home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Picture Of You

Picture Of You

Share:
Author : Nuevelavhasta
Published : 24 Dec 2014, Updated : 13 Feb 2015
Cast : Kim Myung Soo (L INFINITE), Choi Min Rin (OC), INFINITE's & TASTY's member, OCs
Tags :
Status : Ongoing
2 Subscribes |11720 Views |6 Loves
Picture of You
CHAPTER 6 : Picture Of You - Chapter 5

 

 

            Myungsoo berjalan masuk ke dalam TASTY café. Ini pertama kalinya ia berkunjung ke café yang direkomendasikan oleh Sungjong beberapa hari yang lalu. Bel di pintu masuk masih terdengar berdering samar saat Myungsoo sudah melangkah sedikit. Café terlihat cukup lengang, tapi Myungsoo belum bisa menemukan dimana Min-rin dan hobae yang akan mewawancarainya.

            Pikiran Myungsoo menuntunnya untuk berjalan ke kasir. Si kasir tersenyum ramah dan menyapa Myungsoo ketika namja itu mendekat. Myungsoo tersenyum tipis sebagai balasan. Dae-ryong, Myungsoo membaca name-tag yang tersemat di celemek coklat kasir itu.

            “Apa ada yang bisa kubantu?” tanya Dae-ryong ramah.

            “Ah, ne. Aku sedang ada janji dengan Choi Min-rin dan Son Ye-bin. Min-rin bilang dia memakai baju….” Myungsoo berhenti bicara dan mengeluarkan ponselnya. Ia akan mengecek pesan yang dikirimkan Min-rin tadi.

            “Kau bilang Choi Min-rin?” koreksi Dae-ryong.

            Myungsoo mengangguk lalu mengalihkan pandangannya sekilas dari ponselnya. “Ne, Choi Min-rin. Choi Min-rin dan Son Ye-bin.”

            Dae-ryong tersenyum. “Kalau begitu mereka ada disana.” Tangan Dae-ryong terjulur kearah meja Min-rin dan Ye-bin.

            Myungsoo berdecak pelan karena pesan Min-rin yang baru saja ia temukan jadi sia-sia. Pandangan Myungsoo lalu mengikuti arah tangan Dae-ryong. Bisa Myungsoo lihat Ye-bin yang melambai padanya sambil tersenyum tipis.

            “Kau benar, itu mereka.” Myungsoo mengangguk sekilas.

            “Kalau begitu silahkan.” Dae-ryong tersenyum mempersilahkan.

            Tubuh jangkung Myungsoo membungkuk sedikit pada Dae-ryong. “Kamsahamnida.” Dae-ryong hanya tersenyum lebar sebagai balasan.

            “Myungsoo sunbaenim!” panggil Ye-bin.

            Myungsoo tidak dapat menahan senyumnya karena ia melihat sosok Min-rin juga ada disana. Kaki-kakinya berlari kecil kearah Ye-bin. Ia tidak pernah merasa sesenang ini ketika akan melakukan wawancara. Bukan berarti ia tidak pernah suka diwawancara, hanya saja kali ini sensasinya berbeda. Lebih membuatnya senang.

            “Mianhae, aku sedikit terlambat.” Myungsoo sedikit membungkukkan badannya.

            “Andaikan kau terlambat lebih lama mungkin aku sudah menendangmu,” kelakar Min-rin. Myungsoo tertawa kecil.

            Ye-bin menggeser duduknya dan tasnya. “Silahkan duduk di sini, sunbae.”

            “Eo, gumawo.” Myungsoo duduk di tempat yang sudah disediakan.

            “Ja, kau bisa memulai wawancaranya, Ye-bin. Biarkan aku memesan minuman untuk Myungsoo. Mungkin kau ingin tambah minuman atau pesan makanan? Kau juga ingin pesan makanan, Myungsoo?” Min-rin bangkit dari duduknya.

            Ye-bin mengibaskan tangannya. “Aku masih kenyang. Satu moccachino, eonni.”

            Min-rin mengangguk. “Geurae. Kau mau pesan apa, Myungsoo?” tatapan Min-rin beralih pada Myungsoo.

            “Satu frappe. Tall size.” Telunjuk Myungsoo teracung.

            “Oke. Silahkan mulai wawancaranya.” Min-rin menepuk pundak Ye-bin sebelum pergi memesan.

            “Annyeong sunbaenim, Son Ye-bin imnida.” Ye-bin memperkenalkan dirinya sebagai formalitas. Telunjuknya dengan cepat menari halus di ponselnya. Mulai dari sekarang segala percakapan mereka akan terekam.

            “Ah, ne, annyeong. Kim Myungsoo imnida, untuk berjaga-jaga jika kau tidak tahu atau belum tahu atau lupa namaku.” Myungsoo memperkenalkan diri dengan diselipi candaan agar suasananya tidak terlalu kikuk.

            Ye-bin tertawa mendengarnya. Tangan kanan dan kirinya bersamaan meraih bolpoin dan notebook kecilnya. “Jadi bisa kita mulai wawancaranya?”

            Kepala Myungsoo mengangguk. “Tentu. Silahkan.”

            “Sekarang kau adalah model yang sedang naik daun, kita tidak usah ragu lagi mengenai hal itu. Tapi tentu pencapaianmu di titik ini tidak lahir begitu saja, sejak kapan kau memulai karirmu sebagai model, sunbae?”

            Myungsoo tersenyum. Pertanyaan yang sangat standar baginya. Hyeonwoo hyeong, manajernya sudah mengajarinya cara menjawab berbagai pertanyaan. Dari yang paling standar hingga bagaimana mengatasi pertanyaan yang mengejutkan, menjebak, atau diluar skenario. Pertanyaan Ye-bin tadi tentu bukan masalah besar bagi Myungsoo.

            “Sejak kelas tiga SMP. Awalnya aku hanya mengikuti audisi secara iseng karena aku merasa bosan dan tidak punya pekerjaan. Tidak kusangka aku diterima dan sekarang aku benar-benar sibuk.” Myungsoo mengakhiri jawabannya dengan sedikit tawa. Ye-bin ikut tertawa sambil mencoret sesuatu di notebooknya, mungkin pertanyaan yang barusan ia ajukan.

            “Maaf mengganggu wawancaranya, tapi ini pesanan kalian.” Min-rin datang sambil membawa nampan berisi penuh dengan minuman pesanan mereka bertiga dan savory creeps miliknya. “Savory creeps ini milikku, tapi jika kalian ingin memakannya silahkan ambil. Aku tidak akan mengenai biaya tambahan pada kalian,” lanjut Min-rin.

            Ye-bin tanpa sungkan mengambil secuil savory creeps. “Aku tidak akan ragu.”

            Min-rin tertawa dan mengangkat bahu. “Eo, tapi lanjutkan dulu wawancaramu. Ah ya, jangan hiraukan aku di sini, Myungsoo. Anggap saja aku audience kalian atau semacamnya…dan jangan kaget atau risih saat aku tiba-tiba mengambil foto kalian. Usahakan agar wajah kalian tetap terlihat menawan dari sudut manapun, oke?” Min-rin membentuk tanda ‘oke’ menggunakan telunjuk dan jempolnya.

            Myungsoo terpana. Ia masih tidak bisa melupakan cara Min-rin tertawa tadi. mungkin itu adalah tawa pertama Min-rin yang pernah ia lihat dalam jarak sedekat ini. Myungsoo dalam hati tidak menyetujui ucapan Min-rin tadi yang menyuruhnya untuk mengabaikan Min-rin selama ia melakukan wawancara.

            Tidak bisa, tidak akan bisa. Sekeras apapun Myungsoo mencoba, ia tidak akan bisa mengabaikan keberadaan Min-rin. Kehadiran Min-rin dalam jarak sedekat ini sudah cukup ampuh untuk memporak-porandakan konsentrasinya. Padahal yang dilakukan Min-rin hanyalah duduk, menyesap kopi, makan savory creeps, dan memotret juga kadang bermai ponsel. Wawancaranya tidak berjalan mulus tapi masih bisa ia kendalikan. Dan Ye-bin harus berulang kali memanggil nama Myungsoo agar Myungsoo kembali ke alam sadarnya.

 

 

            “Ja, wawancara selesai, mari kita ambil foto kalian berdua. Aku akan membutuhkan di halaman terakhir artikel ini.” Min-rin bersiap dengan kameranya. “Ye-bin–ah, kau harus lebih dekat dengan Myungsoo. Nah, begitu. Bisa kalian tersenyum dan melakukan pose yang sama? Peace-sign misalnya? Yak, bagus begitu, pertahankan. Hana, dul, set!” cklik! Hitungan ketiga Min-rin bebarengan dengan bidikannya.

            Myungsoo menelan ludahnya. Ia ingin berkata sesuatu tapi lidahnya terasa begitu kelu. “Kau tidak mengambil foto bersama kami?” tanya Myungsoo.

            “Nuguya? Naega?” Min-rin menunjuk dirinya sendiri. Kepala Myungsoo mengangguk cepat sebagai balasan. Tawa sekilas Min-rin terdengar. “Aniya. Untuk apa? Tugasku hanya sebagai juru foto disini. Aku orang yang berada di belakang kamera, bukan orang yang berada di depan kamera sepertimu, Myungsoo,” jawab Min-rin.

            “Ah, ah, geurae…geurae.” Bibir Myungsoo tersenyum tipis.

            Dae-ryong kemudian datang ke meja Min-rin sambil membawa nampan berisi enam cup kue red velvet yang menggugah selera. Bau kuenya masih sangat tajam menandakan kue-kue sedap itu baru saja diangkat dari oven.

           “Wawancaranya sudah selesai? Kalau begitu silahkan nikmati kue red velvet ini. Tidak usah sungkan-sungkan, ini gratis.” Dae-ryong mengedipkan sebelah matanya.

            “Ah, kamsahamnida.”

            “Kamsahamnida.”

            Suara Myungsoo dan Ye-bin terdengar bersahutan, namun suara berat Myungsoo masih kalah dengan suara ringan Ye-bin.

           “Gumawo oppa.” Min-rin tersenyum manis yang dibuat-buat pada Dae-ryong. “Sekarang pergilah sana. Hush, hush!” tangan Min-rin terkibas-kibas sebagai isyarat mengusir Dae-ryong.

            “Haish! Geurae!” Dae-ryong balas berkata dengan nada ketus yang dibuat-buat pula lalu pergi.

            Ye-bin mengambil satu cup red velvet dan langsung menggigitnya hingga tinggal setengah. “Kau sering mampir ke café ini, eonni?”

          Senyum kemenangan dan sombong tersungging di wajah Min-rin. “Eo, aku adalah pelanggan setia di café ini.”

            Myungsoo hanya diam menikmati jatah red velvetnya. Jujur saja, ia tidak punya ide untuk memulai bahan obrolan atau untuk mengalihkan pembicaraan dua gadis yang kini asyik mengobrol. Girls’ talk. Myungsoo tidak berdaya menghadapi hal satu itu. Ia lebih memilih diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

            Sesekali Myungsoo menyahut jika Min-rin atau Ye-bin bertanya sesuatu padanya. Tapi sedari tadi Myungsoo tidak bisa berhenti mencuri pandang kearah Min-rin dan buru-buru mengalihkan pandangannya saat ia tahu pandangannya dan Min-rin akan berbenturan. Tapi ketika ia sudah tertangkap basah memandangi Min-rin, Myungsoo hanya akan tersenyum kikuk. Beruntung ia baru tertangkap sekali sedari tadi.

            “Goodnight, Min-rin!”

            Seorang pria muda berkacamata persegi dengan frame tebal warna hitam tiba-tiba menghampiri Min-rin dan merangkul Min-rin dengan penuh percaya diri sambil tersenyum lebar. Telunjuk pria itu membenahi letak kacamatanya yang agak melorot.

            “Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya pada Min-rin.

            “Chin-ho oppa! Aku sedang wawancara, tapi sudah selesai. Aku juru fotonya, Myungsoo adalah narasumbernya. Myungsoo yang model itu. Lalu Ye-bin, dia hobaeku di sekolah sebagai pewawancara,” jawab Min-rin. Tangannya ikut menunjuk orang yang ia maksud.

            “Hai!” Chin-ho mengangkat tangannya dan tersenyum pada Myungsoo dan Ye-bin. Min-rin ikut tersenyum. Mood Chin-ho sedang baik malam ini sepertinya. Ye-bin dan Myungsoo saling menyahut sapaan Chin-ho dan menundukkan kepala mereka sekilas. “Sepertinya aku akan langsung ke kamarku, ada sedikit tugas yang harus kuselesaikan,” kata Chin-ho pada Min-rin.

            “Eo, geunyang ka. Nanti aku juga akan merecokimu di kamarmu.” Min-rin menjulurkan lidahnya dan menariknya dengan cepat.

            Tawa samar Chin-ho terdengar. Tangan Chin-ho yang terlihat kokoh itu lalu mengacak-acak pelan rambut Min-rin sebelum ia pergi ke kasir terlebih dahulu untuk memesan kopi sebelum bergegas ke kamarnya. Ye-bin tidak begitu peduli dengan Chin-ho, tapi Myungsoo sangat peduli.

            Myungsoo yakin ia pernah melihat Chin-ho. Tapi dimana tepatnya ia lupa. Sejenak Myungsoo mengamati dasar gelas kopinya yang sudah habis. Bukan hanya sekedar melamun, Myungsoo justru mencoba mengingat sosok Chin-ho. Myungsoo mulai menggali memorinya satu demi satu.

            Ia terhenyak kecil saat ingat dimana ia pernah melihat Chin-ho. Orang tadi adalah orang yang pernah menjemput Min-rin dulu, tidak jauh dari studio foto pak Yang! Batin Myungsoo berseru. Dengan cepat Myungsoo mengarahkan pandangannya ke kasir, tapi Chin-ho sudah tidak ada disana.

            Myungsoo kembali berpikir. Ada yang masih mengganjal pikirannya. Sesuatu yang lebih mengganggunya daripada Chin-ho yang datang menyapa Min-rin dan bersikap begitu intim dengan Min-rin. Lagi, Myungsoo memutar mundur ingatannya. Nanti aku juga akan merecokimu di kamarmu.

            Nah! Itu dia! Itu dia yang mengganggu pikiran Myungsoo! Ucapan Min-rin barusan. Kini Myungsoo larut dalam kebingungan. Apa maksud ucapan Min-rin tadi? Tidak mungkin…

            Myungsoo berdehem sebentar. “Dia kakakmu?” celetuk Myungsoo. Matanya tidak lepas dari Min-rin. Menegaskan ia mengajukan pertanyaan pada gadis itu.

            “Aniya. Dia hanya freshman yang baru lulus SMA dan sekarang sedang kuliah. Semester dua. Sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya.” Min-rin menggeleng.

            Myungsoo mengangguk pelan. “Ah, begitu. Kupikir ia kakakmu karena tadi kau menyiratkan bahwa kau sepertinya…tinggal bersamanya.”

            “Yah, kami memang tinggal bersama. Chin-ho oppa tinggal serumah denganku. Kau sama sekali tidak salah.” Min-rin melahap red velvet keduanya.

 

 

            Myungsoo harus mati-matian menahan kekagetannya saat ia mendengar pengakuan dari Min-rin. Pria yang dulu pernah ia temui saat menjemput Min-rin ternyata juga tinggal bersama Min-rin! Myungsoo lebih terkejut lagi saat melihat ekspresi Min-rin ketika menjawab tadi. Begitu datar dan santai seperti tidak terjadi apapun, seolah hal itu bukanlah hal yang besar.

            Tinggal bersama? Tinggal bersama? Kata-kata itu terus menusuk-nusuk pikiran Myungsoo. Sebenarnya apa hubungan Min-rin dengan pria bernama Chin-ho itu? Kenapa mereka tinggal bersama? Keduanya bahkan tidak ada hubungan darah sama sekali! Jadi apa keduanya punya hubungan khusus? Batin Myungsoo terus berkecamuk.

            “Sunbae.” Tepukan ringan di lengan Myungsoo oleh Ye-bin membuyarkan lamunan Myungsoo. Myungsoo hanya diam menatap Ye-bin dengan pandangan penuh tanya. “Ponselmu bergetar sedari tadi,” kata Ye-bin.

            “Oh.” Buru-buru Myungsoo menyambar ponselnya yang tergeletak di meja dan tanpa henti bergetar. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Myungsoo melihat nama yang tertera, Hyeonwoo hyeong―manajernya.

            “Eo, hyeong. Waeyo?” angkat Myungsoo.

            “…”

            “Ah, ani. Sudah selesai. Baiklah, aku akan segera kesana,” ujar Myungsoo mengakhiri teleponnya lalu bergantian menatap Min-rin dan Ye-bin. “Mianhae, aku tidak bisa berlama-lama disini. Hyeonwoo hyeong, maksudku manajerku memanggilku. Masih ada pekerjaan yang harus kuurus.” Myungsoo berdiri dari tempat duduknya.

            “Gwaenchana.” Min-rin mengangguk-angguk ringan. “Kau tidak mau makan red velvetmu?” Min-rin mengangkat satu cup red velvet.

            Myungsoo tersenyum lemah dan menggeleng pelan. “Aniya, gumawo. Aku pergi dulu. Annyeong.”

            “Annyeong!” balas Min-rin dan Ye-bin bersamaan.

            Myungsoo mengangguk sekilas sebelum pergi. Sekilas pula Myungsoo menatap kecewa Min-rin. Bukan kecewa karena ia tahu Min-rin tinggal bersama Chin-ho, tapi lebih kecewa karena ia merasa kesempatannya sudah hangus.

 

***

 

            Min-rin berjalan kearah Ho-won yang masih asyik mendengarkan musik dengan headphonenya meski bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Ho-won tidak menyadari keberadaan Min-rin karena ia meletakkan kepala dalam telungkupan tangannya di meja. Min-rin melongok untuk melihat wajah Ho-won. Ia tertidur.

            “Aish, kenapa dia harus tidur?” gumam Min-rin pelan.

            Sejenak Min-rin ragu untuk membangunkan Ho-won atau tidak. Tapi pada akhirnya Min-rin memutuskan untuk mengikuti bisikan setan di kirinya untuk ‘mengganggu’ tidur Ho-won yang terbilang cukup nyenyak.

            “Ho-won–ah, sudah istirahat. Ayo makan ke cafeteria.” Min-rin mengguncang-guncang tubuh Ho-won pelan.

            Ho-won tidak bergeming. Masih terlelap. Min-rin mendekatkan wajahnya ke wajah Ho-won. “Lee Ho-won, ireona! Pfiiuhh!” Min-rin iseng meniup wajah Ho-won. Namun Ho-won masih tidak bangun. Hanya mengernyitkan wajahnya dan kembali tidur.

            Min-rin belum menyerah. Masih dengan jarak wajah yang dekat, Min-rin melepas headphone Ho-won. “Lee Ho-won, ppalli ireona! Jigeum!

 

 

            “Lee Ho-won, ppalli ireona! Jigeum!

            Suara Min-rin kembali mengusik tidur Ho-won. Kali ini terdengar sangat jelas. Musik yang tadi jadi BGM tidur Ho-won sudah hilang. Tangan Ho-won meraba-raba telinganya. Telinganya telanjang sekarang, headphonenya sudah tidak ada.

            “Min-rin, kembalikan headphoneku,” erang Ho-won setengah bergumam, masih terpejam. Dan begitu membuka matanya, Ho-won langsung mengubah posisinya dan menarik tubuhnya kebelakang. Wajahnya dan Min-rin sangat dekat tadi. Dan itu membuat Ho-won bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.

            “Aish, kau mengagetkanku saja,” kata Ho-won setelah berhasil menguasai kekagetannya. Tapi belum dengan degupan jantungnya.

            Min-rin meringis lebar. “Kaja.”

            “Eodi?”

            “Meokeo!”

            Ho-won belum sempat berkata apa-apa tapi Min-rin sudah menariknya.

            “Ya!” Ho-won berseru saat keseimbangannya hampir hilang. Sekarang dirinya sudah diseret keluar kelas oleh Min-rin. “Kenapa kau harus membangunkanku hanya untuk pergi makan? Kau tidak bisa pergi sendiri?”

            Min-rin menoleh kearah Ho-won. “Kau selalu tidur saat istirahat dan jarang sekali menikmati waktu istirahat dalam keadaan sadar. Kau harus mencoba suasana baru. Kau tidak suka?”

            Seketika Ho-won menjadi kikuk. Ia memalingkan mukanya. Mungkin mukanya yang tadi memerah dan mereda kini kembali memerah lagi. “Ani. Kau benar, aku butuh suasana baru saat istirahat.”

            Senyum Min-rin mengembang. “Kachi kaja!” Keduanya kembali berjalan berdampingan dalam diam menuju ke cafeteria.

 

 

            Myungsoo mendesah menatap buku fiksi di tangannya. Sampulnya tidak begitu menarik tapi tidak dengan isinya. Myungsoo beruntung ia mengambil buku itu untuk dijadikan bahan tugas resensinya.

            Sekarang ia harus ke perpustakaan untuk mengembalikan buku itu. Petugas perpustakaan pasti akan memarahinya karena ia terlambat mengembalikan buku itu. Bukan terlambat satu-dua hari, melainkan dua minggu. Myungsoo lalu menghitung uang di sakunya. Memastikan uangnya cukup untuk membayar denda.

            Dengan langkah berat dan gontai karena kurang tidur semalam, Myungsoo berjalan menuju perpustakaan. Sesekali ia tersenyum dan membalas sapaan yang ditujukan padanya. Kebanyakan dari para gadis tentunya.

            “Kachi kaja!”

            Suara nyaring yang tak asing itu terdengar oleh Myungsoo. Dari arah berlawanan, Myungsoo melihat Min-rin tengah berjalan berdua bersama Ho-won. Pikiran Myungsoo tentang kejadian pada malam itu―saat ia tahu Min-rin tinggal bersama Chin-ho―kembali mengusik Myungsoo. Dan sekarang, kedekatan Ho-won dan Min-rin tambah mengusiknya. Mereka berdua hanya sahabat, kan? Seperti yang dikatakan Min-rin dulu. Ya, mereka berdua hanya sahabat.

            Myungsoo tersenyum. “Annyeong, Min-rin,” sapanya seraya berjalan melewati Min-rin dan Ho-won.

 

 

            “Annyeong, Min-rin.”

            Min-rin terkaget saat seseorang yang melewatinya menyapanya. Ia membalikkan badannya untuk melihat siapa yang menyapanya. Orang itu hanya menoleh sekilas sambil tetap berlalu, lalu ia kembali melihat kedepan.

            “Annyeong, Myungsoo!” seru Min-rin cukup keras. Dan sudah sangat keras untuk membuat hampir seluruh gadis yang ada disana menatap Min-rin dengan berbagai variasi pandangan.

            “Kau kenal Myungsoo?” tanya Ho-won. Sebersit perasaan tak aman dirasakan Ho-won.

            Min-rin mengangguk. “Aku pernah memotretnya sekali, dan tempo hari aku juga baru selesai mewawancarainya untuk majalah sekolah.”

            “Oh.” Hanya sepatah kata yang teramat singkat itu yang mampu keluar dari mulut Ho-won yang berusaha menjaga mimik wajahnya agar tetap telrihat datar.

            Memang apa yang harus ia katakan? Atau ekspresi apa yang harus ia keluarkan sekarang? Ho-won tentu sudah hafal betul, pekerjaan Min-rin sebagai fotografer lepas membuat Min-rin juga akrab dengan beberapa model. Tapi entah kenapa Ho-won merasa kurang begitu suka melihat Myungsoo yang menurutnya mulai dekat dengan Min-rin.

 

 

            “Jadi apa kau menemukan kursi kosong untuk kita?” Ho-won bertanya pada Min-rin di sampingnya.

            Tangan keduanya kompak memegang nampan berisi penuh dengan makanan. Cafeteria siang ini begitu berisik dan hampir tidak ada bangku kosong. Min-rin mengabaikan pertanyaan Ho-won dan sibuk mengamati semua sudut cafeteria.

            “Di sana.” Min-rin mengedikkan dagunya.

            Ho-won berusaha mengikuti pandangan Min-rin namun masih belum bisa menemukan tempat yang dimaksud Min-rin. “Eodi?”

            “Di sana. Ada Dongwoo, Hee-young, dan Ha-eun,” jawab Min-rin. Ho-won masih melongok-longokkan kepalanya. Mengetahui Ho-won yang masih kelihatan bingung, Min-rin berkata, “Sudah. Kita kesana saja sekarang. Tarawa.”

            Ho-won tidak punya pilihan selain mengikuti Min-rin. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat yang dimaksud oleh Min-rin. Hee-young dan Ha-eun menyapa duo Min-rin dan Ho-won yang baru datang. Ho-won hanya tersenyum sebagai balasan lalu duduk di tempat kosong di samping Dongwoo yang fokus pada makan siangnya. Min-rin dengan nekat memaksa untuk duduk di tengah-tengah Hee-young dan Ha-eun.

            “Kau ini mengganggu saja,” rutuk Hee-young. Min-rin meringis.

            “Oke, sebaiknya kita habiskan makanannya dulu baru kau boleh memprotesku semaumu. Karena apa? Karena aku sangat lapar,” ujar Min-rin cepat. Secepat itu pula Min-rin melahap makan siangnya.

            “Aish, mwoya?” cibir Ha-eun.

            Set! Min-rin mengacungkan sumpitnya. “Makan dulu,” katanya singkat.

 

 

            Makanan di nampan Min-rin dan teman-temannya sudah bersih dengan cepat sedangkan waktu istirahat masih tersisa cukup banyak. Beberapa siswa memilih untuk meninggalkan cafeteria tapi sebagian lagi memilih untuk menetap sebentar di cafeteria, bahkan menambah makan siang.

“Jadi kenapa Dongwoo diam saja sedari tadi?” Min-rin menatap heran Dongwoo yang hanya menggoyang-goyangkan kaleng sodanya berputar.

            Ha-eun mengangkat bahu. “Molla. Dia sudah begitu sejak kami datang. Hanya mengangguk saat kami bertanya apa boleh duduk disini lalu kembali diam bahkan saat kau dan Ho-won datang dan diam sampai sekarang.”

            “Neo gwaenchana?” tanya Ho-won. Biasanya sesama pria akan lebih terbuka.

            “Gwaenchana,” balas Dongwoo lemah juga senyum yang lemah.

            Dugaan Ho-won salah. Dongwoo tetap tidak mau bercerita padanya. Apa ini karena ada para gadis disini?

            “Geurae,” balas Ho-won singkat.

            Ho-won memberi sinyal pada Min-rin, Hee-young, dan Ha-eun dengan matanya agar tidak bertanya lebih jauh pada Dongwoo. Di saat seperti ini akan sia-sia untuk memaksa Dongwoo buka mulut. Toh nanti dia akan buka mulut jika dia memang ingin bercerita. Jika tidak ya sudah.

            Pandangan Min-rin baru menyadari adanya sesuatu yang ganjil di antara mereka. “Dan dimana Woohyun? Tumben dia tidak makan bersama kalian,” celetuk Min-rin.

            Hee-young memainkan sumpitnya di tangan kirinya. Sedikit pamer kelebihannya yang bisa menggunakan kedua tangannya dengan baik. “Dia sibuk mendekati seorang hobae. Sekarang dia ada disana, meja dekat jendela dari arah pintu cafeteria nomor tiga.” Hee-young melayangkan pandangannya ke meja Woohyun.

            Min-rin memicingkan matanya kearah Woohyun. Ia bisa melihat dengan jelas Woohyun tengah mengobrol dan tertawa dengan seorang hobae. Hanya berdua saja. Tapi ada yang lebih menarik perhatian Min-rin. Ya, sekarang ia tahu kenapa si konyol dan berisik Dongwoo hari ini berubah menjadi murung.

            “Pantas saja Dongwoo hanya diam sepanjang hari. Woohyun mendekati hobae yang selama ini ditaksir oleh Dongwoo,” kata Min-rin yang masih mengamati Woohyun dan si hobae. Ia lalu memalingkan kepalanya lagi. “Aku tahu, Dongwoo–ya, rasanya pasti sakit. Aku tidak menyangka jika Woohyun bisa melangkah sejauh ini padahal dia lebih akhir mengenal hobae itu. Woohyun yang memang sangat berani atau kau yang terlalu penakut, Dongwoo?” cerocos Min-rin.

            Dongwoo hanya diam menatap tajam Min-rin.

          “Apa kau bilang tadi? Hobae yang bersama Woohyun adalah hobae yang selama ini ditaksir oleh Dongwoo?” Hee-young memekik tertahan.

            Dahi Min-rin mengernyit mengetahui tatapan tajam Dongwoo yang ditujukan padanya. Sedetik kemudian Min-rin membelalak. “AIGO! Mianhae, Dongwoo–ya! Aku sudah membocorkan rahasiamu!”

            “Gumawo,” balas Dongwoo sinis.

            “Aigo, jinjja mianhae. Jinjja, jinjja!” Min-rin menggosok-gosok tangannya.

            Ho-won, Hee-young, dan Ha-eun tertawa ringan.

            “Memangnya kau tidak mengungkapkan perasaanmu pada hobae itu?” celetuk Ho-won jahil.

            Dongwoo menatap Ho-won tidak suka. Rahasianya sudah terbongkar dan pertanyaan Ho-won makin memperparah moodnya. “Niatku memang begitu. Tapi semua pupus saat dia bercerita dengan gamblangnya padaku jika dia menaruh rasa pada Woohyun. Aku bisa apa, huh?” Dongwoo tersenyum getir. Biarlah teman-temannya tahu rahasia terdalamnya. Mungkin dengan begini ia bisa merasa lebih lega.

            “Itu artinya dia bukan yang terbaik untukmu, kan? Harusnya kau bersyukur sudah mengetahui fakta itu sebelum kau mengungkapkan perasaanmu. Yah, walau faktanya menyakitkan. Tenang saja, masih ada banyak wanita di dunia ini, bung!” hibur Min-rin.

            “Itu tidak akan menambah rasa simpatiku padamu. Kau tetap tidak akan selamat karena sudah membocorkan rahasiaku,” balas Dongwoo.

            “Yakin kau tidak apa-apa? Apa Woohyun mengetahui soal ini?” sambar Ha-eun.

            “Eo, na gwaenchana. Aniya, Woohyun tidak tahu apapun,” jawab Dongwoo.

            “Kau―”

            “Cukup!” Dongwoo mengangkat tangannya sehingga ucapan Ha-eun terpotong. “Ayolah, interogasi kalian hanya membuatku terlihat makin menyedihkan. Ya, aku tidak selemah itu. Daripada kalian terus bertanya dan membuatku terus-terusan mengingat dan merasakan perasaan aneh itu, kenapa kita tidak bersikap seperti biasanya? Mungkin kalian bisa menunjukkan selera humor kalian?”

            Min-rin tersenyum. “Yeoksi, uri Dongwoo!”

            “Ya, kau tetap tidak akan selamat.” Dongwoo menunjuk Min-rin dengan telunjuknya.

            Yang lain tertawa melihat muka masam Min-rin.

            “Ara, ara,” sungut Min-rin.

 

***

 

            Hanya ada tiga studio yang dipakai di studio pak Yang di hari Minggu ini. Jumlah yang terbilang sedikit jika dibandingkan dengan hari-hari Minggu yang lain. Studio nomor dua sedang digunakan oleh Myungsoo dan Sungjong yang akan melakukan pemotretan untuk sebuah majalah remaja. Keduanya sudah terlihat siap di studio, tapi si fotografer belum terlihat memasuki studio itu.

            Sebuah sofa putih berlengan yang hanya cukup untuk satu orang ditempati oleh Myungsoo. Layar ponsel Myungsoo menampakkan tayangan anime yang sedang in musim ini. Sungjong lebih memilih untuk berdiri di ambang pintu. Ponselnya tertempel di telinga kirinya.

            “Ya, kau niat bekerja atau tidak, uh? Semua staff sudah siap!” gerutu Sungjong di telepon.

            “Ara, ara. Aku sedang dalam perjalanan ke sana,” jawab Min-rin di seberang telepon.

            “’Sedang dalam perjalanan’mu itu berbeda dengan ‘sedang dalam perjalanan’ orang kebanyakan!”

            “Ish, sikkeureo! Aku akan segera tiba disana!

            “Ppalliwa,” titah Sungjong singkat.

 

 

            Minggu pagi di rumah duo kembar Jung terasa damai. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, weekend adalah waktu santai bagi para penghuni rumah duo kembar Jung. Di ruang tengah, Dae-ryong, So-ryong, dan Dan-bi sudah menyibukkan diri dengan bermain game. Tentunya setelah Dan-bi membuatkan kopi untuk Chin-ho yang kini menikmati kedamaian Minggu pagi di musim semi di halaman depan.

            Hae-ra, Yun-seo, dan Jae-hwan yang biasanya selalu sibuk dan jarang berada di rumah kini bisa berkumpul di meja makan ditemani roti panggang buatan Hae-ra dan obrolan ringan. Hae-ra mengeluhkan chef baru yang masuk dapurnya dan selalu membuatnya kesal. Yun-seo bercerita tentang ketua timnya yang sebentar lagi akan menikah. Lalu setelah Jae-hwan membuka pembicaraan tentang seorang politikus yang sedang ia liput, trio itu larut dalam debat kusir mereka.

            “A, jam berapa sekarang ini?” celetuk Hae-ra.

            Yun-seo melirik arloji hitam yang melingkar di tangannya. “Jam delapan lebih…tujuh belas menit. Wae?”

            Hae-ra menepuk-nepuk pundak Jae-hwan di sampingnya. “Bangunkan Min-rin sekarang, oppa. Dia ada jadwal pemotretan jam sembilan nanti!”

            Jae-hwan hanya menyahut singkat dan bergegas menuju ke kamar Min-rin. Desahan Jae-hwan segera meluncur keluar mulutnya saat melihat Min-rin yang tidur begitu terlelap. Kaki panjang Jae-hwan melangkah ke tempat tidur Min-rin.

            “Hoy Min-rin, ireona! Ppalli!” suara berat Jae-hwan terdengar. Tidak lupa tangannya menepuk-nepuk pipi Min-rin.

            Min-rin menggeliat. “Ini hari Minggu, Jae-hwan oppa,” erangnya.

            “Eo, ini memang hari Minggu dan kau ada jadwal pemotretan jam sembilan nanti.”

            Braaakkk! Min-rin kontan membuka matanya dan terduduk. Ia sudah tidak peduli bagaimana penampilannya sekarang di depan Jae-hwan.

            “Jam berapa sekarang, oppa?” desis Min-rin was-was.

            “Hampir jam setengah sembilan,”

            “Harusnya kau membangunkanku lebih awaaaaaaaaaaaaallllll!” Min-rin langsung berlari ke kamar mandi. Meninggalkan Jae-hwan yang tertawa puas.

            Hanya butuh waktu sepuluh menit bagi Min-rin untuk bersiap-siap. Setelahnya Min-rin langsung turun ke bawah. Dirinya hampir jatuh terjungkal saat menuruni tangga karena terburu-buru.

            “Kau mau pergi sekarang?” tanya Hae-ra.

            “Apa aku punya waktu untuk bermalas-malasan?” Min-rin balas bertanya.

            Hae-ra bangkit dari duduknya lalu melilitkan tangannya ke leher Min-rin. Setelahnya Hae-ra menyeret Min-rin ke meja makan.

            “Eonni, aku tidak punya banyak waktu!” erang Min-rin.

            Sepotong roti di piring berpindah ke tangan Hae-ra yang kemudian menjejalkannya ke dalam mulut Min-rin dengan paksa. “Setidaknya jangan tinggalkan makan pagimu. Geunyang meokeora! Kau sudah tidak makan semalam karena keasyikan bermain game!”

            Seruan protes dari Min-rin tidak terdengar jelas karena mulutnya penuh dengan roti panggang. Tenggorokan Min-rin kepayahan untuk menelan roti itu. dan begitu bisa menelan, kini tenggorokan Min-rin terasa sakit. Yun-seo dengan tanggap menyodorkan segelas air putih pada Min-rin.

            “Aku hampir terlambat!” seru Min-rin panik.

            “Mari kuantar,” sahut Yun-seo.

            “Biar aku saja. Aku sudah jarang berada di rumah dan memperhatikan bocah tengil ini.” Jae-hwan sudah menyambar kunci mobilnya sebelum Yun-seo. Yun-seo mengangkat bahunya cuek dan memberi isyarat bagi Min-rin untuk pergi bersama Jae-hwan.

 

 

            “Ppalliwa,” titah Sungjong singkat.

            Begitu panggilan berakhir, Sungjong kembali ke dalam studio. Ia sudah bisa menduga jika pemotretan akan terlambat beberapa menit.

            “Kau kenal fotografernya?” tanya Myungsoo.

            Sungjong mengangguk. “Eo.”

            “Siapa dia?”

            “Teman seangkatan kita, Choi Min-rin.”

            Myungsoo terhenyak. “Choi Min-rin katamu?”

            “Eo. Wae?” Sungjong merasa jengah. Apa telinga Myungsoo tuli?!

            Sekelebat pikiran terlintas di benak Myungsoo. Dia baru sadar jika Sungjong adalah teman dekat Min-rin. “Apa aku boleh bertanya?”

            “Mwoga?” Sungjong kehilangan minatnya untuk mengobrol.

            “Apa Min-rin tinggal bersama seorang pria?”

            “Ah, itu―”

            “Sungjong, ayo ikut aku. Kenapa aku baru sadar jika kau salah pakai outfit?" gumam seorang cordi noona seraya menyeret Sungjong menjauh dari Myungsoo.

            “Akan kujawab nanti,” jawab Sungjong cepat sebelum cordi noonanya menariknya ke ruang lain untuk berganti baju.

 

To be continued - go to the next chapter

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK