mwo?” Mr. Kang menatap terkejut pada Jin Hee. “Micheosseo? Kau menyuruhku untuk membunuh anak didikku sendiri?”
“Waeyo?” tanya Jin Hee. “Belakangan ini prestasinya sering menurun. Dia sering kalah, sering mempermalukanmu.”
“Jin Hee-ah, dengarkan aku…” ucap Mr. Kang. “Kim Jang Min sebentar lagi akan memiliki anak. Istrinya sedang hamil besar. Dan kau, dengan tidak masuk akalnya menyuruhku untuk membunuh Jang Min?”
Jin Hee tertawa mendengar ucapan Mr. Kang.
“Kupikir kau sudah tidak memiliki hati,” ucap Jin Hee. “Bukankah kau sering menyiksa anak didikmu sendiri? Terlebih disaat mereka telah membuat banyak kekalahan?”
Mr. Kang menghela nafas berat seraya menatap lurus ke arah mata Jin Hee.
“Aku akan bayar berapapun yang kau minta asalkan kau bisa menghilangkan wujudnya dari dunia ini,” ucap Jin Hee penuh penekanan. “Dan aku ingin kau bakar dia. Aku ingin dia hangus terlalap api, sama seperti apa yang ayahku rasakan.”
#flashback end#
Myung Soo terjatuh ditempatnya berdiri usai Jin Hee menceritakan kisah masa lalunya dulu bersama dengan almarhum ayahnya.
“Apa kau mulai merasa bahwa kau sedang berada di pihak yang salah?” tanya Jin Hee. “Mr. Kang, dialah yang membunuh ayahmu. Dia yang membakar hidup-hidup ayahmu yang sudah dengan beraninya membakar ayahku!”
Lama Myung Soo terdiam sampai akhirnya dia buka suara. “Kau ataupun Mr. Kang, kalian berdua sama saja. Kalian berdua telah membunuh ayahku…”
“Ayahmu sudah menerima balasan atas kematian ayahku…” ucap Jin Hee. “Dan kau harus menerimanya.”
Myung Soo menggeleng iringi tetesan air mata dipipinya. “Bahkan aku belum pernah melihatnya…ayahku…”
“Kau tidak perlu melihat tampang si saekki itu…”
“Berhenti mengumpat ayahku!” teriak Myung Soo seraya menyerang Jin Hee dengan tinjunya. Gaza pun langsung bertindak, melempar jauh Myung Soo dari Jin Hee.
“Saekki-ah, mau kutambah penderitaanmu, heh?!” tanya Gaza seraya mencekik leher Myung Soo.
“Lepaskan anak itu,” ucap Jin Hee seraya mengusap darah dari sudut bibirnya yang terluka. “Biarkan dia menangisi kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.”
Maka Jin Hee dan Gaza pun pergi meninggalkan Myung Soo yang sedang terisak merana.
**
Myung Soo berusaha membawa tubuhnya penuh kesakitan menuju markas Mr. Kang. Walther P99 milik sang ayah sudah berada di balik jaket hitam yang sedang Myung Soo kenakan saat ini. Tujuannya malam ini hanya satu, yaitu membunuh Mr. Kang dan menyudahi semua siksaan ini.
“Myung Soo-ah…” Gongchul terkejut melihat wujud Myung Soo yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan Mr. Kang. “Kau masih sakit, kenapa kau keluar…”
“Berhentilah mengoceh, Hyung,” ucap Myung Soo seraya menudingkan pistolnya ke arah Gongchul. “Aku sudah muak dengan semua ocehanmu. Kebohonganmu…”
“M-Myung Soo-ah, jangan main-main dengan benda itu…” ucap Gongchul terlihat sangat berhati-hati.
“Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu, paling tidak untuk malam ini,” ucap Myung Soo. “Sudahi saja semua kebohongan ini. Kau pengecut, peluru ini akan menembus kepalamu….” Tiba-tiba saja pistol mengarah ke arah Mr. Kang yang sedang berdiri di balik meja kebesarannya.
“Myung Soo-ah, tenangkan dirimu dan dengarkan penjelasanku…” pinta Mr. Kang.
“Untuk apa aku mendengarkan orang yang sudah membakar ayahku?” tanya Myung Soo. “Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku lemah? Kalian bisa dengan seenaknya memasukkan pil halusinasi ke dalam minumanku sebelum aku bertanding, membuatku akhirnya kalah dan terlihat konyol saat pertandingan. Kau bisa membuatku menjadi babumu setelah kau berhasil membunuh satu-satunya ayah yang kupunya!” Suara Myung Soo menggelegar di dalam ruangan besar itu. “Kau harus sadar, aku tidak selemah yang kau kira. Kau habisi ayahku, kau bakar ayahku dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku tidak perduli jika keadaan ini dapat membuatku masuk ke dalam jeruji besi. Aku hanya ingin kau tahu bagaimana rasanya menjadi keluarga yang tidak utuh, memiliki ibu yang rapuh yang selalu takut jika aku terluka, yang trauma setelah mengalami kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ayahku mati, saudara kembarku pergi, menghilang bertahun-tahun dan kembali menjadi sosok wanita yang aku cintai, yang aku jadikan kekasih!”
Gongchul dan Mr. Kang masih terdiam di tempatnya berdiri.
“Aku ingin sudahi penderitaan ini,” sambung Myung Soo seraya berjalan pelan lebih mendekat ke arah Mr. Kang. “Jika kau ingin menghancurkan keluargaku, mari kita hancur bersama. Kita mati bersama meninggalkan dunia yang dipenuhi kebohongan ini.”
“Myung Soo-ah, siapapun orang yang telah menghasutmu, mereka hanya ingin kau hancur….” ucap Mr. Kang.
“Tutup mulutmu, Saekki!” geram Myung Soo. “Kau dan Park Jin Hee sama saja. Kalian berdua menginginkan keluarga Kim Jang Min hancur!”
Mr. Kang mengurut keningnya seraya mendesah, “Sudah kuduga. Jin Hee-lah orangnya.”
“Ne, Jin Hee yang menyuruhmu untuk membunuh ayahku,” ucap Myung Soo. “Dan sekarang, aku baru saja menyuruh diriku sendiri untuk segera melubangi kepalamu itu!”
“Myung Soo-ah, ini semua hanya salah paham,” ucap Gongchul berusaha mengontrol keadaan. “Beri waktu untuk kami menjelaskan semuanya. Kami akan jelaskan kebenaran yang sesungguhnya…”
“Aku sudah tidak mau dengar apa-apa lagi, Hyung,” ucap Myung Soo. “Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, jika ada yang berani menyakiti keluargaku…aku tidak akan tinggal diam. Aku balas secepat aku bisa membalasnya.” Myung Soo baru saja menarik pelatuk pistolnya ke arah kepala Mr. Kang, tepat bersamaan saat Gongchul mencoba menjatuhkan tubuh Myung Soo ditempat. Peluruh berhasil menembus lengan Mr. Kang yang kini banyak mengeluarkan darah. Sementara itu Gongchul sedang sibuk merebut pistol dari tangan Myung Soo.
“Kau sudah gila!” erang Gongchul.
“Kau seharusnya membantuku, Hyung!” Tangis Myung Soo mulai pecah. “Kau seharusnya membunuhnya! Dia telah membunuh ayahku!”
“Mr. Kang tidak pernah membunuh ayahmu!” teriak Gongchul keras, membuat Myung Soo terdiam sesaat. Pistol sudah berhasil diambil alih oleh Gongchul. “Jangan buat dirimu menjadi seorang pembunuh, Myung Soo-ah. Kau berhasil dihasut Park Jin Hee. Kau berhasil dikelabui Gaza!”
“M-mwo?” tanya Myung Soo terbata dengan wajah digenangi air mata.
Gongchul menghampiri Mr Kang yang kini sedang bersandar di dinding dengan tangan kanan dipenuhi darah.
“Pegang disini,” ucap Gongchul yang sedang berusaha menghentikan pendarahan Mr. Kang.
“Hyung, jelaskan padaku apa maksud ucapanmu tadi?” pinta Myung Soo.
“Kau pikir kami orang jahat hanya karena kau berhasil mencuri dengar perbincangan kami?” tanya Gongchul seraya menghampiri Myung Soo. “Dengar, Myung Soo-ah. Kim Jang Min adalah pria yang aku hormati. Dan Mr. Kang, jika bukan karena dia…mungkin saat ini ayahmu sudah mati.”
“M-mwo?” Tangan Myung Soo bergetar setelah mendengar kalimat terakhir yang Gongchul ucapkan.
“Ayahmu masih hidup, Myung Soo-ah,” ucap Mr. Kang lemah sementara tangan kirinya berusaha menekan lengan kanannya yang berdarah.
“D-dia…masih hidup?” Kini suara Myung Soo yang bergetar.
“Jin Hee memang menyuruhku untuk membunuh ayahmu,” ucap Mr. Kang. “Tetapi aku tidak mungkin melakukannya. Biarpun Jin Hee membayarku sebanyak apapun….”
“Mr. Kang mengarang semuanya, bahkan dia mengambil mayat di rumah sakit dan memasukkannya ke dalam gedung yang Mr. Kang bakar. Semuanya dirancang dengan sangat hati-hati demi satu tujuan, agar Jin Hee tahu bahwa Jang Min memang benar-benar sudah mati,” ucap Gongchul melanjutkan menjelasan Mr. Kang yang terhenti. “Mr. Kang membawa Jang Min ke tempat persembunyian dan Gaza…dia ada disana. Menyaksikan semuanya. Lagi-lagi Mr. Kang harus berusaha menyelamatkan nyawa ayahmu. Gaza nyaris saja membenamkan pisaunya ke dalam perut ayahmu tepat ketika Mr. Kang datang menggulingkan keduanya ke sungai. Gaza pingsan, begitu juga dengan ayahmu. Sejak saat itu, Mr. Kang memutuskan untuk mengasingkan ayahmu jauh dari Korea.”
“L-lalu dimana ayahku sekarang?” tanya Myung Soo yang tampak sangat shyok dengan kebenaran ini.
“Thailand,” jawab Gongchul. “Bertahun-tahun ayahmu tinggal disana, menyamar dengan nama lain, berusaha menutup diri dari dunia luar. Dan semua itu dilakukannya agar Jin Hee ataupun Gaza tidak pernah menemukan ayahmu.”
“Tetapi Gaza tahu ayahku masih hidup,” ucap Myung Soo cepat. “Dan Jin Hee, Gaza pasti sudah memberitahunya…”
“Perlu kau tahu, Myung Soo-ah,” ucap Mr. Kang. “Gaza tidak berpihak seutuhnya pada Park Jin Hee. Dia tidak bilang apa-apa soal Jang Min yang sebenarnya masih hidup pada Jin Hee. Tujuan Gaza pun hanya ingin mengadu domba aku dengan Jin Hee. Dan tidak lupa, dia ingin mengambil kembali wanitanya yang sudah direbut Jin Hee darinya.”
“M-mwo?” Dahi Myung Soo berkerut bingung.
“Na Ran adalah cinta pertama Gaza. Dan aku adalah senior disekolah yang sama dengan Gaza,” jawab Mr. Kang.
“Jadi, sebenarnya satu-satunya orang yang harus kita khawatirkan adalah Gaza,” ucap Gongchul melengkapi.
“Tetapi mereka sudah menculik Jiyeon dan ibuku,” ucap Myung Soo kembali merasa cemas.
“Mwo?” Gongchul maupun Mr. Kang terlihat sangat terkejut. “Mereka berhasil mengambil Oh Hani? Kita harus bagaimana, Mr. Kang?”
Mr. Kang terlihat berpikir sebelum akhirnya berkata, “Tentu kita harus bebaskan Oh Hani.”
**
Oh Hani menatap Gaza dengan takut-takut.
“Apa tujuanmu menangkapku?” tanya Oh Hani.
“Entahlah,” jawab Gaza diiringi seringai menyebalkannya. “Jin Hee sangat menginginkan dirimu, setelah dia berhasil membeberkan masa lalu suamimu kepada Myung Soo…”
“M-Myung Soo?” Oh Hani terkejut seketika setelah mendengar nama sang anak disebut.
“Seujurnya aku hanya ingin uang,” ucap Gaza. “Uang yang banyak, sangat banyak. Aku bosan menjadi babu Park Jin Hee. Dia pun sudah berani mengambil cinta pertamaku. Lee Na Ran.”
“M-mwo?”
“Kau terkejut?” tanya Gaza. “Memang seharusnya kau terkejut karena ada banyak rahasia yang tidak terungkap dengan baik. Kau mau dengar salah satunya?”
Oh Hani diam tidak menjawab apa-apa.
“Pernahkah kau merasa aneh dengan sikap Na Ran dan Jin Hee yang selalu melarang Jiyeon untuk bertemu denganmu?”
Oh Hani masih diam.
“Kau pasti akan terkejut mendengarnya jika aku jelaskan rahasia satu ini,” ucap Gaza. “Tetapi aku tidak bisa membongkarnya terlalu cepat. Bahkan aku ingin mendapatkan keuntungan dari rahasia yang aku ketahui ini. Aku bukan tipe si baik hati yang dengan mudah memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa balasan.”
**
Tao bergegas menghampiri Suzy yang saat itu baru keluar dari mobil yang diparkirnya di basement apartemennya.
“Yaa, kau tidak pernah bilang padaku bahwa kau tinggal diapartemen!” Tao mencengkeram erat lengan Suzy.
“Apa aku perlu laporan padamu, heh?” tanya Suzy. “Lepaskan tanganku!”
“Kau jadi berubah sejak Kim Myung Soo mengencanimu,” ucap Tao dengan wajah murkanya.
“Dengar, aku dan dia tidak pernah berkencan,” ucap Suzy penuh penekanan.
“Tetapi kalian sudah berciuman!” ucap Tao tak berniat menghentikan perdebatan. “Kau secara terang-terangan menyelingkuhiku!”
Suzy mendesah sebelum berkata, “Kalau kau sudah tahu semuanya, untuk apa kau masih menemuiku?”
“Hubungan kita belum ada kata akhir, Suzy-ah,” ucap Tao mengingatkan.
“Tidak perlu ada kata-kata untuk mengakhiri hubungan,” ucap Suzy. “Lagipula aku sudah dijodohkan. Kau lupa?”
“Kau tidak pernah menerima perjodohan itu. Jangan bohongi aku!” ucap Tao.
“Kita sudah resmi menerima perjodohan itu,” sela sebuah suara. Minho entah datang darimana tiba-tiba saja menghampiri Suzy dan Tao.
“Kau?” Tuding Tao. “Setelah Myung Soo, sekarang kau?”
“Berhenti dekati Suzy,” ucap Minho mengundang amarah Tao.
“Bicara apa kau ini, heh?” tanya Tao. “Beraninya bicara seperti itu padaku. Setelah semua yang terjadi, aku tidak akan biarkan siapapun merebut Suzy dariku.”
“Sejujurnya aku sedang malas berdebat, apalagi untuk berkelahi,” ucap Minho seraya menaikkan lengan bajunya. “Tetapi jika memang harus.”
“Saekki!” geram Tao seraya menghajar Minho, hanya saja Minho mampu menghindar tepat pada waktunya.
“Pertandingan tanpa ring ternyata lebih mengasikkan,” ucap Minho seraya menghajar pelipis Tao.
Sedangkan Suzy, hanya menatap keduanya dengan pandangan bosan.
**
“Kalian berdua bodoh,” ucap Suzy sebelum meneguk red wine-nya. Bar malam ini terlihat sepi dan tenang. Minho disebelahnya sedang membakar puntung rokok untuk yang kedua kalinya. “Yaa, kau tahu seorang petinju tidak boleh merokok?”
“Jangan larang aku disaat aku sedang tidak ingin diatur,” jawab Minho.
Suzy pun menatap wajah suntuk Minho sebelum berkata, “Kau sedang ada masalah?”
Minho tidak menjawab.
“Sejujurnya aku sedang tidak ingin berbaik-baik ria, bahkan untuk mengobrol seperti ini denganmu,” ucap Suzy. “Tetapi kau sudah menolongku—jika pantas disebut sebuah pertolongan.”
Minho terkekeh sebelum membalas, “Bagaimana denganmu? Bukankah kau mencintai Tao? Lalu kenapa mencoba berselingkuh dengan Myung Soo?”
“Aku sudah muak dengan sikap kekanak-kanakannya,” jawab Suzy. “Dan Myung Soo, pria itu…kukira dia bisa menjadi pengganti Tao. Bodohnya aku. Lama aku tidak bertemu dengannya, tahu-tahu dia sudah bersama dengan wanita lain. Park Jiyeon. Saudara angkat Tao.”
“Kau seharusnya tahu bahwa Jiyeon yang lebih dulu mengenal Myung Soo,” ucap Minho. “Jadi wajar saja jika Myung Soo lebih memilih Jiyeon.” Setelah berkata seperti itu wajah Minho terlihat masam.
“Bukankah itu sama denganmu?” tanya Suzy. “Kau pasti menyukai Park Jiyeon yang ternyata lebih memilih Kim Myung Soo.”
“Geurae,” desah Minho frustasi. “Aku menyukai wanita itu. Tetapi dia membuangku dengan sangat menyakitkan.”
“Um…soal tadi dibasement,” Tiba-tiba Suzy teringat akan sesuatu. “Kau bilang kita sudah resmi menerima perjodohan itu?”
Minho langsung tertawa mendengarnya.
“Aku hanya asal bicara saja,” jawab Minho.
“Kupikir kau serius,” ucap Suzy membuat Minho otomatis menoleh padanya.
“Maksudmu?” tanya Minho.
“Aku ingin menyudahi hubunganku dengan Tao dan berusaha melupakan Kim Myung Soo,” ucap Suzy. “Disisi lain muncul kau yang tiba-tiba berubah menjadi superhero di parkiran bawah tanah, mencoba menolongku dengan embel-embel kata ‘menerima perjodohan’.”
“Lalu?” tanya Minho ingin mendengar kelanjutannya.
“Mungkinkah itu harapan?” Mata Suzy mulai terlihat mengantuk, membuat Minho tak kuasa menahan senyum.
“Kau mabuk, Suzy-ssi,” desah Minho seraya mematikan puntung rokoknya.
“Aku selalu berusaha menolak perjodohan konyol itu,” desah Suzy. “Bagaimana bisa laki-laki dan wanita yang tidak pernah mengenal satu sama lain, tiba-tiba diharuskan hidup bersama dalam suatu ikatan pernikahan?”
“Yaa, andaikan kita menerima perjodohan itu, kita tidak akan langsung menikah,” ucap Minho menjelaskan. “Semua butuh proses, Suzy-ah.”
Suzy pun mengikik pelan sebelum berkata, “Jadi…kau menerimanya? Kau menerima….ku?”
Minho pun tersenyum seraya menatap wajah manis Suzy yang sudah terlihat tipsy.
“Entahlah, aku masih meragukanmu karena statusmu sebagai seorang artis,” jawab Minho.
**
Jiyeon menatap langit-langit kamarnya dengan wajah berduka. Dia sangat mengkhawatirkan ibunya saat ini. Gaza telah membawanya entah mana. Dan lagi-lagi Jiyeon harus terkurung di dalam kamarnya di rumah Jin Hee seperti ini. Lee Na Ran, ibu angkatnya yang biasanya dijadikannya tempat memgadu kini sedang pergi ke Jepang untuk sementara waktu. Keadaan ini membuat Jiyeon semakin frustasi.
Tiba-tiba saja Jiyeon mendengar sesuatu dari arah jendela kamarnya. Maka dibukalah jendela kamarnya yang bertirai putih. Bukan main terkejutnya Jiyeon saat mendapati sosok Myung Soo dibaliknya.
“K-kau…”gumam Jiyeon yang tiba-tiba saja mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Myung Soo yang terluka. Dan pada saat itu juga dia teringat akan status Myung Soo yang sudah bukan lagi menjadi kekasihnya, maka dengan cepat pula Jiyeon kembali menarik tangannya.
“Aku akan menyelamatkanmu,” ucap Myung Soo pelan. Matanya tak pernah lepas memandang mata Jiyeon.
“Kau nekad sekali,” ucap Jiyeon. “Sekarang sedang bahaya. Ayah bisa menangkap kita.”
“Dengarkan aku, Jiyeon-ah…” ucap Myung Soo seraya mengambil tangan Jiyeon. “Kita harus menyelamatkan keluarga kita, sebelum Jin Hee benar-benar membunuh ayah kita.”
“M-mwo?” Jiyeon terbelalak mendengarnya.
To Be Continue