Anooo...first of all, I'd like to say jinjja mianhaeyo to all readers who wait for this fanfic. I got some accident last week, in fact at weekend-Friday- I fell from my motorcycle and hurted my right leg T^T So I had to hospitalized for about 5 days. Akibatnya kaki kanan harus di gips dan menyebabkan ane kena writer's block (oke, ini ga ada hubungannya tapi ane serius) Selain itu kesibukan yang makin menjadi dan masih adanya kendala karena kaki kanan ini juga cukup menyita waktu hingga fanfic ini (sedikit) terabaikan. Luckily, I could write again-for this chapter and I wish for next next next chapter 'til this story ends. Semoga readers ga lumutan nunggu fanfic ini :'D So here it is, for y'all....Picture of You chapter 8. Enjoy~~
***
Kamar Myungsoo terasa sepi walau alunan musik dari mp3 player milik namja bermata sipit itu mengalun mendayu-dayu hingga terdengar ke luar ruangan. Jam terus berdetik tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan yang berarti dari dalam kamar Myungsoo. Kecuali alunan lagu yang juga belum berhenti itu.
Tidak lama kemudian terdengar langkah pelan seseorang yang menaiki tangga. Tangan ramping milik Mrs. Kim bergerak mengelus pegangan tangga di samping kanannya yang terbuat dari kayu berpelitur. Langkahnya terhitung cepat karena dalam sekejap saja beliau sudah tiba di depan kamar Myungsoo.
Tangan ramping itu kembali terangkat, ingin mengetuk pintu kamar Myungsoo. Namun kemudian turun sedikit. Mrs. Kim gamang. Haruskah ia masuk? Tapi kegamangan itu segera berubah.
Tok, tok, tok. Mrs. Kim mengetuk pelan pintu kamar Myungsoo.
“Myungsoo―ya, kau tidak ingin makan malam? Eomma bisa memanaskan samgyeopsal untukmu.” Bibir Mrs. Kim berbicara hampir menempel ke pintu.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar Myungsoo.
Mrs. Kim kembali mengetuk pintu kamar Myungsoo. Kali ini dengan tempo yang lebih cepat. “Ya, adeul! An-meokeosipeo?” tanyanya lagi.
Masih sama. Tidak ada sahutan suara Myungsoo dan hanya lagu yang mengalun itu.
Knop pintu kamar Myungsoo lalu berputar. Menciptakan sebuah celah kecil namun cukup untuk mengintip ke dalam. Mrs. Kim mendesah melihat apa yang ada di hadapannya. Beliau lalu masuk ke dalam kamar putra sulungnya itu.
Beliau lalu mematikan lagu yang sedang diputar. Tubuh Myungsoo yang duduk di kursi belajar namun kepalanya sudah ambruk di meja sedikit menggeliat. Buku-buku sekolahnya terlihat berserakan. Persis seperti stereotype yang melekat pada kamar pria. Berantakan, semuanya. Sebuah pena masih terjebak dalam genggaman tangan kanan Myungsoo yang mengendur. Buku catatannya yang menampilkan dua halaman kosong dengan tiga kalimat di halaman sebelah kiri menjadi tumbal untuk menjadi bantalnya kali ini. Mulut Myungsoo terbuka sedikit dan setetes air liur sepertinya sudah siap untuk keluar dari sana.
Mrs. Kim berdecak melihat keadaan putranya. Beliau tahu Myungsoo sudah cukup lelah dengan jadwalnya sebagai model dan siswa. Entah sudah berapa kali Mrs. Kim mengingatkan putra sulungnya itu untuk segera beristirahat jika merasa lelah. Tapi nasehat itu belum diindahkan oleh Myungsoo.
Mrs. Kim lalu mengambil bolpoin dalam genggaman kendur tangan kanan Myungsoo sambil mengomel kecil, “Dasar anak keras kepala. Jika besok pagi kau bangun dengan rasa sakit di sekujur badanmu, jangan mengeluh pada eomma!”
Tapi walaupun Mrs. Kim mengomel seperti itu, beliau meraih selimut―yang sayangnya sudah tergeletak tidak berbentuk―di atas tempat tidur Myungsoo dan menyelimutkannya pada tubuh Myungsoo. Tidak ada ucapan hangat selamat malam atau kecupan sayang dari Mrs. Kim. Beliau ingat gerutuan Myungsoo sejak ia masuk SMP jika dia sudah besar dan tidak perlu melakukan hal-hal sepele seperti itu, terlebih lagi ia adalah seorang laki-laki. Jadi Mrs. Kim hanya mengucap lirih kata ‘jaljayo’ sebelum pergi.
***
Suara alarm dari jam digital milik Myungsoo sungguh bukanlah penyambut awal hari yang menyenangkan. Jika saja hari ini adalah hari libur mungkin akan jadi menyenangkan. Sayangnya, hari ini bukan hari libur.
Myungsoo menggeliatkan badannya yang terasa kaku. Ada rasa aneh yang terasa di pipi kirinya saat ia mengangkat kepalanya dari meja. Decakan kecil keluar dari mulutnya saat melihat buku catatannya menjadi kusut. Ditambah melihat bekas tetesan air liurnya yang mulai mongering.
Yang pertama Myungsoo lakukan tentu mematikan alarm. Ia kemudian tanpa ampun merobek lembar bukunya yang sudah kusut dan terkena air liurnya, membentuknya menjadi sebuah bola kertas sebelum melemparkannya ke tempat sampah tapi meleset. Matanya yang segaris melihat kearah jam. Masih pukul tiga dini hari.
Myungsoo lalu mengerang. Tidurnya semalam tidak bisa dibilang nyenyak jika ia bangun dengan sekujur badan terasa kaku dan sakit seperti ini. Karena malas, Myungsoo dengan sukarela menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan berguling sebentar ke samping tempat tidurnya. Dan dengan sisa tenaga yang hampir tidak ada, Myungsoo merebahkan dirinya ke tempat tidurnya yang terasa jauh lebih nyaman bagi tubuhnya.
Ia baru saja akan terlelap lagi ketika giliran ponselnya yang berbunyi minta diangkat. Gerutuan tidak jelas keluar dari mulut Myungsoo seiring semakin rapat selimut tebalnya menggulung tubuh jangkungnya. Benda mati bernama ponsel itu masih saja berbunyi tanpa ampun. Dengan rasa mengantuk yang luar biasa, Myungsoo menjulurkan tangannya untuk meraih ponselnya. Panggilan masuk dari Hyeonwoo hyeong, manajernya. Dan panggilan ini tidak akan berhenti sebelum Myungsoo mengangkat teleponnya.
“Mwoya, hyeong?” angkat Myungsoo dengan suara paraunya.
“Ya, kau lupa kau ada jadwal pemotretan pagi ini?” bentak Hyeonwoo di seberang.
“Memang ada, ya?” tanya Myungsoo yang lebih terdengar seperti gumaman.
“Ya inma! Tentu saja ada! Kau sendiri yang memintaku untuk mengatur jadwalnya menjadi sepagi ini karena kau sendiri yang bilang kau ingin masuk sekolah hari ini.”
Myungsoo terdiam. Nyawanya hampir saja kembali kea lam tidur jika ia tidak ingat ia masih bercakap-cakap dengan Hyeonwoo. “Oh, ya. Kau benar, hyeong. Tidak salah.”
“Kalau begitu tunggu apalagi?! Segeralah bersiap! Aku akan segera menjemputmu.”
Hyeonwoo segera menutup teleponnya sebelum Myungsoo melontarkan protes apapun.
“Tsk!” decak Myungsoo.
Mrs. Kim terbangun dari tidurnya karena mendengar ribut-ribut dari ruang makan. Di sebelahnya, suaminya masih bisa tertidur lelap. Mantel tidur dari satin berwarna coklat yang tergantung tidak jauh dari tempat tidur segera dikenakan Mrs. Kim.
“Ada jadwal lagi?” tanya Mrs. Kim pada Myungsoo yang sibuk mengobrak-abrik isi kulkas.
Tubuh jangkung Myungsoo yang membelakangi ibunya berbalik. Menampakkan dirinya yang tengah melahap sosis dengan pipi menggembung. “Nhhee,” katanya kesusahan seraya mengangguk.
Mrs. Kim berjalan mendekati Myungsoo lalu menepuk-nepuk Myungsoo seperti yang beliau sering lakukan dulu hingga sekarang. “Aigoo, siapa yang menyuruhmu untuk melakukan pemotretan sepagi ini? Hyeonwoo?”
Myungsoo menggeleng, “Bukan Hyeonwoo hyeong. Eomma tenang saja, dia tidak sekejam itu.” Tapi kadang bengis saja, hahahaha.
Mrs. Kim menatap lurus Myungsoo yang dibalas senyuman lebar. Yah, Myungsoo tidak mungkin berkata jika ia sendiri yang mengatur jadwal hingga menjadi seperti ini, kan? Bisa-bisa ibunya tidak mengijinkannya untuk berkecimpung di dunia modeling lagi.
“Setelah itu kau akan langsung sekolah?”
Myungsoo mengangguk cepat, “Ne, ada beberapa tugas yang harus kukumpulkan.”
Mrs. Kim mendesah. “Kau pasti sangat lelah.”
“Yaahh, sedikit. Tapi ini resikonya. Nah, sekarang aku berangkat dulu. Hyeonwoo hyeong pasti sudah tiba di depan rumah. Eomma tidur saja lagi,” kata Myungsoo seceria mungkin.
“Hyeonwoo belum datang. Makanlah yang lebih banyak lagi,” rajuk Mrs. Kim, “Atau kau mau ibu buatkan susu? Atau sereal? Atau kau ingin ibu membawakan bekal untukmu?”
Myungsoo menggoyang-goyangkan pundaknya. “Semua itu tidak perlu eomma. Aku bukan anak kecil lagi dan aku seorang model. Aku harus menjaga berat badanku agar aku tetap terlihat menawan nan tampan di depan kamera,” kelakar Myungsoo.
“Eo, kau sudah lebih dari tampan nan menawan sekarang.” Tangan Mrs. Kim mencubit-cubit pipi Myungsoo. Gemas melihat putra sulungnya itu tersenyum yang dibuat-buat hingga menampilkan lekukan kecil di pipinya.
Myungsoo terkekeh mendengar pujian dari ibunya. Walau nadanya sendiri tidak terdengar serius. Ponsel Myungsoo kembali bergetar. Myungsoo membaca pesan singkat yang masuk, “Oke, aku harus berangkat sekarang. Hyeonwoo hyeong sudah benar-benar ada di depan rumah. Aku sayang ibu.” Cup! Myungsoo mengecup kening ibunya sebelum melesat pergi.
Van yang ditumpangi Myungsoo dan Hyeonwoo melaju makin pelan sebelum akhirnya berhenti tidak begitu jauh dari gerbang masuk sekolah Myungsoo. Sementara yang harus berangkat sekolah masih terlelap di kursinya dalam balutan seragam, memeluk bantal berbentuk Stitch pemberian dari fans, dan dengan mulut terbuka cukup lebar.
Hyeonwoo menepuk-nepuk pipi Myungsoo pelan, “Ya, Myungsoo, ppalli ireona jigeum. Kau berangkat ke sekolah tidak?”
Tidak ada respon dari Myungsoo yang masih terlelap. Hyeonwoo tahu Myungsoo benar-benar lelah. Jadwal syuting beruntun karena Myungsoo menjadi model di salah satu MV penyanyi wanita solo baru selesai kemarin malam sekitar pukul sebelas, tapi Myungsoo sudah harus menjalani pemotretan untuk salah satu brand fashion ternama―karena Myungsoo sendiri juga merupakan ambassadornya―tadi subuh dan kini Myungsoo harus pergi ke sekolah. Menjadi anak remaja biasa. Bahkan Hyeonwoo bisa melihat kantung mata yang mulai terbentuk di sekitar mata Myungsoo.
“Myungsoo, hakgyo an-ga?” tanya Hyeonwoo dengan volume sedikit lebih keras.
Butuh sekitar hampir dua menit bagi Myungsoo untuk bangun. Matanya masih mengerjap-ngerjap melihat ke luar van. Ada banyak anak memakai seragam sekolah dan tas yang berjalan baik sendirian, beriringan, atau dalam suatu kelompok.
“Aku akan pergi ke sekolah,” balas Myungsoo dengan suara paraunya.
“Oke, itu keinginanmu sendiri.” Hyeonwoo mengangguk. “Tapi sebelumnya rapikan dulu penampilanmu itu. Rambutmu…juga bekas air liur di sudut bibirmu. Gunakan matamu yang masih sayu itu sebagai senjata andalan jika ada fans yang tiba-tiba datang menghampirimu. Bersikaplah ramah pada mereka.”
Myungsoo mengangguk-angguk mengerti. Seharusnya Hyeonwoo tidak perlu memberitahunya hal-hal semacam itu karena ia bukanlah seorang ‘bocah kemarin sore’ dalam dunia modeling. Ia tidak perlu merapikan apapun karena sudah ada stylist-noona yang bekerja. Ia hanya perlu membersihkan bekas air liurnya sendiri. Dan itu dilakukannya dengan singkat. Hanya membasahi jempolnya dengan air liurnya sendiri dan mengusapkannya ke bekas air liur itu lagi. Hyeonwoo mengernyit menatap Myungsoo. Jika saja para penggemar di luar sana tahu seperti apa Myungsoo sehari-harinya, mungkin sebagian dari mereka akan angkat kaki dari fancafe Myungsoo. Hanya fans gila saja yang bertahan.
“Aku sudah siap. Bagaimana penampilanku?” kedua tangan Myungsoo terangkat ke udara bebas.
“Tidak jauh beda dari foto-fotomu di majalah-majalah itu,” balas Hyeonwoo sedikit sengau karena kenarsisan Myungsoo barusan.
Myungsoo meraih tas yang tergeletak di samping kaki kanannya lalu menyampirkan ransel itu di pundak kanannya saja. “Ja, aku berangkat dulu. Terima kasih hyeong!”
Pintu van terbuka. Dan baru beberapa langkah Myungsoo berjalan, dua orang penggemarnya menghampirinya untuk meminta tanda tangannya. Sandiwara Myungsoo dimulai. Meski ia merasa sangat lelah dan mengantuk, Myungsoo tersenyum kepada para penggemarnya. Yah, sandiwara yang sangat wajar dilakukan oleh para entertainer.
Headphone dr. Dre warna hitam yang setia menemani Sungyeol setiap saat selalu terlepas tiap kali ia sudah duduk di bangkunya. Deretan paling belakang―tepat di depan loker para siswa yang juga jadi deret favorit anak-anak yang dicap bengal, malas, dan cap yang tidak mengenakkan hati para orang tua oleh para guru, nomor tiga dari pintu belakang kelas.
Suasana kelas di pagi hari tidak jauh beda dari hari-hari lain. Makin siang makin ramai. Beberapa gadis membentuk suatu gerombolan yang selalu bergosip, ada juga sekelompok gadis yang merupakan fangirl garis keras yang selalu membicarakan idola mereka―dan kadang stalking. Dan sisanya adalah para siswa yang melakukan hal-hal yang sangat wajar dilakukan para pelajar. Seperti menyalin PR, membaca, belajar, dan semacamnya.
Di depan kelas, ada dua orang siswa laki-laki yang sedang berlomba membuat doodle raksasa yang memenuhi papan tulis. Suara-suara para siswa itu seperti campuran dengung lebah dan nyamuk. Kehebohan makin menjadi ketika empat orang siswa laki-laki memasuki kelas sambil bermain bola sepak.
“Ya, ya, oper kemari!” seru salah seorang dari mereka.
Teman siswa tadi segera menendang bola yang tadinya ia pantul-pantulkan dengan lututnya. Tapi tendangannya terlalu keras hingga melesat tepat di samping kiri Sungyeol dan menghantam loker siswa dengan keras hingga menimbulkan bunyi berisik yang membuat seisi kelas terdiam.
“Wow, simpan energimu untuk nanti. Hari masih panjang, bung!” Sungyeol tertawa sambil mengambil bola yang kini tergeletak diam di lantai.
“Ini yang disebut gairah masa muda, Sungyeol!” balas si penendang dengan tawa yang lebih keras. Kelas kembali ramai, semua kembali dengan kesibukan mereka masing-masing karena ribut-ribut tadi bukan masalah besar.
“Terserah mau kau sebut apa. Igeo, jangan sampai kau tidak bisa menangkapnya!” Sungyeol menyundul-nyundul bola itu dengan kepalanya sebelum ia mengoper bola itu dengan menyundulnya pula. Beruntung kali ini si kulit bundar itu tidak ‘nyasar’ ke lain arah atau mengenai siswa lain.
Sungyeol tertawa pelan dan kembali duduk. Bola tadi sempat mengganggu kenikmatannya membaca komik manga yang baru dibelinya minggu lalu. Ia berhasil menetralisir keributan yang ada, tapi suara derit kursi dan meja tepat di depannya kembali mengusik ketenangannya. Mata Sungyeol memicing para siswa yang baru saja tiba di depannya dan langsung mendaratkan kepalanya di meja.
“Uuu, model kita yang sedang naik pamor nampaknya selalu tiba di kelas beberapa menit sebelum bel berbunyi. Apa selama itu untuk memberi fan-service pada para penggemarmu?” cibir Sungyeol dengan nada bercanda.
Kepala Myungsoo terangkat. Setengah tubuhnya berputar menghadap Sungyeol. “Tidak begitu rumit sebenarnya, tapi para penggemar sendiri yang rumit hingga menyebabkan makan waktu lama. Kau ingin membantuku? Mungkin kau bisa jadi pesaingku besok.” Myungsoo mengakhiri ucapannya dengan kekehan kecil.
“Hahahaha.” Sungyeol tertawa dibuat-buat, “Sayang sekali aku tidak tertarik,” lanjutnya.
“Aigo, sayang sekali.” Raut wajah Myungsoo berubah menjadi sedih tapi jelas sekali itu hanya pura-pura. “Tapi tidak masalah jika kau tidak mau jadi pesaingku. Hitung-hitung mengurangi ketatnya persaingan.”
“Heish! Dasar narsis! Sudah saatnya kau istirahat sejenak, hiatus. Lihat kantung matamu yang semakin mirip dengan panda asli itu!” komik di tangan Sungyeol tergulung dan memukul kepala Myungsoo dengan cukup keras.
Gelak Myungsoo segera terdengar. “Tapi aku masih terlihat tampan dengan ini semua.”
Sudut bibir kanan Sungyeol terangkat. Membentuk satu senyuman sinis dan meremehkan. “Dasar narsis!” lagi, kalimat yang sama itu keluar dari mulut Sungyeol.
“Ehm, ehm.”
Satu deheman yang cukup keras dan berat keluar dari sosok sonsaengnim di depan kelas. Yook sonsaengnim, guru matematika yang usianya baru menginjak awal empat dasawarsa namun tidak kalah gila dan ‘gaul’ dari para muridnya. Para murid yang tadinya duduk sembarangan segera menempati tempat duduknya. Dalam waktu sebentar kelas sudah nampak rapi.
Sang ketua kelas bangkit dari duduknya dan memberi aba-aba, “Berdiri!”
Suara bangku yang bergeser terdengar sejalan dengan para siswa yang mengikuti aba-aba pemimpin mereka.
“Beri hormat, salam!”
Para siswa membungkukkan badan mereka sebagai tanda hormat dan mengucapkan salam kepada guru di depan ketika sudah tidak membungkuk.
“Eo, joheun achim yeorobun. Sekarang kita akan bersenang-senang dengan matematika. Aku harap semuanya siap…buka buku kalian pada halaman sembilan puluh satu.”
“Myungsoo–ya, bisa kau tanda tangani buku catatanku?” seorang seonbae bergaya centil dengan aksesoris yang kelihatan heboh dan mencolok menyodorkan buku catatan berwarna putih miliknya pada Myungsoo.
“Oh, tentu.” Myungsoo menerima buku itu seraya tersenyum. “Siapa namamu?” tanya Myungsoo.
“Ahn Ji-hyo,” jawab seonbae itu dengan tersenyum malu-malu yang dibuat-buat.
Spidol permanen di tangan Myungsoo segera menggores kertas kosong di hadapannya dengan cepat. Desain tanda tangannya yang disempurnakan oleh manajernya sangat membantunya untuk mempersingkat waktu tanda tangan.
“Ini.” Myungsoo menyerahkan buku itu pada Ji-hyo.
“Gumawoyo, Myungsoo–ya.” Seonbae itu tersenyum centil sebelum pergi.
Myungsoo mengangguk singkat sebagai balasan. Untuk saat ini ia sendiri di salah satu sudut taman sekolahnya. Pandangannya tidak bisa diam di satu titik, selalu menjelajah. Ada rasa iri yang menyergap ketika Myungsoo bisa melihat anak-anak lain menikmati waktu istirahat mereka dengan tenang―bercanda, makan bersama, atau mengobrol dengan teman.
Myungsoo tidak bisa melakukan itu semua―sesering yang ia mau. Waktu istirahatnya harus ia bagi dengan para penggemar yang ingin meminta tanda tangannya atau yang ingin menyerahkan hadiah padanya. Myungsoo sendiri sudah lupa kapan terakhir kali ia bisa menikmati waktu istirahat layaknya siswa lainnya.
Penggemar memang bisa jadi sangat merepotkan. Di pikiran Myungsoo, ia berpikir jika lama-kelamaan para penggemar itu tidak mendatanginya lagi karena mereka sudah mendapat apa yang mereka mau―kecuali dirinya. Tapi Myungsoo salah. Justru semakin lama, dirinya makin sibuk dengan para penggemar di jam istirahat. Yang lebih mengherankan juga mengerikan bagi Myungsoo adalah para penggemarnya bisa mengetahui dimana lokasinya selama waktu istirahat di sekolah ini!
Waktu itu Myungsoo pernah bersembunyi di toilet pria. Tapi seorang seonbae pria yang masuk menggerutu tidak jelas dan berteriak-teriak di dalam toilet memintanya untuk keluar karena dirinya sudah menyebabkan depan toilet pria penuh dengan para gadis. Akhirnya? Myungsoo keluar dari bilik toilet dengan senyum kikuk dan segera menemui penggemarnya sebelum ia dihajar oleh seonbae itu. Lalu juga ada saat Myungsoo kabur ke belakang sekolah, memakan roti yang berhasil disambarnya sebelum ia dikerumuni oleh para fansnya, dan bersembunyi di gudang. Celakanya, saat roti Myungsoo sudah habis dan ia pikir tidak ada siapapun di luar, seorang penggemar berkacamata tebal sudah berdiri manis di hadapannya sambil menyodorkan majalah yang memuat foto-fotonya untuk ditandatangani.
Rasa-rasanya Myungsoo sudah tidak punya tempat bersembunyi lagi di sekolah ini. Tidak mungkin ia bersembunyi di ruang kepala sekolah karena nanti justru dirinya yang akan kena poin. Dan tidak mungkin Myungsoo terus-menerus menghindari penggemarnya. Ia bisa dicap sebagai artis sombong. Pada pilihan terakhir, Myungsoo harus mengalah. Ini merupakan salah satu resikonya sebagai seorang model. Dia tidak boleh lupa soal ini.
Mata sipit Myungsoo lalu tiba-tiba memicing dan membulat. Pikirannya tersentak ketika ia melihat sesuatu yang…cukup membuatnya risih. Memang agak jauh, tapi Myungsoo bisa mengenali dua sosok itu sebagai Min-rin dan Howon. Aih, dua orang itu. Kenapa mereka selalu bersama? Gerutu Myungsoo dalam hati. Melihat Min-rin dan Howon saling tertawa di bawah pohon maple membuat Myungsoo memberengut tidak suka.
Secara teknis, Min-rin dan Howon tidak hanya berdua karena ada Dongwoo yang ada bersama mereka. Ketiganya bercanda hingga tertawa terbahak-bahak. Lebih karena body gag yang disuguhkan Dongwoo. Tapi tetap saja, Myungsoo tidak suka melihat kedekatan Min-rin dan Howon. Terlebih gestur Howon pada Min-rin.
Myungsoo tidak suka bagaimana cara Howon menatap Min-rin. Tidak suka bagaimana Howon dan Min-rin tertawa bersama―meski disana ada orang lain. Tidak suka saat tangan Howon bisa dengan bebas menggenggam tangan Min-rin atau merangkul Min-rin atau membelai rambut Min-rin atau menempeleng kepala Min-rin. Tidak suka dengan skinship di antara Howon dan Min-rin yang mampu menyulut api cemburu di hatinya walau itu hanya skinship biasa. Yang jelas, Myungsoo tidak suka melihat Howon dan Min-rin. Entah kenapa.
Myungsoo tahu ini konyol dan sangat bukan dirinya. Siapa Myungsoo untuk Min-rin? Hanya teman. Dan itupun tidak sedekat hubungan pertemanan Min-rin dan Howon. Nah, sudah jelas Min-rin dan Howon hanya berteman, tapi Myungsoo tetap tidak suka melihat keduanya. Bukankah ini aneh? Myungsoo sendiri sudah sering merutuki dirinya sendiri tapi rupanya ia belum tobat. Tapi hati kecil Myungsoo berkata jika Howon memiliki perasaan khusus pada Min-rin. Khusus yang seperti apa? Myungsoo sendiri juga tidak tahu. Kata ‘khusus’ disini bisa didefiniskan sebagai banyak hal. Dan itu makin membuatnya frustasi.
***
“Choi Min-rin!” seru Howon. Suaranya sedikit menggema di koridor sekolah. Para siswa yang lalu-lalang disana tidak begitu mempedulikan seruan Howon mengingat seruan itu tidak ditujukan pada mereka.
Min-rin yang sedang berjalan dengan kamera di tangannya berhenti, lalu menoleh ke belakang. Senyum lebar milik Howon kembali menyambutnya.
“Ingat! Deadline untuk tugas mingguan klub fotografi adalah besok, kuharap kau membawa kejutan lagi untuk tugas itu!”
Melihat Howon yang masih saja tersenyum, mendorong Min-rin untuk tersenyum pula. “Kuharap kau tidak terkena serangan jantung setelahnya!”
Tawa Howon keluar walau pelan. Sama halnya dengan Min-rin. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Min-rin kembali berjalan. Berbanding terbalik dengan Howon yang masih diam di tempatnya. Masih betah melihat sosok Min-rin yang makin lama makin lenyap dari pandangannya.
“Bukan fotomu yang membuatku terkena serangan jantung…” lirih Howon. “Tapi kau sendiri…tiap kau ada di dekatku.”
“Aihhh, kenapa belum ada foto yang bisa membuatku tergugah? Padahal deadlinenya besok. Sungguh memalukan jika aku tidak bisa melakukan tugas still life itu.” Min-rin mengomel pada dirinya sendiri. Jemarinya sedari tadi sibuk berkutat dengan kameranya yang bergaya retro dengan perasaan sedikit takut jika jarinya yang tidak sabaran bisa membuat rusak kameranya yang memang sudah cukup lawas itu.
“Omo! Kau membuatku terkejut!”
Min-rin berjingkat ke belakang saat ia menyadari jika ia akan bertabrakan dengan seorang siswa yang baru saja keluar dari toilet pria. Kekagetan masih tampak di wajah siswa laki-laki itu, tapi sebuah senyum kikuk tergambar dengan cepat di wajahnya.
“Hei, Min-rin!” sebelah tangannya terangkat.
“Hei, Myungsoo!” senyum ramah Min-rin muncul saat melihat siapa yang akan bertabrakan dengannya tadi.
Myungsoo berkali-kali melirik arlojinya. Sudah hampir lima menit ia bersembunyi di bilik toilet pria. Dari dalam bilik, ia bisa mendengar suara-suara obrolan anak laki-laki yang mampir ke toilet dan suara-suara lainnya.
“Kuharap dia sudah pergi. Aku sudah memberinya sepuluh tanda tangan dan bagiku itu lebih dari cukup.” Myungsoo bergumam pada dirinya sendiri.
Lagi-lagi kejadian yang dulu terulang. Ia ‘harus’ bersembunyi di toilet pria. Bedanya jika dulu ada banyak gadis berkerumun di depan toilet pria, kini tidak. Myungsoo hanya ingin lepas dari seorang hobae yang mencegatnya saat ia ingin menuju ke toilet. Yang lebih gila lagi, hobae itu meminta lima belas tanda tangan di buku sketsanya. Bukan masalah yang besar bagi Myungsoo. Tapi yang jadi masalah adalah ia harus menjawab panggilan alam saat itu juga.
Hal itu yang membuat Myungsoo terpaksa berkata jujur pada hobae itu dan berkata pada si hobae jika dia bisa meminta tanda tangannya nanti sepulang sekolah. Namun hobae itu hanya diam dan membuntuti Myungsoo. Dan itu membuatku Myungsoo takut dan risih. Diikuti oleh hobae tadi mengingatkannya akan beberapa cerita dari seonbaenya di dunia modeling tentang para sasaeng fans. Seorang seonbaenya―laki-laki―pernah bercerita padanya bagaimana ada seorang fans yang dengan nekatnya masuk ke toilet pria hanya untuk bisa mengambil foto. Myungsoo tentu tidak ingin hal ini terjadi.
Tapi harus berapa lama lagi Myungsoo bersembunyi di bilik sempit ini? Sampai bel masuk berbunyi? Saat pulang? Kecuali hobae tadi sudah pergi. Karena tidak tahan, Myungsoo keluar. Dia sudah siap jika saat ia keluar nanti dia akan disambut dengan sodoran spidol.
“Omo! Kau membuatku terkejut!” Myungsoo terhenyak ke belakang saat di depannya melintas seorang siswi.
Siswi itu juga terkejut hingga mundur selangkah. Myungsoo pikir siswi itu adalah hobae tadi. Tapi ia salah. Justru senyum Myungsoo segera muncul saat tahu siapa siswi yang hampir ditabraknya tadi.
“Hei, Min-rin!” sapa Myungsoo, sebelah tangannya terangkat. Ada perasaan lega dan senang yang memenuhi hati Myungsoo saat melihat Min-rin.
“Hei, Myungsoo!” Aih, senyum manis yang mampu menyejukkan hati Myungsoo itu muncul.
“Kupikir kau adalah seorang fans yang ingin meminta tanda tangan dariku hingga…membuntutiku,” ujar Myungsoo begitu saja.
“Mwo?” Myungsoo sangat suka saat mata Min-rin membulat dan menatapnya. Apalagi jika disertai senyum tipis seperti sekarang. “Jadi kau berusaha bersembunyi dari fansmu sendiri?” tanya Min-rin tidak percaya.
“Yah…” Myungsoo mengusap tengkuknya. “Kau bisa bilang begitu. Akhir-akhir ini beberapa dari mereka suka membuatku kewalahan.”
“Kau hanya belum tahu saja cara kabur dari mereka.” Min-rin mengerling singkat padanya.
“Maksudmu?”
“Jadi kita akan kemana?” Myungsoo bertanya pada Min-rin yang berjalan lebih dulu di depannya.
Min-rin menuntunnya ke bangunan lain sekolahnya. Tepatnya bangunan untuk kegiatan olahraga indoor. Dua kolam renang, lapangan basket yang jadi satu dengan aula―yang digunakan untuk upacara tahun ajaran baru dan kelulusan, lapangan badminton yang kadang juga digunakan untuk kegiatan senam lantai, dan gudang peralatan olahraga berkumpul di sini.
Min-rin menoleh melihat Myungsoo melalui pundaknya. “Menemukan tempat persembunyian yang hebat untukmu.”
“Oh ya? Dimana itu?” tanya Myungsoo tidak percaya. Dia sudah terlanjur percaya jika tidak ada tempat bersembunyi untuknya.
“Disini!”
Min-rin berhenti tepat di depan gudang peralatan olahraga. Telunjuknya mengarah ke pintu gudang yang tertutup rapat. Hanya tertutup rapat, tidak terkunci.
“Disitu?” Myungsoo ikut menunjuk pintu gudang yang tertutup. Ia lalu menatap Min-rin tidak percaya, “Kau pasti bercanda. Aku sudah mencoba bersembunyi di situ tapi tetap ketahuan.”
“Kau hanya belum tahu rahasianya.” Senyum misterius itu mengundang Myungsoo untuk mengikuti Min-rin lebih jauh.
Pintu gudang yang tertutup dapat terbuka dengan mudah. Min-rin masuk terlebih dahulu diikuti Myungsoo. Kondisi di dalam cukup gelap karena tidak semua lampu menyala. Bola-bola masuk ke dalam keranjang mereka masing-masing, peralatan untuk senam lantai bertumpuk di beberapa tempat, dan rak-rak berisi peralatan olahraga lainnya juga berjajar.
Min-rin lalu menggeser sebuah kursi.
“Rahasianya di sini!” telunjuk Min-rin terarah ke langit-langit.
Alis Myungsoo bertaut heran. “Aku…tidak melihat apa-apa.” Memang benar Myungsoo tidak melihat apa-apa kecuali langit-langit berwarna putih dengan tonjolan aneh di bagian pinggirnya.
Min-rin kembali tersenyum pada Myungsoo. “Kau akan segera melihat apa-apa.”
Lalu Min-rin memegang tonjolan itu dan mendorongnya. Mulut Myungsoo menganga melihat langit-langit itu terbuka keatas. Kekagetannya semakin bertambah ketika sebuah tangga yang terbuat dari balok kayu dan tali tambang jatuh ke bawah dari langit-langit.
“Jamkan.” Min-rin menaiki tangga itu.
Myungsoo bergerak perlahan mendekati Min-rin. Ia bisa melihat Min-rin membuka semacam tutup besi. Rahang Myungsoo seakan-akan ingin jatuh dari tengkoraknya ketika ia melihat langit biru di atasnya.
Min-rin kembali menoleh ke bawah. “Oke, aku akan naik dulu, baru kau menyusul. Hati-hati, rasanya sedikit susah untuk menaiki tangga ini jika kau belum terbiasa.”
“Eo,” balas Myungsoo singkat.
Begitu Min-rin sudah tiba di atas, Myungsoo berusaha menaiki tangga itu. Kakinya sempat bergetar karena takut terjatuh. Dan saat ia hampir sampai di atas, Min-rin mengulurkan tangannya disertai senyuman yang sudah pasti disambut senang oleh Myungsoo.
“Selamat datang, Kim Myungsoo!”
“Yah, selamat datang.” Myungsoo mengulang pertanyaan Min-rin tanpa ada maksud apapun. Tangannya menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor. “Woah! Daebak!” kekaguman jelas terpancar dari wajah Myungsoo kala melihat pemandangan di hadapannya, “Aku tidak pernah tahu jika kita bisa naik ke atap bangunan ini!” Myungsoo menatap Min-rin dengan pandangan takjub.
Min-rin tertawa, “Awalnya aku juga tidak. Tapi sekarang kita sudah tahu, bukan? Disini memang cukup berbahaya jika tidak hati-hati. Di sana itu―” Min-rin menunjuk ke sebuah tonjolan atap berbentuk setengah silinder di sebelah kiri mereka, “―adalah atap dari kolam renang pria, dan di sebelahnya lagi adalah atap kolam renang wanita. Kau bisa mendekat ke atapnya lalu mengintip ke bawah untuk melihat ruangan apa yang berada di bawahmu, tapi ada berita buruk.”
“Mwoga?” tanya Myungsoo, masih belum bisa lepas dari ketakjubannya.
“Tidak ada celah di atap yang bisa kau gunakan untuk mengintip ke dalam ruang ganti,” kata Min-rin dengan nada serius yang palsu.
Tawa Myungsoo pecah. “Aku bukan orang yang mesum seperti itu. Tapi terima kasih atas infonya.” Tidak lupa, Myungsoo menyengir di akhir kalimat.
Min-rin terbahak. “Yah, sama-sama.”
“Harusnya aku yang berterima kasih.”
“Waeyo?”
“Karena kau sudah mau menunjukkan tempat ini.” Myungsoo tersenyum.
“Bukan masalah.” Min-rin balas tersenyum.
Dan selama sisa waktu istirahat, keduanya menikmati pemandangan sekolah mereka dari atas atap bangunan ini sambil bercanda dan mengobrol–tidak jauh dari topik fotografi. Dan Myungsoo berharap Min-rin tidak bisa mendengar degupan jantungnya.
To be continued - go to the next chapter