***
“Jadi…kita pergi sekarang?” Sungjong menghampiri Min-rin yang tengah memasukkan kameranya ke dalam tas.
Min-rin menoleh sekilas. “Oh, tentu. Tentu saja. Kaja.”
Keduanya keluar bersama dari studio foto. Sungjong menepati janjinya untuk mentraktir Min-rin makan setelah sesi photoshot selesai. Malam ini Sungjong berencana mengajak Min-rin untuk makan di sebuah restoran terkenal di kawasan Myeong-dong.
“Dengar, aku tidak berharap. Hanya saja…aku cukup terkejut kau mengajakku ke restoran seperti ini. Kupikir kau akan mengajakku makan di tempat yang…lebih mewah? Atau sangat mewah?” Min-rin duduk di tempat yang ada. Tas kameranya ia taruh tidak jauh darinya.
Hanya ada tempat lesehan di restoran itu. Dengan meja kayu rendah yang panjang dan dua alat pemanggang di masing-masing meja. Bau daging panggang dari meja-meja yang lain mulai tercium.
“Itu karena aku kenal dengan pemilik restoran ini,” jawab Sungjong. Tubuhnya condong kearah Min-rin. “Diskon,” bisiknya.
Tawa Min-rin pecah. “Bahkan dengan gajimu yang aku yakini lebih banyak dari gajiku, kau masih saja penuh perhitungan.”
“Aku menganggapnya ‘cermat’. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.”
Obrolan mereka terpotong ketika seorang pelayan datang lengkap dengan daftar menu dan nota kecil yang diselipi bolpoin. “Kau pesan apa?” tanya Sungjong.
“Apa saja. Tapi yang jelas, daging panggang harus jadi santapan utama,” sahut Min-rin disertai tawa.
“Baiklah. Satu set daging panggang,” kata Sungjong pada pelayan itu. Pelayan itu menganggukkan kepalanya sebelum pergi.
“Jadi siapa pemilik restoran ini?” Min-rin ingin tahu.
Sungjong tersenyum penuh misteri. “Kau―kita, kenal adiknya. Adik pemilik restoran ini. Aku serius.”
Mata Min-rin membulat. “Jinjja? Nuguya?”
“Adik pemilik restoran?”
“Dua-duanya!”
“Oke, jadi pemilik restoran ini adalah Nam Boohyun, hyeong dari teman bersuara merdu kita, Woohyun.”
“Mwo?! Ya Tuhan, kenapa aku baru tahu? Tidak, kenapa Woohyun tidak pernah cerita padaku jika kakaknya mempunyai restoran?” kata Min-rin cepat. Lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
“Oh, tentu Woohyun tidak ingin memberitahumu. Bisa-bisa Boohyun hyeong bangkrut. Kau bisa saja selalu mampir kemari, makan banyak, lalu minta diskon dengan alasan kau ini temannya Woohyun. Nafsu makanmu itu mengerikan,” canda Sungjong.
Min-rin tertawa cukup keras. “Kalau begitu kau sungguh berani untuk mentraktirku. Tapi tenang saja, aku tidak mudah lupa diri.”
“Kudengar pelanggan setia datang.” Seorang pelayan datang membawakan pesanan Sungjong. Senyum pelayan itu membuat Min-rin berpikir jika wajah pelayan itu tidak asing.
“Boohyun hyeong! Gumawo!” seru Sungjong.
Ah, rupanya ‘pelayan’ tadi adalah kakak Woohyun. Satu set daging panggang beserta nasi dan menu pendamping lain sudah tertata rapi di meja. Boohyun tidak pergi setelahnya, ia duduk sebentar di samping Sungjong.
Boohyun mengamati Min-rin dengan seksama. Merasa risih, Min-rin membungkukkan badannya dan tersenyum. Sikut Boohyun menyenggol lengan Sungjong yang mulai menata daging di atas panggangan. “Siapa? Pacarmu?”
“Aniya. Dia sahabatku. Sahabat Woohyun juga. Dia ini bekerja sebagai fotografer lepas. Nah, setelah ia memotretku tadi, aku mentraktirnya,” jawab Sungjong tanpa menatap Boohyun.
“Ah, Woohyun pernah bercerita tentangmu. Kalau tidak salah namamu Min Rin. Choi Min Rin. Betul?” selidik Boohyun.
“Ne, oppa.” Min-rin tersenyum. “Memang Woohyun pernah bercerita apa saja tentangku?”
Boohyun tersenyum. “Dia bilang kau ini jenius fotografi. Woohyun juga bilang kau ini adalah orang gila dengan nafsu makan seperti kuda nil. Hahahaha.” Boohyun bisa tertawa lepas bersama Sungjong. Tapi tidak dengan Min-rin. Pipinya memerah karena malu.
Myungsoo dan manajernya memasuki sebuah restoran lesehan. Myungsoo harus merajuk beberapa kali kepada manajernya agar ia bisa mampir ke restoran untuk mengisi perutnya. Syuting iklan minuman soda dari sore hingga sekarang―malam―cukup menguras tenaganya dan membuat perutnya keroncongan.
“Kau mau pesan apa?” tanya Hyeonwoo―manajer Myungsoo.
“Semuanya yang enak. Aku sangat lapar,” sahut Myungsoo singkat.
“Baiklah kalau begitu.”
Myungsoo menggosok tangannya yang terasa dingin sambil mengamati sekeliling restoran. Restoran ini setahunya selalu penuh tiap hari tanpa kenal waktu. Malam ini saja hanya tersisa tiga tempat kosong.
Semuanya terasa biasa di mata Myungsoo. Tidak ada yang istimewa. Yang ada di restoran ini hanyalah orang-orang yang datang untuk mengisi perut mereka dengan makanan. Entah itu bersama keluarga atau teman. Saling bercanda, saling mengobrol. Myungsoo tidak melihat ada sepasang kekasih yang bertengkar atau pembicaraan penuh haru di antara sebuah keluarga atau dua sahabat yang dalam suasana sedih. Sepertinya atmosfir malam ini sangat bagus.
Sangat bagus sampai Myungsoo melihat Sungjong bersama Min-rin. Matanya tidak salah lihat bukan? Gadis itu benar-benar Min-rin yang dulu pernah dengan sengaja memotretnya di upacara penerimana siswa baru, kan?
Kenapa Min-rin ada bersama Sungjong? Kenapa mereka berdua kelihatan begitu akrab dan dekat? Apa mereka berpacaran? Batin Myungsoo berkecamuk. Pesanannya yang datang hanya mampu membuyarkan lamunannya beberapa detik saja. Setelahnya Myungsoo menghabiskan makannya tapi masih melirik kearah Sungjong dan Min-rin.
Myungsoo berharap telinganya bisa memanjang untuk sekedar menguping pembicaraan mereka berdua. Kemudian seorang pelayan datang. Pelayan itu tidak langsung pergi, melainkan singgah sebentar untuk mengobrol. Pertanyaan-pertanyaan makin memenuhi otak Myungsoo.
***
Mayoritas siswa menganggap pelajaran sastra Korea adalah pelajaran yang membosankan dan membuat mengantuk. Min-rin adalah salah satu siswa yang masuk dalam lingkaran mayoritas itu. Park sonsaengnim di depan kelas menerangkan tentang sebuah karangan dari Yu Chi-hwan, sastrawan Korea yang terkenal pada jamannya. Park sonsaengnim bukan hanya membaca karya-karya beliau, tapi juga mengupasnya satu demi satu. Mulai dari Life Chapter, A Blue Dragonfly’s Diary, hingga A Cock in Jerusalem.
Sebenarnya, Park sonsaengnim sangat ahli dalam membaca karya sastra. Beliau tahu tekanan dan intonasi yang pas, bagaimana penjiwaan dari tiap puisi yang beliau baca. Sejujurnya, beliau yang membacakan puisi adalah indah, sangat indah. Tapi itu semua tidak lebih seperti dongeng pengantar tidur bagi Min-rin dan anak-anak lain. Dengan susah payah Min-rin berusaha agar matanya tidak tertutup. Sekali saja Park sonsaengnim memergokinya tertidur, habis sudah riwayatnya. Ia bisa saja berakhir dengan membuat resensi atau rangkuman lima karya sastra sekaligus yang harus dikumpulkan dalam seminggu.
Min-rin tentu tidak mau itu terjadi. Tugas yang terlalu banyak bisa mengacaukan jadwalnya yang padat. Dia juga tidak bisa meminta tolong orang-orang rumah karena mereka sendiri sudah sangat sibuk. Jadi yang dilakukan Min-rin untuk tetap terjaga adalah membuat doodle di buku sketsa kecilnya. Atau mengamati lagi foto-foto polaroid hasil karyanya.
Raungan bel pulang terdengar lima menit kemudian. Lalu disusul desahan lega dari seisi kelas. Akhirnya neraka ini berakhir. Deretan kalimat penutup dari Park sonsaengnim tidak mereka hiraukan. Baru setelah ketua kelas mereka mengucapkan aba-aba, semua berdiri lalu membungkuk pada Park sonsaengnim. Pria paruh baya itu keluar kelas dengan langkah lebar-lebar.
“Ya! Mau keluar bersama kami?” Ha-eun dan Hee-young menghampiri Min-rin yang sedang berbenah di mejanya.
“Aku ingin. Tapi aku ada jadwal memotret setelah ini di studio pak Yang,” jawab Min-rin. Tas Min-rin sudah menempel di punggungnya dan tas kameranya sudah tersampir di bahunya. “Mungkin lain kali,” lanjut Min-rin singkat kemudian melirik arloji digitalnya. “Oh tidak, aku hanya punya waktu setengah jam untuk kesana. Annyeong! Sampai jumpa besok!”
Tanpa tedeng aling-aling Min-rin berlari keluar kelas.
“Aku harap dia sudah makan siang,” gumam Ho-won. Entah sejak kapan ia menguping pembicaraan tiga gadis yang jadi kawan akrab itu.
“Eo, kau harusnya mentraktirnya lebih dulu tadi. Aku jamin dia tidak akan menolak.” Woohyun merangkul Ho-won dari belakang. “Restoran hyeongku bisa jadi alternatif,” lanjut Woohyun berpromosi.
Dongwoo bangkit dari duduknya. “Lalu kenapa kau tidak mentraktir kami kesana?” seringaian yang terpampang di wajahnya terlihat sedikit tidak patut.
“Neeeee, itu benar!”
“Seratus untukmu, Dongwoo!”
“Dongwoo jjang!”
“Aku tidak menerima penolakan!”
“MWOYA?” Woohyun mengerang protes. Matanya lalu mendelik tajam pada Dongwoo. Dongwoo hanya bisa tertawa lebar dan balas menatap ‘apa-salahku’.
“Woohyun-ah, kaja.” Ha-eun mengedipkan sebelah matanya.
Helaan nafas berat keluar dari mulut Woohyun. “Kaja,” ujarnya lemah.
“YEEEYY!”
Koridor-koridor sekolah yang ramai menghambat lari Min-rin. Tubuhnya harus berkali-kali menerobos dan menyelinap di antara siswa lain. Tidak ada yang mau tahu jika dirinya sedang terburu-buru.
“Permisi, permisi. Bisa beri aku jalan? Permisi,”
Kalimat sama yang terulang bagai kaset rusak itu terus diucapkan Min-rin. Sesekali tangannya maju kedepan untuk membuka jalan. Tangannya yang lain digunakannya untuk melindungi kamera kesayangannya.
Braakk! Satu tabrakan kecil membuat tas milik siswa yang ditabrak Min-rin menumpahkan isinya. Min-rin mendesah kesal. Di saat seperti ini haruskah ia bertemu peristiwa klise macam ini?
Tidak buang-buang waktu, Min-rin berjongkok untuk membantu pria itu. “Maafkan aku. Aku sedang terburu-buru.”
“Aku juga.” Siswa itu sama sibuknya mencari barang-barang miliknya yang jatuh berceceran.
“Ini milikmu.” Min-rin mengulurkan tangannya yang penuh.
“Gumawo.” Jantung pria itu terasa berhenti ketika ia melihat siapa yang sudah menabraknya. “Choi…Min-rin?” tanyanya memastikan.
“Eo, naya,” jawab Min-rin keheranan. “Dan kau…Kim Myungsoo?”
“Ya, itu aku.” Myungsoo berdiri diikuti Min-rin. Jantungnya sudah kembali normal. “Kau ada jadwal memotret?”
“Eo, di studio pak Yang. Yang Dong-gun-ssi.”
Keduanya berjalan beriringan dengan langkah cepat dan terburu.
“Kebetulan yang cantik. Aku juga ada jadwal pemotretan di sana. Tidak keberatan kita berangkat bersama?” tawar Myungsoo.
Min-rin tersenyum sekilas. Senyum yang selalu ia lontarkan kepada teman-temannya. “Tentu. Tidak masalah. Sebaiknya kita bergegas, kan?”
Myungsoo tersenyum. “Kau benar.”
Studio foto pak Yang terlihat ramai. Beberapa kru tengah bersiap-siap untuk melakukan pemotretan berikutnya. Model selanjutnya adalah Kim Myungsoo. Myungsoo bergegas menemui cordi noona untuk mengganti kostumnya setibanya ia di studio. Sedangkan Min-rin tentu bersiap di studio bersama kru yang lain.
“Kau tahu, nak? Aku mungkin akan mencekikmu kalau kau terlambat,” kata pak Yang berkacak pinggang.
Cklik! Min-rin mengetes kameranya. “Seharusnya kau juga tidak membuat jadwal yang begitu mepet dengan jadwal pulang sekolahku, pak,” elak Min-rin. “Lagipula kenapa bapak suka sekali memanggilku jika bapak bisa menyewa fotografer professional?”
Pak Yang membenahi letak kacamatanya. “Aku hanya tidak ingin bakatmu itu menjadi sia-sia, nak. Namamu yang mulai terpampang di berbagai majalah menjadi perhitunganku tersendiri.” Tepukan pak Yang terasa mantap di pundak Min-rin. Mata tuanya melirik sekilas kamera di tangan Min-rin. “Dan agar kau bisa segera mengganti kamera bututmu itu.”
“Pak.” Min-rin berdecak singkat. Tidak ada yang boleh mengejek kameranya.
Kekehan keluar dari mulut pak Yang. “Geurae. Lakukan tugasmu,” pesannya lalu pergi ke studio lain.
“Apa semua sudah siap?” Min-rin bertanya pada semua kru.
“Tentu. Kita hanya butuh modelnya,” sahut seorang kru laki-laki.
Min-rin mengangguk mengerti dan berdiskusi dengan perwakilan majalah yang ada di sana. Ia butuh lebih detail keinginan majalah tentang foto-fotonya nanti. Majalah itu ingin mendapatkan foto yang memancarkan aura cool dari modelnya nanti.
“Hei, aku tidak menyangka kau akan menjadi fotografernya,” kata Myungsoo pada Min-rin. Min-rin menolah-noleh ke sekitarnya kebingungan. “Aku bicara padamu, Choi Min-rin. Memang siapa lagi fotografer disini?” Myungsoo tertawa kecil.
Min-rin mengangkat bahunya cuek. “Hanya memastikan. Jadi bisa kita mulai pemotretannya sekarang?”
“Kau komandannya,” balas Myungsoo.
“Oke! Kita mulai pemotretannya sekarang!” seru Min-rin.
Pemotretan selesai dalam waktu dua jam termasuk proses pemilihan foto. Terhitung singkat bagi Myungsoo dan Min-rin. Min-rin keluar studio terlebih dahulu sementara Myungsoo harus mengembalikan wardrobe yang tadi dipakainya dan berbasa-basi sebentar dengan perwakilan majalah.
Entah kenapa saat Myungsoo keluar dari studio ia tiba-tiba berharap Min-rin belum menghilang. Senyumnya muncul sekilas saat menemukan Min-rin tengah berdiri di tepi jalan. Sepertinya menunggu seseorang. Myungsoo lalu membenahi tasnya dan menghampiri Min-rin.
“Hei, mau pulang bersama? Manajerku akan menjemputku. Aku bisa mengantarmu dulu sebelum ke jadwal berikutnya,” tawar Myungsoo.
Min-rin menoleh. Ia langsung tersenyum ketika mendapati sosok Myungsoo berdiri di sampingnya. “Oh, tidak perlu. Nanti sudah ada yang menjemputku. Tapi, terima kasih atas tawarannya.”
“Oh, begitu.” Myungsoo kecewa. “Apa boleh buat, hm?”
“Yah, apa boleh buat.” Min-rin mengulang kalimat yang sama dengan Myungsoo.
Keduanya lalu diam. Myungsoo sendiri tidak tahu apa yang harus ia katakan, apa yang harus mereka bicarakan. Sudah lama ia menaruh rasa tertarik pada Min-rin. Tepatnya sejak upacara penerimaan siswa baru. Tapi baru sekarang ia bisa mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan Min-rin. Otaknya terlalu sibuk berpikir hingga ia tidak menyadari sebuah scooter matic berhenti tepat di depannya dan Min-rin.
“Chin-ho oppa!” Min-rin berseru kegirangan menghampiri pria di scooter matic itu.
Seruan Min-rin mengembalikan Myungsoo ke kesadarannya. Ia terkejut melihat Min-rin dipakaikan helm oleh pria berscooter-matic itu. Siapa pria itu? Tidak mungkin kekasihnya, kan? Kakak Min-rinkah? Batin Myungsoo.
“Myungsoo, sampai jumpa! Annyeong!” tanpa Myungsoo sadari Min-rin sudah membonceng Chin-ho dan melambaikan tangan padanya.
“Eo, annyeong.” Myungsoo balas melambaikan tangan.
Chin-ho membunyikan klaksonnya, tersenyum sekilas pada Myungsoo, lalu mulai menjalankan motornya.
Myungsoo menatap Min-rin yang semakin menjauh. “Akh!” ia menepuk dahinya sendiri. “Aku lupa menanyakan apa Sungjong itu benar pacarnya. Aku juga lupa bertanya nomor teleponnya. Myungsoo pabo!” Myungsoo merutuki dirinya sendiri.
***
Matahari musim semi merayap masuk ke tiap kamar di rumah si kembar Jung. So-ryong terbangun lebih dulu. Kembarannya, Dae-ryong, masih terlelap dalam dunia mimpinya. Jae-hwan juga masih bergelung dalam selimut. Ia meliput berita hingga larut malam dan baru tiba di rumah pada pukul tiga pagi. Hae-ra sudah memasak di dapur dibantu oleh Dan-bi dan Yun-seo. Chin-ho seperti biasa, tidak bisa melewatkan pagi harinya tanpa secangkir kopi. Sehari saja Chin-ho tidak minum kopi dia akan uring-uringan.
“Dan-bi–ya, kau bangunkan Min-rin. Apa dia mau bolos sekolah?” titah Hae-ra.
Dan-bi berhenti memotong-motong wortel. “Geurae.”
Dan-bi berjalan menuju kamarnya, yang juga kamar Min-rin dan Hae-ra. Di tempat tidurnya, Min-rin masih memeluk gulingnya, terlihat menikmati tidurnya yang lelap. Dengkuran pelan terdengar oleh Dan-bi. Dan-bi melangkah ke tempat tidur Min-rin tanpa ada niatan untuk memelankan langkahnya.
“Ya, Min-rin–ah, ireona. Hakgyo an–ga?” Dan-bi mengguncang-guncang tubuh Min-rin yang terbalut selimut.
Min-rin menggeliat. “Eunnggg.” Hanya menggeliat, tidak lebih.
Dan-bi menghembuskan nafasnya kasar. Tidak ada dalam sejarah Min-rin gadis itu bisa bangun di pagi hari dengan mudahnya. Kali ini Dan-bi tidak menggunakan tangannya untuk membangunkan Min-rin, melainkan kakinya.
“Ya! Ppalli ireona! Kau mau bolos, huh?”
Dalam keadaan setengah sadar Min-rin bangun dan menyingkirkan kaki jenjang Dan-bi dari tubuhnya. “Eonni! Aku masih mengantuk! Sangat mengantuk! Beri aku lima menit lagi lalu aku akan bangun!” gerutu Min-rin. Setelahnya, ia kembali menyelimuti dirinya.
“Aigo, mwoya?” omel Dan-bi. “YA! Siapa yang menyuruhmu untuk kembali tidur? Bangun sekarang juga!” Dan-bi menarik-narik selimut Min-rin. Min-rin tentu semakin mengeratkan selimutnya.
Gerutuan tidak jelas bisa didengar Dan-bi. Semakin dan semakin keras. Setelah selesai, Min-rin makin melesakkan dirinya ke tempat tidur. Menegaskan jika ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Dan-bi berkacak pinggang memandangi onggokan tubuh Min-rin. Decakan dan sumpah serapah segera keluar dari mulut Dan-bi. Seringaian muncul di mulut Dan-bi. Dan-bi segera melempar tubuhnya ke tubuh Min-rin.
“Ppalli ireona, jigeum! Sebelum aku mengguyurmu dengan air atau menyeretmu ke bawah. Ppalli! Ireona, ireona, ireona!” Dan-bi melompat-lompat di tempat tidur Min-rin.
“EONNIIIIIIII!” Min-rin berseru dengan lantang. Gangguan dari Dan-bi tadi berhasil membuatnya bangun. Rambut acak-acakan khas bangun tidur dan mata menyipit menatap Dan-bi, Min-rin siap menumpahkan kekesalannya. “Aku kan, sudah bilang aku ingin tidur lima menit lagi. Tapi kenapa kau malah mengacaukannya?!” Min-rin menendang-nendang selimutnya hingga jatuh ke lantai.
“Ya, bocah!” Dan-bi menyentil dahi Min-rin dan segera diusap oleh Min-rin. “Lima menit versi dirimu itu sama saja lima belas menit waktu manusia lain. Kau tidak mau berangkat ke sekolah, huh?”
“Kau ini sama cerewetnya dengan ibuku,” gumam Min-rin.
Dan-bi tidak menggubris ucapan langgangan Min-rin itu. “Cepat bereskan dirimu. Sarapan sebentar lagi akan siap.”
“Dimana Min-rin?” tanya Hae-ra ketika melihat Dan-bi sudah tiba di ruang makan.
Sarapan sudah selesai. Semua penghuni rumah juga sudah berkumpul di meja makan kecuali Min-rin. Dan-bi menarik kursi di samping Chin-ho yang kopinya tinggal setengah.
“Baru bersiap-siap. Lain kali aku akan membangunkannya dengan menyiramnya,” keluh Dan-bi. “Jae-hwan oppa, lihat betapa berantakannya rambutmu! Kau langsung kemari begitu bangun tidur ya?” Dan-bi mengernyit melihat Jae-hwan.
Jae-hwan melirik rambutnya keatas, meski mustahil ia bisa melihat keseluruhan rambutnya. Jemarinya yang panjang besar lalu bergerak merapikan rambutnya. “Bau masakan yang harum ini langsung menghipnotisku untuk kemari,” kekeh Jae-hwan seraya mengerling pada Hae-ra yang bergidik jijik.
“Hyeong, berhentilah memuji Hae-ra dan segera ajak dia berkencan!” saran Chin-ho diiyakan yang lain.
“Oh, ayolah. Aku tidak mau berkencan dengan playboy seperti Jae-hwan. Chef dari Italia atau Prancis lebih menarik perhatianku,” elak Hae-ra disusul ledakan tawa oleh yang lain. Termasuk Jae-hwan sendiri.
“Penolakan yang lain lagi,” celetuk So-ryong.
“Betapa menyedihkan,” sahut Dae-ryong.
“Jae-hwan hyeong harus segera mencari wanita…”
“Sebelum usianya menginjak kepala tiga…”
“Atau dia akan melajang seumur hidupnya!”
So-ryong dan Dae-ryong saling bersahutan kompak. Keduanya seperti memiliki semacam telepati. Ketika mereka saling bersahutan, kalimat-kalimat keduanya terasa saling melengkapi dan berhubungan.
“Kongnamul bab, moo saengchae, seolleotang, telur rebus, apel. Wow, pembukaan yang bagus untuk perut di pagi hari. Tapi aku tidak begitu suka telur rebus, namun…bukan masalah.”
Entah sejak kapan Min-rin turun ke bawah, tiba-tiba gadis itu sudah berada di belakang di antara Hae-ra dan Dae-ryong. Min-rin sudah berseragam lengkap dan tas tersampir di pundaknya menarik kursi di antara Yun-seo dan So-ryong.
“Jadi…bisa kita mulai makan paginya?” Min-rin menatap penghuni rumah yang lain satu-persatu.
“Dasar shiksin!”
“Dasar maknae!”
Lagi, duo kembar Jung bersahutan kompak.
“Jal meokkeoseubnida!” koor semua.
Musik mengalun merdu dari iPod hitam milik Ho-won. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama. Buku catatan dan tugas yang tersaji di depannya sama sekali tidak tersentuh. Bolpoinnya mungkin akan kering karena sedari tadi ia hanya menggunakannya untuk mengetuk-ngetuk meja. Di pikirannya tidak ada pelajaran untuk saat ini. Hanya koreo-koreo karangannya sendiri untuk lagu yang tengah ia dengarkan.
“Hooooooooooo-wwooooonnnn–aaahhhh!” suara berat dan besar itu menyadarkan Ho-won dari fantasinya.
Ho-won menoleh. Ia mendapati Min-rin berdiri di sampingnya. Sontak ia melepaskan headsetnya dan bertanya, “Ada apa?”
Min-rin duduk di bangku di depan Ho-won. “Aku mungkin sedikit terlambat ke klub nanti. Harus menyerahkan beberapa foto ke redaksi majalah sekolah. Aku tidak ingin Sung-gyu si mata sipit itu mengomeliku lagi. Lagipula, tidak ada yang penting di klub hari ini, kan?”
Ho-won kelihatan berpikir sejenak. “Sebenarnya…ada yang penting―ah, bukan―lebih penting. Asal kau tahu.”
“Mwoga?”
Ho-won tersenyum. Manis, sangat manis. Senyum yang membuatnya digandrungi banyak gadis di sekolah ini. Baik teman seangkatan, adik kelas, atau kakak kelas. “Kehadiranmu,” kata Ho-won. Lebih terdengar seperti bisikan.
Tawa Min-rin pecah. “Omo, omo, omo, hentikan rayuanmu yang amat kuno itu! Aku tidak mau mematahkan hati para pengagum rahasia dan pengangum terang-teranganmu.”
Ho-won ikut tertawa. “Kau sudah mematahkan hati mereka, kok.”
“Aish, sudahlah!” Min-rin mengibaskan tangannya dan berdiri. “Aku ke redaksi majalah sekolah dulu. Sampai nanti!” Min-rin berlari keluar.
Ruang redaksi majalah sekolah terlihat lengang. Hanya ada Sung-gyu yang tengah membaca artikel-artikel yang sudah masuk, Sungyeol yang sibuk mengedit layout di laptopnya, dan dua orang murid kelas satu―satu pria, satu wanita―sebagai editor.
“Woah! Kalian sedang membully adik kelas?” sapa sebuah suara.
Sung-gyu menoleh kearah pintu. Yang terlihat hanya kepala Min-rin yang melongok ke dalam saja.
“Dan kau akan jadi sasaran berikutnya,” balas Sung-gyu.
Min-rin tertawa pelan lalu masuk. Ia duduk di samping Sung-gyu setelah menyapa kedua hobae yang ada di situ. “Aku bawa foto-foto yang dibutuhkan.” Min-rin menggoyang-goyangkan kartu memori di tangannya.
“Tumben kau membawa foto-fotonya jauh-jauh hari,” sahut Sungyeol di kursinya.
“Yah.” Min-rin mengangkat bahunya. “Aku hanya tidak ingin mendengar ocehan Sung-gyu lagi. Anggap saja aku memberinya waktu untuk membuat omelan yang lain sebelum aku berulah lagi.”
Sungyeol tergelak. Dua adik kelas yang ada disana berusaha menyembunyikan tawa mereka. Mereka tidak berada dalam posisi dimana mereka boleh tertawa bebas. Mata Sung-gyu makin menyipit menatap Min-rin.
“Ya, nyalakan lampunya, Sungyeol! Seseorang tidak bisa melihat cahaya disini!” kelakar Min-rin tanpa takut.
“Bicara apa kau, huh? Apa kau tidak sayang nyawamu lagi, huh?” lengan Sung-gyu sudah melilit di leher Min-rin.
“Hahahahaha…kkhhh! Hahahahkkkhh!”
Sungyeol menggeleng-gelengkan kepalanya melihat bagaimana usaha Min-rin untuk tetap tertawa meski ia dicekik seperti itu.
***
Atap sekolah menjadi salah satu tempat favorit Min-rin di gedung sekolahnya. Tiga buah tempat penampungan air yang besar berada di sudut kiri. Beberapa bangku beton terlihat berjejer di sepanjang salah satu sisi atap. Beberapa kotak taman berisi rerumputan hijau yang sengaja dibangun di atap memberi wajah segar di atap ketimbang dipenuhi oleh lantai beton.
Min-rin mengarahkan lensa kameranya kebawah dan membidik beberapa gambar. Setelah itu ia mengarahkan lensanya ke langit. Membidik langit biru ditemani arakan awan tipis yang bergerak perlahan tertiup angin.
“Woah, aku tidak menyangka menemukan penghuni lain di atap sekolah.”
Min-rin menoleh ke belakang. Myungsoo berjalan kearahnya.
“Siapa sangka kau juga penghuni atap ini?” senyum Min-rin.
Myungsoo tertawa kecil. Ia mengambil tempat kosong di samping Min-rin. “Kau juga memotret disini?”
“Aku selalu bawa kameraku. Dan yah, aku memotret dimanapun. Jika mataku yang jeli ini menangkap objek yang bagus, maka aku akan memotretnya. Tidak semua hasil jepretanku mulus. Aku masih perlu banyak belajar,” kata Min-rin.
Myungsoo menatap langit biru di atasnya. “Sebenarnya aku juga tertarik dengan fotografi,” katanya menggantung.
“Jinjjayo?” mata Min-rin membulat. Myungsoo menatap Min-rin dan mengangguk. “Lalu kenapa kau tidak bergabung dengan klub fotografi?” tanya Min-rin tak habis pikir.
“Aku…cukup sibuk. Dan makin sibuk. Aku hanya tidak mau hanya namaku saja yang terpampang di klub fotografi padahal aku tidak pernah hadir. Lebih baik aku tidak ikut sekalian, kan?” Myungsoo meminta pendapat Min-rin.
Min-rin memutar kedua bola matanya sebagai respon. “Tetap saja, Myungsoo.”
“Ngomong-ngomong soal klub fotografi, kenapa kau tidak jadi ketuanya saja? Kemampuanmu kan, sudah selangkah lebih maju daripada anak lain.” Myungsoo mengalihkan pembicaraan.
“Jadi kau bilang Ho-won tidak ahli dalam memotret?” Min-rin balas bertanya.
Myungsoo mengangkat bahunya. “Aku tidak bilang begitu,” kekehnya.
“Oh, ayolah.”
Keduanya lalu tertawa.
“Kenapa Ho-won jadi ketua klub…” Min-rin memulai penjelasannya. Myungsoo menyimak karena penasaran. “Sebenarnya menjadi ketua―atau pemimpin dan sejenisnya―bukan tentang seberapa jauh kau menguasai bidang itu. Yah, menguasai bidang yang dipimpin itu memang jadi kewajiban. Tapi lebih dari itu, seorang pemimpin harus punya kemampuan leadership yang baik, dia juga harus bertanggungjawab dan cermat dalam mengambil keputusan. Singkatnya, apa yang dibutuhkan seorang pemimpin sudah ada dalam diri Ho-won, bukan aku. Itulah kenapa dia yang jadi ketua. Dia ketua yang baik. Kau masih bisa bergabung ke klub fotografi kalau kau mau.”
Myungsoo mengangguk-angguk mengerti. “Aku salut padamu yang sudah berani membeberkan kekuranganmu, secara tidak langsung.”
“Sudah jadi rahasia umum, kok!” Min-rin menjulurkan lidahnya.
“Terima kasih atas tawaranmu untuk bergabung ke klubmu, tapi kurasa aku tidak bisa. Aku tidak enak pada yang lain jika aku menjadi anggota gaib nantinya,” canda Myungsoo.
Min-rin tertawa. “Baiklah jika itu maumu. Aku tidak akan memaksa.” Min-rin kembali memotret.
Dalam hati Myungsoo bertanya-tanya, apa Min-rin sudah lupa dirinya? Siswa yang pernah difoto Min-rin saat upacara penerimaan siswa baru.
“Kalau kau tidak keberatan…”
“Ne?” Min-rin menaikkan satu alisnya.
Myungsoo mengusap tengkuknya yang tidak gatal. “Kalau kau tidak keberatan…apa aku boleh minta nomor ponselmu? Kupikir tidak ada salahnya jika…jika kita saling bertukar apapun soal fotografi. Sepertinya aku harus berguru padamu.” Myungsoo berkata dengan cepat setelah jeda untuk menyamarkan rasa gugupnya.
“Bukan masalah. Mana ponselmu?” Min-rin menengadahkan tangannya.
Myungsoo―masih gugup―menyerahkan ponselnya pada Min-rin. Jemari gadis itu mulai mengetikkan nomor ponselnya. “Apa…tidak apa-apa?”
“Apa maksudmu?”
“Namjachingumu tidak marah?”
Min-rin menyerahkan ponsel Myungsoo dengan bingung. “Namjachingu? Namjachingu apa?” Min-rin mengernyit heran.
“Yah…itu…beberapa hari yang lalu aku melihatmu sedang makan berdua dengan Sungjong di sebuah restoran―”
“Jadi kau pikir Sungjong adalah namjachinguku?” potong Min-rin tidak percaya. Myungsoo mengangguk. Min-rin lalu tenggelam dalam tawanya. Begitu kerasnya ia tertawa sampai ia harus memegangi perutnya.
“Mwo? Apa…apa ada yang salah?” Myungsoo kebingungan dengan reaksi Min-rin.
“Jamkan.” Min-rin menghirup nafas dalam-dalam. Tawanya sudah terkendali. “Sepertinya kesibukan benar-benar mengucilkanmu, eo? Aku dan Sungjong tidak berpacaran. Kami hanya bersahabat. Sahabat dekat. Sama seperti aku dengan Ho-won, aku dengan Sungyeol, dan lainnya.”
“A, geurae.” Myungsoo mengangguk kikuk. Tapi hatinya dibanjiri perasaan lega.
Min-rin bangkit dari duduknya. “Aku harus pergi. Ada catatan yang harus kupinjam. Jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku.” Pesan Min-rin sebelum turun.
Myungsoo memandangi ponselnya setelah Min-rin pergi. Dibukanya daftar kontak miliknya. Bibirnya melengkung keatas ketika ia menemukan sebuah nama. Choi Min-rin.
To be continued - go to the next chapter