Picture of You
Author : Nuevelavhasta
Genre : romance, school life, slice of life
Rate : T, PG-15
Casts : Kim Myung Soo a.k.a L INFINITE, Choi Min Rin (OC), INFINITE’s member, and another OCs
Disclaimer : This fanfic is belong to me and the characters are belong to theriselves. Don’t do any plagiarism in any form or karma will fvkk you up
“Dimana Choi Min Rin?” tanya Sung Gyu pada anggota majalah sekolah lain yang tengah berkumpul untuk rapat.
Ruang redaksi majalah sekolah kali ini memiliki suasana mencekam. Semua ini disebabkan oleh Sung Gyu yang uring-uringan sedari tadi karena Min Rin belum juga menampakkan batang hidungnya. Tidak heran Sung Gyu uring-uringan. Kebiasaan Min Rin yang suka terlambat sudah sering membuatnya naik darah.
Tapi lebih dari itu. Masalahnya, Min Rin-lah orang yang membawa semua foto untuk majalah. Rapat sudah berlalu empat puluh lima menit dan 70% persiapan untuk majalah yang akan terbit minggu ini sudah matang, tapi Min Rin belum datang menyerahkan foto-foto yang akan digunakan. Mereka belum memilah-milah foto dan mendesain layout majalah.
Bukan hanya Sung Gyu yang uring-uringan. Sung Yeol juga. Karena ia adalah orang yang bertugas mendesain layout majalah. Ialaha yang bertugas bagaimana caranya agar majalah mereka sedap dipandang dan tertata apik.
“Hai semua! Maaf aku terlambat! Aku harus menyerahkan foto-foto dari pemotretan kemarin pada pak Yang.”
Ocehan cepat itu terdengar setelah suara geseran pintu terdengar. Tidak perlu tanya siapa lagi yang datang. Itu pasti Min Rin. Tanpa perasaan bersalah Min Rin mengambil tempat duduk di samping Sung Gyu dan membuka kameranya. Ia tidak mempedulikan mata Sung Gyu yang sudah sipit itu makin menyipit dan gertakan tertahan dari Sung Gyu.
“Ja, aku sudah memilih beberapa foto untuk artikel-artikel minggu ini tapi aku tetap butuh bantuan kalian. Beberapa jepretanku begitu bagus hingga aku bingung untuk memilihnya, kalian tahu?” Min Rin terus saja mengoceh sambil melihat-lihat foto yang akan ia tunjukkan ke teman-teman redaksi. Tapi kesunyian mencekam di ruang redaksi itu perlahan menyadarkan Min Rin. “Apa? Ada yang aneh denganku? Ada apa dengan tatapan kalian?” tanya Min Rin kebingungan.
Tidak ada sahutan. Anak-anak lain sibuk saling melempar pandangan dan berusaha menghindari tatapan membunuh Sung Gyu. Min Rin menatap teman-teman redaksi keheranan satu-persatu dan masih belum mempedulikan Sung Gyu di sampingnya yang sudah ingin membunuhnya.
“Oh! Hai, Sung Gyu! Ada apa dengan wajahmu itu? Kau terlihat seperti kakek penyihir yang perot,” kata Min Rin setelah menyadari keanehan Sung Gyu.
“Choi.Min.Rin.” Gigi Sung Gyu gemeletuk menahan amarah.
Respon Min Rin tadi benar-benar membuatnya semakin dongkol pada Min Rin. Sung Gyu tahu ini bukan yang pertama kalinya Min Rin bersikap seperti itu. Ya, seperti itu. Masuk ke ruangan rapat tanpa rasa bersalah setitikpun karena sudah terlambat, lalu dengan penuh percaya diri mengoceh kesana-kemari kadang menyombongkan dirinya sendiri, setelah itu Sung Gyu pasti berteriak-teriak marah pada Min Rin, dan itulah yang membuat Min Rin menyadari kesalahannya. Tapi sepertinya penyakit Min Rin itu semakin parah dari hari ke hari, dari rapat ke rapat.
“Errrr…apa?” Min Rin menatap Sung Gyu ragu.
Gejala ini sudah tak asing baginya. Sebentar lagi Sung Gyu akan meledak. Dan yang perlu dilakukan Min Rin adalah merangkai alasan yang indah serta menyiapkan telinganya. Min Rin tidak tahu berapa oktaf yang akan Sung Gyu keluarkan untuk marah kali ini.
Sung Gyu tetap diam tapi matanya semakin picing menatap Min Rin. Sekarang matanya yang sudah segaris itu semakin tenggelam menyisakan satu garis lurus. Ketika melihat ini Min Rin bertanya dalam hati, apa Sung Gyu masih bisa melihat atau dunianya benar-benar gelap?
“Kapan kau bisa sembuh dari penyakitmu, hah?! Kenapa kau selalu terlambat dalam rapat padahal kau ini memegang posisi yang penting dan krusial dalam tim kita? Apa kau tidak menyadari itu, hah?! Dan kau masih bisa bertanya dengan polosnya, dengan santainya, dengan entengnya ada apa di sini, apa yang terjadi di sini? Oh Tuhaaaaaaaannn, rasanya aku ingin meremukkan tempurung kepalamu itu atau menginjak-injaknya!” rentetan kalimat yang keluar dari mulut Sung Gyu seperti rentetan peluru yang keluar dari pistol disertai desingan yang berisik.
Tidak ada yang bersuara. Semua menunduk. Bukan karena mereka takut, mereka menahan tawa mereka. Oke, mereka memang takut, tapi Sung Gyu yang marah juga merupakan suatu hiburan tersendiri. Bisa dibayangkan jika Sung Gyu marah, matanya yang segaris itu akan berusaha melotot. Mungkin ia ingin memberi kesan seram, tapi itu justru menjadi bahan lelucon yang tidak membosankan. Lalu ketika marah bibir Sung Gyu akan bergerak-gerak dengan berlebihan. Yang pasti, Sung Gyu marah sudah seperti badut di taman hiburan.
“Oke, aku mengakui kalau aku terlambat,” kata Min Rin setelah ia mengatur nafasnya agar tawanya tidak meledak seketika. Bisa semakin gawat jika itu terjadi.
Sung Gyu semakin melesakkan tubuhnya ke kursi empuknya. Telunjuk tangan kirinya memijat pelipis kirinya. Gayanya begitu sok seperti bos besar yang tengah pusing karena perusahaannya akan bangkrut semenit lagi, tapi di saat bersamaan, pose Sung Gyu juga mengundang tawa.
“Aish, saking seringnya aku marah padamu aku sampai kehilangan kata-kata untukmu. Mungkin jika lain kali kau telat aku hanya perlu melempar kursi ke kepalamu.” Kali ini nada bicara Sung Gyu sudah normal. Tapi belum dengan emosinya.
Min Rin meringis. “Yahhh kau tahu kan, jika aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku harus menyerahkan beberapa foto pada pak Yang dan juga mengambil bayaranku,” jelas Min Rin. Ia lalu menjentikkan jarinya. “Ah ya, mungkin aku bisa mentraktirmu sebagai permintaan maafku?” usul Min Rin. “Hanya Sung Gyu, bukan kalian. Hanya Sung Gyu, oke?” lanjut Min Rin cepat sebelum teman-temannya yang lain mengatakan sesuatu atau protes.
Sung Gyu menghela nafasnya kasar. “Terserah kau. Untuk sekarang, aku ingin kau segera merampungkan presentasimu. Aku―kita, ingin majalah edisi kali ini segera jadi.”
Min Rin tersenyum lega. Setidaknya untuk saat ini.
“Kau selalu menempatkanku dalam kesusahan. Se.la.lu. Selalu! Selalu, selalu, se-la-lu!” Sung Yeol mengacung-acungkan telunjuknya pada Min Rin.
Gerutuan yang kadang disertai makian ini selalu keluar dari mulut Sung Yeol setelah mereka―ia dan Min Rin―selesai mengikuti rapat redaksi. Tentu Min Rin sudah terbiasa dengan segala gerutuan Sung Yeol. Tidak perlu bertanya kenapa Sung Yeol selalu menggerutu, sudah pasti karena Min Rin terlambat dalam rapat. Min Rin terlambat menyerahkan foto-fotonya jadi Sung Yeol harus bekejaran dengan waktu untuk menyelesaikan editing dan layout.
Mendengar gerutuan Sung Yeol tadi Min Rin tertawa puas. Keduanya berhenti berjalan dan menepi ke tepian. Dari lantai tiga sekolah mereka ini mereka bisa melihat taman sekolah di bawah mereka. Tempat favorit para siswa terutama saat musim semi seperti sekarang ini.
Min Rin tertawa kecil. “Oke, maafkan aku, Sung Yeol―”
Sung Yeol menatap sinis Min Rin di sampingnya. “Kau tahu? Itu terdengar sangat basi! Tidak, tapi sangat busuk,” kata Sung Yeol penuh penekanan lalu melempar pandangannya ke taman lagi.
Min Rin tersenyum tipis. Hal ini juga sudah jadi rutinitasnya. Gadis itu berani bertaruh jika keesokan harinya Sung Yeol sudah bisa tertawa dan menggila bersamanya. Ini hanya masalah membujuk Sung Yeol saja.
“Ya, kau tahu kan jika aku cukup sibuk belakangan ini? Terlebih lagi, pak Yang bukanlah orang yang gampang diajak berkompromi. Aku…aku tentu merasa bersalah! Lagipula aku sudah kebal dengan semua itu, ocehan, umpatan, kalian yang marah-marah. Tapi setidaknya aku masih mengerjakan tugasku dengan baik. Kan?” Min Rin berusaha memberi pengertian Sung Yeol, meminta maaf, dan membela dirinya di saat bersamaan. Tapi tetap saja, Sung Yeol tidak menggubris Min Rin. Alis namja itu bahkan masih bertaut. “Oh ayolah, kau tega marah padaku?” tanya Min Rin setengah merajuk. Sung Yeol tak bergeming. “Lee Sung Yeol!” erang Min Rin.
Sung Yeol diam. Bukan berarti ia masih marah atau sudah memaafkan Min Rin. Tapi otaknya tengah berpikir. Ia tahu Min Rin bekerja sebagai fotografer freelance di beberapa studio foto, termasuk studio pak Yang, atau yang lebih dikenal dengan Yang Dong Gun, seorang fotografer terkenal.
Sung Yeol juga tahu betapa mengerikannya pak Yang itu. Orang tua yang keras, sedikit kolot, dan susah diajak berkompromi. Seringkali gerutuan keluar dari mulut Min Rin tentang pria tua pemilik studio foto tempatnya bekerja itu, tapi tak jarang ucapan terima kasih juga keluar.
“Yah, setidaknya…” Min Rin beringsut kearah Sung Yeol ketika namja itu angkat bicara. “Setidaknya kau melakukan tugasmu dengan baik, seperti biasa,” lanjut Sung Yeol. Masih tidak mau menatap Min Rin.
“Huwaaaa!! Gumawo, Sung Yeol!” spontan, Min Rin melompat memeluk Sung Yeol dari samping.
“Ya! Apa yang kau lakukan? Kau tidak risih jadi pusat perhatian? Aku tidak mau digosipkan pacaran denganmu!” Sung Yeol berusaha menjauhkan Min Rin darinya. Matanya menatap panik ke sekitarnya. Dimana anak-anak mulai menatapnya dan Min Rin dengan pandangan aneh. Ada yang menatap aneh, tapi ada juga yang menatap geli.
“Wae? Kau tidak mungkin digosipkan pacaran denganku. Seisi sekolah sudah biasa melihat kita berpelukan, mereka tahu kita akrab. Kecuali aku menciummu atau sebaliknya.” Min Rin merentangkan tangan kirinya.
Sung Yeol berdecak. Ia kalah, lagi. “Ara, tapi tetap saja.” Sung Yeol menunjuk-nunjuk lengan kanan Min Rin yang masih setia melilit lehernya, “Lepaskan tanganmu ini,” titah Sung Yeol.
Min Rin tersenyum menuruti perkataan Sung Yeol. Sung Yeol berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa ia bisa berkenalan dengan gadis gila seperti Min Rin?
“Min Rin-ah!” panggil sebuah suara.
Seorang siswa berwajah cantik berjalan kearah Min Rin dan Sung Yeol. Dia adalah Lee Sung Jong. Model terkenal yang digandrungi banyak gadis di sekolah ini dan di luar sekolah terutama noona-noona. Sung Jong akrab dengan Min Rin sejak mereka pertama kali mereka bertemu untuk acara pemotretan. Sung Jong jadi modelnya dan Min Rin adalah fotografernya. Mereka lalu bertukar nomor ponsel dan jadi semakin dekat. Bukan dekat dalam artian itu, tapi dekat sebagai sahabat.
“Omo!” Min Rin membekap mulutnya ketika ia melihat Sung Jong. “Kau kelihatan makin tampan hari ini! Sungguh! Aku tidak bohong!”
Sung Jong terkekeh. “Apa aku pernah tidak tampan?” katanya menyombongkan diri. Sung Yeol mengejek Sung Jong dengan pura-pura muntah. “Aku bisa melihatmu dengan jelas, Sung Yeol,” tegur Sung Jong. Keduanya―Sung Yeol dan Sung Jong―tertawa.
“Yah, kau pernah tidak tampan,” sela Min Rin. “Saat rambutmu dikeriting, atau kemarin. Ya! Kemarin! Saat rambutmu cukup panjang dan dicat dengan warna pink…ugh, itu menjijikkan bagiku.” Min Rin bergidik. Beruntung sekarang Sung Jong sudah memangkas rambutnya pendek, mengecatnya dengan warna coklat gelap dan menatanya berdiri.
Sung Jong melipat tangannya di depan dadanya. “Kau menilai rambut pink-ku dengan subjektif. Hanya karena kau tidak suka warna pink kau menilainya jelek. Asal kau tahu saja, noonadeul di luar sana banyak yang makin gemas padaku.”
“Aish! Aku tidak subjektif. Kau memang jelek dengan rambut pink-mu itu,” elak Min Rin. Ia tidak bohong, warna pink terlihat aneh pada Sung Jong. “Jadi kenapa kau menghampiriku? Mau mentraktirku makan siang, hum? Hum? Hum?” Min Rin mencondongkan tubuhnya ke Sung Jong sambil menaik-turunkan alisnya.
“Enak saja!” jawaban Sung Jong mematahkan harapan Min Rin. “Aku hanya ingin memberitahumu jika di jadwal pemotretanku dua minggu lagi…kau adalah fotografernya!” seru Sung Jong ceria.
“Jadi?” tanya Min Rin tidak mengerti.
“Jadi mungkin pada saat itu aku baru akan mentraktirmu. Sebutkan restoran apa saja, akan kubawa kau kesana,” Sung Jong tersenyum lebar sambil merentangkan tangannya.
Alis Min Rin bertaut. “Hanya itu?”
“Hanya itu?” Sung Jong mendelik menatap Min Rin. Ia bingung. “Apa yang kau maksud dengan hanya itu?” cerca Sung Jong.
“Jadi kau kemari hanya untuk memberitahuku itu? Kalau aku akan jadi fotografermu dan kau akan mentraktirku setelahnya?” koreksi Min Rin.
“Bagaimana denganku? Aku tidak masuk dalam daftar ‘teman yang harus kutraktir’?” potong Sung Yeol. Perkataannya menyadarkan Sung Jong dan Min Rin jika namja jangkung itu masih berada di tempatnya. Sung Yeol memandang dua orang sahabatnya itu dengan tatapan penuh protes.
“A-a!” Sung Jong mengacungkan telunjuknya. “Kau tidak masuk dalam daftarku. Ini spesial untuk Min Rin,” kata Sung Jong yang ditujukan untuk Sung Yeol.
Gerutuan kecil segera terdengar dari mulut Sung Yeol. Bukan hanya dia yang bisa bersikap begitu ‘egois’ pada Min Rin. Sung Jong adalah salah satu ‘pesaing’ terberatnya dalam merebut perhatian Min Rin. Min Rin bisa sangat kompak dengan Sung Yeol. Sama halnya dengan Sung Jong. Sung Yeol selalu ingin Min Rin bersamanya, terutama menjadi partner-in-crimenya. Sung Jong-pun begitu. Dan Min Rin, gadis itu selalu kompak dengan siapapun. Dia orang yang supel jadi bukan masalah.
“Okeeeee. Aku tidak mau mendengar penolakanmu, nona Choi. Jadi kau harus mau. Aku akan memaksamu dan menculikmu jika itu diperlukan,” sahut Sung Jong cepat.
Min Rin tertawa pelan. “Geurae, geurae,” tangan kanannya membentuk sinyal ‘oke’ dengan telunjuk dan ibu jarinya, “Aku juga tidak akan menolak rejeki itu,” lanjutnya terkekeh.
“KYAAAAA!! KIM MYUNG SOO!”
Jeritan tidak jauh dari ketiga sahabat itu terdengar begitu memekakkan telinga. Sung Jong menoleh ke sumber suara sebentar dan langsung memalingkan mukanya. Sedangkan Sung Yeol dan Min Rin, keduanya melongokkan kepala mereka kesana-kemari ingin tahu.
Tidak jauh dari tempat mereka sekarang, ada kerumunan gadis-gadis yang kelihatan begitu heboh seperti cacing kepanasan. Dan di tengah-tengah mereka ada namja bertubuh jangkung dan bermata sipit tengah tersenyum pada gadis-gadis itu. Sebentar-sebentar terdengar koor dari para gadis itu yang asyik memanggil-manggil pria jangkung itu denan sebutan ‘oppa’.
“Nuguya? Apa dia sekelas Orlando Bloom sehingga bisa membuat para gadis itu menjerit layaknya monyet di kebun binatang?” celetuk Min Rin.
“Ya! Perumpamaanmu itu―!” tegur Sung Yeol. Tapi urung ia lanjutkan setelah Min Rin juga menatapnya heran dan tanpa rasa dosa. Sung Yeol tahu benar sifat Min Rin. Gadis itu selalu mengatakan apa yang terlintas di pikirannya entah itu buruk atau baik. Begitu jujur, namun sarkastik.
“Kau tidak tahu dia?” tanya Sung Jong tidak percaya.
Min Rin menggeleng pelan. “Ani. Tapi kalau dilihat dari wajahnya sepertinya pria itu semacam pria populer yang digandrungi banyak gadis. Ya, kan? Apa dia artis di sekolah ini?” tebak Min Rin.
Sung Yeol berdecak heran seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau ini fotografer lepas, kan? Masak kau tidak tahu?”
Baru saja Min Rin membuka mulutnya tapi Sung Jong sudah memotong perkataannya. Min Rin kembali menutup mulutnya dan bersiap dengan omelan Sung Jong.
“Dia itu Kim Myung Soo! Kim Myung Soo! Dia model yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Kau belum pernah bertemu dengannya? Belum pernah memotretnya?” buru Sung Jong. Min Rin menggeleng pelan. “Padahal dia sudah dua tahun ini menjadi model,” lanjut Sung Jong pelan.
“Jadi itu alasannya kau langsung memalingkan mukamu saat mengetahui sosoknya? Kau merasa tersaingi?” goda Sung Yeol. Sung Jong mendelik tajam pada Sung Yeol. Tidak menyangka jika Sung Yeol sebegitu memperhatikan sekitarnya.
Min Rin sudah tidak mendengar ocehan kedua sahabat prianya. Suara-suara Sung Yeol dan Sung Jong bagai angin lalu, Min Rin mendengarnya namun tidak menghiraukannya. Itu karena…tatapan Myung Soo bertemu dengan tatapannya.
Min Rin bisa melihat bola mata hitam itu tengah menatap―fokus dan tajam―kearahnya. Entah apa yang ada di mata itu, tapi Min Rin merasa jika mata itu bisa memerangkapnya dalam satu ‘penjara’. Atau mungkin mata itu akan membawanya tenggelam lebih jauh. Entah kemana. Dan anehnya, Min Rin tidak bisa bergerak. Mata itu memang sudah menghipnotisnya.
Min Rin baru tersadar ketika Myung Soo beralih ke kerumunan gadis-gadis itu―yang sekarang Min Rin duga sebagai fans Myung Soo.
Apa-apaan tadi? Kenapa dia menatapku dengan tatapan seperti itu? batin Min Rin penasaran.
“Choi Min Rin!” pekikan keras Sung Yeol membuyarkan lamunan Min Rin.
“M…mwo?” Min Rin tergagap.
Sung Yeol berkacak pinggang. “Lee Ho Won memanggilmu. Ke ruang klub fotografi sekarang!” telunjuk Sung Yeol menunjuk-nunjuk lantai di bawahnya.
Beberapa meter di belakang Sung Yeol, Min Rin melihat Ho Won tengah tersenyum dan melambaikan tangan padanya.
“Oke, aku harus pergi sekarang. Dah semua!” Min Rin segera berlari kearah Ho Won. Keduanya lalu berjalan ke ruang klub fotografi bersama.
To be continued - go to the next chapter
This part seems so short, right? Oke, author janji nanti di part yang berikut-berikutnya bakal lebih panjang ^^