“Hyung, sampai sekarang ia tidak tahu keberadaanmu dan menganggapmu telah mati. Apa tidak apa-apa?” seorang laki-laki bertubuh tegap bertanya, sembari menyeruput kopinya. Laki-laki yang lebuh tua darinya kira-kira 10 tahun pun mengangguk.
“Aku belum percaya pada dia. Luhan masih terlalu emosional. Aku takut persembunyianku akan terdengar oleh mereka juga. Karena mereka telah menganggapku mati.”
“Aah arasso hyung. Tapi kau tahu kan Hyung bagaimana keadaan Luhan sekarang? Ia diburon oleh mereka tiap hari.”
“Aku percaya ia bisa mengatasinya.” Sang laki tua itu mengambil cerutunya dan menghisapnya pelan. Lalu mengepulkan asapnya ke udara. Tak lama, ia melanjutkan kalimatnya. “Kecuali jika ia sudah terkontaminasi oleh cinta. Maka dirinya akan ada dalam bahaya.”
Siwon menghela nafasnya kasar. “Kenyataannya Hyung, Luhan dikabarkan sedang bersama seorang gadis akhir-akhir ini.”
Sang laki tua itu pun tiba-tiba saja tersedak oleh asap cerutunya sendiri.
“Dan mobil mereka tampak berkeliaran di tempat Luhan dan gadis itu berada.” lanjut Siwon.
Berulang kali sang laki tua terbatuk sampai akhirnya berhenti karena Siwon membawakannya segelas air putih. “Bocah nakal itu! Telpon dia! Suruh dia menjauhi gadis itu!”
----------
Luhan membuka bukunya setiba ia di dalam perpustakaan. Kali ini, ia mencoba sebuah novel untuk bahan bacaan. Novel romansa. Entah karena apa, sepertinya ia mencoba untuk membaca sebuah novel yang mengandung kisah percintaan di dalamnya.
Aktivitas membacanya kemudian terhenti tatkala ia merasakan ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Segera saja, ia mengambilnya dan keluar dari perpustakaan, menuju ke tempat yang lebih sepi. Setibanya di tempat yang cukup sepi, ia mengangkatnya.
“Hyung?” tanyanya, mengenali suara di seberang sana. “Kau tahu nomorku?”
“Mian, terakhir kali aku mengganti nomorku karena mereka telah melacaknya.”
Sesaat Luhan diam. Karena suara di seberang sana bernarasi lebih lama dan Luhan merasa ia harus mendengarkannya. “Kamu pasti menyadarinya bukan mengapa ada dua namja yang pindah ke sekolahmu?”
Kening Luhan mengerut. Tubuhnya mulai terasa lemas. “Ia berbahaya jika bersamamu Luhan-a. Ingatlah itu.”
Ingin rasanya Luhan kabur dari semua ini. Melempar ponselnya jauh-jauh dan pergi dari semua kenyataan ini.
Menjauh dari Jihye bukanlah hal yang susah. Luhan awalnya mengira seperti itu. Akan tetapi, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin tetap bersama Jihye.
Terjadi konflik di dalam batinnya. Seharusnya sejak awal aku tidak mengenal Jihye.ujarnya dalam hati. Namun terlambat. Ia kini telah menyeret Jihye dalam hidupnya. Semua ini terlanjur terjadi. Dan Luhan tak memiliki pilihan lain kecuali untuk mengakhiri semua permainan ini. Saat itu juga, sebuah pesan masuk. Sebuah pesan yang datang dari yeoja yang saat ini memenuhi kepalanya.
S.O.S @Kantin –Jihye
--------------------
4 jam kemudian...
Jihye melangkah menuju kelas 2-A. Perasaannya campur aduk saat ini. Pasalnya, ia masih belum bisa melupakan kejadian di kantin tadi pagi sementara Luhan tampaknya tenang-tenang saja. Apa ia pikir hal seperti itu adalah sebuah hal yang biasa? batinnya terus menggumam.
Saat ia akhirnya melihat Luhan yang keluar dari mulut pintu kelas 2-A, Jihye mempercepat langkahnya.
Dan mereka akhirnya saling berhadapan.
“Tadi pagi..Kamu seharusnya melupakannya.” kata Luhan seakan ia mengerti wajah kesal di wajah Jihye lantas tak mengubah apapun. Malah membuat Jihye semakin kesal.
“Melupakannya?! Ya! Kau pikir aku akan semudah itu melupakannya?!” Jihye meninggikan suaranya, namun kemudian ia sadar bahwa mereka masih berada di tempat yang cukup ramai bagi orang lain untuk mendengarkan percakapan mereka. “Aish.” Ia akhirnya membawa Luhan ke tempat yang lebih sepi. Belakang sekolah.
“Dengar. Maafkan aku jika sesuatu yang terjadi di kantin itu tadi sangat berarti bagimu.. Jeongmal mian,eoh?” tutur Luhan datar. Karena memang ia selalu mengucapkan apapun dengan datar. Tak elak membuat amarah Jihye semakin meninggi.
“Tak tampak sedikitpun penyesalan di matamu..” cibir Jihye penuh ejek. “Namja macam apa kau ini..Aish..”
Luhan hanya bisa diam. Meski ia sadar ia tak seharusnya bersikap seperti itu, ia hanya bisa meneruskan sikap dinginnya. Ini semua karena sebuah pikiran telah tertanam di kepalanya sedari tadi. aku akan mengakhiri semua ini, anyway...
“Kencan pura-pura kita sepertinya telah berhasil.” ucap Luhan, sedikit mengembangkan senyum. Karena saat ia mencoba untuk merangkai kalimatnya, ia merasakan perih di dada. Seakan ia tak ingin semua ini terjadi.
Jihye ikut tersenyum. “Yeah. Semua orang tampak yakin bahwa kita berkencan.” Dilanjutkan dengan menunduknya pandangannya ke tanah. Kini, ia memainkan kakinya, menendang kerikil kecil entah ke arah mana. Ketika Jihye mengingat kejadian di kantin, tidak tahu mengapa ia merasa gugup.
Kemudian ia mengangkat kepalanya. “Terutama karena kejadian di kantin tadi.Ya! Aku benar-benar tidak menyangka kau akan melakukannya!” Emosi Jihye kembali naik ke permukaan. Ia tidak tahu mengapa ia bisa merasakan perasaan aneh yang ia perkirakan senang dan marah secara bersamaan. Seperti yang dapat Jihye kira, Luhan tak bereaksi. “Aah percuma saja marah padamu...” gumam Jihye lirih.
Angin sore berhembus begitu lembut. Membelai rambut panjang seketiak milik Jihye. Terayun ke arah angin berembus. Meski rambutnya bergerak sesuka angin mempermainkannya, wajahnya tampak damai. Tenang. Dan itu membuat Luhan menatap Jihye penuh syahdu. Cantik. batinnya. Tapi terlambat. Ia menyadari kecantikan Jihye tepat ketika ia akan melepaskannya.
“Berarti misi kita selesai?” ucap Luhan lagi. Jihye menatap Luhan heran. Ia berfirasat sesuatu yang tidak mengenakkan akan terjadi.
Jihye menggamit roknya. Suatu kebiasaan ketika ia merasa gugup atau panik. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa ia merasa gugup ketika ia mendengar pertanyaan singkat yang keluar dari mulut Luhan.
“K-kau b-bilang...s-sebulan, k-kaan?” Jihye terbata-bata. Terdengar helaan nafas dari Luhan.
“Jika dua hari saja cukup untuk membuktikannya, mengapa harus sebulan?” Luhan mengatakannya lagi. Kalimat yang membuat dada Jihye terasa perih.
Jihye merasa kedua bola matanya basah. Tapi ia tidak ingin mengakuinya, bahwa ia menangis. Aku pasti tidak akan menangis hanya karena ini,kan? Ini pasti karena debu yang masuk ke mata,kan? Jihye mencoba menahan semua cairan yang akan keluar itu. Namun itu terjadi begitu saja.
“Kamu pasti sudah gila. Berkencan hanya dalam waktu dua hari?!” Emosi Jihye memuncak. Ia tidak tahu mengapa ia bisa sekecewa ini. Yang ia tahu, ia tidak pernah sekecewa ini memutuskan hubungannya dengan seseorang.
“Tiga hari. Kau akan memutskanku pada hari Senin dan besok adalah hari Minggu.” balas Luhan santai. Meskipun ia merasakan sesak di dada ketika mengucapkannya, apalagi setelah melihat sepasang mata Jihye basah, ia berusaha agar intonasi dalam setiap kata yang ia ucapkan tetap terdengar begitu datar.
Jihye mengepalkan kedua tangannya. Ia me-recall pertemuannya dengan Luhan dan semua motif mengapa Luhan mau membantunya. Ia mengingat semua pecahan puzzle dalam kepalanya dan ia menemukan sebuah jawaban. Jawaban yang membuat rasa sesak di dadanya bertambah kuat.
selang beberapa waktu, kepalan di tangan Jihye melonggar. Ia berusaha melihat langsung ke arah Luhan.
“K-kamu..pa-pasti sangat mem-membenciku, bukan? Kamu sangat membenciku sehingga ingin semua ini berakhir.”
Kini tangis Jihye benar-benar pecah. Ia tahu ia seharusnya pergi dari sana saja setelah ia mengucapkannya. Tapi bodohnya, ia malah tetap berdiri di sana sambil menunggu jawaban dari Luhan.
Luhan tidak ingin mengatakannya. Aku merasa sangat munafik. Hatinya berbicara banyak hal namun hanya kata yang tidak mengenakkan yang keluar. Tentu saja, ia melakukan itu semua demi kebaikan Jihye. Ia tidak ingin Jihye terlibat dalam hidupnya yang carut marut. Aku memang seharusnya sendiri. Selamanya. Luhan telah meyakini hal itu sejak ia keluar dari organisasi itu. Namun entah, sejak ia bertemu dengan Jihye, ia merasa bahwa ia tidak bisa hidup sendiri. Ia merasa, ia seharusnya berteman. Atau setidaknya mengenal betapa pentingnya orang lain di hidupnya. Luhan merasa prinsipnya yang telah ia tanam kuat-kuat runtuh begitu saja sejak ia bertemu dengan Jihye.
Tapi kini, ia berusaha untuk menumbuhkan prinsipnya itu kembali.
demi kebaikan Jihye. Batin Luhan sebelum ia mengucapkan kalimat yang membuat Jihye pergi dari sisinya. Benar-benar pergi dari sisinya.
“Nae. Aku tidak pernah menyukaimu.”
--------------
“Ya.. Ullijima..” Yura menepuk pelan punggung Jihye yang masih saja terisak.
“Luhan mata empat kutu buku yang sakit jiwa. Sakit jiwa kronis!”
Berbagai umpatan keluar dari mulut Jihye . Tentang betapa menyebalkannya Luhan, sombongnya Luhan dan semua hal buruk tentang Luhan. Yura hanya bisa diam dan mengangguk-angguk saja. Ia tahu, Jihye tidak bisa diganggu gugat ketika dalam keadaan seperti ini. Semua yang Jihye bisa lakukan adalah melampiaskan emosinya dan semua yang Yura bisa lakukan adalah menjadi pendengar bagi Jihye.
“Aku tidak bisa terima mengapa ia menolakku seperti ini. Apa aku tampak menyedihkan di matanya? Begitu buruk di matanya? Apa ia begitu membenciku?”
Jihye kembali melontarkan pertanyaan yang tak juga terjawab dan mengulanginya berulang kali seperti kaset rusak.
Yura hanya bisa terus menerus menghibur Jihye. “Mungkin, Luhan punya alasan.”
Jihye mengambil tisu dan membersihkan ingus yang keluar dari hidungnya. “Alasan? Dia jelas-jelas membenciku, Yura-ya. Dia mengatakannya sendiri di depan mataku!!”
Jihye diam.
Dan setelah menyadari kalimat yang ia ucapkan, tangisnya pecah lagi.
Hal itu berlangsung selama satu jam lebih.
Yura tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Semua kalimat yang ia ucapkan malah memprovokasi tangis Jihye. Akan tetapi sejak tadi ia belum berani menanyakan sesuatu ke Jihye.
“Kau begitu kecewa, Jihye-a. Apa mungkin kau benar-benar menyukainya?” Yura ingin menanyakan hal itu. Tapi ia tahu diri untuk tidak mengucapkannya. Bisa-bisa hidupnya akan berakhir di kamarnya sendiri jika ia menanyakannya.
“Tisu-mu..habis?” kata Jihye masih terisak ketika mengambil tisu dan mendapati tempatnya kosong. Tak tertinggal sehelai pun di dalamnya.
“Aaah iya. Dan itu persediaan tisu terakhir di rumah ini.” Yura mencoba berbohong. “Itu suatu pertanda, Jihye-a, agar tangismu segera berhenti..”
Jihye menatap ke arah Yura sejenak. Pikirannya kosong. “Aaah kau benar.”
Tak lama, Jihye mengambrukkan dirinya di atas bed empuk milik Yura.”Kurasa...aku mengantuk.”
Dan dalam hitungan detik, Jihye terlelap.
Hembusan nafas lega dari Yura terdengar setelahnya.
-------------
“Semua rantai berhenti di Luhan..” gumam Yura pada dirinya sendiri. Meskipun ia tidak begitu yakin bahwa Jihye menyukai Luhan, namun ia terus menanamkan hipotesisnya itu dalam-dalam.
Sedari tadi, ia mengahadapkan dirinya pada sebuah buku dan membacanya akan tetapi pikirannya melayang. Ia memang membaca bukunya akan tetapi jika disuruh untuk menceritakan isinya, percayalah, ia tak akan bisa.
Jonghyun menyukai Jihye, Jihye menyukai Luhan.
Pikiran itu selalu mondar-mandir di kepalanya sejak tadi.
Dan aku menyukai Jonghyun.
Sejak awal, Yura tidak ingin semua itu terjadi. Tapi, cinta datang begitu saja. Ia tidak tahu kapan cintanya pada Jonghyun datang dan menyusup ke dalam perasaannya.
“aish aku bisa gila.” Yura menutup bukunya dan menutup matanya perlahan, seiring dengan kenangannya yang muncul begitu saja. Kenangan sebelum Jonghyun akhirnya bersama dengan Jihye.
“Kau akan terlambat. Ikutlah denganku.” Jonghyun yang berada di atas motor sportnya menawari Yura yang berlari terengah-engah.
“Ani. Tidak perlu.Aku bisa berlari.”
“Kamu gila? Sekolahmu masih jauh. Hentikan omong kosongmu dan naiklah.”
“Tapi kita beda sekolah,kan?”
“Setidaknya searah.”
Yura memandang Jonghyun curiga. Jonghyun yang tahu arti dari pandangannya mendecakkan lidahnya. “Naiklah, sebelum aku berubah pikiran.”
-----------------
Jihye berdiri kaku di depan sebuah tempat sampah bermotif bunga-bunga. Yura yang baru saja memasuki kamarnya terheran mengapa Jihye berdiri begitu lama di satu titik.
“Jihye-a. Apa yang sedang kau lakukan?”
Jihye menengok. “Semua tisu ini...Bukan milikku,kan?Aku tadi tidak menangis kan? Itu tadi Cuma mimpiku kan Yura-ya? Iya itu tadi Cuma mimpiku.”
Yura hanya bisa berkedip. Ingin ia tertawa melihat tingkah sahabatnya yang kadang tampak begitu konyol dan menggemaskan. “Yeah. Aku alergi setiap pagi sehingga aku menghabiskan banyak tisu.” Yura menaruh dua cangkir cokelat hangatnya ke meja dan memegang bahu milik Jihye. “Bagaimana jika malam ini kita menonton dvd film koleksiku?”
Mata Jihye langsung berbinar. “Maksudmu...Captain America? Iron Man? Thor? Atau mungkin Spiderman?”
Yura hanya bisa mengangguk sambil tertawa kecil.
--------------
Jihye memandang benda kotak itu dengan seksama. sebisa mungkin, ia tak mengedipkan matanya, tak ingin tertinggal adegan yang ada di dalam sana barang satu detik saja. Apalagi menyelanya dengan mengajak Yura berbicara.
Tepat di sebuah adegan dimana Spiderman mengulurkan tangannya ke Marry Jane, Jihye akhirnya berucap. Mengenai kenangan ketika ia kecil, yang Yura tentu saja sudah tahu betul apa isinya. Ia sudah terlalu khatam dengan semua hal tentang Jihye. Meski kadang, ia merasa Jihye menyimpan sebuah rahasia darinya. Ia tidak tahu apa itu, tapi ia merasakannya.
Jihye masih sangat kecil waktu itu. Usianya masih 8 tahun. Usia yang masih sangat rentan untuk mengalami sebuah hal yang tak seharusnya terjadi padanya dan mendengar apa yang ia belum siap untuk dengar.
“Semua orang tahu, ibumu adalah wanita simpanan. Kau tak akan pernah memiliki seorang ayah!” kakak tingkatnya dan kedua teman yang ia anggap teman mendorong tubuh kecilnya ke tanah taman kota. Jihye lalu berdiri.
“Ayah sudah meninggal. Ibuku bukan wanita simpanan!” Jihye terbangun dan mendorong yeoja kecil yang telah mendorongnya tadi.
“Ya. Kau berani melawanku?”
Dan Jihye terdorong ke tanah lagi. Begitu seterusnya hingga ia mendongak ketika sebuah tangan terulur ke arahnya. Jihye dapat memandang wajah itu. Wajah yang bagi Jihye wajah malaikat. Meski ia belum pernah melihat sosok malaikat. Setidaknya ia pernah mendengarnya di dongeng yang eommanya selalu ceritakan sebelum tidur. Dan saat itulah Jihye dapat melihat sebuah tahi lalat di pergelangan tangan kananya.
“Ya. Kau siapa? jangan ikut campur.”Sebuah tangan milik si pendorong meraih bahu milik namja kecil itu namun naasnya, hanya dengan mengangkat kedua bahunya si pendorong itu terjatuh.
Hubungan mereka dimulai dari sana. Tapi anehnya, setiap kali ia berusaha mengingat-ingat nama dari namja tersebut, ia tidak bisa. Kepalanya terasa sakit. Seakan ingatan tentang namanya hilang begitu saja. Begitu juga mengenai ingatan mengapa mereka bisa berpisah. Jihye sama sekali tidak ingat. Seperti pecahan puzzle yang hilang dan Jihye tidak tahu bagaimana cara untuk mencarinya.
---------------
Setelah terdengar bunyi ‘fifteenth’ yang cukup keras, Luhan menekan tombol pada lift dan tak lama kemudian, lift terbuka. Ia melangkah keluar. sesungguhnya, ia memakan waktu lama dalam perjalanan pulangnya. Bukan karena jarak sekolahnya dan apartemennya jauh atau apa, ia sempat berusaha kembali ke sekolah dan berniat menemui Jihye. Ia merasa bersalah atas kalimatnya yang cukup kasar namun kemudian ia mengingat kembali apa alasannya sehingga ia berkata seperti itu. Dan hal itu membuatnya urung untuk kembali ke sekolah dan melesat ke apartemen.
sejenak, Luhan berhenti berjalan. Tiba-tiba saja wajah menangis milik Jihye teringat. Ia mengepalkan tangannya lalu melampiaskannya pada tembok lorong apartemen.
“Aarghh!”
Ia tak peduli tangannya sedikit mengeluarkan darah segar. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana ia telah melukai Jihye dan bagaimana ia merasakan kehampaan ketika ia mengingat ia tidak akan bisa bersama Jihye lagi. Dan lagi-lagi, Luhan bergumam ‘Demi kebaikan Jihye.’
Sebuah alasan yang langsung dapat menenangkannya. Nafasnya yang awalanya tidak teratur, kini kembali teratur dan ia melangkah menuju kamar apartemennya.
Luhan memencet kombinasi angka dan tak lama pintu terbuka. Namun ia tak segera melangkah masuk karena ia mendengar sebuah teriakan yeoja tepat di belakangnya.
“Kamu harus segera membayar hutangmu! Aku tak peduli suamimu telah pergi meinggalkanmu entah kemana, yang kami tahu, kamu harus segera membayar hutangmu!” ujar seorang namja berusia 40 tahun-an pada seorang yeoja yang tersungkur di lantai. Berdiri juga namja seusia dengan dirinya yang berdiri di sampingnya.
Yeoja itu terisak. Tak sedikitpun kata dapat keluar dari mulutnya kecuali permintaan maaf dan meminta waktu tenggang seminggu lagi.
Luhan mendongak, mencari sebuah cctv yang terpasang. Setelah memandangnya, ia memandang ke arah namja 40 tahun-an di depannya.
Ia tidak peduli ia mengeluarkan kekuatannya lagi meskipun ia berjanji untuk tidak menggunakannya lagi, Luhan hanya tidak bisa. Ia terus mengingkari janjinya pada dirinya sendiri dan menggunakan kekuatannya. Lagipula, aku telah mematikan cctv. batinnya pada dirinya sendiri.
Luhan memandang mata namja itu. Begitu dalam. Tampak dari kerutan di dahinya. Peluh keringat mulai keluar dari pelipisnya.
“Baiklah. Aku akan memberimu tenggang waktu seminggu. Seminggu bukanlah waktu yang lama.” sang namja itu lalu pergi meninggalkan yeoja yang masih tak percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat. Apalagi ketika melihat namja yang tadi mendorongnya hingga jatuh karena hutangnya itu pergi menjauh darinya.
Seseorang yang tampaknya seperti asistennya pun menghentikannya. “Boss...Apa Anda serius? Baru saja—“
Ia kemudian terhenti ketika namja yang ternyata bossnya itu memandanginya dalam.
“Apa aku harus mengulangi kalimatku?!” teriak namja itu, membuat anak buahnya takut dan mereka juga ikut melesat mengikutinya hingga punggung mereka tampak menghilang dari pandangan.
Luhan menghembuskan nafasnya lega. Sebelum ia akhirnya masuk ke dalam kamar apartemennya, ia kembali memandang ke arah cctv untuk menyalakannya kembali.
Sesampainya di dalam sana, Luhan mematung. Sebuah kenyataan pahit yang ia dengar dua tahun yang lalu dari ayahnya kembali terngiang.
“Maafkan ayah..Mereka memaksa Ayah untuk menjadikanmu sebagai kelinci percobaan mereka..Maafkan Ayah..”
Luhan tidak marah pada Ayahnya. Malah, ia merindukannya. Sebaliknya, ia membenci mereka yang telah membuat hidup keluarganya menjadi seperti ini. Ia begitu membenci mereka hingga ia tak dapat berhenti mengepalkan tangannya ketika mengingatnya.
Sempat ia berpikir untuk membalaskan dendamnya pada mereka yang telah menghancurkan hidupnya dan memanfaatkan keluarganya akan tetapi ucapan ayahnya selalu menghalanginya.
“Jangan anakku. Nikmatilah hidupmu. Mereka seperti gunung es, tampak sedikit dan lemah, tapi kau tidak tahu sesungguhnya kekuatan mereka.”
Sehingga di sinilah Luhan. Tak bisa menghadapi mereka yang membuat ia berpisah dari ayahnya dan ibunya. Berusaha dengan sisa-sisa harapan untuk terus hidup. Mempertahankan hidup, lebih khususnya. Karena ia merasa hidup bukanlah untuk lari dari masalah seperti yang ia lakukan hingga sekarang. Akan tetapi menghadapinya. Meski ia ragu, ia bisa melakukannya atau tidak.
--------------
Updated! Sori isinya sedih semua :’’’(
Ada yang pernah liat film Lucy?
Yah kurang lebih seperti itu keadaan Luhan. Aku awalnya gak tahu kalo ternyata ff ini rada mirip sama Lucy karena serius, sungguh, suwer, aku bikin ff ini jauh sebelum aku nonton Lucy. Dan ketika aku nonton Lucy, I was like “WOW Sutradara film ini sama gue sepikiran.”
Karena,yeah, aku masih penasaran gimana kekuatan metafisika sesungguhnya. Maksudku, mengendalikan sesuatu tanpa menyentuhnya. Hal-hal seperti itu...Maybe, kayak sulap gituh. hehe
Dan aku penasaran gimana kalo kita emang bisa mengoptimalkan kekuatan saraf kita.
Kayak tadi Luhan bisa membuat namja 40 tahun (ini kerasa aneh bet yak namanya) itu bisa mengucapkan apa yang ada di pikiran Luhan dan bener-bener mengendalikan itu namja 40 tahun.
Sori ye rada bikin pusing chapter ini. Karena aku merasa sudah saatnya kalian tahu kekuatan Luhan sesungguhnya.
Tapi di sini Luhan nggak punya kekuatan utk baca pikiran kok. Karena dia.....(nanti bakal dijelasin.ikuti aja chapternya hehe)
Yeah actually this is #sciencefiction
And.. who is mereka (yang sengaja aku cetak miring)?
BTW,
Awal Februari udah deket
Bentar lagi BBMGG bakal releasee #aaack
Remind lagi, tokohnya: Myungsoo, Kai sama ceweknya OC. Triangle love never dies whohooo~!! *actually rectangle*