Kim Myung Soo dengan kalap menyerang secara bertubi-tubi samsak di depannya. Wajah dan tubuhnya dipenuhi keringat, sementara kedua tangannya yang telanjang tanpa sarung tinju kini terlihat memar-memar.
“Myung Soo-ah, keumanhe,” ucap Sunggyu yang sedaritadi hanya bisa menatap miris sang sahabat dari bangku yang sedang didudukinya.
“Aku percaya padanya,” geram Myung Soo. “Dia sudah seperti Hyung-ku sendiri. Semua rahasia tentangku, dia tahu itu. Dan beberapa menit yang lalu aku mendengar bahwa dia bersekongkol dengan Mr. Kang untuk membuatku kalah. Sengaja membuatku kalah, Sunggyu-ah! Bayangkan!” Samsak terhempas jauh saat Myung Soo melayangkan pukulan terakhirnya disertai terjatuh duduk di lantai. “Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?” ucap Myung Soo pelan dan Sunggyu yakin dia mendengar samar isakan dari bibir Myung Soo.
“Kau harus hadapi mereka, begitulah caranya agar kau mengetahui apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan padamu dan ibumu,” ucap Sunggyu.
“Aku tidak akan membiarkan mereka membawa pergi ibuku,” ucap Myung Soo penuh geraman. “Jika mereka menyakiti ibuku sedikit saja, aku akan kejar mereka dan akan kuhabisi dengan tanganku sendiri.”
**
Pagi ini terlihat agak mendung, menggambarkan perasaan Myung Soo saat ini. Dengan langkah berani, Myung Soo memasuki ruangan Mr. Kang, yang sudah duduk di bangku kebesarannya. Tidak ada lagi keramah-tamahan yang Myung Soo tunjukkan pada bos barunya ini. Walaupun tidak banyak bicara, tatapan tajam Myung Soo saat ini cukup mewakili kemarahannya.
“Kemarin merupakan pertandingan terburuk dari anak buahku yang pernah aku lihat,” ucap Mr. Kang dengan suara berat. “Sangat mengecewakan.”
Myung Soo masih diam dengan kepala setengah tertunduk.
“Choi Minho bukan petarung hebat,” sambung Mr. Kang mulai membawa nama lawan yang berhasil menjatuhkan Myung Soo kemarin. “Bahkan kau pernah mengalahkannya. Lalu ada apa denganmu saat pertandingan kemarin?” Mr. Kang mulai beranjak dari bangkunya menuju meja wine. “Kalau kau pernah mendengar cerita tentang kekejamanku, apa yang kau dengar itu adalah kebenaran. Aku benci melihat anak buahku tersungkur sejajar dengan kaki lawannya. Merekalah yang pantas meletakkan kepala mereka sejajar dengan kakimu. Dilain hal, kau sudah berhasil mempermalukanku. Mungkin mereka yang sudah mengenalku sedang menimbang-nimbang saat ini bagaimana cara aku membalas kekalahanmu. Dengar, Kim Myung Soo…aku pernah mematahkan rusuk salah satu anak buahku hanya karena dia kalah di pertandingan….”
Tubuh Myung Soo menegang kaku. Dan dia masih bertahan untuk tidak bicara.
“Kau pasti tahu tata cara bekerja sama denganku…” sambung Mr. Kang. “Kau menang, kau kaya. Kau kalah, kau mati.” Mr. Kang mulai mendekati Myung Soo dengan gelas wine di tangan kanannya, membuat atmosfir ketegangan di sekitar Myung Soo meningkat. “Tetapi aku tidak akan melakukan hal itu padamu. Kau tahu kenapa?”
Myung Soo mendongak, memberanikan diri menatap wajah Mr. Kang.
“Karena aku lebih suka menjadikanmu sebagai babuku,” ucap Mr. Kang. Myung Soo tidak begitu kaget mendengar ucapan Mr. Kang, paling tidak nyawanya masih selamat saat ini. “Babu disini memiliki arti yang berbeda. Kau tidak akan mencuci atau memasak untukku. Kau tetap petinjuku. Hanya saja…mulai saat ini kau harus mengikuti semua apa yang aku katakan dan perintahkan. Bayangkan saja kata-kata penolakan darimu adalah tiket kematianmu. Karena sejujurnya aku bukan tipikal orang yang mudah menerima penolakan dari orang lain. Nyawamu ada di tanganku, Kim Myung Soo.”
Lima belas menit tadi adalah hal terlama yang pernah Myung Soo rasakan. Sekeluarnya dari ruangan Mr. Kang, Sunggyu langsung memberondonginya dengan pertanyaan.
“Mwo?” Mata Sunggyu terbelalak lebar. “Kau jadi babunya? Paling tidak itu lebih baik daripada mati.”
“Aku harus mengikuti semua ucapan dan perintahnya mulai detik ini,” ucap Myung Soo dengan dahi berkerut.
“Lalu apa kau sudah bertanya padanya soal Gongchul Hyung? Atau rencana mereka terhadap ibumu?” tanya Sunggyu lagi.
“Aku tidak mungkin melakukannya disaat kemarahan Mr. Kang sedang memuncak,” jawab Myung Soo. “Itu justru akan semakin membahayakan nyawaku atau nyawa ibuku.”
“Rumit,” desah Sunggyu seraya menjambak rambutnya sendiri. Dan pada saat yang bersamaan, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang berlari diseberang jalan, seperti sedang dikejar seorang pengendara motor besar. “M-Myung Soo-ah, itu Park Jiyeon!”
Mata Myung Soo pun menangkap hal yang sama. Menyadari Jiyeon sedang dalam bahaya, Myung Soo langsung berlari dan menyeberang jalan untuk menyelamatkan sosok wanita yang sudah lama tidak diajaknya bicara itu.
“Kemana dia?” gumam Myung Soo. Tidak ada jejak Jiyeon maupun si pengendara motor. Dan tiba-tiba saja seseorang memukul kepalanya dari belakang. Myung Soo terjatuh seraya memegang kepalanya yang berdenyut kesakitan. Dan ketika dia menoleh, didapatinya sosok Tao sedang menyeringai ke arahnya.
“Annyeong, loverboy,” sapa Tao dengan wajah menyebalkan khasnya. “Sedang mencoba menyelamatkan kekasihmu, Park Jiyeon?”
“Jadi kau yang mengejarnya?” tanya Myung Soo seraya berusaha berdiri.
“Waeyo? Kau pikir aku akan menyakitinya?” tanya Tao tanpa menjawab pertanyaan Myung Soo. “Bukankah kau yang sudah berhasil menyakitinya? Berciuman dengan Bae Suzy, artis ternama yang sedang menjalin hubungan asmara dengan Huang Zitao.”
“Suzy yang menciumku lebih dulu,” ucap Myung Soo, membuat darah Tao otomatis mendidih. Tanpa banyak basa basi, Tao langsung melayang pukulan pertamanya yang berhasil melukai sudut bibir Myung Soo.
“Setelah kau berhasil mencicipi bibirnya, beraninya kau berkata seperti itu?” teriak Tao murka. Pukulan kedua pun menyambut rahang Myung Soo. “Bajingan!” Ditariknya kerah baju Myung Soo dengan kasar. “Bae Suzy adalah wanitaku. Dan kau dengan tidak tahu dirinya mau mencoba mengambilnya dariku? Micheosseo!” Pukulan ketiga nyaris mematahkan hidungnya. Myung Soo terkapar di aspal tak berdaya.
Tao meludah nyaris dekat wajah Myung Soo.
“Ingat, tidak akan ada jalan bagimu untuk bersama dengan Park Jiyeon,” ucap Tao. “Ayahku mempercayakanku untuk menjaganya mulai detik ini. Dan kau tahu seperti apa diriku ini, Kim Myung Soo. Aku akan memegang amanah dari ayahku dengan sangat baik. Paling tidak aku punya alasan sekarang untuk menghajarmu lebih sering daripada biasanya.” Sebelum Tao pergi, dia sempat berkata lagi, “Kau mungkin sudah berhasil mencium Suzy, tetapi kau tidak akan pernah memilikinya!”
Beberapa saat setelah Tao pergi, tiba-tiba saja muncul sosok wanita berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.
“Gwaenchanayo?” Wajah Park Jiyeon kini hadir dihadapan Myung Soo. Dibantunya Myung Soo berdiri sebelum dipapahnya duduk di bangku pinggir jalan. “A-aku carikan kau obat merah dan perban…” Belum sempat Jiyeon pergi, Myung Soo sudah berhasil menahan tangannya lebih dulu.
“Aku tidak butuh obat,” ucap Myung Soo tanpa mengalihkan pandangan matanya sedikitpun dari Jiyeon. Dia sadar bahwa dirinya sangat merindukan sosok Park Jiyeon. “Aku senang kau mau menemuiku lagi.”
Jiyeon terdiam dengan kepala setengah tertunduk. Dan tiba-tiba saja kedua tangan Myung Soo menggenggam erat kedua tangannya.
“Aku memang berciuman dengan Suzy, tetapi aku tidak mencintainya,” ucap Myung Soo yang keluar begitu saja tanpa ada yang menahan, membuat Jiyeon otomatis terkejut di tempat. “Dia cantik dan terkenal. Tetapi bukan dia yang aku suka.” Myung Soo menundukkan kepalanya sesaat sebelum kembali berkata, “Aku tahu aku sudah menyakitimu, Park Jiyeon. Tolong maafkan aku. Dan berhenti bersikap seakan-akan kau tidak pernah mengenalku.”
Tanpa berkata apa-apa, Jiyeon tiba-tiba memeluk Myung Soo. Rasa pelukan itu diterima Myung Soo sebagai rasa rindu. Mereka memang saling merindukan satu sama lain.
“Aku mencintaimu,” ucap Jiyeon terdengar seperti isakan di telinga Myung Soo.
Myung Soo pun tersenyum bahagia seraya membalas, “Rasanya aku juga merasakan hal yang sama padamu.”
**
“Kenapa kita tidak ke tempat latihanmu?” tanya Jiyeon bingung disaat Myung Soo mengajaknya ke rumah Sunggyu.
“Tenang saja, aku hanya tinggal bersama Halmoni yang pendengarannya sudah mulai berkurang,” ucap Sunggyu seraya membuka gerbang rumahnya yang tidak begitu besar.
“Aku akan ceritakan banyak hal nanti di dalam,” jawab Myung Soo seraya mengikuti Sunggyu yang naik ke rooftop rumahnya.
“Kalian bisa beristirahat disini, Halmoni tidak pernah naik ke atas dan dia tidak akan tahu kalian ada disini,” ucap Sunggyu. “Aku akan kembali dengan beberapa soju dan obat merah untukmu.”
Maka pergilah Sunggyu sementara Jiyeon dan Myung Soo duduk di bangku bambu panjang.
“Aku sudah kembali ke rumah,” ucap Jiyeon memulai percakapan.
“Waeyo?” tanya Myung Soo. “Mereka berhasil menangkapmu?”
“Aku yang menyerahkan diriku,” jawab Jiyeon. “Setelah kupikir-pikir, untuk apa aku hidup kucing-kucingan seperti ini. Aku pun sudah tidak mempermasalahkan pasal aku ini bukan anak mereka. Lagipula, ayahku hanya menuntutku untuk tetap mengikuti aturannya.”
Myung Soo pun mengangguk seraya berkata, “Jika itu baik untukmu, tidak masalah.”
“Kau yang sedang dalam masalah, Myung Soo-ah,” ucap Jiyeon. “Kau kalah saat pertandingan kemarin.”
“Itulah yang ingin aku ceritakan padamu,” ucap Myung Soo disertai helaan nafas berat. “Sepertinya ada yang mengkhianatiku disini.”
“M-mwo?” tanya Jiyeon dengan dahi berkerut bingung.
“Mereka sengaja membuatku kalah,” sambung Myung Soo. “Mr. Kang sengaja membuatku kalah. Dan yang tidak bisa aku terima, Gongchul-Hyung ada di balik semua ini. Dia bekerja sama dengan Mr. Kang untuk membuatku kalah.”
Jiyeon benar-benar terkejut mendengarnya.
“K-kenapa dia melakukan hal itu? Dan bukankah Mr. Kang sangat membanggakanmu?” tanya Jiyeon tidak mengerti.
Myung Soo pun menggeleng seraya menjawab, “Aku tidak mengerti. Rasanya ada begitu banyak rahasia yang tidak aku ketahui. Dan ibuku berjanji dia akan menceritakan beberapa rahasia yang selama ini berhasil dia sembunyikan dariku tepat saat hari ulang tahunku satu minggu kedepan,” jawab Myung Soo. “Aku harus mengetahuinya. Maka dari itu, hari ini aku berencana untuk membawa pergi ibuku. Mr. Kang dan Gongchul-Hyung berencana mengasingkan ibuku, entah untuk tujuan apa.”
“Mengasingkan ibumu?” Jiyeon semakin dibuat tak mengerti oleh masalah Myung Soo.
“Kau mau bantu aku?” tanya Myung Soo pada Jiyeon.
“Tentu saja,” jawab Jiyeon cepat. “Aku akan membantumu apa saja.”
“Setelah aku berhasil menyembunyikan ibuku, kuharap kau mau menjaga ibuku,” ucap Myung Soo. “Mungkin aku akan pakai rooftop rumah Sunggyu ini sebagai tempat persembunyian ibuku.”
“Tentu saja, aku akan menjaga ibumu,” ucap Jiyeon menyanggupi.
“Mr. Kang dan Gongchul tidak boleh tahu dimana keberadaan ibuku,” gumam Myung Soo. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh ibuku.”
**
Tepat jam tujuh malam, Myung Soo bersama dengan Jiyeon dan Sunggyu pergi ke rumah Kim untuk menjemput Oh Hani. Oh Hani yang kala itu sedang sibuk melipat pakaian otomatis terkejut dengan niat mereka.
“Eomma, aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman,” ucap Myung Soo seraya menarik tangan Oh Hani yang tertahan.
“M-Myung Soo-ah, dengarkan aku dulu…” ucap Oh Hani seperti ada yang hendak ia beritahu.
“Sudah tidak ada waktu lagi, Eomma,” ucap Myung Soo. “Mr. Kang berencana akan mengasingkanmu esok pagi. Aku mencuri dengar semuanya!”
Akhirnya dengan terpaksa, Oh Hani mau ikut bersama mereka ke rumah Sunggyu. Selama di perjalanan, Oh Hani terlihat sangat gelisah, membuat perhatian Jiyeon otomatis teralih ke arahnya.
“Kau akan baik-baik saja, Omoni,” ucap Jiyeon seraya tersenyum pada Oh Hani.
Disaat seperti ini, Oh Hani masih juga tak mampu menahan rasa haru mendengar Jiyeon memanggilnya dengan sebutan Omoni. Hanya saja perasaan harunya dibuyarkan oleh suara Sunggyu yang mengatakan bahwa mereka sudah tiba di rumahnya.
“Omoni, aku akan menjagamu selama Omoni bersembunyi disini,” ucap Jiyeon seraya membantu membawakan tas pakaian milik Oh Hani.
“Jiyeon-ah, gumawoyo,” ucap Oh Hani seraya memeluk Jiyeon dengan erat.
“Gwaenchanayo, Omoni,” ucap Jiyeon seraya mengelus punggung Oh Hani.
Dan malam itu merupakan malam pertama Oh Hani tidur bersama dengan Jiyeon.
“Kau yakin mau menginap disini?” tanya Myung Soo seraya menatap sang ibu yang sudah tertidur di antara mereka.
Jiyeon mengangguk seraya berkata, “Aku sudah menghubungi ibuku. Aku bilang aku menginap di rumah Youngji, teman kampusku, dengan alasan mengerjakan tugas.”
“Kau tidak lagi menggunakan Eunji sebagai alasan kebohonganmu?” tanya Myung Soo disertai tawa pelan.
“Mereka sudah tahu banyak tentang Eunji,” jawab Jiyeon. “Bahkan mungkin ayahku bisa saja langsung mendatangi rumah Eunji untuk mengecek apakah benar aku berada disana.”
“Mianhae, Jiyeon-ah,” ucap Myung Soo. “Karenaku, kau jadi berbohong pada orangtuamu.”
“Gwaenchanayo, aku senang bisa menjaga ibumu disini,” ucap Jiyeon yang tiba-tiba saja merasa ingin buang air kecil.”
“Biar kutemani,” ucap Myung Soo seraya berjalan bersama mengendap-endap ke lantai bawah rumah Sunggyu. Sang nenek sedang terlelap di kamarnya sementara Sunggyu terlihat sedang tertidur di atas sofa dengan wajah super jelek.
“Tidak heran jika belum ada wanita yang mau dengannya,” gumam Myung Soo membuat Jiyeon mau tak mau terkikik sesaat.
Setelah selesai, mereka pun kembali dan tiba-tiba saja Myung Soo menahan tangan Jiyeon.
“Mau mengobrol sebentar?” tanya Myung Soo.
Jiyeon pun mengangguk setuju.
“Aku tidak suka melihat Minho saat pertandingan kemarin,” ucap Myung Soo. “Seakan-akan dia mencoba memanasiku sebelum berhasil mengalahkanku. Tetapi setelah aku menguping pembicaraan Mr. Kang dan Gongchul-Hyung, kini aku tahu bahwa mereka sengaja memasukkan obat yang dapat membuatku berhalusinasi. Dan itulah yang berhasil membuatku kalah.”
“Kau harus lebih berhati-hati dengan mereka mulai detik ini,” ucap Jiyeon mencoba memperingati.
“Dan aku juga harus lebih berhati-hati dengan Minho mulai detik ini,” ucap Myung Soo seraya mendelik dengan tatapan sedikit nakal ke arah Jiyeon. “Karena aku telah melihat ambisinya untuk memilikimu. Dan aku tidak suka melihatnya.”
“Kau…cemburu?” tanya Jiyeon perlahan.
“Geurae,” jawab Myung Soo membuat kebahagiaan Jiyeon menggelembung besar di hatinya. “Aku cemburu disaat aku harus melihat kalian berdua bersama. Rasanya…aku ingin menjauhkan dirimu darinya.” Myung Soo terkekeh sendiri menyadari sikapnya yang kekanak-kanakan.
Tiba-tiba saja Jiyeon mendaratkan kecupan lembut di pipi Myung Soo, yang tidak sekaget biasanya. Perlahan tetapi pasti, Myung Soo mendekatkan kepalanya untuk membalas ciuman Jiyeon. Hanya saja incarannya bukan di pipi, melainkan di bibirnya.
Ini ciuman kedua Myung Soo setelah Suzy berhasil merebut yang pertama. Tetapi bagi Jiyeon, ini adalah ciuman pertamanya. Dengan seorang petinju berkharisma yang mampu menggetarkan hatinya setiap saat.
**
Keesokan paginya, Jiyeon menemukan dirinya tengah sendirian di dalam kamar. Dan tak lama kemudian Myung Soo masuk ke dalam kamar seraya memberikan selembar kertas berupa surat yang ditulis Oh Hani untuk mereka.
“Anakku, maafkan ibumu ini. Ibu tidak bisa berada disini. Aku tahu maksud kalian baik. Kau ingin menjagaku, anakku. Hanya saja, aku perlu melakukan ini. Seperti yang aku bilang, ada begitu banyak rahasia yang tidak kau tahu. Kau tidak perlu khawatir, Myung Soo-ah. Kita akan bertemu tepat saat hari ulang tahunmu. Aku akan datang dan aku akan memberitahumu semuanya. Sekarang aku perlu pergi. Aku akan bersembunyi di tempat yang aman. Jaga dirimu baik-baik, anakku. Dan jaga Park Jiyeon, untukku.”
“Ibuku pergi pagi-pagi sekali,” ucap Myung Soo dengan wajah sangat khawatir. “Dan aku tidak tahu dimana keberadaannya sekarang.”
“Myung Soo-ah, ibumu pasti berada di tempat yang aman saat ini,” ucap Jiyeon seraya memeluk Myung Soo. “Kau tidak perlu khawatir.”
“Aku hanya takut Mr. Kang melakukan sesuatu pada ibuku,” ucap Myung Soo seraya membalas erat pelukan Jiyeon. “Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Hanya dia…”
“Kau punya aku, Myung Soo-ah,” ucap Jiyeon mengingatkan. “Dan aku bersedia membantumu, menemanimu dalam keadaan apapun.”
**
Dan untuk seminggu kedepan sampai hari ulang tahun Myung Soo tiba, petinju satu ini berusaha menahan amarahnya dengan menjalankan setiap kemauan yang Mr. Kang perintahkan padanya. Sementara Gongchul, sudah lama wujudnya tidak tampak di tempat latihan. Entah kemana dia pergi. Bahkan karena kepergiannya yang mendadak, Sungjae beserta anak didik Gongchul yang lain sempat terlantar. Mr. Kang pun melarang Myung Soo untuk mengajar mereka selama Gongchul menghilang.
Berhubungan asmara dengan Jiyeon ternyata cukup membantu perasaan buruk Myung Soo. Setiap ingin marah, setelah melihat wajah Jiyeon, rasa marah itu seperti lenyap entah kemana. Kehadiran Jiyeon bagai obat bagi Myung Soo. Jiyeon yang tahu bahwa Tao mendapat tugas dari ayahnya untuk memata-matainya, mencoba mengatur rencana untuk mengelabui saudara angkatnya itu. Jadilah Jiyeon selalu berhasil kabur dari Tao dan sebelum jam tujuh malam Jiyeon sudah tiba di rumah dengan penampilan seakan-akan baru dari kampus, dari rumah teman atau dari tempat les.
Suzy pun mendadak menghilang seperti tidak mau menemui Myung Soo. Entah apa yang terjadi dengannya. Yang Jiyeon dengar dari Tao saat sedang mengobrol dengan ayahnya, Suzy sedang mencoba kabur pergi keluar Korea karena sepertinya sang ayah sudah mulai mengatur acara perjodohannya dengan Minho. Dan rasanya berita itu benar karena Eunji mengatakan bahwa Minho sedang stres berat berusaha membatalkan perjodohan itu.
Semuanya terjadi begitu cepat dalam seminggu ini. Tetapi diantara semua kejadian itu, yang Myung Soo pikirkan hanya hari dimana dia dapat bertemu dengan ibunya lagi yang kini entah berada dimana.
“Myung Soo-ah, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Sunggyu di tempat latihan Mr. Kang.
“Aku ingin mendengar semua rahasia tentang ayahku dari ibuku besok,” ucap Myung Soo seraya meneguk botol sojunya.
“Jadi pertemuannya esok hari?” tanya Sunggyu.
Myung Soo mengangguk.
“Ajak aku, mungkin aku bisa bantu kau jaga-jaga sementara kau berbicara dengan ibumu,” ucap Sunggyu meminta.
“Tenang saja, aku akan ajak kau dan Jiyeon,” ucap Myung Soo. “Setelah menemui ibuku, kita akan makan bersama-sama. Aku juga perlu merayakan hari ulang tahunku.”
“Tentu saja dan aku akan makan banyak,” ucap Sunggyu begitu bersemangat. “Ah, bolehkah aku mengundang Eunji? Kemarin aku melihatnya keluar dari pub dalam keadaan mabuk. Gadis bodoh itu selalu terlihat konyol dimanapun dia berada. Maka dari itu aku mengantarnya pulang. Dan kau tahu? Entah Cupid darimana yang sepertinya berhasil menancapkan panah cintaku padanya,” jelas Sunggyu dengan wajah super menjijikan. “Wajahnya ketika tidur benar-benar menggemaskan. Yang membuatku bingung, sudah lama aku berteman dengannya, kenapa baru sekarang aku merasa bahwa dia cantik?”
“Pabbo,” ucap Myung Soo disertai tawa. “Eunji mungkin tidak akan merespon perasaanmu dengan baik. Tetapi kau patut mencobanya. Biar bagaimana pun, kau perlu menemukan pacar yang tepat untukmu. Jangan hobimu mengurusi masalah orang lain saja, harus ada orang lain yang perlu mengurusimu.”
“Yaa! Aku sedang tidak berencana mencari calon istri,” bantah Sunggyu. “Perasaan sukaku padanya juga terjadi begitu saja.”
**
Ditempat persembunyian Oh Hani…
Oh Hani membuka kotak penyimpanannya yang berisi foto kedua anak kembarnya sewaktu masih bayi.
“Kau harus tahu, Myung Soo-ah…” ucap Oh Hani bersamaan dengan bulir-bulir air mata yang menetes ke pipinya. “Dan kau, Park Jiyeon. Kalian adalah anak-anakku. Bagaimana pun kalian harus tahu dan Na Ran ataupun Jin Hee tidak bisa mencegahnya lagi. Aku tidak perduli jika aku harus melanggar perjanjian yang sudah di buat. Jin Hee pun sudah melanggarnya dari awal. Dia sengaja mengirim Gaza agar aku dan Myung Soo hidup sengsara.”
Tak lama kemudian muncul sosok laki-laki yang masuk ke dalam rumah tempat persembunyiannya.
“Kau akan memberitahunya?” tanya si laki-laki pada Oh Hani.
Oh Hani mengangguk seraya menjawab, “Setelah aku tahu darimu tentang semua kebenaran ini, kurasa aku harus memberitahu Myung Soo. Paling tidak, dia tahu bahwa dia memiliki saudara yang selama ini hilang.”
“Kita akan selesaikan semua ini dengan cepat,” ucap si laki-laki seraya menepuk pelan pundak Oh Hani. “Dan percayalah, aku akan membantumu. Kalian berdua akan selamat. Park Jiyeon pun akan selamat karena dia juga anakmu. Itu janjiku, janji yang sudah lama aku ucapkan pada mendiang suamimu, Kim Jang Min.”
**
Tepat jam dua belas malam lewat dua detik, Myung Soo mendapat pesan singkat dari sang kekasih, Park Jiyeon…
“Saengil chukha hamnida, petinju tampanku,”
Myung Soo tersenyum membacanya. Dan tanpa banyak berpikir, Myung Soo langsung menghubungi ponsel Jiyeon.
“Aku akan bertemu Eomma pagi ini,” ucap Myung Soo. “Kuharap kau mau ikut denganku. Sunggyu pun akan ikut bersama dengan Eunji. Kita akan merayakan ulang tahunku.”
“Tentu aku akan datang,” ucap Jiyeon terdengar begitu bersemangat.
“Dan nanti, aku akan perkenalkan kau sebagai kekasihku di hadapan Eomma,” ucap Myung Soo yang tidak tahu bahwa wajah Jiyeon sudah sangat merah. “Ini pertama kalinya aku memperkenalkan seorang wanita sebagai kekasihku dihadapan Eomma.”
“Aku akan menjadi kekasih yang sangat baik untukmu, Myung Soo-ah,” ucap Jiyeon yang rasa bahagianya sulit diukur saat ini.
“Baiklah, sampai ketemu nanti pagi jam sembilan,” ucap Myung Soo sebelum mengakhiri sambungan.
**
Tepat jam delapan pagi, Jiyeon dan Eunji sudah dalam perjalanan menuju toko hadiah dan toko kue sebelum mereka berangkat bersama Myung Soo untuk bertemu Oh Hani. Sementara Eunji sedang sibuk memilih kue, Jiyeon pergi ke toko hadiah di sebelahnya.
“Jadi hadiah seperti apa yang pantas untuk petinju sepertinya?” gumam Jiyeon seraya menyusuri rak demi rak. Dan tepat saat dia tiba di rak paling tinggi, dia melihat patung petinju dengan quote di bawah kakinya yang bertuliskan, “Achieve your dreams, Fighters!” Akhirnya Jiyeon putuskan untuk membeli patung itu. Sementara si patung sedang dibungkus oleh pelayan toko, Jiyeon kembali berkeliling untuk melihat benda-benda lucu lainnya.
Tiba-tiba ada seseorang menarik dirinya masuk ke toko lebih dalam ke tempat yang tertutup dan jauh dari pandangan etalase kaca toko. Saat Jiyeon menoleh, didapatinya Minho yang sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya.
“Minho-ah…” ucap Jiyeon.
“Mianhae, aku lihat ada Tao di luar sedang menunggu mobil Eunji,” ucap Minho menjelaskan. “Kurasa Tao berpikir kau sedang bersama dengan Eunji saat ini. Maka dari itu, sebelum Tao memergokimu disini, aku berusaha menyelamatkanmu lebih dulu.”
“G-gumawo,” ucap Jiyeon agak canggung. “Minho-ah, mianhae atas batalnya rencana kita waktu…”
“Aku sudah lupa soal itu,” sela Minho berusaha terlihat baik-baik saja.
“Aku dengar kedua orangtuamu mulai melaksanakan perjodohanmu dengan Suzy,” ucap Jiyeon ingat pasal itu. “Apa itu yang membuatmu tiba-tiba menghilang?”
Lama Minho tidak menjawab sampai akhirnya dia mengangguk.
“Aku perlu membatalkan perjodohan itu,” ucap Minho. “Aku tidak mencintai artis itu. A-aku…aku mencintaimu, Jiyeon-ah…”
Jiyeon tak bisa menyembunyikan rasa terkejut bercampur rasa bersalahnya. Tetapi pengakuan cinta Minho adalah salah saat ini, karena Jiyeon tidak bisa membalasnya.
“Mianhae, Minho-ah…” Perlahan tetapi pasti Jiyeon mulai menemukan suaranya untuk menjawab pengakuan cinta Minho padanya. “Aku sudah punya kekasih.”
Bukan main terkejutnya Minho mendengar hal itu. Belum sempat Minho bertanya siapa orangnya, kartu ucapan ulang tahun yang kini berada di tangan Jiyeon sudah menjawab pertanyannya. Nama Kim Myung Soo terpampang jelas di dalam kartu itu.
“Kim Myung Soo?” tanya Minho agak takut-takut. “Kim Myung Soo orangnya?”
Jiyeon mengangguk kaku.
“D-dia sudah menyakitimu…” ucap Minho cepat. Terlihat sekali dia tidak bisa menerimanya. “Bagaimana bisa kau masih menerimanya…”
“Aku mencintainya,” jawab Jiyeon dengan mudahnya, membuat Minho tercengang tak mampu bicara. “Dan semua itu hanya salah paham. Suzy yang menciumnya lebih dulu.”
Minho menggeleng seraya bergumam,”Sulit mempercayainya. A-apa yang Myung Soo miliki sehingga kau begitu menyukainya?”
“Minho-ah, dari awal pertemuan kita, aku sudah menganggapmu sebagai orang yang paling pantas untuk dijadikan sahabat,” ucap Jiyeon berusaha memberikan pengertian. “Tidak lebih.”
Mendengar ucapan Jiyeon justru membuat hati Minho semakin didera rasa sakit.
“A-aku…tidak tahu harus berkata apa lagi,” ucap Minho yang berniat pergi meninggalkan toko. “Dan memang sebaiknya aku pergi sekarang. Tao sudah pergi kurasa. Dan kau selamat darinya.”
Maka pergilah Minho, meninggalkan perasaan bersalah begitu besar di hati Jiyeon. Setelah selesai membeli hadiah, Jiyeon pun keluar dari toko dengan wajah murung. Eunji yang sudah lebih dulu di dalam mobil, langsung menyuruh Jiyeon masuk.
“Tadi ada Tao disini!” ucap Eunji menggebu-gebu. “Dia mencarimu, memastikan bahwa kau tidak bersama denganku. Dan aku bilang kalau dia punya otak seharusnya dia tahu bahwa hari ini jadwalmu bukan ke kampus bersamaku, melainkan ke tempat les pianomu.”
Merasa tidak direspon dengan baik, Eunji kembali berceloteh.
“Wae irae?” tanya Eunji dengan dahi berkerut bingung.
“Aku bertemu Minho di dalam,” ucap Jiyeon menjawab.
“Jinjiha?” Eunji terlihat sangat terkejut. “Sudah lama aku tidak melihatnya sejak dia bilang dia mau mengurusi pembatalan acara perjodohannya yang konyol itu.”
“Dia terlihat marah dan kecewa saat tahu bahwa aku sudah menjadi kekasih Myung Soo,” ucap Jiyeon lagi.
“Tentu saja dia kecewa,” ucap Eunji menghela nafas. “Aku pun juga terkejut mendengarnya sewaktu kau memberitahuku. Bagaimanapun Minho adalah pria yang baik yang kurasa lebih cocok bersama denganmu. Kim Myung Soo, dia juga pria baik…hanya saja kehidupannya penuh masalah. Gaza, belum lagi Mr. Kang. Hidupmu pasti tidak akan tenang jika kau bersama dengan pria seperti Myung Soo.”
“Aku tidak perduli,” jawab Jiyeon. “Bahkan jika aku mampu aku akan membantu masalahnya.”
“Beginilah keadaannya kalau cinta sudah bicara,” desah Eunji berusaha memaklumi keadaan Jiyeon saat ini.
**
Myung Soo dan Sunggyu bersama dengan Jiyeon dan Eunji tengah dalam perjalanan menuju sebuah tempat yang sudah ditentukan Oh Hani untuk acara pertemuan mereka. Sang ibu kala itu terlihat baik-baik saja tanpa bekas penyiksaan sedikitpun.
“Gwaenchana?” tanya Myung Soo saat bertemu sang ibu.
“Kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja,” ucap Oh Hani seraya memeluk erat sang anak. “Selamat hari ulang tahun, anakku…”
“Gumawo, Eomma,” ucap Myung Soo seraya mengecup dahi sang ibu. “Lihat, aku sudah bawa beberapa teman untuk merayakan hari ulang tahunku bersama denganmu.”
Bukan main terkejutnya Oh Hani saat Jiyeon pun hadir diantara mereka. Yang Oh Hani inginkan hanyalah berdua bersama Myung Soo di saat dirinya mulai menceritakan rahasia-rahasia itu, tetapi sepertinya keadaan berkata lain.
“Kalau begitu kita rayakan dulu ulang tahunmu,” ucap Oh Hani tiba-tiba.
“Kau tidak mau bercerita dulu, Eomma?” tanya Myung Soo yang sudah tidak sabar. “Aku menganggapnya sebagai hadiah ulang tahunku darimu.”
Betapa mirisnya perasaan Oh Hani, Myung Soo menganggap rahasia yang sebentar lagi akan diketahuinya sebagai hadiah ulang tahunnya. Andai Myung Soo tahu, rahasia ini mungkin akan menjadi kepedihan untuknya.
“Kuemu tidak bisa menunggu,” ucap Oh Hani. “Aku janji akan bercerita setelah kita rayakan ulang tahunmu.”
“Baiklah,” ucap Myung Soo akhirnya.
Acara perayaan ulang tahun sederhana akhirnya dilangsungkan. Bisa dikatakan ada begitu banyak kebahagiaan pagi ini diantara semua kesedihan dan kepahitan yang Myung Soo rasakan selama ini. Salah satunya adalah kehadiran Jiyeon disisinya kembali dan bukan lagi sebagai teman, melainkan sebagai kekasih.
“Eomma, ada satu hal yang ingin aku beritahu padamu,” ucap Myung Soo disaat acara nyaris berakhir. Myung Soo pun saling bertukar pandang dengan Jiyeon. “Aku dan Jiyeon resmi menjadi sepasang kekasih sejak satu minggu yang lalu.”
Oh Hani terdiam, wajahnya membeku di tempat tanpa ekspresi apa-apa. Jelas bukan respon yang Myung Soo dan Jiyeon harapkan.
“A-aniyo…” ucap Oh Hani tiba-tiba, membuat semua yang ada disana, terutama Myung Soo dan Jiyeon terkejut bukan main.
“E-Eomma…” Myung Soo mencoba mencairkan suasana yang sempat menegang. “Waeyo, Eomma? Bukankah kau menyukai Jiyeon?”
“Aniyo!” ucap Oh Hani sekali lagi, kali ini dengan nada penekanan. Tiba-tiba Oh Hani pergi meninggalkan mereka, disusul Myung Soo dibelakangnya.
“Wae irae, Eomma?” tanya Myung Soo tidak mengerti.
Tiba-tiba air mata Oh Hani menetes, membuat kebingungan Myung Soo bertambah.
“Kenapa kau menangis?” tanya Myung Soo.
“Kau tidak boleh menjalin kasih dengan saudara kandungmu sendiri!” ucap Oh Hani akhirnya. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya kata-kata itu terucap di depan telinga Kim Myung Soo.
“E-Eomma…” ucap Myung Soo terbata dengan wajah membeku yang sama dengan Oh Hani tunjukkan beberapa menit yang lalu. “Apa kau sedang bercanda? Dihari ulang tahunku ini?”
“Inilah kebenaran yang ingin aku katakan padamu, Myung Soo-ah,” ucap Oh Hani tanpa rasa takut yang sudah bertahun-tahun ini biasa menghiasi relung hatinya. Oh Hani pun menunjukkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah foto lama yang selalu berusaha Oh Hani sembunyikan dari Myung Soo. “Ini kau dan saudara kembarmu. Saudara kembarmu yang dulu aku jual karena aku butuh uang! Park Jiyeon bayi kecilku yang tidak berdosa, yang harus menanggung derita karena jauh dari sisiku, ibu kandungnya.”
Seperti tersambar halilintar, Myung Soo mendengar jelas semua yang Oh Hani katakan. Kini jelas alasan mengapa Oh Hani begitu histeris bahkan sampai menangis disaat pertemuannya dengan Park Jiyeon. Tubuh Myung Soo seakan-akan disedot tenaganya sampai habis, menyisakan kakinya yang lemas yang tidak mampu menopang tubuhnya lebih lama lagi. Tak lama kemudian, air mata Myung Soo menetes jatuh kepipinya.
“Myung Soo-ah, maafkan ibumu ini,” isak Oh Hani. “Aku telah berdosa. Aku tidak pantas menjadi seorang ibu karena telah tega menjual anakku sendiri.”
Belum sempat Myung Soo membalas ucapan sang ibu, terdengar suara dari ujung sana. Park Jiyeon mendengar semuanya. Tubuhnya mematung dengan wajah pias.
“Jiyeon-ah…” gumam Myung Soo saat melihat wajah Jiyeon.
Tak lama kemudian Jiyeon berlari meninggalkan mereka sejauh mungkin.
To Be Continue