Dentuman musik yang dimainkan oleh DJ terdengar menghentak basement salah satu bangunan. Sorak-sorai anak-anak muda yang berkumpul di sana sambil menggoyangkan badan mereka menjadi background music tersendiri. Di depan DJ yang terus memutar piringan hitam dan mengatur musik, tiga orang anak dalam satu regu terlihat unjuk kemampuan dance mereka.
Sementara pertunjukkan sedang berlangsung, seorang pria dengan gaya yang sangat anak muda kontras dengan usianya yang sudah menginjak kepala tiga lebih―snapback, kacamata hitam besar yang hampir memenuhi wajahnya, jaket kulit hitam yang terlihat kontras dengan kaus putihnya―terlihat berkeliling sambil membawa kantong warna hijau gelap yang pucat. Lembar demi lembar won masuk ke kantung itu. Ia tidak tinggal diam. Ia turut bersorak-sorak seperti anak-anak lainnya. Selesai berkeliling, ia menepi untuk menyerahkan uang yang sudah terkumpul itu pada sahabatnya untuk dihitung.
“O! Ho-won! Lee Ho-won! Aigoooo, Lee Ho-won!” pria itu berseru kegirangan saat melihat sosok Ho-won muncul dari keramaian.
“Jaeseob hyeong!” Ho-won mengangkat satu tangannya sambil tersenyum lebar.
Dua pria itu lalu berpelukan dan menepuk punggung masing-masing.
“Aigo, sudah lama kau tidak mampir kemari,” ujar Jaeseob.
“Mwoyaaa? Aku baru seminggu tidak mampir kemari, hyeong,” elak Ho-won.
Jaeseob lalu mengamati Ho-won. Penampilan pria di hadapannya sekarang sangat sederhana. Hanya sepasang sepatu kets warna putih, celana hitam, kaus singlet hitam, dan jaket abu-abu. “Kau akan tampil malam ini?” Jaeseob menaikkan satu alisnya.
Ho-won tertawa kecil dan mengangguk singkat sebagai balasan. “Wae?”
“Eishh! Jangan tertawa seperti itu!” Jaeseob memukul dada Ho-won pelan. “Kalau kau tampil, maka uang yang masuk akan semakin banyak. Tenang saja, komisinya tetap fifty-fifty!”
Ho-won tertawa. “Kau tidak perlu memberitahuku, hyeong. Kau pikir aku newbie, uh?”
“Ahahahahahaha!” Jaeseob tertawa hingga mulutnya terbuka lebar. “Kau benar. Jadi kapan kau tampil? Aku harus segera bersiap. Ya, ppalliwa! Aku akan membutuhkan kantung itu segera!” kata Jaeseob pada kawannya.
“Jamkan,” sahut kawannya singkat.
Ho-won melirik teman Jaeseob yang tengah menghitung uang itu. Lembaran won tadi dikelompokkan sesuai nominal lalu digulung sesuai jumlah yang sudah ditentukan dan diikat dengan karet.
“Mungkin setelah dua penampilan lagi,” jawab Ho-won.
“Waaaahh! Masuk dalam closing-line, huh? Yeoksi!”
Ho-won kembali tersenyum. “Ja, aku akan bersiap dulu, hyeong!”
“Eo!” Jaeseob mengangkat tangannya pada Ho-won yang berlari kearah DJ.
“Foto baruuuuuu! Sebaiknya aku taruh dimana?” Min-rin masuk ke café membawa satu fotonya yang baru saja selesai ia cetak.
“Terserah kau,” sahut So-ryong singkat. Konsentrasinya terfokus pada uang yang ada di mesin kasir. “Ini kembaliannya. Kamsahamnida,” ujarnya seraya menyerahkan kembalian pada pelanggan di depannya.
“Tidak ada saran?” tanya Min-rin.
“Gantungkan saja di tempat biasa!” titah So-ryong malas.
Min-rin menoleh mengedarkan pandangannya ke café. Café milik kembar Jung itu sudah terlihat seperti galeri pribadinya. Foto-foto hasil jepretannya terpajang dimana-mana. Di dekat pintu masuk, di belakang kasir dan meja barista, di dekat panggung kecil untuk pertunjukkan live, juga di pilar-pilar tembok yang menyangga café juga tempat-tempat lainnya. Yang dimaksud So-ryong pasti pilar-pilar tembok itu. Yang sudah hampir penuh dengan foto-foto hasil bidikannya yang digantung di sebuah tali yang melilit pilar tembok itu.
“Pilar yang mana? Semua sudah hampir penuh, oppa,” balas Min-rin.
“Gantungkan saja di dahi temanmu itu.” So-ryong dengan sedikit kesal menunjuk kearah Woohyun yang tengah menyanyi di panggung kecil di cafénya.
Min-rin mengikuti arah telunjuk So-ryong. “Eish, kau tidak bisa diandalkan!” Min-rin berdecak sebelum pergi ke meja barista.
“Mworago? Aish, bocah tengil satu itu, ck!” So-ryong berdecak kesal. Tapi ia tidak bisa berlama-lama karena seorang pelanggan datang menghampirinya.
Min-rin mengawasi Dan-bi yang tengah membuat espresso panas dengan coffee maker. Aroma kuat dan khas kopi segera tercium hidung Min-rin.
“Eonni, menurutmu foto ini bagusnya digantung dimana?” Min-rin mengangkat fotonya ke depan wajahnya.
Dan-bi menuang espresso ke cangkir. Buih-buih warna caramel menghiasi permukaan kopi itu. “Chin-ho–ya! Espresso untuk meja nomor lima belas sudah siap!” kata Dan-bi lantang.
Chin-ho segera datang dengan nampan di tangan. “Siap, lady!” katanya sebelum pergi ke meja nomor lima belas.
“Eonni,” panggil Min-rin.
Dan-bi baru menggagas Min-rin. “Di tempat biasa saja. Bukankah kau sering memajang foto-foto karyamu di sana?”
Min-rin berdecak. “Kau ini sama saja dengan So-ryong oppa. Tapi pilar yang mana? Café ini tidak hanya punya satu pilar, eonni,” kata Min-rin penuh penekanan di akhir kalimat.
Dan-bi mengangguk sekilas membenarkan perkataan Min-rin. Matanya menyisir café yang malam hari ini penuh dan ramai oleh pengunjung. Terlebih karena malam ini ada pertunjukkan live dari Woohyun.
“Di sana. Pilar yang dekat dengan pintu masuk saja.” Telunjuk Dan-bi mengarah ke pilar yang ia maksud.
Min-rin menoleh. “Boleh juga.”
“Jangan disana,” sela Chin-ho.
“Waeyo?” tanya Min-rin.
“Ya! Mwoanyago? Kau sudah selesai mengantar pesanannya?” tegur Dan-bi.
“Kalau aku sudah berada disini berarti pesanannya sudah beres, noona.” Chin-ho memutar bola matanya dengan malas. Ia lalu beralih pada Min-rin. “Gantungkan di dekat pintu masuk saja. Ah, ani, ani, gantungkan saja di pintu masuknya!”
“Mwo? Micheosseo? Sekalian saja penuhi pintu masuknya dengan foto!” omel Dan-bi.
“Dan-bi–ya, satu cappuccino mousse untuk meja nomor dua puluh satu!” seru Dae-ryong yang berlalu di depan Dan-bi.
“Call!” balas Dan-bi singkat.
“Nah, itu ide yang bagus, noona! Penuhi pintu masuknya dengan foto! Bukankah begitu, Min-rin? Bukankah itu begitu jenius?” cerocos Chin-ho dengan sangat antusias. Kelewat antusias malah.
“Errr…entahlah. Mungkin jika aku melakukannya So-ryong oppa dan Dae-ryong oppa akan menendangku.” Min-rin mengangkat bahu.
Dan-bi menjentikkan jarinya. “Min-rin benar!”
“Tapi itu tadi merupakan ide yang sangat segar, noona. Iya kan, Min-rin?” rajuk Chin-ho. Min-rin hanya mengangkat bahu sebagai balasan.
“Eo, segar. Tapi memangnya café ini milikmu, hah?!” sahut Dan-bi.
“Aigo, kau tidak perlu segalak itu noona!” erang Chin-ho.
Min-rin memutar kedua bola matanya malas seperti yang dilakukan Chin-ho tadi. Sebelum ketegangan antara Chin-ho dan Dan-bi semakin memuncak, Min-rin harus segera pergi. Ia tidak ingin jadi kambing hitam atau dipaksa salah satu dari dua orang itu untuk memihak satu sisi.
Min-rin berjalan kearah pilar yang tadi dimaksud Dan-bi. Ia mengelilingi pilar itu sebentar untuk mencari tempat kosong yang pas. Satu tempat kosong yang menghadap kearah pintu masuk menjadi incarannya. Min-rin segera memasang fotonya di sana. Bibirnya tersenyum puas melihat hasil karyanya yang baru berbaur dengan karyanya yang lain.
Bel di pintu masuk lalu terdengar. Min-rin menoleh ke belakang untuk menyambut pengunjung yang datang.
“Selamat datang! Eo, Ho-won–ah!” seru Min-rin kegirangan.
Ho-won berjalan pelan dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Ada beberapa lembar won yang digulung di dalamnya yang jumlahnya tidak bisa diremehkan. Hoodie jaketnya menutupi kepalanya. Menyamarkan keringat yang membasahi rambutnya. Setelah tampil tadi, anak-anak lain memaksanya untuk dance lagi. Sorakan ‘encore’ menggema. Ho-won tidak punya pilihan selain tampil lagi. Namun tidak sendiri. Ia tampil lagi bersama tiga orang lain.
Penampilan dancenya yang membuat heboh membuat Ho-won menerima uang yang lumayan. Selesai itu, Ho-won tidak langsung pulang. Singlet hitamnya yang basah kuyup dan keringatnya yang masih belum kering menandakan jika ia sangat lelah juga haus. Ho-won memutuskan untuk mampir di sebuah café.
Dari luar, café yang dituju Ho-won kelihatan penuh. Terlihat jelas karena dinding café itu terbuat dari kaca. Ho-won lalu melangkah melewati bagian depan café yang sepi. Bel berbunyi ketika ia mendorong pintu masuk.
“Selamat datang! Eo, Ho-won–ah!”
Ho-won tersenyum melihat siapa yang menyambutnya, dengan senyuman pula. “Hai, Min-rin!” sapa Ho-won.
Min-rin berlari kecil kearah Ho-won. Matanya menyelidiki Ho-won dari atas ke bawah. “Dilihat dari penampilanmu…kau pasti habis dance.”
Ho-won merentangkan tangannya yang tenggelam di saku jaketnya keluar. “Seperti yang bisa kau lihat.”
“Ja, kalau begitu kau harus segera memesan.” Min-rin berlari kecil lagi mendahului Ho-won yang berjalan pelan di belakangnya.
Ho-won mengikuti Min-rin yang kini sudah ada di belakang meja barista bersama Dan-bi. Tidak ada yang tahu kapan perseteruan antara Dan-bi dan Chin-ho berakhir. Tapi Min-rin tidak terlalu memperdulikan hal yang sudah sangat lumrah itu.
“O! Annyeong, Ho-won–ah!” sapa Dan-bi ceria. “Kau mau pesan apa?”
“Satu grande white chocholatemocha frappucino dingin, tall-single shot,” sahut Min-rin sebelum Ho-won sempat menjawab. “Apa aku benar?” tebak Min-rin pada Ho-won.
Ho-won mengangguk. “Seratus persen benar.”
“Ditambah saus karamel, sirup hazelnut, tanpa choco-chip, dan diberi extra-whip espresso,” kata Min-rin lagi.
Ho-won tertawa kecil. “Aku mulai takut jangan-jangan kau bisa membaca pikiranku.”
“Uuuuuu. Bagaimana kau bisa tahu sedetail itu?” goda Dan-bi yang mulai meracik pesanan Ho-won.
Min-rin membusungkan dadanya bangga. “Dia itu Lee Ho-won. Apa yang tidak kuketahui dari seorang Lee Ho-won? Aku bahkan tahu ukuran pakaian dalamnya!”
“Ya! Mwoyaa?” erang Ho-won menahan malu. Min-rin tidak serius, bukan? Baru kali ini Ho-won merasa takut terhadap ucapan Min-rin.
Min-rin sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Ho-won. Telunjuknya terangkat lurus dan tegak di depan wajahnya, sejajar dengan hidungnya. “Biar kutebak. Ukuran pakaian dalammu pasti L! Iya, kan? Aku benar, kan? Ayo, Lee Ho-won, jawab aku. Aku benar, bukan? Ho-won–ahhhhhh, dedaphaebwa.” Telunjuk Min-rin berputar-putar di depan wajah Ho-won.
“Mworagooo?” Ho-won menyingkirkan telunjuk Min-rin dari depan wajahnya. Ia bisa merasakan pipinya memanas. Saat ini Ho-won hanya berharap agar semburat merah itu tidak muncul atau ia akan semakin malu. “Bagaimana kau bisa tahu?” desis Ho-won berbisik.
“Hahahahahaha!” Min-rin tergelak. Tubuhnya yang lebih pendek dari Ho-won meluncur dengan indah kesamping Dan-bi. “Lihat, aku benar kan, eonni?” kikiknya.
Kikikan Dan-bi mulai terdengar dan itu membuat Ho-won semakin gugup. Sekarang selain ia berharap agar semburat merah di pipinya tidak muncul, ia juga berharap agar tidak ada pengunjung lain yang mendengar.
“Eotteohkae arra?” tanya Dan-bi.
“Tentu saja aku tahu!” Min-rin lalu sedikit melongok kearah pinggul Ho-won. “Dilihat dari ukuran pinggul dan tubuh bagian bawahnya saja aku sudah tahu. Apa eonni lupa aku ini ahli dalam menebak ukuran baju hanya dengan melihat fisik orangnya?”
Ho-won terbelalak. Ia memajukan tubuhnya. Merasa risih karena pandangan Min-rin belum lepas dari pinggulnya. Min-rin hanya melihat pinggulnya saja, kan? Bukan yang lain? Ho-won berharap ‘iya’.
“Tapi harus aku akui…” Min-rin beringsut mendekati Ho-won. “Kau punya pinggul yang sangat seksi, Ho-won–ssi,” bisik Min-rin.
Ho-won tertawa. Lebih untuk menutupi rasa gugup dan kagetnya tadi. “Yah, beruntung kau tidak bisa menebak warna pakaian dalamku,” kelakar Ho-won.
“Hitam?” tebak Min-rin.
“YA!” seru Ho-won cukup keras untuk jadi pusat perhatian sekitarnya. Ho-won tersenyum kikuk untuk minta maaf. Ho-won yakin sekarang pipinya pasti sudah semerah kepiting rebus. Apalagi sekarang ini Min-rin dan Dan-bi tengah terkikik kearahnya. Ho-won benar-benar mati kutu dibuat Min-rin karena tebakan Min-rin lagi-lagi benar!
“Berhentilah mempermalukan Ho-won, Min-rin. Lebih baik kau temani ia minum kopinya sambil minta maaf,” saran Dan-bi.
Min-rin menerima pesanan Dan-bi. Tawanya belum sepenuhnya berhenti. “Kaja, Ho-won–ah. Geurigo, mianhae.” Min-rin memasang wajah seinnocent mungkin.
Min-rin berjalan mencari meja yang kosong diikuti Ho-won di belakangnya. Meja di sudut kanan depan café menjadi sasaran Min-rin.
“Igeo. Satu grande white chocholatemocha frappucino dingin, tall-single shot.” Min-rin menyodorkan pesanan Ho-won ke depan Ho-won.
“Eo, gumawo.” Ho-won tersenyum.
Min-rin balas tersenyum. Senyum yang selalu disukai oleh Ho-won. Sejak dulu. Senyum yang begitu berarti bagi Ho-won dan spesial baginya. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Min-rin selalu begitu―tersenyum dengan cara yang sama―dengan orang lain. Bahkan dengan orang asing sekalipun.
Hal itu membuat Ho-won harus menampar dirinya sendiri dari fantasinya. Sebelum ia terlena bahwa senyuman manis itu ditujukan khusus pada dirinya. Ho-won tahu itu, sangat tahu bahkan hafal dan paham di luar kepala. Tapi entah kenapa fantasinya tentang senyum manis Min-rin selalu membuatnya hanyut dan larut. Ia harus tersadar ke kenyataan pahit bahwa senyum yang ia terima juga diterima oleh orang lain.
“Jadi apa kau akan mengikuti turnamen dance lagi?” pertanyaan Min-rin membuat Ho-won sadar dari lamunannya.
“Sepertinya begitu. Akan ada turnamen sebentar lagi. Kau mau ikut?”
“Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa?” Min-rin membalas pertanyaan Ho-won dengan pertanyaan pula.
“Kalau iya artinya bagus, kau harus ikut. Kalau jawabanmu tidak, maka aku akan memaksamu dengan segala cara baik dan cara licik agar kau ikut.”
“Kenapa aku harus ikut?”
“Kau bisa memotretku. Pasti fotomu akan jadi lebih indah. Dan epic.”
“Oh, tentu saja. Aku lupa jika kau adalah objek sempurna untuk foto-fotoku.” Candaan Min-rin membuat keduanya tertawa.
“Eo! Disini kau rupanya! Oh, Ho-won–ah!” tanpa diduga, Yun-seo sudah ada di samping Min-rin. Tas jinjingnya masih berada di tangannya yang disana juga tersampir jas putihnya. Jelas terlihat jika Yun-seo baru saja pulang kerja.
“Uisa-nim!” Min-rin tersenyum lebar menyambut Yun-seo.
Ho-won tersenyum kecut. Senyum Min-rin yang ditujukan padanya sama dengan yang ditujukan Min-rin pada Yun-seo.
“Mau duduk bersama kami?” tawar Min-rin.
Mungkin Ho-won terdengar egois. Namun untuk saat ini ia tidak ingin Yun-seo ikut duduk bersamanya dengan Min-rin. Tidak, bukan berarti ia tidak menyukai Yun-seo. Hanya saja untuk saat ini, jangan.
“Ani.” Yun-seo mengibaskan tangannya. Hati Ho-won mencelos lega mendengar jawaban Yun-seo. “Aku hanya akan langsung keatas dan masuk ke kamarku mengerjakan beberapa laporan pasien yang harus segera kuselesaikan. Tapi tenang saja, kalian akan kutraktir waffle.”
“Waaahhh, oppa…neo jinjja chakhan namjaya.” Min-rin menepuk-nepuk lengan Yun-seo.
“Gumawo hyeong!” celetuk Ho-won senang. Lebih senang malah.
“Eo, bukan masalah. Biar kupesankan wafflenya untuk kalian sebelum aku naik keatas.” Yun-seo mengedipkan sebelah matanya sebelum berlalu.
“Jangan lupa makan malam, oppa!” pesan Min-rin.
Dari jauh, tepatnya di meja kasir, Yun-seo mengacungkan jempolnya.
Mata Ho-won menjelajahi café yang penuh dan ramai. Ia baru menyadari jika Woohyun sedang menyanyi di panggung diiringi permainan akustik. Ho-won menebak Woohyun sudah cukup lama tampil. Tapi wajah Woohyun terlihat sangat menikmati.
Ho-won menyeruput kopinya. “Dia sudah lama menyanyi untuk malam ini?”
“Siapa?”
Ho-won mengedikkan dagunya kearah Woohyun. “Nam Woohyun.” Ho-won juga sudah hafal jika Woohyun suka menunjukkan kemampuan vokalnya disini.
“Lumayan. Dia suka jadi pusat perhatian.” Min-rin menggerakkan tangannya. Beberapa pengunjung wanita terlihat tidak bisa melepaskan pandangan mereka dari Woohyun.
Ho-won tertawa kecil. “Yah, dia memang narsis. Aku tidak menyangka saat dia menyatakan diri bergabung denga klub fotografi. Kepopulerannya di paduan suara sudah bisa membuatnya terkenal di kalangan gadis-gadis. Kenapa pula dia harus bergabung di klub kita? Agar ia lebih populer, begitu?”
“Oh, kau seperti tidak mengenal Woohyun saja. Playboy seperti dia…alasan Woohyun bergabung di klub fotografi sangat konyol,” jawab Min-rin cepat. Ho-won menatap Min-rin ingin tahu. “Woohyun bergabung ke klub fotografi karena ia beranggapan pria dengan kamera itu terlihat sangat keren. Dia percaya jika dia memegang kamera maka ketampanannya akan meningkat. Terlebih lagi, Woohyun juga ingin memotret wanita-wanita cantik dengan kamera di tangannya. Dia hanya ingin tebar pesona dan pamer,” cibir Min-rin.
“Jadi kalau begitu….” Ho-won menggantung kalimatnya dan menatap jahil Min-rin. Min-rin mengernyitkan dahinya. Heran dengan Ho-won. Ho-won membenahi posisi duduknya. “Jadi kalau begitu…menurutmu siapa yang paling di tampan di antara aku dan Woohyun?”
“Mwo?” Min-rin tidak mempercayai apa yang ia dengar.
“Siapa yang paling tampan? Aku atau Woohyun?” Ho-won menyeringai jahil.
“Orlando Bloom!” jawab Min-rin tegas.
Ho-won mencelos. “Mwoya? Suami dalam mimpimu itu tidak masuk hitungan. Pilihan jawabanmu hanya dua; aku atau Woohyun.” Ho-won mengacungkan dua jarinya.
“Kalau begitu aku pilih ‘atau’.” Min-rin tertawa.
“Eish!”
“Mwo? Selamanya Orlando Bloom-lah yang paling tampan!” Min-rin menahan tawanya agar tidak meledak lebih keras.
“Terserah kau!” sahut Ho-won singkat lalu menyeruput kopinya. Min-rin yang melihat reaksi Ho-won pada akhirnya tidak bisa menahan tawanya.
“Oh, hai! Min-rin, ini aku. Kim Myungsoo. Err…tidak ada apa-apa. Aku…aku hanya ingin bicara denganmu. Yah…kau tahu? Kau…tahu? Maksudku, aku…aku…tidak apa-apa kan, jika aku meneleponmu? Ah, geurae. Kenapa aku meneleponmu? Itu…itu karena…AISH!” Myungsoo dengan kesal membanting ponselnya ke sampingnya dan merebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya.
Myungsoo lalu kembali meraih ponselnya. Dilihatnya layar ponselnya yang menampilkan kontak Min-rin lalu ia menghela nafas kasar. Sudah hampir semalaman ia tidak menyentuh buku pelajarannya dan malah memandangi kontak Min-rin serta berusaha menelepon Min-rin. Hanya berusaha, sampai detik ini Myungsoo tidak benar-benar menelepon Min-rin.
Nyalinya hilang entah kemana. Hanya untuk menelepon saja ia harus berkali-kali berlatih merangkai kata. Memang hanya menelepon, tapi yang berusaha Myungsoo telepon kali ini adalah Min-rin.
“Naega jinjja…pabocheoreomiya,” gumam Myungsoo. Masih memandangi kontak Min-rin di ponselnya.
Pikirannya sedari tadi tidak bisa tenang. Telepon atau tidak? Telepon? Tidak? Telepon? Tidak? Telepon? Tidak? Pikirannya membuat Myungsoo frustasi sendiri. Kira-kira apa yang sedang dilakukan Min-rin sekarang? Myungsoo berguling di tempat tidurnya. Tangannya mengacak rambutnya hingga jadi berantakan. Belum pernah ia jadi sefrustasi ini.
“Mungkin aku harus menunggu waktu yang tepat…hanya untuk meneleponmu.” Myungsoo lalu menenggelamkan wajahnya ke bantalnya. “AAARRRGHHH!” jeritan Myungsoo teredam oleh bantalnya.
***
Ruang redaksi majalah sekolah kali ini mempunyai suasana yang menyenangkan. Semua itu tidak lain adalah dari senyum Sung-gyu―si ketua klub majalah sekolah―yang sangat jarang muncul. Jelas saja senyum itu muncul sekarang. Karena tidak ada hal yang mengganggu Sung-gyu tentang majalah sekolah yang terbit minggu ini.
“Jaljarhaesseo yeorobun. Majalah edisi kali ini bisa terbit dengan mulus. Semua bahan bisa terkumpul jauh hari sebelum deadline…” Sung-gyu melirik kearah Min-rin yang tersenyum konyol padanya, “…pemasukan untuk edisi kali ini juga meningkat. Intinya, aku sangat puas dengan majalah kita edisi kali ini. Kerja bagus semua!” ucapan Sung-gyu diakhiri dengan tepuk tangan dari seluruh tim redaksi.
“Senang melihatmu sebahagia ini,” sahut Sungyeol. Sung-gyu hanya tertawa kecil.
“Kau tahu? Kau harus lebih sering tersenyum dan tertawa seperti sekarang,” celetuk Min-rin. Sung-gyu lagi-lagi tertawa.
“Aku juga sudah punya tugas baru untukmu,” kata Sung-gyu pada Min-rin.
“Mwoga?”
“Ikut Ye-bin untuk mewawancarai Myungsoo tiga hari lagi. Kau juru fotonya, seperti biasa. Tidak ada penolakan. Aku tidak peduli bagaimana kau mengatur jadwalmu itu,” jelas Sung-gyu. Senyumnya melebar kali kala ia melihat wajah shock Min-rin.
Min-rin berdecak setelah berhasil menguasai kekagetannya. “Terserah kau saja, tuan Kim,” sahut Min-rin singkat dan acuh.
“Ja, semoga beruntung.” Sung-gyu menepuk pundak Min-rin. “Ah, aku hampir lupa. Kau juga yang urus tanggalnya. Yang pasti artikel ini harus terbit untuk edisi besok.”
***
Myungsoo menatap kontak Min-rin di layar ponselnya untuk kesekian kalinya dan menarik nafas dalam-dalam, dihembuskannya lagi, begitu seterusnya hingga jantungnya kembali berdegup normal. Sekarang atau tidak sama sekali! Tekad Myungsoo dalam hati.
Diiringi tekad yang kuat meski degup jantungnya masih di atas rata-rata, Myungsoo menekan tombol hijau di ponselnya. Nada sambung mulai terdengar.
“Kumohon…angkatlah…” gumam Myungsoo setengah berharap.
“Yoboseyo. Di sini Choi Min-rin. Nuguseyo?” suara Min-rin memenuhi ruang pendengaran Myungsoo.
Myungsoo terkesiap gugup. Ia membenahi duduknya di kursi belajarnya. Tangannya yang bebas memainkan bolpoin di sampingnya untuk menetralisir rasa gugupnya.
“Oh, Min-rin–ah, ini aku, Myungsoo,” balas Myungsoo sumringah.
“Omo! Ini benar kau, Kim Myungsoo?” seru Min-rin tertahan di seberang sana.
“Eo, naya. Ada apa?” tanya Myungsoo heran. Setahu dia Min-rin bukanlah tipe gadis yang akan menjerit-jerit histeris ketika berjumpa pria tampan atau seorang idol pria, kecuali orang itu adalah Orlando Bloom atau Jo In-sung.
“Kebetulan sekali kau menelepon. Aku sangat butuh bantuanmu.”
Bolpoin yang berputar-putar di tangan Myungsoo berhenti. “Bantuan apa? Selama aku bisa membantu aku tidak akan sungkan.”
Suara deheman Min-rin terdengar. “Jadi begini, klub majalah sekolah ingin menulis rubrik tentangmu dan Sung-gyu, si ketua setan itu menyuruhku untuk mengatur jadwal wawancaranya. Oh tentu bukan aku yang akan mewawancaraimu, nanti ada seorang hobae yang mewawancaraimu. Aku seperti biasa, menjadi juru fotonya. Jadi...kapan kau punya waktu luang? Mungkin ini terdengar memaksa tapi artikel ini harus cepat selesai. Aku tidak mau kena semprot Sung-gyu lagi dan memang jadwalku sedang padat-padatnya.”
Myungsoo melongo mendengar cepatnya perkataan Min-rin barusan. “Jadi…kau akan mewawancaraiku dan sekarang kau sedang mengatur jamnya denganku?”
“Secara teknis, aku hanya akan memotretmu,” koreksi Min-rin.
Myungsoo tersenyum tipis. “Yahh…bisa dibilang begitu, terserah kau.”
“Jadi kapan bisa kita mulai wawancaranya? Kau yang berhak mengatur jam dan tempatnya. Kau bintangnya kali ini.”
Myungsoo berpikir sejenak. “Tiga hari lagi di TASTY café, jam tujuh malam. Eottae?”
“Joah. Aku suka tempat dan jamnya. Ok, call! Sampai jumpa tiga hari lagi di TASTY café jam tujuh malam. Annyeong!”
“Annyeong!”
Senyum Myungsoo semakin melebar saat sambungan telepon terputus. Bahkan kini senyum Myungsoo sudah berubah jadi perpaduan tawa dan senyum konyol. Pucuk dicinta ulampun tiba.
Dan barusan dia membuat janji dengan Min-rin? Memikirkan hal ini saja sudah membuat Myungsoo berguling-guling di tempat tidurnya. Pikiran Myungsoo mulai membuat scenario-skenario hayalan. Jadi dia dan Min-rin akan berbincang-bincang sambil menikmati makanan di café? Apakah itu bisa disebut kencan?
Myungsoo menatap langit-langit kamarnya ketika satu gagasan melintas di pikirannya. Itu tidak bisa disebut kencan karena nanti akan ada hobae yang akan mewawancarainya. Min-rin hanya bertugas sebagai juru foto saja. Ah, tapi Myungsoo tidak mempedulikan itu. Yang diketahuinya, ia akan bertemu dengan Min-rin. Titik.
“YES!” Myungsoo berseru kegirangan sambil melakukan manse.
“Hyeong, mwohaneun geoya? Kenapa kau berguling-guling sambil tersenyum tanpa henti seperti orang gila?” di ambang pintu, Munsoo―adik Myungsoo―menatap heran dan takut kearah abangnya itu.
Myungsoo terduduk di tepian kasurnya. “Tidak. Tidak apa-apa. Bukan sesuatu yang penting, tidak usah kau pikirkan.” Myungsoo menggeleng. Ini sangat penting.
Munsoo menatap kakaknya ragu tapi sejenak kemudian ia berkata, “Geurae. Kalau begitu ayo lekas makan malam. Ayah dan ibu sudah berkumpul di ruang makan.”
Dengan satu lompatan kecil, Myungsoo sudah berdiri tegak di tepi kasurnya lalu melangkah kearah pintu. Tangannya lalu merangkul pundak adiknya. “Kaja, kita makan. Aku sudah lapar sekali,” kata Myungsoo. Tapi senyumnya belum hilang.
***
TASTY café malam ini tidak begitu padat, bisa terbilang lumayan lengang. Panggung kecil yang biasanya diisi oleh pertunjukkan live kini hanya menampilkan alat-alat musik dan beberapa kursi yang tertata rapi. Di sudut kanan depan café yang tidak begitu terlihat, Min-rin duduk bersama seorang hobae.
Seragam sekolah yang sehari-hari melekat pada mereka kini sudah terganti dengan baju santai. Min-rin mengenakan celana jeans ¾ warna navy blue, sepatu kets warna putih, kaus v-neck warna coklat dan blazer warna abu-abu. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai begitu saja. Sedangkan hobae yang duduk di depannya terlihat berbeda dengan Min-rin karena mengenakan dress warna peach selutut, blazer warna putih, dan sepatu warna orange.
Dua vanilla latte hangat yang tersaji manis di meja bundar café menemani dua gadis muda itu. Sementara Min-rin asyik dengan kameranya, hobae yang duduk bersama Min-rin tengah asyik menulis-nulis sesuatu di buku memo kecil miliknya. Tidak jauh dari vanilla latte hobae itu, terdapat sebuah ponsel yang menampilkan aplikasi perekam suara.
“Ye-bin–ah,” panggil Min-rin. Hobae bernama Ye-bin itu hanya mengangkat alisnya menatap Min-rin. “Kabar yang kudengar kau ini salah satu anggota tim favorit Sung-gyu, katanya kau juga ahli dalam mewawancarai orang,” lanjut Min-rin.
Ye-bin tersipu malu. “Aku belum seahli itu, sunbae.”
“Aish, sudah berapa kali aku menyuruhmu untuk memanggilku ‘eonni’? Aku tidak begitu suka dengan panggilan ‘sunbae’, terdengar kental akan senioritas,” ujar Min-rin.
“Araseo, eonni.” Ye-bin tersenyum. Lidahnya masih terasa kaku dan rasanya sedikit canggung untuk memanggil Min-rin dengan sebutan ‘eonni’.
“Yah, untuk keahlianmu itu akan kita lihat nanti.” Min-rin balas tersenyum diikuti Ye-bin. Min-rin meletakkan kameranya dan memangku dagunya dengan tangan kanannya. “Tapi kudengar kau juga paling bisa menghadapi amarah Sung-gyu. Bagaimana kau melakukannya? Sung-gyu itu begitu menyebalkan jika emosinya sudah tersulut.”
Ye-bin mengangkat bahunya. “Aku tidak punya cara khusus.”
“Eish! Kau ini menyebalkan sekali tidak mau berbagi jurus rahasiamu,” Min-rin berdecak kesal, tapi hanya bercanda.
Ye-bin tertawa singkat. “Aku serius, eonni,” lanjut Ye-bin. Min-rin mengangguk singkat. Entah ia sudah percaya atau belum. “Tapi wajar saja jika Sung-gyu oppa sering marah-marah. Kesibukan tim majalah sekolah semakin sibuk setelah klub kami diberi tugas untuk mengelola isi web sekolah. Juga percobaan untuk membuat e-magazine dari majalah sekolah. Bisa dibilang kami kekurangan tenaga. Satu orang bisa kebagian dua, tiga, atau lebih tugas. Kami sangat sibuk,” jelas Ye-bin.
Min-rin mengangguk-angguk. Ia sudah dengar soal e-magz itu, tapi baru kali ia mendengar jika klub majalah sekolah juga bertanggung jawab mengelola isi web sekolah. Tidak heran jika belakangan Sungyeol sering mengeluh dan mengotak-atik laptopnya.
“Sungyeol juga ikut andil dalam desain web sekolah?” tanya Min-rin memastikan.
“Ne. Dibantu oleh guru juga anggota yang lain,” jawab Ye-bin.
“Pantas saja dia kelihatan begitu sibuk. Aku pikir dia hanya sok sibuk.”
Jawaban Min-rin membuat Ye-bin tertawa. Min-rin menatap heran Ye-bin sekilas. Ia tidak tahu dimana letak kelucuan dari jawabannya tadi. Tapi Min-rin tidak terlalu mempedulikannya, vanilla latte dihadapannya minta diminum lagi.
“Jadi dimana Kim Myungsoo?” gumam Min-rin lalu melihat jam tangan di tangan kirinya. “Ini sudah jam tujuh lewat lima belas menit.” Min-rin kembali bergumam malas.
“Mungkin dia akan sedikit terlambat, kabarnya malam ini ia ada jadwal,” sahut Ye-bin, juga melirik jam tangannya.
“Aku harap dia tidak terlalu terlambat. Aku paling benci menunggu.”
Ye-bin diam tidak memberi respon. Ia meraih notebook kecilnya dan memeriksa beberapa pertanyaan yang akan ia ajukan nanti. Mata Ye-bin melirik kearah pintu masuk. lalu pandangan Ye-bin tidak bisa lepas dari sosok yang baru saja masuk ke dalam café.
Kim Myungsoo baru saja masuk ke dalam café dan ia nampak kebingungan mencari Ye-bin dan Min-rin. Tentu saja, karena tempat Ye-bin dan Min-rin cukup tersembunyi. Myungsoo berjalan menuju kearah kasir. Ia kelihatan bertanya pada si kasir karena setelahnya, tangan kanan kasir itu mengarah ke meja Ye-bin dan Min-rin.
Ye-bin melihat Myungsoo menatap kearah mejanya dan Min-rin. Ye-bin lalu berdiri dan melambaikan tangannya. Min-rin menatap Ye-bin yang tiba-tiba berdiri dengan heran.
“Myungsoo sunbaenim, di sini!” seru Ye-bin.
Min-rin menoleh. Myungsoo tersenyum dan berlari kecil kearahnya dan Ye-bin.
“Mianhae, aku sedikit terlambat.” Myungsoo sedikit membungkukkan badannya.
“Andaikan kau terlambat lebih lama mungkin aku sudah menendangmu,” kelakar Min-rin. Myungsoo tertawa.
Ye-bin menggeser duduknya dan tasnya. “Silahkan duduk di sini, sunbae.”
“Eo, gumawo.” Myungsoo duduk di tempat yang sudah disediakan.
“Ja, kau bisa memulai wawancaranya, Ye-bin. Biarkan aku memesan minuman untuk Myungsoo. Mungkin kau ingin tambah minuman atau pesan makanan? Kau juga ingin pesan makanan, Myungsoo?” Min-rin bangkit dari duduknya.
Ye-bin mengibaskan tangannya. “Aku masih kenyang. Satu moccachino, eonni.”
Min-rin mengangguk. “Geurae. Kau mau pesan apa, Myungsoo?” tatapan Min-rin beralih pada Myungsoo.
“Satu frappe. Tall size.” Telunjuk Myungsoo teracung.
“Oke. Silahkan mulai wawancaranya.” Min-rin menepuk pundak Ye-bin sebelum pergi memesan.
To be continued - go to the next chapter