***
TASTY café menjadi semakin ramai ketika akhir pekan tiba seperti sekarang ini. Makin malam makin ramai. Pertunjukkan menyanyi live dan sajian menu khusus mampu mendongkrak pengunjung café di akhir pekan. Meski itu artinya para pegawai café harus bekerja ekstra, tapi mereka tidak merasa keberatan.
So-ryong dan Dae-ryong bergantian mengisi posisi kasir dan pelayan di meja utama, Min-rin sibuk bolak-balik kesana-kemari karena harus mengantar pesanan bersama Chin-ho, dan tangan Dan-bi seakan juga tidak pernah berhenti meracik kopi-kopi pesanan pelanggan. Kesibukan yang sudah sangat biasa bagi mereka. Juga pemandangan biasa bagi Woohyun namun merupakan pemandangan baru untuk Sung-gyu. Sung-gyu memang pernah datang ke TASTY café, tapi tidak saat weekend.
“O, Woohyun-ah! Sung-gyu–ya!” Min-rin berlari kecil menghampiri kedua sahabatnya itu. “Mwohae? Kau ingin tampil lagi, Woohyun?”
Woohyun tersenyum lebar, “Geureom! Aku kan, sudah jadi pengisi acara live singing di sini.”
“OK!” Min-rin membentuk isyarat ‘ok’ dengan telunjuk dan jempolnya. “Lalu apa Sung-gyu, ketua redaksi majalah sekolah kita ini juga ingin tampil?” goda Min-rin.
Wajah Sung-gyu langsung berubah masam. “Jika saja aku tidak kalah taruhan maka aku juga tidak akan tampil di sini.”
Min-rin menahan tawanya ketika melihat sisi pemalu Sung-gyu yang muncul. Min-rin tahu suara Sung-gyu tidak kalah keren dari suara Woohyun, tapi Sung-gyu tidak begitu suka memamerkan kemampuan bernyanyinya.
“Kalau begitu kalian akan tampil setelah dua lagu lagi. Silahkan menunggu sambil memesan sesuatu.” Min-rin menuntun kedua namja itu ke meja yang masih tersisa dan menyodorkan daftar menu.
Mata Woohyun menelisik daftar menu. “Aku hanya akan pesan Vietnamese Iced coffee. Tall size.” Min-rin segera menulisnya di memo kecil yang setia mengisi kantung celemek kerjanya.
“Aku…Café au Lait. Large size,” pesan Sung-gyu.
“Call! Silahkan tunggu pesanannya sembari bersiap-siap!”
Myungsoo memutar badannya kesamping untuk yang kesekian kalinya karena gelisah. Tidak ada yang berubah dari layar ponselnya sejak satu jam yang lalu. Hanya menunjukkan menit-menit yang berubah dan waktu yang semakin malam.
Pikiran-pikiran negatif mulai merasuki pikiran Myungsoo. Apa Min-rin tidak membaca pesannya? Apa Min-rin mengabaikan pesannya? Apa Min-rin sengaja mengabaikan pesannya setelah Min-rin membaca pesannya? Apa Min-rin hanya berbohong soal ‘hubungi aku kapan saja saat kau mau’? Apa Min-rin, apa Min-rin, apa Min-rin…? Semuanya menjadi racun yang menumpuk di pikiran Myungsoo dan menghalangi pikiran positifnya untuk mengambil alih.
Myungsoo membuka kotak keluarnya. Ada pesannya yang ditujukan pada Min-rin menempati tempat teratas. Myungsoo kemudian membuka pesannya sendiri dan membacanya ulang. Ia mengirim sebuah gambar siswa yang berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda kepada Min-rin diikuti pesannya untuk mengkritik fotonya.
Dan sampai sekarang Min-rin belum membalas pesannya itu.
“Aku harus beranikan diriku,” gumam Myungsoo pada dirinya sendiri. Sebelum ia sadar, jemarinya sudah bergerak menelepon Min-rin.
“Yeoboseyo.”
Myungsoo hampir terlonjak dari tidurnya ketika mendengar suara Min-rin di seberang.
“Eo, yeoboseyo. Min-rin? Ini aku, Kim Myungsoo,” jawab Myungsoo antusias.
“Eo, kau. Ada yang bisa kubantu?”
Tangan Myungsoo terangkat keatas dan bergerak-gerak sesuka hati. “Yahh, bukan masalah besar. Aku hanya ingin kau mengkritik fotoku yang kukirimkan padamu tadi. Kau mau, kan?”
“Oh, kau mengirimiku pesan?”
Tangan Myungsoo berhenti bergerak namun masih terangkat. “Eo, kau belum membacanya?”
“Aigo, mianhae. Aku belum sempat membacanya karena aku sedang sibuk bekerja. Tapi kau tidak usah khawatir. Kau akan menerima hasil kritikanku besok.”
“Ah, begitu.” Secuil rasa bersalah menyelip di hati Myungsoo. Kenapa ia sendiri tidak berpikir jika Min-rin―mungkin―sedang sibuk? Apa karena ia bisa bersantai di akhir pekan ini setelah bekerja hampir seminggu penuh? “Kau yakin tidak apa-apa?” tanya Myungsoo ragu.
“Untuk apa?”
Kini Myungsoo menjadikan tangannya tadi sebagai alas kepalanya. “Mengkritik fotoku. Jika kau sibuk kau bisa mengkritiknya kapan-kapan.”
“Aniya, aku janji besok. Aku tidak sibuk, kok! Jadi bukan masalah. Nal mideora.”
Senyum kemudian terukir di bibir Myungsoo. “Gumawo.”
“Bukan masalah. Ja, aku harus kembali bekerja dahulu. Annyeong. Dan maaf karena belum sempat membuka pesanmu.”
“Eo, gwaenchana. Annyeong.”
Myungsoo menutup telepon dengan senyum yang lebih mengembang.
“Eo, gwaenchana. Annyeong.”
Telepon sudah diakhiri oleh Myungsoo. Min-rin lalu mengecek ponselnya. Benar saja, pesan dari Myungsoo sudah masuk lebih dari sejam yang lalu. Min-rin berdecak pelan karena tidak menyadari pesan itu. Ia terlalu asyik bekerja.
“Hoi, siapa yang menyuruhmu bermain ponsel saat sedang bekerja?” So-ryong menatap Min-rin yang berdiri tepat di depannya dengan loose eye andalannya.
Min-rin segera melesakkan ponselnya kedalam celemek lagi. “Aku juga sudah selesai menerima panggilan.” Tidak lupa, Min-rin menjulurkan lidahnya pada So-ryong.
Sebelum So-ryong mengomelinya lebih lagi, Min-rin sudah berjalan menuju panggung kecil yang tingginya hanya sekitar tiga puluh senti dari lantai. Min-rin mengetuk-ngetuk microphone di atas panggung dua kali sebelum mulai berbicara, “Oke, penampilan selanjutnya adalah Nam Woohyun dan rekannya yang baru―pertama kalinya ia tampil di sini, Kim Sung-gyu. And now please welcome, Woohyun-i rang Sung-gyu, Sixty Seconds.”
Woohyun dan Sung-gyu berjalan naik keatas panggung dan mulai bernyanyi setelah Min-rin menyerahkan mic pada mereka berdua. Alunan suara yang merdu dan harmonis segera memenuhi TASTY café yang padat.
***
“Oke, sekarang adalah saatnya tugas mingguan untuk kalian sebagai bahan evaluasi mingguan minggu depan!” kata Howon di depan anak-anak klub fotografi lainnya. “Aku tidak akan memberi tugas foto jurnalistik untuk sementara ini karena aku dengar tugas yang kuberikan ini akan menjadi sangat sangat mudah untuk seorang calon fotografer terkenal di sini.” Howon memberi isyarat melalui matanya. Orang yang ia maksud adalah Dongwoo dan Min-rin.
Tawa anak-anak klub fotografi pun pecah. Mereka tidak akan bisa melupakan bagaiamana kerasnya protes Dongwoo saat Howon memberikan tugas foto jurnalistik itu minggu lalu karena Min-rin juga sering mengirim foto-foto jurnalistik ke beberapa media massa. Kadang disertai artikel yang ditulisnya sendiri.
“Yah, orang itu hanya sedikit kurang waras minggu lalu,” sahutan Hee-young semakin menambah tawa yang lain.
“Eo, maja. Aku saat itu mungkin sedang terkena PMS,” balas Dongwoo disertai leluconnya yang tidak begitu lucu tapi berhasil membuat tawa yang lain makin menjadi.
Howon sendiri berusaha menguasai tawanya. “Oke, fokus, fokus.” Hanya dengan sedikit perintah dari Howon, suasana mampu kembali kondusif. “Untuk tugas kali ini aku ingin kalian membuat sebuah foto still life. Ingat, foto still life tidak hanya memindahkan suatu objek mati ke dalam sebuah gambar secara asal. Karena jika kalian melakukannya seperti itu, itu disebut mendokumentasikan. Dan jangan lupa, kalian harus paham pesan apa yang ingin kalian sampaikan melalui foto ini.”
Beberapa anak berseru kecil karena merasa tertantang. Foto still life memang tergolong gampang-gampang-susah. Dalam foto ini tidak diperlukan teknik-teknik fotografi tingkat tinggi karena foto still life adalah menciptakan sebuah gambar dari benda mati dan membuatnya menjadi hal menarik dan tampak ‘hidup’.
Di situlah letak susahnya. Bagaimana caranya agar objek atau benda mati yang mereka foto nanti bisa tampil menarik dan ‘hidup’, komunikatif, ekspresif, dan dapat menyampaikan pesan yang ingin mereka sampaikan dengan jelas? Bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
“Apa semua sudah paham untuk tugas kali ini?” tanya Howon.
“Neeee!” sahut yang lain kompak.
“Ja, kalau begitu kalian bisa pulang sekarang.”
Tanpa banyak bicara, anak-anak segera mengemasi barang-barang mereka dan mulai meninggalkan ruang fotografi. Tapi Min-rin hanya duduk diam dan mengotak-atik kameranya. Hal ini menarik perhatian Howon yang sudah akan meninggalkan ruang klub fotografi.
Howon lalu berjalan dan duduk di samping Min-rin. “Mwohae? Jibe an-ga?”
Min-rin tersenyum menoleh sekilas pada Howon. “Aku akan pulang. Tapi nanti.”
“Wae?”
“Geunyang…aku masih ada urusan di sini. Kalau kau mau pergi, pergi saja. Bukankah hari ini kau ada jadwal perform dance? Kau harus bersiap, kan?”
Howon tersenyum. Dia tidak pernah menyangka jika Min-rin bisa mengingat detail-detail kecil dari jadwal hariannya. Howon lalu berdiri, “Baiklah kalau kau mengusirku. Sampai jumpa besok!”
“Eo!”
Myungsoo menatap ragu knop pintu klub fotografi yang kini dalam genggamannya. Ini adalah kali pertamanya masuk ke dalam ruang klub fotografi. Tidak, bukan itu yang membuatnya gugup. Yang membuatnya gugup tentu adalah Min-rin yang sudah pasti berada di dalam sana. Dan juga gagasan bahwa nantinya hanya akan ada dia dan Min-rin.
Tangan Myungsoo sejenak berpindah ke dadanya sendiri. “Joyonghae, joyonghae. Geokjeongma, eo?” gumam Myungsoo pada dirinya sendiri. Tidak begitu banyak membantu memang. Karena hatinya masih berdebar kencang.
“An…nyeonghaseyo.” Myungsoo melongokkan kepalanya ragu ke dalam ruangan.
“Oh, annyeong! Kau rupanya, masuklah!”
Hati Myungsoo mencelos lega ketika melihat Min-rin menyambutnya dengan senyuman lebar.
“Duduklah disini.” Min-rin menepuk-nepuk kursi kosong di samping kanannya. Myungsoo tersenyum kecil dan langsung duduk. “Tunggu sebentar, akan kuambilkan fotomu.” Baru sebentar Myungsoo duduk, Min-rin sudah langsung pamit dan masuk ke dalam sebuah ruangan di dalam ruangan klub fotografi.
Mata Myungsoo melihat-lihat sekeliling ruangan klub fotografi. Dinding ruangan klub fotografi penuh dengan foto-foto hasil karya anak-anak klub fotografi dalam berbagai ukuran. Tapi semua foto itu tidak dibingkai, melainkan hanya delaminating dan ditempelkan begitu saja di tembok. Ada juga kumpulan foto-foto berukuran kecil yang terlihat seperti mozaik kamera. Lalu di dekat pintu ruangan Min-rin masuk tadi terdapat sebuah rangka roda sepeda bekas yang dijadikan pigura.
Di sudut yang bisa dilihat dari seluruh penjuru ruangan, terdapat papan tulis raksasa yang dibuat dengan mengecat tembok dengan cat khusus papan tulis warna hitam-abu-abu. Ada tiga puluh satu kotak di sana yang ditulisi angka di sudut kanan atasnya, melambangkan jumlah hari dalam sebulan. Di atasnya terdapat tempat sisa untuk menulis bulan. Myungsoo bisa melihat beberapa agenda klub fotografi yang lumayan sibuk bulan ini.
“Mengagumi ruangan ini?”
Myungsoo menoleh ke samping. Tanpa ia sadari Min-rin sudah duduk di sampingnya. “Yaaahh, harus kuakui ruangan ini menakjubkan. Aku sangat suka ide figura dari roda bekas itu dan papan tulis raksasa di sana.”
Min-rin tersenyum. “Figura roda bekas itu ide dari Howon, dan papan tulis yang besar itu adalah ide Ha-eun. Ia terus mengoceh karena banyak dari kami yang…bisa dibilang pelupa. Jadi dia sengaja membuat papan tulis itu sebagai pengingat.”
Myungsoo mengangguk-angguk kecil. “Ide yang brilian.”
“Eo, gomapta. Ja, ini fotomu.” Min-rin menyodorkan foto Myungsoo yang sudah dicetak.
Mata Myungsoo mengerjap menatap hasil jepretannya. “Kau mencetaknya?”
“Eo, baru saja. Aku baru mengambilnya tadi di ruang cetak.”
“Apa…disini ada ruang gelap juga?” tanya Myungsoo penasaran. Tapi sedetik kemudian ia merasa bodoh. Ia sudah dua tahun lebih bersekolah di sini tapi dia tidak tahu ada ruangan seperti itu?
“Ada. Hanya saja sekarang hampir tidak pernah dipakai. Orang-orang mulai meninggalkan film dan beralih menggunakan microSD dalam memotret. Selain itu, chemical untuk mencetak film juga makin susah didapat. Tapi kami tetap merawat ruang gelap itu, harta karun kami,” jawab Min-rin.
Bibir Myungsoo membentuk ‘o’. Lagi-lagi ia merasa lega karena Min-rin tidak menertawakan kebodohannya tadi atau mengejeknya.
“Oke. Sekarang mari kita otopsi fotomu!”
“Otopsi?” mata kecil Myungsoo terbelalak.
“Eo, otopsi. Kita bedah fotomu, kita diskusikan kekurangan dan kelebihannya. Kita beri kritik dan masukan. Tidak jauh beda dengan bedah buku. Aku gunakan istilah ‘otopsi’ karena istilah ‘bedah’ sudah terlalu mainstream.” Min-rin terkikik di akhir kalimat.
Myungsoo tersenyum miring. “Ide yang cemerlang.”
Min-rin tidak membalas dan langsung bersiap untuk ‘mengotopsi’ foto Myungsoo.
“Oke. Jadi kau memfoto seorang siswa yang tengah berangkat ke sekolah menggunakan sepeda. Kau menggunakan teknik panning untuk menunjukkan jika sepeda ini bergerak dengan mengaburkan elemen di luar subyek―si siswa ini.” Min-rin mencermati foto Myungsoo.
“Majayo. Aku sedang berusaha memperdalam teknik panningku.”
“Nado. Aku bahkan harus mengakui jika teknik panning itu cukup susah.” Min-rin mengerling jahil pada Myungsoo. Ia dan Myungsoo lalu tertawa karena candaannya, “Terutama ketika subyeknya makin cepat bergerak. Teknik ini akan menghasilkan foto yang apik saat subyek tetap pada posisi frame yang sama saat memotret. Padahal kita tahu tidak semua subyek yang kita ingin potret, tetap bergerak posisi frame yang sama.”
Myungsoo membenahi duduknya. “Yah, aku juga sedikit kesulitan saat memotret siswa ini meski gerakan sepedanya tidak begitu cepat.”
Min-rin kembali mengamati foto Myungsoo. “Kurasa tanganmu tidak stabil saat memotretnya. Aku bisa melihat satu titik blur yang berbeda dengan lainnya. Kau tidak menggunakan tripod?”
Kepala Myungsoo menggeleng. Ia tertawa pelan ketika menyadarinya. “Aniyo. Saat itu aku baru akan berangkat ke sekolah dengan kamera di tanganku. Lalu ketika siswa itu lewat, aku segera memotretnya. Aku kira aku sudah cukup stabil untuk memegang kameraku, rupanya tidak, eoh?” Myungsoo menggerak-gerakkan tangannya untuk memperagakan ucapannya.
Min-rin tertawa. “Hal yang wajar. Ah ya, dan juga…entah kenapa aku merasa fotomu ini sedikit kurang…meledak? Ah, meledak? Bukan…kata apa yang pantas untuk menggambarkannya? Kurang…woah? Yah, semacam itu.”
Tawa Myungsoo pecah. “Oke, kau tidak perlu berbelit-belit karena aku sudah paham maksudmu. Percayalah.”
“Senang kau bisa menangkapnya. Hmm, kau tentu sudah tahu jika makin cepat shutter speed yang kita gunakan saat memotret, maka makin mudah untuk mendapatkan subyek yang tajam dan terfokus. Kurasa shutter speed yang kau gunakan terlampau lambat.”
“Jinjjayo?” Myungsoo menatap fotonya dengan teliti.
Tangan Min-rin menunjuk foto Myungsoo. “Saat melakukan teknik panning, kita memerlukan shutter speed lambat. Umumnya pada kecepatan satu per dua ratus atau lebih. Missal saat kau ingin memotret mobil di sirkuit balap kau bisa menggunakan kecepatan satu per dua ribu, tapi saat kau ingin memotret orang yang sedang jogging kau bisa menggunakan kecepatan satu per empat puluh.”
Myungsoo mengangguk-angguk paham.
“Nah, dari situ kita bisa menarik kesimpulan jika seberapa lambat shutter speed yang kita butuhkan itu tergantung pada kecepatan subyek bergerak. Fotomu ini kurasa menggunakan shutter speed yang terlampau lambat. Jadi kesan ‘bergerak’nya kurang terasa. Yah, panning needs a slow shutter speed, tapi juga jangan terlampau lambat. Disinilah insting fotografi kita dituntut untuk mengira-ia kecepatan shutter speednya. Gunakan sampai dirasa cukup lambat untuk menunjukkan pergerakan,” jelas Min-rin.
“Ah, geureokkuna. Sekarang aku paham. Semakin paham. Kamsahamnida, sonsaengnim.” Myungsoo membungkukkan sedikit badannya pada Min-rin.
Min-rin tertawa. “Aigo, ige mwoya? Kau tidak perlu menyangjungku seperti itu. Kau mau melihat kepalaku membesar esok harinya?”
Tawa Myungsoo kembali pecah. “Kurasa itu akan jadi hal yang menyenangkan.” Dan kini Myungsoo merasa sedikit kesusahan untuk berhenti tertawa.
“Ya, Kim Myungsoo,” panggil Min-rin.
“Ne?” respon Myungsoo yang masih tertawa kecil.
“Aku sudah sering melihat imagemu yang begitu serius dan dingin, tapi melihatmu tertawa seperti ini…harus kuakui, kau kelihatan lebih menawan daripada yang di majalah. Kau harus melunturkan image ‘cool city guy’mu itu,” puji Min-rin.
Dan hanya dengan deretan kalimat itu tawa Myungsoo berhenti. Digantikan oleh hatinya yang kembali berdebar tak keruan hingga Myungsoo berharap Min-rin tidak akan mendengar suara debaran hatinya itu.
***
“Selesaiiiiiiii!” Sungyeol menatap hasil pekerjaannya di laptop dengan puas. Tangannya yang pajang terangkat keatas dan otot-otot tangannya terasa rileks. Kepalanya digerakkan patah kanan-kiri hingga menimbulkan bunyi ‘kretek’ yang khas. “Aigo, enaknya.”
“Sudah selesai? Jadi edisi minggu ini siap terbit? Bagaimana dengan edisi eletroniknya?” Min-rin langsung mendekati Sungyeol dan memberodongi Sungyeol dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Sungyeol menyengir lebar. “Eo, sudah selesai dan siap terbit. Edisi elektronik sedniri hanya tinggal finishing.”
Tangan Min-rin lalu meraih mouse di samping laptop Sungyeol dan mulai menggerakkan kursornya. Senyum Min-rin melebar tiap kali ia melihat tiap halaman majalah sekolah yang selalu memuat foto-foto hasil karyanya.
“Ya Tuhan, aku sangat menyukai desainmu, bung!” Plak! Min-rin menepuk punggung Sungyeol keras. Terlalu keras.
“YA! Sakit tahu!” seru Sungyeol berang.
Sung-gyu lalu berjalan mendekati dua anak buahnya itu. “Keren. Seperti biasa. Aku yakin rubrik wawancara dengan Kim Myungsoo akan mengangkat angka penjualan untuk edisi kali ini.” Telunjuk Sung-gyu terarah pada artikel wawancara Ye-bin dan Myungsoo.
“Eo, walau seharusnya artikel ini muncul di edisi minggu kemarin,” sindir Min-rin.
“Katakan itu pada dirimu sendiri yang telat menyerahkan foto-fotonya,” balas Sung-gyu tidak kalah ketus.
Min-rin tidak bisa berkutik lagi. Yang ia mampu lakukan saat ini hanya menjulurkan lidahnya kearah Sung-gyu dan berpaling ke layar laptop lagi.
“Hei, Sung-gyu,” panggil Min-rin.
“Mwoya?” balas Sung-gyu sengau.
“Cemburu melihat ini atau tidak?” Min-rin tersenyum jahil seraya menunjuk foto Ye-bin dengan Myungsoo di artikel.
Rahang Sung-gyu seketika mengeras. Pose Ye-bin dan Myungsoo memang terlihat biasa saja. Duduk bersebelahan, selca dalam jarak yang dekat―dekat sekali bagi Sung-gyu―dan keduanya melakukan tanda ‘v’ dengan jari mereka. Tapi entah kenapa Sung-gyu tidak menyukainya. Wajahnya mulai memerah.
“Kenapa kau memakai foto itu, uh?” tegur Sung-gyu pada Sungyeol.
“Katamu aku bisa memilih foto yang kuanggap bagus. Jadi aku membawa semua foto untuk artikel ini dan menanyai anak-anak klub fotografi yang lain. Kata mereka foto ini yang terbaik. Bukankah kau memang menginginkan yang terbaik?” kekeh Sungyeol.
Sung-gyu diam tidak bisa membalas. Senjata makan tuan baginya. Dan sekarang rasanya dia akan mencekik Min-rin dan Sungyeol yang asyik tertawa-tawa sambil melakukan high-five.
Bel pulang meraung-raung dan segera, seruan girang para siswa segera menyeruak. Siswa-siswa segera berhamburan keluar seperti hewan liar yang baru saja dilepas dari tempat konservasi dan kembali ke habitatnya dan kembali ke keluarga mereka. Seketika jalanan sekitar sekolah dipenuhi oleh para siswa.
“Hoyyy! Kami pulang dulu!” pamit Dongwoo, Woohyun, dan Hee-young pada Min-rin, Howon, dan Ha-eun.
“Eo!” Howon melambaikan tangannya.
“Hati-hati!” pesan Ha-eun.
“Cepat pulang sana! Ibu kalian pasti sudah menunggu kalian! Makan yang banyak, jangan lupa minum susu, dan tidur yang cukup!” seru Min-rin.
“Jugeoshipeo?” seru Woohyun tak kalah keras sebelum naik ke bus.
Min-rin tertawa girang melihat reaksi sahabatnya itu.
Sebuah mobil sedan warna hitam berjalan mendekat kearah mereka dan berhenti tepat di depan mereka.
“Aku sudah dijemput. Aku pulang dulu,” pamit Ha-eun.
“Kenapa harus pamit? Cepat pergi sana!” goda Min-rin.
“Haish!” Ha-eun menjitak kepala Min-rin sebelum masuk ke dalam mobilnya yang kemudian melaju dalam kecepatan sedang.
“Aku ingin ke TASTY café,” celetuk Howon.
Mata Min-rin berbinar menatap Howon. “Kaja!” tanpa banyak basa-basi Min-rin sudah menyeret lengan Howon. “So-ryong oppa pasti akan sangat senang bertemu denganmu.”
Howon tertawa. “Apa aku akan mendapat sesuatu yang gratis kali ini?”
“Tergantung apa yang bisa kau lakukan,” balas Min-rin berkelakar.
Howon kembali tertawa. “Jadi…apa yang kau lakukan di ruangan klub fotografi kemarin? Bermeditasi untuk mendapatkan inspirasi untuk tugas mingguan kali ini?”
“Oh, percayalah, aku pun sedang mencari inspirasi sekarang.”
“Jadi apa yang kau lakukan kemarin, hum?”
“Melakukan otopsi foto karya Kim Myungsoo bersama orangnya.”
“Myungsoo?” nada Howon berubah, tapi sepertinya Min-rin tidak menyadarinya.
“Eo, dia kemarin datang ke ruang klub dan minta aku untuk mengotopsi fotonya. Kau tahu foto siswa yang bersepeda? Yang baru kupajang pagi ini? Nah, itu foto karya Myungsoo. Aku tahu dia bukan anggota klub, tapi tidak apa-apa kan, jika kita memajang fotonya di ruangan klub kita?”
“Eo, gwaenchana,” balas Howon datar. Ada perasaan cemburu yang menyelip di hatinya. Howon tahu ini konyol, tapi Howon tidak bisa menahannya.
To be continued - go to the next chapter