Sesi terakhir pemotretan selesai hanya dalam waktu satu jam. Lebih awal lima belas menit dari sesi sebelumnya. Tentu Sungjong dan Myungsoo tidak langsung pergi dari studio pak Yang. Mereka masih harus mendiskusikan hasil-hasil foto mereka bersama fotografer, Min-rin. Jika ada sesuatu yang dirasa kurang pas, mereka akan mengulang pemotretan lagi.
“Kurasa akan lebih baik jika kita mengulang adegan ini.” Min-rin menunjuk layar monitor yang menampakkan hasil kerjanya. Kepala Min-rin menoleh ke belakang dimana pak Yang selalu memonitor hasil pekerjaannya, “Bukankah begitu, pak?” tanya Min-rin.
“Kenapa kau merasa harus mengulangnya?” pak Yang kembali bertanya. Beliau tidak pernah menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk pertanyaan semacam tadi. Beliau sengaja bertanya karena ia ingin melihat sejauh mana gambaran dan pendapat yang dimiliki Min-rin tentang sebuah foto. Baru setelah itu beliau akan memberi pengarahan lebih lanjut.
Min-rin kembali menatap monitornya. Di sisi kanan dan kirinya, Myungsoo dan Sungjong juga ikut mengamati hasil bidikan Min-rin. Bagi keduanya, foto siluet mereka yang saling membelakangi itu sudah kelihatan sempurna.
“Aku merasa…ada yang kurang. Foto ini masih terasa kurang tajam dan pencahayaannya masih belum maksimal. Kurasa aku harus mengatur ulang aperture dan shutter speed-nya,” kata Min-rin.
Pak Yang tersenyum. “Eo, maja. Jadi kenapa kau tidak segera memperbaikinya?”
Min-rin tersenyum lega. Ia menolah-noleh pada Myungsoo dan Sungjong. “Tidak apa-apa kan, jika kita mengulang adegan ini lagi? Aku janji tidak akan lebih dari enam take,” ujar Min-rin dalam nada setengah memohon.
“Gwaenchana.” Sungjong menyahut lebih cepat ketimbang Myungsoo.
Dan sebelum Myungsoo ingin menyahut lagi, Min-rin sudah bersiap menyambar kameranya dan kembali ke tempat pemotretan yang hanya berjarak empat meter dari tempat mereka memeriksa hasil foto.
Myungsoo menoleh-nolehkan kepalanya ke penjuru studio yang mulai sepi dengan cemas. Beberapa crew masih berseliweran untuk membereskan peralatan yang tadi dipakai saat pemotretan. Ketika ia sudah selesai memastikan satu hal―apa Min-rin sudah pergi atau belum, Myungsoo berjalan mendekati Sungjong yang tengah beristirahat di sofa kecil yang tersedia di dalam studio. Sofa kecil lain yang terletak di samping Sungjong yang tadinya kosong kini sudah terisi.
“Ya,” panggil Myungsoo.
“Mwo?” Sungjong menoleh singkat.
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”
Sungjong menautkan alisnya sambil berusaha menggali memorinya. “Pertanyaan yang mana? Apa kau bertanya sesuatu padaku tadi?”
Myungsoo menundukkan kepalanya lalu meniup poninya dengan kasar. Mata sipitnya kemudian memicing tajam kearah Sungjong. “Aku tadi bertanya padamu, “Apa Min-rin tinggal bersama seorang pria?”, dan kau belum menjawab pertanyaan itu.”
Mata belo Sungjong mengerjap. Ingatannya merasa tersegarkan kembali. “Ahh…pertanyaan yang itu,” angguknya.
“Eo, pertanyaan yang itu. Jadi apa jawabannya?” buru Myungsoo tidak sabaran.
Sungjong menatap Myungsoo sambil menahan tawanya. Sebuah ide jahil baru saja melintasi kepalanya dan itu membuat Sungjong tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila. Myungsoo bergidik menatap aneh pada Sungjong. Dan sebelum Myungsoo membuka mulutnya untuk bertanya apa yang terjadi pada Sungjong, Sungjong segera membuka mulutnya, “Kalau kau sebegitu ingin tahunya tentang Min-rin, kenapa kau tidak bertanya tentang hal itu sendiri padanya?”
Serangan jantung kecil mendadak menyerang Myungsoo. “Mw…mwo?!” Myungsoo terperanjat tidak percaya.
“Apa?” bahu Sungjong terangkat dengan cueknya. “Kalau kau sangat penasaran tentang hal itu, kau tanyakan saja sendiri pada Min-rin!” ulang Sungjong.
Myungsoo diam sejenak. Antara kaget dan ragu. “Ta…tapi―”
“Hei, bung!” tepukan dari tangan kurus Sungjong tentu tidak berpengaruh apa-apa terhadap pundak kokoh Myungsoo, “Kau harus berjuang dengan cara yang sulit dulu untuk mendapatkan sesuatu sebelum mencoba jalan pintasnya. Oke?”
Suara detakan jarum jam terdengar memenuhi kamar Myungsoo yang sunyi. Tumpukan buku pelajaran dan beberapa buku tugas yang terbuka dibiarkan Myungsoo tergeletak begitu saja. Tidak ada sedikit niatanpun dari namja itu untuk menyentuh semua tugas-tugasnya. Myungsoo lebih memilih merebahkan dirinya di tempat tidurnya. Sesekali ia melirik kearah jendela kamarnya yang terbuka. Menampilkan gelapnya langit malam di luar sana.
Tangan Myungsoo yang tadinya ia jadikan tumpuan kepalanya kini menjelajahi tempat tidurnya untuk menemukan ponselnya. Dengan cepat Myungsoo membuka daftar kontaknya dan diam mengamati nama Min-rin yang tertera disana.
Ini sudah yang kesekian kalinya Myungsoo ragu untuk menghubungi Min-rin. Alasan utama kenapa ia sangat ingin menghubungi Min-rin tentu saja ucapan Sungjong di studio foto tadi. Juga rasa penasarannya yang―sialnya―belum dijawab oleh Sungjong. Tapi di satu sisi Myungsoo juga bingung. Apa yang harus ia katakan saat teleponnya tersambung nanti? Tidak lucu jika ia langsung menutup teleponnya sesaat setelah Min-rin berkata ‘yoboseyo’ atau jika nanti ia hanya bisa terbengong-bengong.
“Dasar pengecut,” gumam Myungsoo pada dirinya sendiri.
***
Perpustakaan sekolah selalu terasa sepi―suasana ideal dan nyaman untuk menenggelamkan diri dalam tumpukan buku dari berbagai genre. Tentu saja. Kursi-kursi yang disediakan untuk tempat membaca bagi para pengunjung terlihat penuh. Terutama oleh anak-anak kelas tiga yang akan menghadapi ujian masuk universitas.
Myungsoo mendesah kecewa ketika ia kalah cepat merebut satu kursi terakhir dengan seorang siswa kelas tiga. Beruntung jaraknya dengan siswa itu cukup jauh. Jika siswa tadi mendengar desahan―dan mungkin sedikit makiannya―tentu Myungsoo akan menghadapi masalah serius.
Namun Myungsoo sadar, tempat tadi bukanlah satu-satunya tempat yang dikhususkan untuk para pengunjung membaca buku. Masih ada satu tempat dari empat tempat yang tersisa yang belum Myungsoo jamah. Tangan Myungsoo membenahi letak buku fotografi yang berada di tangan kirinya lalu melangkah ke tempat terakhir itu.
Hati Myungsoo bersorak girang ketika melihat betapa sepinya tempat terakhir itu. Mengingat tempat itu cukup terpencil di perpustakaan dan bagi Myungsoo, kurang populer di kalangan pengunjung perpustakaan. Padahal tempat yang bersebelahan dengan lapangan sepak bola di luar itu cukup memberi suasana baru. Ditambah jejeran pohon maple yang berjarak dekat dari luar jendela.
Mungkin karena itu tempat ini kurang populer. Tidak ada yang ingin membaca buku dengan tenang lalu tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan anak-anak yang sedang asyik bermain bola di luar. Tapi bagi Myungsoo tidak masalah.
Myungsoo kembali dikejutkan oleh apa yang dilihatnya. Matanya baru saja melihat Min-rin tengah duduk sendirian dan di samping gadis itu terdapat beberapa tumpukan buku. Perang batin kembali terjadi di dalam diri Myungsoo. Apakah ia harus menghampiri Min-rin atau tidak?
Yah, Myungsoo tidak ingin menjadi pengecut seterusnya. Maka dari itu ia lalu memberanikan dirinya untuk melangkah mendekati Min-rin.
“Hai, boleh aku duduk disini?”
Suara itu tidak asing bagi telinga Min-rin. Min-rin mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa gerangan si empunya suara itu. Tebakannya tidak salah. Pemilik suara itu adalah Kim Myungsoo.
“Oh, hai!” sapa Min-rin ceria. “Geureom, kau boleh duduk di situ.” Min-rin mengedikkan dagunya ke kursi di depannya.
Myungsoo tersenyum lega. Lega karena ia berhasil mengalahkan sisi pengecutnya dan juga sebagai tanda terima kasih. Myungsoo tidak berharap Min-rin mengetahui alasan pertama tadi.
Kepala Myungsoo sedikit melongok ke bacaan yang tengah dibaca Min-rin. “Jadi apa yang kau baca?”
“Aku? Oh, ini…kumpulan cerpen Edgar Allan Poe. Dan aku sedang membaca cerpennya yang berjudul “The Tell-Tale Heart”.” Min-rin menunjukkan buku yang tenah dibacanya.
Mata picing Myungsoo seketika membelalak lebar. “Kau membaca cerpen itu dalam bahasa Inggris?!” Myungsoo mengontrol suaranya agar tidak terlalu menarik perhatian pengunjung perpustakaan yang lain, terlebih lagi penjaga perpustakaan.
Min-rin tekikik. “Eo,waeyo? Kenapa semua orang kelihatan kaget saat tahu aku membaca…apapun itu, terutama buku dalam bahasa Inggris?”
Myungsoo mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi bagiku itu sungguh…hebat. Kurasa aku harus berguru bahasa Inggris padamu selain fotografi,” ujar Myungsoo dalam nada bertanya. Hatinya terasa tenang ketika mendengar tawa pelan Min-rin.
“Dan apa yang kau baca?” tanya Min-rin.
Myungsoo memamerkan buku yang dibawanya. “Aku butuh mempelajari beberapa teknik fotografi. Oh, apakah kau masih membaca buku-buku seperti ini?” sindir Myungsoo dalam konteks candaan.
“Geureom! Aku belum seahli itu. Yah, meskipun aku lebih suka untuk langsung bereksperimen…tapi aku tetap membutuhkan buku-buku dan bacaan-bacaan yang bisa memperkaya kemampuan fotografiku.”
“Uuuu, meosissne!” puji Myungsoo. Lagi, Min-rin tertawa pelan. Batin Myungsoo kembali menjerit. Ia tidak ingin suasana nyaman yang telah susah payah ia bangun berakhir dengan canggung atau hancur begitu saja, “Kau bisa membacakan satu atau beberapa baris dalam cerpen itu yang kau suka?”
“Tentu. Tapi hati-hati, jangan sampai terpana.” Min-rin mengerling singkat pada Myungsoo di sela-sela pencariannya. “Nah, ini dia! Sekarang dengarkan aku.”
“Eo.”
Min-rin berdehem sebagai awalan yang dibalas tawa pelan Myungsoo yang menganggap hal itu berlebihan. “I think it was his eye! Yes, it was this! He had the eye of a vulture — a pale blue eye, with a film over it. Whenever it fell upon me, my blood ran cold; and so by degrees –very gradually — I made up my mind to take the life of the old man, and thus rid myself of the eye forever.” Min-rin menyelesaikan bacaannya. “Eottae?”
Myungsoo terbengong. Ia sudah gagal. Gagal agar tidak terpana pada Min-rin. Yah, Myungsoo memang terpesona oleh bagaimana lancar dan lihainya pengucapan bahasa Inggris Min-rin. Tapi ia juga―makin―terpesona pada sosok Min-rin sendiri.
“Wow! Daebak! Darimana kau belajar pengucapan seperti itu?” desis Myungsoo tidak percaya. Tubuhnya yang sedikit condong ke depan menjadi tanda ketertarikannya.
“Gumawo.” Min-rin berterimakasih pada pujian Myungsoo dulu sebelum menjawab pertanyaan Myungsoo, “Aku diajari oleh orang banyak. Ada Chin-ho oppa, Hae-ra eonni, Dan-bi eonni, dan Yun-seo oppa.”
Kepala Myungsoo sedikit menggeleng-geleng ketika mendengar nama-nama asing itu. Tapia da satu nama yang tidak asing baginya, “Chin-ho? Pria yang menghampirimu saat kita melakukan wawancara? Yang…tinggal denganmu?” lidah Myungsoo terasa kelu saat mengucap kalimat terakhir.
Min-rin mengangguk mantap. “Ingatan yang bagus.”
“Dan…siapa mereka semua? Nama-nama asing bagiku yang kau sebut tadi.”
“Ahh…mereka juga adalah orang-orang yang tinggal bersamaku.”
“Mwo? Jadi…kau tinggal bersama banyak orang?” satu hipotesis terlontar dari mulut Myungsoo.
“Eo. Awalnya aku dan ibuku tinggal di Seoul, tapi saat aku SMP ibuku dipindahtugaskan ke Jeju-do. Saat itu aku bersikeras tidak mau pindah ke Jeju karena aku baru saja memulai kehidupan SMP-ku. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di sebuah koshiwon. Tapi koshiwon yang kutempati sangat tidak nyaman bagiku yang masih seorang anak kecil dulunya. Jadi aku mencari tempat tinggal setelah setahun tinggal di koshiwon itu…dan aku menemukan seseorang yang menyewakan kamar-kamar rumahnya. Orang itu adalah pemilik TASTY café. Dan dari situ pulalah aku bisa tinggal bersama dengan banyak orang,” jelas Min-rin panjang lebar.
“Ohhh.” Myungsoo mengangguk-anggukkan kepalanya. Informasi yang ia dapatkan lebih dari cukup. Melebihi harapannya. “Oh, begitu,” ujar Myungsoo lagi. Sekarang ini hatinya merasa lebih dari tenang. Senyum tanpa ia sadari mulai mengembang di bibirnya.
“Yah, begitu,” respon Min-rin singkat. Tapi sudah memberi tambahan dosis lega pada Myungsoo.
“Oh ya, kalau begitu kau tidak keberatan jika tiba-tiba aku menelepon atau mengirimimu pesan singkat, kan? Yahh…kau tahu, seperti kataku tadi, mungkin aku harus berguru fotografi dan bahasa Inggris padamu.” Myungsoo mengalihkan topik pembicaraan.
“Aish, sudah berapa kali kubilang ‘boleh’? Tentu aku belum sehebat fotografer-fotografer professional, tapi katamu yang ingin berguru padaku…wah, itu membuatku langsung besar kepala,” kelakar Min-rin.
Myungsoo tertawa singkat.
Keduanya tidak menyadari keberadaan penjaga perpustakaan yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Ketika aku berkeliling sebentar, aku menemukan ribut-ribut. Ternyata kalian berdua biang keroknya. Jadi jika kalian ingin berdiskusi, sebaiknya lanjutkan di luar atau jika perlu bergabung saja dengan tim debat. Tapi jika kalian masih ingin menikmati buku yang kalian baca, aku harap kalian tidak bicara sepatah kata lagi.”
Min-rin dan Myungsoo kontan menoleh ke sumber suara. Keduanya meringis ketika petugas perpustakaan memergoki mereka sedang mengobrol. Jeon Sunyoung, salah satu petugas perpustakaan sekolah yang baru menginjak usia dua puluh tujuh tahun itu sebenarnya bukan tipe penjaga perpustakaan yang galak.
Ia terbilang cantik dengan wajah kecil dan mata bulatnya. Tubuhnya yang mempunyai tinggi rata-rata namun berkaki jenjang terlihat pas ketika mengenakan setelan kerja dan sepatu high-heels atau stiletto. Rambutnya yang panjang kadang ia gerai kadang ia gelung keatas seperti sekarang. Kacamta frame tebal yang bertengger di hidungnya tidak membuatnya terlihat culun atau terlihat seperti kutu-buku. Ia justru terlihat cerdas.
Senyumnya juga ramah. Bisa dikatakan jika ia jugalah salah satu daya tarik pengunjung perpustakaan. Terutama siswa pria. Tapi ketika ia tersulut, image malaikat itu langsung berubah.
“Kenapa kalian hanya diam?” Sunyoung merasa kesal karena diabaikan.
“Eonni, katamu tadi kami tidak boleh mengucapkan sepatah katapun jika masih ingin menikmati buku yang kami pinjam,” Min-rin berkilah.
“Aish, dasar kau, Choi Min-rin!” Sunyoung memutar kedua bola matanya sebelum beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah, Sunyoung kembali ke tempat Min-rin dan Myungsoo. “Tetap diam!” katanya memperingatkan.
Min-rin tersenyum lebar sambil mengangguk. Mata Min-rin lalu saling beradu pandang dengan mata Myungsoo yang sama-sama menahan tawa mereka agar tidak meledak atau Sunyoung akan berubah menjadi iblis.
***
Sung-gyu berjalan cepat melewati beberapa kerumunan anak-anak yang ada di koridor-koridor sekolah. Raut wajahnya tidak ditekuk layaknya yang sering ia tampilkan tiap kali rapat redaksi bersama tim majalah sekolah. Tapi tetap saja satu-dua umpatan tetap keluar dari mulutnya karena Min-rin.
Sun-gyu sedang mencari Min-rin dan kata Sungjong ia melihat Min-rin di taman. Nyatanya saat Sung-gyu sudah mengelilingi taman sekolah sosok Min-rin sudah taka da. Beruntung ia menemukan Sungyeol. Sungyeol bilang Min-rin mungkin sedang menikmati makan siang di atap. Tanpa ba-bi-bu, Sung-gyu pergi ke atap. Lagi-lagi hasilnya nihil.
Saat Sung-gyu pergi ke ruang fotografipun yang ia jumpai hanyalah Hee-young, Dongwoo, dan tiga orang murid kelas satu. Dan umpatan Sung-gyu bermula dari ruang klub fotografi itu. Kenapa Min-rin bisa menghilang secepat itu?!
“Kau tahu dimana bocah sialan itu berada?” tanya Sung-gyu pada siapapun di ruangan klub fotografi.
“Min-rin bisa berada di mana saja di tiap sudut sekolah ini.” Jawaban Hee-young semakin membuat Sung-gyu geram.
“Ya, kenapa kau tidak menghubunginya saja lalu bertanya padanya?” sahut Dongwoo.
“Jika aku bisa menghubunginya, aku pasti sudah akan melakukannya dari tadi dan bukannya mondar-mandir seperti orang tersesat. Ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi asal kau tahu,” cibir Sung-gyu.
“Kami juga tidak tahu.” Hee-young menggeleng.
“Cih!” Sung-gyu mendecih, “Tapi terima kasih,” buru Sung-gyu lalu kembali menyusuri sekolahnya yang tidak bisa dibilang sempit ini. Dalam hati ia berjanji akan memberi Min-rin pelajaran.
Alunan musik hip-hop yang bertempo sedang―Foolin’ Around―mengalun dari mp3 player milik Howon dan menyebar ke seluruh penjuru ruang tari. Howon kelihatan begitu fokus pada pantulan bayangannya di cermin. Menelisik dengan cermat apa ada gerakannya yang salah atau tidak. Tapi sesekali mata Howon melirik kearah Min-rin yang duduk bersila di belakang sana. Menyandarkan punggungnya ke tembok seraya menikmati penampilan Howon.
Sesekali Howon meminta Min-rin untuk memutar mundur musiknya karena ada gerakan yang dirasanya sudah pas. Ia juga tidak lupa meminta pendapat Min-rin untuk tiap gerakan baru yang ia buat.
“Howon–ah, aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dance. Jadi berhentilah meminta pendapat dariku, oke?” pinta Min-rin.
“Tidak boleh?” Howon balas bertanya.
“Bukan begitu. Hanya saja…apa yang bisa kukatakan? Apa yang bisa kukomentari? Bagaimana jika saranku malah memperburuk koreomu?”
“Kau hanya cukup berkata, “Howon jjang!”. Itu sudah cukup.” Howon mulai bersikap narsis.
“Heish, dasar! Istirahatlah dulu. Lihat tubuhmu yang banjir keringat itu.”
Howon menunduk melihat tubuhnya ke bawah. Baju seragamnya sudah hampir basah kuyup karena keringat. Ia akhirnya menuruti kata Min-rin untuk beristirahat sejenak. Segera Howon mengambil tempat di samping Min-rin untuk meluruskan kaki-kakinya.
“Yoghurt?” tawar Min-rin dengan sekotak yoghurt dingin rasa anggur di tangannya.
“Gumawo.” Howon menerima yoghurt yang ditawarkan Min-rin. Baru setelah menghabiskan setengah isi yoghurt itu Howon mengusap keringat yang membanjiri wajahnya dengan sapu tangan putih miliknya. Howon lalu beralih pada mp3 playernya dan mengganti lagunya dengan yang lebih lambat.
“Setelah ini kau akan kembali latihan?” tanya Min-rin.
Howon memandang Min-rin heran. “Memang kenapa?”
“Kau tidak lelah? Kenapa tidak istirahat saja? Tarianmu sudah bagus, kok!” kata Min-rin dengan cepat.
Howon tertawa pelan. “Bilang saja kau mulai bosan.”
Min-rin mengulum senyumnya. Seperti biasa, Howon selalu bisa menebaknya dengan mudah. Entah apakah Howon yang memang pandai dalam menebak seseorang atau memang dianya yang mudah ditebak. Tapi Min-rin lebih setuju pada opsi kedua meski itu terlihat mempermalukan dirinya sendiri.
“Sedikit.” Min-rin memberi isyarat dengan telunjuk dan jempolnya.
“Katamu kau tidak bisa menari. Jinjja?” Howon mengalihkan pembicaraan.
“Kau masih bertanya akan hal itu? Jadi secara tidak langsung kau mengejekku, begitu?” tebak Min-rin sedikit kesal.
Deretan gigi putih Howon kembali nampak. “Justru aku akan mengajarimu menari.” Howon berdiri dan mengulurkan tangannya pada Min-rin. “Kaja, kau tidak akan menyesalinya. Aku tidak sering berbaik hati asal kau tahu,” lanjut Howon ketika melihat pancaran ekspresi ragu di wajah Min-rin. Ia mengganti lagu di mp3 playernya sejenak.
Akhirnya Min-rin mengalah dan menerima uluran tangan Howon. Howon mengajak Min-rin menuju ke tengah-tengah ruangan. Langkah Min-rin terlihat sedikit kikuk mengingat dia begitu payah dalam hal tari-menari, berbeda dengan Howon.
“Nah, sekarang taruh tangan kirimu di pinggangku dan aku akan menaruh tangan kananku di pinggangmu sementara tangan kita yang bebas akan saling menggenggam,” perintah Howon lembut.
Kening Min-rin langsung berkernyit, “A…apa kau bilang tadi?”
“Haish, makanya dengarkan dengan baik.” Howon tidak menjawab pertanyaan Min-rin atau mengulangi perkataannya tadi. Melainkan langsung melakukan apa yang tadi ia katakan. Mata Howon lalu melihat jarak di antara dirinya dan Min-rin. “Tarian ini akan lebih terlihat bagus jika jarak kita dekat.”
“Dekat apa? Woooahh!” Min-rin yang heran langsung terkejut ketika Howon menariknya mendekat. Aroma perpaduan antara pinus dan peppermint menyegarkan yang menempel di tubuh Howon segera menusuk penciuman Min-rin. Aneh mengingat aroma menyegarkan itu masih melekat pada tubuh Howon yang sudah banjir keringat.
“Ikuti langkahku dulu,” pinta Howon. Kakinya mulai bergerak diikuti langkah patah-patah dari Min-rin. “Tarian ini dinamakan Foxtrot, salah satu jenis tarian ballroom yang populer. Kau akan membutuhkan tarian-tarian semacam itu di saat pesta kelulusan nanti.”
“Itu masih lama,” kilah Min-rin.
“Yah, dan mengingat kemampuan menarimu yang payah, kau butuh latihan lebih awal,” kekeh Howon. Min-rin langsung memberengut. “Pada tarian ini, penari akan mengambil langkah jauh saat musik dalam tempo lambat dan langkah cepat saat musiknya juga bertempo cepat. Seiring dengan meningkatnya tempo musik, penari harus makin memperpendek dan atau mempercepat langkah mereka.”
“Araseo. Ada lagi?”
Howon merasakan pergerakan kakinya dan Min-rin sejenak. “Jarhaesseo, kau cepat beradaptasi dengan gerakan kakiku.”
“Kau mengejekku atau memujiku dalam artian sarkastik?”
“Aku serius,” ucap Howon penuh penekanan.
“Oke.” Min-rin mengangguk singkat.
“Nah, sekarang tempo gerakan kaki yang umum adalah seperti ini―ikuti langkah kakiku. Lambat, cepat, cepat. Lambat, lambat, cepat, cepat.” Howon memberi aba-aba seraya menggerakkan tubuhnya dan Min-rin berputar.
“Aigo, eotteohkae?” Min-rin menertawakan dirinya sendiri yang kepayahan mengikuti langkah kaki Howon.
“Gwaenchana, gwaenchana. Nal mideora,” gumam Howon.
“Disini rupanya kau, Choi Min-rin.”
“Disini rupanya kau, Choi Min-rin.” Sung-gyu tersenyum miring yang mengerikan.
Sosoknya yang berdiri di ambang pintu ruang kesenian terlihat seperti monster yang akan menelan Min-rin bulat-bulan dalam kejapan mata. Melihat Sung-gyu, Min-rin segera melepaskan tangannya dari pinggang dan genggaman Howon. Tapi tidak dalam gerakan cepat seperti dalam film-film dimana kekasih sang wanita memergoki wanita itu sedang bersama pria lain. Ada raut tidak rela yang terlihat dari wajah Howon.
“Kenapa kau mencariku?” tanya Min-rin polos.
Sung-gyu melangkah mendekati Min-rin lalu berkacak pinggang, “Kau tidak tahu?”
Alis Min-rin bertaut. “Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak memberitahuku?”
Wajah Sung-gyu kembali ditekuk. “Kau benar-benar tidak tahu dimana letak kesalahanmu, eoh?”
“Ani.” Min-rin menggeleng lemah.
Howon hanya mampu diam menyaksikan apa yang sedang terjadi seraya menerka-nerka kira-kira apa yang akan terjadi di detik berikutnya. Dalam sekejap kehadirannya di situ diabaikan.
“Jadwal terbit majalah sekolah semakin dekat,” Sung-gyu memberi petunjuk.
“Lalu? Dimana letak kesalahannya?” tanya Min-rin dengan tampang tidak berdosa.
“Kau masih bertanya dimana?!” seru Sung-gyu. “Letak kesalahannya adalah dirimu, Choi Min-rin! Kau belum memberi semua foto yang dibutuhkan! Sungyeol sudah cukup menjadi korban amarahku karena kau!”
“Mwo? Aku belum memberimu semua fotonya?”
Sung-gyu tersenyum, “Sudah.” Lalu senyumnya berubah menjadi wajah datar dengan mata sipit yang makin menyipit, “Tapi itu untuk edisi kemarin!”
“Akh! Kau benar!” Min-rin berseru menepuk dahinya sendiri.
“Jadi apa aku boleh menculiknya?” Sung-gyu bertanya pada Howon yang sedari tadi berdiri di samping Min-rin.
“Silahkan saja.” Howon mengangkat bahunya ringan.
“Nah, mari nona Choi Min-rin,” cibir Sung-gyu.
Langkah Myungsoo sempat terhenti ketika ia melihat Min-rin diseret keluar oleh Sung-gyu. Mereka nampak terburu-buru tapi Min-rin masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Dan hal itu membuat Myungsoo senang sekaligus bingung keheranan.
Tapi Myungsoo kembali melangkahkan kakinya. Saat ia melewati ruang tari, ia berpapasan dengan Howon yang berdiri di ambang pintu. Mata Howon tertuju pada sosok Min-rin yang makin menjauh.
Sejenak Myungsoo berpikir tanpa sadar. Jadi Sung-gyu datang menerobos masuk ke dalam saat Howon dan Min-rin sedang bersama. Rasa cemburu lalu mulai menyergap hati Myungsoo. Pandangannya sempat bertemu beberapa detik dengan pandangan Howon. Entah hanya perasaannya saja atau Howon memang menatap dengan pandangan yang tak biasa padanya. Ada rasa waspada dalam pandangannya.
To be continued - go to the next part