“Choi Min-rin!” pekikan keras Sungyeol membuyarkan lamunan Min-rin.
“M…mwo?” Min-rin tergagap.
Sungyeol berkacak pinggang. “Lee Ho-won memanggilmu. Ke ruang klub fotografi sekarang!” telunjuk Sungyeol menunjuk-nunjuk lantai di bawahnya.
Beberapa meter di belakang Sungyeol, Min-rin melihat Ho-won tengah tersenyum dan melambaikan tangan padanya.
“Oke, aku harus pergi sekarang. Dah semua!” Min-rin segera berlari kearah Ho-won. Keduanya lalu berjalan ke ruang klub fotografi bersama.
“Jadi apa yang mereka lakukan bersamamu?” tanya Ho-won. Kepalanya sedikit menoleh pada Min-rin yang berjalan beriringan di sampingnya.
“Seperti biasa. Sungyeol yang mengomeliku tapi pada akhirnya kita menjadi baikan lagi, lalu Sungjong yang selalu memberitahuku jika aku akan memotretnya. Ah, tapi Sungjong janji akan mentraktirku setelah kami selesai melakukan pemotretan besok,” jawab Min-rin santai.
“Mentraktirmu?” alis Ho-won bertaut. Langkahnya melambat sejenak.
“Eo, mentraktir. Jadi ada apa kau memanggilku ke klub? Apa ruangan klub terbakar atau semacamnya? Atau ruang gelap kita dihancurkan oleh seseorang?” cerocos Min-rin tanpa mempedulikan nada menyelidik dari ucapan Ho-won tadi.
“Oh,” sahut Ho-won singkat. Sedetik berikutnya ia baru menyadari jika Sungjong dan Min-rin adalah sahabat dekat. Setelah itu Ho-won merutuki dirinya yang telah bertanya pertanyaan konyol seperti tadi. Lalu Ho-won teringat ucapan Min-rin tadi. “Kau lupa?” tanya Ho-won. Kening Min-rin mengernyit, berusaha mengingat sesuatu. “Evaluasi mingguan. Kita selalu melakukannya, kan?” kata Ho-won membaca kebingungan Min-rin.
“Oh, Tuhan!” Min-rin menepuk jidatnya cukup keras. “Tentu, tentu aku ingat. Eo, evaluasi mingguan. Ya, evaluasi mingguan. Maaf aku sedikit melupakannya, kesibukanku meningkat akhir-akhir ini.”
Ho-won terkikik, ia sendiri sudah maklum. “Yah, asal kau tidak mengabaikan klub fotografi saja,” ujarnya.
Tangan Ho-won sudah memegang knop pintu klub fotografi. Tapi saat ia akan memutarnya, tangan Min-rin mencegahnya. Min-rin menyeringai jahil pada Ho-won dan Ho-won menatap Min-rin heran.
“Aku tidak akan pernah mengabaikan klub tercintaku ini,” kata Min-rin yang lebih terdengar seperti bisikan.
Min-rin memutar knop pintu, membuat dirinya dan Ho-won nampak membuka pintu bersama-sama. Beberapa pasang mata tertuju pada pintu ketika pintu terbuka. Beberapa lagi masih asyik dengan kamera mereka. Min-rin segera melesat menuju ke samping Dongwoo meninggalkan Ho-won yang berjalan pelan di belakangnya.
“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanya Min-rin. Bukan hanya pada Dongwoo, tapi juga pada semua anggota.
Dongwoo menoleh. “Tidak. Kami baru saja akan mulai. Untung Ho-won berhasil menyeretmu tepat waktu.” Senyum lebar Dongwoo mengakhiri jawaban pria itu. Matanya lalu mengekor Ho-won yang sudah duduk di sebelah Min-rin.
Ho-won memandang sekeliling lalu tersenyum. “Geurae, karena anggota kita sudah lengkap, mari sekarang kita mulai evaluasi mingguannya.”
Evaluasi mingguan adalah kegiatan rutin klub fotografi yang diadakan tiap akhir pekan. Pada kegiatan ini anggota klub diwajibkan mengumpulkan satu foto terbaik mereka dengan tema yang sudah ditentukan. Nantinya foto mereka akan dipresentasikan melalui proyektor dan akan dikritik, dikomentari oleh anggota lain. Tentu kritikan itu datang setelah si pemilik foto menjelaskan fotonya. Memang, mereka yang ada disini bukan―belum menjadi fotografer professional. Tapi mereka berkeyakinan semua kritikan akan memperkaya diri mereka.
Beberapa anggota lebih suka menyebut kegiatan ini sebagai ‘otopsi foto’. Kelihatan lebih keren dan menarik perhatian daripada ‘evaluasi mingguan’ yang terdengar begitu biasa dan membosankan. Tema untuk minggu ini adalah ‘light and shadow’. Jadi para anggota harus mengumpulkan foto yang mengandung dua unsur itu.
“Tapi aku suka fotomu, Ha-eun,” komentar Min-rin. “Kelihatannya kau makin menguasai teknik High Dynamic Range. Tingkat intensitas cahaya dan bayangan yang kau hasilkan sangat jauh berbeda tapi disitulah letak menariknya fotomu. Ngomong-ngomong, berapa lama kau mengeditnya?”
Ha-eun tertawa hambar. “Tidak begitu lama. Aku bisa mengajarinya kalau kau mau.” Ha-eun mengedipkan sebelah matanya. Komentar Min-rin tadi merupakan komentar terakhir yang ia terima. Gadis itu harus kembali duduk ke tempatnya dan mempersilahkan anggota berikutnya untuk presentasi.
Ketika Ha-eun sudah duduk, Min-rin berdiri dari tempatnya. Ya, sekarang gilirannya untuk presentasi. Sekarang screen di depan menampilkan foto Min-rin. Foto Min-rin yang ia ambil beberapa hari yang lalu menampilkan seorang laki-laki remaja yang berlari menyusuri track berlari di taman dengan latar belakang matahari yang menyembul keluar malu-malu. Kuatnya sinar matahari membuat si model dadakan itu terlihat seperti bayangan. Wajahnya kelihatan samar dan tubuhnya kelihatan gelap.
“Jadi…” Min-rin menatap fotonya sejenak lalu beralih ke teman-temannya. “Ini fotoku, tentu saja. Aku mengambilnya dari taman tidak jauh dari rumahku dan…tidak banyak yang bisa kuceritakan. Saat itu aku melihat pria ini sedang berlari dan aku mengikutinya, menunggu waktu yang tepat untuk memotret dan beginilah hasilnya. Aku tidak tahu harus mendeskripsikan apa. Tapi kurasa…pelari ini kelihatan bersungguh-sungguh. Entahlah. Yah, begitu,” jelas Min-rin.
Ia kesusahan untuk mendeskripsikan foto spontannya. Ia hanya memotret secara spontan sama ketika ia melihat satu objek yang baginya menarik. Sesederhana itu. Tapi berbeda ketika ia sedang bekerja.
“Aku menyukainya. Tapi kurasa akan lebih baik lagi jika kau menyuruh si pelari itu berhenti dan menjadi modelmu barang lima menit. Fotomu pasti akan kelihatan lebih sempurna,” komentar Dongwoo. Min-rin mengangguk. Ia tidak akan balas menjawab komentar atau kritikan yang ditujukan padanya jika tidak diperlukan.
“Teknik high speedmu bagus, kuakui itu. Tapi sepertinya tanganmu sedikit tidak stabil saat memegang kamera. Apa aku benar?” tebak Ho-won.
Min-rin tertawa pelan. “Eo, kau benar. Mungkin aku harus menuruti kata Dongwoo tadi.” Min-rin mengerling pada Dongwoo yang tersenyum senang.
“Hampir sempurna,” sela Hee-young. Min-rin menatap Hee-young menuntut Hee-young untuk memberi penjelasan lebih lanjut. “Fotomu akan terlihat sempurna jika hanya ada pelari itu dan matahari yang akan terbit. Tapi apa itu yang di belakang pelari? Seorang pria yang memakai baju putih. Keberadaannya di foto memang cukup kecil, tapi kalau kau jeli…dia merusak fotomu,” jelas Hee-young.
Min-rin membalikkan tubuhnya untuk melihat fotonya. “Ah, kau benar,” ujar Min-rin dalam nada kecewa. Ada seorang pria tidak jauh dari pelari itu yang mengganggu fotonya. Merusak saja. Kenapa aku tidak menyadarinya? Batin Min-rin. Dia membiarkan ketelitiannya lengah kali ini.
“Kau jeli sekali Hee-young-ah. Aku hampir memberikan komentar sempurna pada foto bocah tengil itu,” celetuk Woohyun diselingi tawa kecil.
“Harusnya kau tidak perlu mengatakannya, Hee-young.” Min-rin menatap tajam Hee-young. Hee-young tertawa. Ia tahu Min-rin kapan Min-rin bercanda, kapan Min-rin jadi serius. “Lagipula siapa pria jelek ini? Dia merusak masterpieceku!” gerutu Min-rin.
“Itu Kim Myungsoo!” desis Ha-eun.
“Huh?” dahi Min-rin mengernyit. Dia tidak salah dengar, bukan?
“Kim Myungsoo,” ulang Ha-eun tak sabaran. “Model yang sedang naik daun. Murid di sekolah kita―dia satu angkatan dengan kita,” kata Ha-eun antusias. Min-rin masih menatap Ha-eun dengan tatapan yang sama. “Model yang sering kuceritakan padamu!” tukas Ha-eun.
“Oh,” Min-rin mengangguk mengerti.
Bagaimana dia bisa lupa? Bukankah tadi saat ia bersama Sungyeol dan Sungjong mereka sempat membicarakan Myungsoo? Bahkan dia tadi juga sempat beradu pandang dengan Kim Myungsoo. Min-rin baru sadar jika Kim Myungsoo yang sekarang jadi topik pembicaraan adalah Kim Myungsoo yang selalu dikoar-koarkan sahabatnya, Ha-eun. Pantas saja Ha-eun mampu mengenali Kim Myungsoo di fotonya meski wajah pria itu sangat samar. Ha-eun adalah seorang fans garis keras dari Kim Myungsoo. Apa yang tidak ia ketahui?
Tiba-tiba saja Min-rin merasa hidupnya dimasuki oleh Kim Myungsoo.
“Hai, So-ryong oppa!” sapa Min-rin ketika ia masuk ke dalam sebuah café.
Rangkaian huruf membentuk kata TASTY terpampang jelas dengan warna merah di depan café. Bagian outdoor café yang didekorasi seperti taman penuh dengan pengunjung, sementara pengunjung lainnya memilih untuk menghabiskan waktu di dalam café. Bangunan café memiliki arsitektur simple, minimalis, seakan bisa menggabungkan rasa modern dan tradisional di satu tempat. Warna hitam yang mendominasi tidak membuat café itu nampak suram, melainkan elegan.
“Oh, hai!” orang bernama So-ryong―pemilik cafe―mengangkat tangannya membalas sapaan Min-rin. “Segera ganti bajumu dan bantu kami jika kau tidak sibuk!” pinta So-ryong.
“Bukan masalah,” sahut Min-rin singkat. Tangan Min-rin yang jahil mengambil satu cupcakes untuk dilahap. Sekedar selingan untuk perutnya yang mulai lapar.
“Ya!” So-ryong memukul tangan Min-rin membuat gadis itu menarik tangannya jauh-jauh agar tidak terjangkau So-ryong. “Jangan ambil kue disini! Aish, segeralah ganti baju dan bantu aku disini!” gertak So-ryong. Kebiasaan Min-rin yang suka makan sebelum cuci tangan sukar sekali hilang.
“Harhasheo,” jawab Min-rin dengan mulut penuh cake.
Min-rin menepuk lengan So-ryong pelan dan berjalan menuju lorong kecil di samping café. Di lorong itu terdapat tangga warna hitam yang terbuat dari besi yang menghubungkan café dengan rumah di atas. Min-rin tidak tinggal berdua saja dengan So-ryong, melainkan juga tinggal bersama Dae-ryong―kembar identik So-ryong―dan beberapa penghuni lain.
Ada Chin-ho―mahasiswa jurusan broadcasting, Yun-seo―dokter di sebuah rumah sakit terbaik di Seoul, Dan-bi―bartender yang sudah mempunyai sertifikat internasional dan kini bekerja di café So-ryong–Dae-ryong, Hae-ra―koki di hotel bintang lima, dan Jae-hwan―wartawan di sebuah surat kabar. Total ada delapan orang yang tinggal di rumah So-ryong dan Dae-ryong. So-ryong dan Dae-ryong memang sengaja menyewakan kamar di rumah mereka yang berlebih.
Taman yang cukup luas yang tertata apik menyambut kedatangan Min-rin. Pintu besi sepinggang yang membatasi area rumah dengan area luar rumah berbunyi mendecit saat Min-rin menggesernya untuk masuk. Tanaman sulur yang melilit pagar sepinggang mulai merambat tak beraturan. Ada sebuah tabloid tergeletak di meja di taman yang biasa ia dan penghuni lain gunakan untuk bersantai. Min-rin mengambilnya dan berdecak. Pasti Yun-seo tidak sempat membacanya sampai rampung karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit.
“Aku pulang!” teriak Min-rin sekeras yang ia bisa. Rumah terasa sepi ketika Min-rin masuk. Di jam sekarang, banyak penghuni rumah yang keluar dengan kesibukan masing-masing.
Tadi Min-rin sempat melihat sepatu milik Chin-ho di depan tapi belum menemukan sosok pria jangkung itu. Tidak ingin mengkhawatirkan Chin-ho yang sudah besar, Min-rin naik ke kamarnya bersama Dan-bi dan Hae-ra di lantai dua untuk berganti baju dan mengucir rambutnya. Perutnya yang lapar kembali berbunyi menuntun Min-rin untuk ke dapur. Berharap Hae-ra sudah memasak beberapa makanan.
“O, Chin-ho oppa!” sapa Min-rin. Chin-ho tengah duduk di meja makan dengan secangkir kopi panas di tangannya. Chin-ho melirik Min-rin sekilas dan kembali ke kopinya. Min-rin tidak terlalu memperdulikan sikap Chin-ho dan melangkah menuju lemari es. “Tumben kau sudah pulang. Kau bolos, ya?” tanya Min-rin.
“Jadwalku sedang luang, bocah. Enak saja kau bicara,” jawab Chin-ho yang berakhir pada gumaman.
Min-rin berseru kecil ketika menemukan sepiring penuh Apple Stripis. Aroma kayu manis langsung memenuhi hidung Min-rin ketika ia mendekatkan kue itu ke hidungnya. Min-rin mengambil sepotong dan kembali berseru keenakan kala segarnya buah apel dan kismis menyatu dalam kue asal Texas itu masuk ke mulutnya.
Seakan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Min-rin mengambil lima potong kue lalu duduk di meja makan berhadapan dengan Chin-ho. Chin-ho tidak begitu mempedulikan Min-rin. Pria itu memang terkenal dingin, tapi kadang dia berubah jadi orang yang begitu hangat.
“Kau mau, oppa?” Min-rin mengulurkan satu kue apple stripis pada Chin-ho. “Buatan Dan-bi eonni selalu enak. Kita tahu itu,” lanjutnya.
Chin-ho menerima kue yang disodorkan Min-rin dalam diam dan segera melahapnya. Tidak diragukan lagi jika kue itu enak. Sesuai ekspektasinya dari koki hotel bintang lima.
“Kau akan ke café setelah ini? Langsung?” tanya Chin-ho.
“Eo, So-ryong oppa sudah menyuruhku sejak aku masuk ke café untuk menyapanya.” Min-rin lalu berdiri dari duduknya. “Jadi maaf tidak bisa menemanimu mennikmati kopimu. Kalau kau mau kau bisa ke bawah. Dan membantu aku tentunya,” tukas Min-rin.
Chin-ho hanya tersenyum melihat Min-rin yang bergegas keluar rumah dengan mulut penuh apple stripis. Sebagai rasa terimakasih pada kembar Jung So-ryong dan Jung Dae-ryong, Min-rin ikut membantu si kembar dengan bekerja di café mereka jika ada waktu luang.
Café semakin ramai ketika Min-rin tiba. Min-rin menyambar celemek warna coklat yang khusus dikenakan oleh karyawan dan menuju ke tempat So-ryong yang tengah menghitung uang di mesin kasir.
“Tolong talikan ini, oppa.” Min-rin menunjuk tali di pinggang dan leher di celemeknya yang masih menggantung bebas.
So-ryong mengamati Min-rin. Kedua tangan Min-rin penuh dengan apple stripis. Remah-remah kue asli Texas itu juga menempel di sudut-sudut bibir Min-rin. Desahan kecil keluar dari mulut So-ryong. “Menyusahkan saja,” gumam So-ryong. Tapi ia tetap menalikan celemek Min-rin. “Selesai.”
“Gumawo,”
Min-rin mengusap bibirnya dengan tangan. Sudah ia duga jika ada remah-remah disana.Dari kejauhan Dae-ryong melangkah mendekati kembarannya dan Min-rin. Nampan kosong yang baru saja ia gunakan untuk mengantar pesanan pelanggan ke meja masih terbawa tangannya. “Ya! Min-rin-ah, ibumu tadi menelepon. Dia mengomeliku karena sudah seminggu kau tidak memberinya kabar. Ah, dan dia juga menyuruhku untuk menyuruhmu meneleponnya, sesegera mungkin,” kata Dae-ryong.
Min-rin menatap Dae-ryong sejenak. Beruntung So-ryong dan Dae-ryong mewarnai rambut mereka dengan warna berbeda. So-ryong memiliki rambut berwarna coklat caramel dan Dae-ryong memiliki rambut berwarna coklat mahogany. Jika saja kedua anak kembar itu memiliki warna rambut yang sama pasti akan susah membedakan mana So-ryong mana Dae-ryong.
Min-rin menghela nafasnya. “Aku sedang malas menghubungi eomma,” katanya santai sambil mengangkat bahu.
Dae-ryong meletakkan nampannya dan berkacak pinggang. “Kau enak bisa bilang begitu padaku, tapi yang selalu kena omel ibumu adalah aku! Atau So-ryong, atau penghuni lain di rumah kita. Cepat hubungi ibumu!”
Min-rin memberengut. “Tapi aku malas. Lagipula aku baik-baik saja. Pekerjaan dan sekolahku lancar, aku juga makan dengan baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Katakan itu pada ibumu. Langsung pada ibumu.” Dae-ryong kelihatan menahan emosinya.
“Tapi aku malas.” Min-rin mengulang kalimat yang sama.
“Tetap telepon ibumu! Setidaknya beritahu dia jika kau masih hidup!” seru Dae-ryong. Kesabarannya menghadapi Min-rin sudah habis.
Min-rin serta-merta langsung berlari ke telepon. Terkadang omelan Dae-ryong bisa lebih parah dari ibunya. Apalagi ia menghadapinya secara langsung. “Kenapa duo kembar itu bisa sama-sama cerewet dan menyebalkan?” gumam Min-rin seraya memencet nomor telepon ibunya.
Min-rin bertemu tatapan geli Dan-bi yang sama sekali tidak berusaha menahan tawanya melihat kejadian tadi. Tawa Dan-bi makin keras dan makin ia tahan saat melihat Min-rin semakin memberengut. Min-rin cepat-cepat menyingkirkan bayangan tawa kejam Dan-bi dan mulai menunggu teleponnya tersambung.
“Ha―”
“Ya, inma!! Kenapa kau tidak pernah menghubungi ibumu ini? Kau mau mati, huh? Kau pikir ibumu disini tidak khawatir pada keadaanmu, uh?!”
Omelan ibu Min-rin terdengar seperti desingan peluru di telinga Min-rin. Buru-buru gagang telepon di tangan Min-rin menjauh, tidak lupa Min-rin menutup speakernya agar ocehan ibunya teredam. Dae-ryong, So-ryong, dan Dan-bi yang sempat melihat kejadian itu tertawa kecil.
Min-rin menghembuskan nafasnya. “Pembukaannya sudah selesai, eomma?” tanyanya saat omelan ibunya mereda.
“Mworago?! Kau ini! Dimana rasa hormatmu―”
Suara omelan ibu Min-rin kembali teredam oleh tangan Min-rin.
“Pembukaannya sudah selesai, eomma?” tanya Min-rin saat omelan ibunya mereda.
“Mworago?! Kau ini! Dimana rasa hormatmu? Ya ampun, seminggu tidak menelepon dan lihat sikapmu. Aigo, aigo…” ibu Min-rin sudah kehabisan kata-kata untuk mengomeli putri semata wayangnya itu.
Beliau membenahi duduknya di kamar miliknya yang tidak terlalu luas. Tinggal di sebuah apartemen kecil yang tak mewah sudah cukup baginya. Omelannya tidak lebih dari sekedar ekspresi kekhawatiran dan kasih sayang pada putrinya. Beliau menghela nafasnya. Putrinya belum berubah sama sekali.
“Ya, bagaimana kabarmu?”
“…”
“Min-rin?”
Mata berkantung yang sudah renta itu melotot. “YA! Jangan tutupi speakernya!” urat leher ibu Min-rin langsung menonjol keluar.
“Hehehehe. Iya, eomma? Musunsuriya?” suara manis Min-rin terdengar. Ibu Min-rin sudah bisa membayangkan ringisan tanpa dosa yang sekarang pasti menghiasi wajah Min-rin.
Ibu Min-rin mendesah. “Bagaimana sekolahmu? Pekerjaanmu tidak mengganggu, kan? Kau nyaman tinggal di rumah So-ryong dan Dae-ryong? Semua merawatmu dengan baik, kan?” nada khawatir terdengar.
“Wow, wow. Satu-satu eomma. Sekolahku baik-baik saja. Pekerjaan juga. Nyaman? Tentu! Aku ‘maknae’ di rumah ini, tentu aku dirawat dengan baik. Jae-hwan oppa kadang memberitahuku spot-spot yang dipenuhi artis sehingga aku bisa memotret mereka dan menjual foto-fotonya, Yun-seo oppa sangat pintar. Ia sering membantu pekerjaan rumahku. Masakan Hae-ra eonni sangat enak. Eomma harus mencobanya saat berkunjung kemari lagi. Dan-bi eonnni menyenangkan dan pengertian. Chin-ho oppa kadang memberiku tiket gratis. So-ryong dan Dae-ryong oppa juga semakin gila.”
Lengkungan keatas itu terlihat dari bibir ibu Min-rin. Hatinya dipenuhi perasaan lega sekarang.
“Nah, eomma lihat sendiri kan, jika aku baik-baik saja?”
“Eo, senang mendengarnya,”
“Eomma?”
“Eo? Ada apa?”
“Apeurodo, geokjeonghajimalgo. Na jinjja gwaenchana. Aku sudah besar dan eomma tidak perlu mengkhawatirkanku layaknya aku ini bocah lima tahun yang hilang di Seoul. Eomma harus percaya padaku. Bagaimana aku bisa melewati hari-hariku dengan tenang jika eomma sendiri tidak percaya jika aku bisa melakukan semuanya dengan baik?”
Senyum melebar di bibir ibu Min-rin mendengar perkataan anaknya yang menghangatkan hatinya.
“Eo, eomma janji. Yaksokhae.”
“A, bagus. Ja, kalau begitu pembicaraan kita sampai disini dulu. Aku harus segera bekerja. Café semakin ramai. Annyeong, eomma!”
“Annyeong, adeul.”
Suara tawa di ruang tengah mampu meredam suara televisi yang menyala menampilkan acara musik mingguan populer di Korea. Beberapa orang penghuni rumah kembar Dae-ryong―So-ryong sudah mampu membuat keramaian yang luar biasa. Duo kembar itu nampak hadir di antara Dan-bi, Hae-ra, Chin-ho, dan Yun-seo. Enam orang itu tidak begitu fokus melihat acara yang sedang tayang.
Kemudian Miss A tampil di tv menggantikan penampilan boysgroup rookie yang baru saja membuat debut mereka. Melihat ini, para pria segera maju ke depan dan menirukan gerakan dance Miss A yang terbilang seksi. Tawa Dan-bi dan Hae-ra meledak.
Setelah bekerja seharian di café―dan di luar, para penghuni tidak perlu repot-repot mengeluarkan biaya hanya untuk sekedar menikmati hiburan. Mereka serumah sudah saling mengejar dalam level kegilaan. Hanya butuh sentuhan komedi di sana-sini dan mereka sudah bisa mengalahkan comedian seantero Korea.
Si maknae, Min-rin, tenggelam dalam tugas-tugasnya di kamarnya. Suara tawa di bawah tidak bisa membuyarkan konsentrasinya. Tugasnya harus selesai malam ini jika ia tidak ingin berakhir berdiri di koridor selama pelajaran berlangsung.
“Selesai!” seru Min-rin lega tanpa melupakan pose manse andalannya.
Ikat kepala putih polos hadiah dari Jae-hwan yang sengaja ia pesan saat berkunjung ke Jepang mulai lucut dari lingkar kepala Min-rin. Hadiah itu diberikan Jae-hwan kepada Min-rin dan penghuni rumah lain. Kata Jae-hwan, namanya hachimaki. Biasa dipakai oleh pejuang Jepang jaman dahulu. Tapi sekarang hachimaki lebih sering dipakai para pelajar atau pekerja lain ketika mengerjakan tugas atau pekerjaannya. Atau para supporter bahkan ibu-ibu.
Tawa di bawah mereda saat Min-rin keluar dari kamarnya. Sepertinya mereka sudah lelah tertawa, pikir Min-rin. Atau me-recharge energi mereka untuk lelucon yang lebih meledak nanti. Tanpa banyak bicara Min-rin menuruni tangga dan menuju gantungan jaket dan mantel. Jaket parkanya pasti terselip dengan jaket dan mantel penghuni lain.
“Ya, eodiga?” tanya Yun-seo.
Sontak yang lain ikut memandangi Min-rin yang mencari-cari jaketnya. Lebih tepat jika disebut semakin membuat kacau tumpukan mantel dan jaket di sana.
“Mau bersepeda malam di sekitar sungai Han. Otakku yang mengepul kepanasan ini butuh penyegaran,” jawab Min-rin tanpa menoleh ke Yun-seo.
Yun-seo langsung melompat dari duduknya ke samping Min-rin. “Aku ikut!” ujarnya bersemangat dan semakin membuat berantakan tumpukan jaket dan mantel.
“Ya! Kalian semakin membuatnya berantakan!” berang Hae-ra. Koki cantik itu paling benci jika ada sesuatu yang tidak rapi. Mengharuskannya sering cek-cok dengan Min-rin.
Yun-seo dan Min-rin tidak menggubris ucapan Hae-ra. Keduanya hanya berseru kecil penuh kemenangan ketika menemukan jaket mereka.
“Kaja!” Yun-seo memajukan tangannya seperti seorang komando perang.
Yun-seo dan Min-rin segera keluar sebelum Hae-ra menyuruh mereka merapikan kekacauan yang sudah mereka buat.
“Kami pergi dulu!” seru Min-rin.
“Aish! Mereka berdua!” rutukan Hae-ra tidak bisa bertahan lama karena ia segera merapikan kekacauan tadi.
Bersepeda malam hari di sungai Han bukan menjadi gaya hidup yang baru bagi masyarakat Seoul. Tiap malamnya, terutama malam Minggu, banyak anak muda lalu-lalang dengan sepeda warna-warni mereka. Beberapa komunitas juga berkumpul membentuk gerombolan kecil di sepanjang sungai Han. Pemandangan sunga Han yang penuh kemerlap karena pantulan lampu warna-warni yang membentuk berbagai bentuk cahaya di jembatan yang melintang di atas sungai Han menjadi bonus tersendiri. Satu-dua kapal pesiar yang membawa para turis menikmati keindahan sungai Han di malam hari terkadang berseliweran di atas sungai.
“Aku tidak pernah bosan meski sudah kemari berkali-kali,” celetuk Yun-seo. Kayuhan di sepedanya melambat sementara pandangan matanya menerawang jauh ke sungai yang kelihatan tenang.
Min-rin membenahi letak tas kameranya. “Nado,” sahutnya. “Sepertinya aku harus mulai berburu foto.”
Bersepeda selama satu jam mengelilingi track yang sudah disediakan cukup membuat kalori Yun-seo dan Min-rin terbakar banyak. Keringat mulai merembes keluar dari pori-pori mereka. Paru-paru mereka bekerja lebih cepat―menuntut lebih banyak oksigen untuk memenuhi rongga paru-paru.
“Oke. Kita berhenti disini.”
Yun-seo turun dari sepedanya diikuti Min-rin. Satu bangku kayu kosong di tepian sungai jadi tempat istirahat mereka. Deru nafas Min-rin terdengar cukup keras bagi Yun-seo.
“Neo gwaenchana?” tanya Yun-seo cemas. Min-rin mengangguk tanpa banyak bicara. Nafasnya masih tidak beraturan. “Kau bawa obat asmamu? Apa kau merasa asmamu akan kambuh?” Yun-seo makin cemas.
Min-rin mengibaskan tangannya. “Geokjeongma.” Min-rin kembali menarik nafas. Nafasnya mulai beraturan. “Aku selalu membawa obatku. Lagipula asmaku sudah jarang kambuh sejak aku rutin bersepeda,” lanjut Min-rin. Yun-seo diam. Min-rin berdecak saat melihat tatapan khawatir dan tidak percaya dari mata Yun-seo. “Oppa! Na jinjja gwaenchana. Jinjjayo jinjja! Lebih baik kau pergi membelikan aku minuman dan camilan. Itu akan membuatku lebih baik.” Tangan Min-rin mendorong Yun-seo menjauh.
“Aish, kau ini!” gerutu Yun-seo. Tubuh jangkungnya menghalangi pandangan Min-rin dari pendaran cahaya lampu di jembatan. “Geurae, kau tunggu di sini. Jika terjadi sesuatu cepat hubungi aku. Nomorku masuk dalam dial-speedmu, kan?”
“Aniya!” jawab Min-rin ketus.
“Mwo?!”
“Aish, ppalli ka! Kau menghalangi pandanganku, aku ingin mengambil foto sekarang!” erang Min-rin. Yun-seo mengerucutkan bibirnya. “Oppa, ka!” titah Min-rin disertai gerakan tangan.
Yun-seo menggerutu kecil sebelum kembali mengayuh sepedanya ke minimarket terdekat. Senyum mengembang di bibir Min-rin saat ia mulai menangkap pemandangan-pemandangan indah di sungai dengan kamera lawasnya. Permainan cahaya lampu dan laser jadi bidikan utamanya. Gerombolan anak muda yang tidak jauh dari Min-rin juga jadi sasarannya.
“Ya, ada objek foto yang sempurna disini.”
Min-rin menoleh kesampingnya. Tawanya pecah ketika melihat Ho-won tiba dengan sepeda warna putihnya. Cklik! Min-rin mengambil satu foto Ho-won.
“Eo, neomu wanbyeokhae.” Min-rin tertawa kecil.
Ho-won ikut tertawa. Tempat kosong yang tadinya diduduki Yun-seo kini digantikan oleh Ho-won. “Kau sendiri kemari?”
“Ani. Aku kemari bersama Yun-seo oppa. Tapi sekarang ia sedang membeli minuman dan camilan.” Min-rin masih fokus memotret. Ho-won mengangguk singkat sebagai balasan. “Ah, aku lupa!”
Ho-won hanya mampu memandang Min-rin heran. Lebih heran lagi kala Min-rin mengeluarkan ponselnya dan memanggil seseorang di kontaknya. Apa yang dilupakan Min-rin?
“Yun-seo oppa…ah, ani, ani, na gwaenchana. Aku hanya ingin kau menambah porsi belanjamu. Ada Ho-won disini. Iya, Ho-won, Lee Ho-won. Ho-won siapa lagi yang aku punya?” rupanya Min-rin menghubungi Yun-seo. Ho-won tersenyum tipis mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Min-rin. “Ne, ppalli juseyo.” Min-rin mengakhiri teleponnya. Ia kembali berbicara pada Ho-won. “Tenang saja, Yun-seo oppa akan datang kemari dengan minuman dan camilan,” katanya.
“Uuuuu, tumben kau baik!” goda Ho-won.
Min-rin terkikik. Suara jepretan kamera kembali terdengar. Tapi pelan. “Bukan aku yang traktir, tapi Yun-seo oppa.”
“Hm, aku tahu kau pelit.” Ucapan Ho-won tidak digubris Min-rin. Min-rin sudah melupakan segalanya di sekelilingnya saat ia sudah berkencan dengan kameranya. Ho-won lalu meraih ponsel Min-rin yang tergeletak di sampingnya. “Wah, strap handphone dariku masih kau pakai juga rupanya!” Ho-won tersenyum lebar―sangat lebar―saat ia melihat strap handphone berbentuk kamera analog kuno masih bertengger di ponsel Min-rin.
Min-rin menoleh sekilas lalu berdiri. Mencari spot bagus untuk jepretan berikutnya. “Strapnya bagus. Itu benar-benar menggambarkan diriku.”
“Senang kau menyukainya.” Ho-won tidak bisa mendeskripsikan perasaan membuncah di dadanya sekarang.
“Kalau strap itu rusak, aku akan minta strap yang sama lagi darimu.”
Ho-won mendongakkan kepalanya. Matanya hanya mampu menangkap sosok Min-rin dari belakang yang memakai jaket parka warna coklat. “Kalau kau minta lagi, itu tidak akan gratis.” Ponsel Min-rin bergoyang-goyang di tangan Ho-won. “Strap bagus seperti ini begitu mahal, asal kau tahu.”
Min-rin berbalik. Tubuhnya condong kearah Ho-won. “Geurae. Besok kan, aku akan jadi kaya, jadi aku bisa membayarnya.” Ho-won terkekeh mendengarnya. “Eo? Yun-seo oppa!” Min-rin melambai pada Yun-seo dengan tangannya yang bebas.
Kepala Ho-won menoleh ke belakang. Ia kembali mengingat sosok dokter muda bertubuh jangkung dan tampan yang tinggal bersama Min-rin. “Hyeong!” Ho-won mengangkat tangannya menyapa Yun-seo.
“Wah, oremaniya, Ho-won-ah.” Yun-seo balas mengangkat tangannya yang tidak memegang tas plastik. Ho-won menggeser duduknya.
Melihat tas plastik yang menggembung penuh di tangan Yun-seo, Min-rin buru-buru mengalungkan kameranya dan mengambil alih tas plastik itu.
“Kabarmu?” tanya Yun-seo pada Ho-won.
“Baik. Bagaimana denganmu, hyeong?” balas Ho-won.
“Sedikit sibuk dan lelah, tapi aku masih merasa baik.”
“Uwaaaahhh! Kau memang benar-benar mengerti kesukaanku, Yun-seo oppa!” pekikan senang Min-rin mengalihkan percakapan Ho-won dan Yun-seo yang baru saja akan dimulai.
Mata Min-rin sudah berbinar senang melihat berbagai camilan yang dibeli Yun-seo. Mayoritas sudah pasti favoritnya. “Gumawo oppa. Jeongmal gumawo!” Min-rin berusaha mengeluarkan aegyonya.
Ho-won terkekeh, tapi tidak dengan Yun-seo.
“Keumanhae. Aegyomu itu benar-benar suatu polusi bagi mata dan telingaku,” balas Yun-seo sengau.
Tapi Min-rin sudah duduk di samping Ho-won dan sibuk menikmati camilannya, jadi ia tidak begitu memikirkan perkataan Yun-seo. Biasanya Min-rin akan mengomel-omel. Namun makanan merupakan pengalih perhatian yang sangat ampuh bagi Min-rin.
“Igeo.” Tangan Min-rin mengulurkan dua botol air mineral untuk Ho-won dan Yun-seo. Ucapan terima kasih hanya terdengar dari mulut Ho-won. Entah ditujukan untuk Min-rin atau untuk Yun-seo yang membeli semuanya. “Kalau ingin camilan bilang saja padaku,” lanjut Min-rin dengan mulut penuh potato chips.
“Ho-won-ah, sebaiknya kau segera mengambil beberapa camilan jika masih ingin kebagian. Min-rin-ah, geu yeoja-ga jinjja museo-un shiksineyo,” kata Yun-seo cepat.
Ho-won tanpa bicara langsung ‘mencuri’ satu bungkus snack.
“Ho-won! Itu kesukaanku!” erang Min-rin.
Ho-won tidak menggubris Min-rin. Bungkus snack itu dibukanya dengan tawa lebar. Tanpa gentar ia memakannya di depan Min-rin sambil tertawa-tawa.
"YA! LEE HO-WON NEO JINJJA...!!" berang Min-rin.
Yun-seo ikut menikmati hiburan kecil di pinggiran sungai Han ini.
To be continued - go to the next chapter
Yeaaa, I know it's kinda boring and still flat for this chapter. Maybe you guys can give me some advices