CHAPTER 9
THEY ARE JUST PAST, AREN’T THEY???
“All those past memories are back again, why loving someone could be this difficult? Or this is just my feeling?” Luhan
“You are something that I never choose but at the same time you are something I don’t wanna lose” Lee Na Ra
“This rain, I wish this rain could erase my pain” Kris Wu
“Maybe I still love you, or don’t” Sung Young
Xi Luhan
“Young-ah, bagaimana kabarmu?” Aku memberanikan diriku untuk bertanya. Entah apa yang ada di otakku saat ini. Melihatnya setelah sekian lama, membuat otakku berhenti bekerja. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan dia lagi, menatap wajahnya lagi, mendengar suaranya lagi. Rasanya baru kemarin aku memeluknya untuk yang terakhir kali, saat dia mengucapkan kata perpisahan itu.
Aku bahagia melihatnya, tapi ada juga rasa sakit yang muncul. Luka itu, luka yang ada di hatiku, seperti terbuka lagi.
Aku sangat merindukan gadis manis ini, Shin Sung Young. Yang dulu selalu manja padaku, yang dulu sering marah karena aku terlambat datang saat kencan, yang dulu senang memarahiku jika aku lupa dan tidak meminum vitaminku. Aku merindukan suara merdunya di pagi hari, dan suara seraknya di malam hari saat dengan sengaja aku menelponnya tengah malam karena tidak bisa tidur. Aku merindukan semua itu, sangat.
“Aku baik, Oppa.” Kudengar ia menjawab tanpa memandangku. Aku tertegun, betapa aku rindu mendengarnya seperti itu, memanggilku “Oppa”. Ah, rasanya aku ingin memeluknya saat itu juga.
“Hyung, kau mengenalnya?” Sehun membuntutiku masuk ke dalam apartment-ku. Aku tak menjawab, hanya terus masuk ke kamarku dan duduk di ranjang kesayanganku.
“Hyung, jawab aku.” Sehun menarik-narik tanganku. Aku menatapnya dengan pandangan malas.
“Mwo?” Tanyaku.
“Kau mengenal Young? Kalian saling kenal?” Dia ikut duduk di sampingku.
“Ne.” Jawabku singkat.
“Bagaimana bisa?”
“Kau ingat wanita yang pernah aku ceritakan?”
“Yang mana?” Dia menatapku bingung.
“Aku hanya pernah menceritakan satu wanita padamu, Hun-ah.” Jawabku lembut.
“Ah! Yang itu? Iya ingat, waeyo?”
“Dia... Sung Young.”
…………………………………………………………………………
“Young-ah!” Na Ra memanggil-manggil adiknya yang tanpa ba-bi-bu langsung masuk begitu saja meninggalkannya di depan pintu.
“Young-ah.” Ia mengikuti adiknya masuk. Mereka ada di apartment Sung Young sekarang.
“Ne, Eonni?” Sung Young menjawab panggilan kakaknya dengan nada lemah. Ia masih bingung dengan kejadian tadi.
“Ada apa denganmu? Kau mengenal Luhan?” Na Ra duduk di sebelah Sung Young. Gadis yang selalu dipanggilnya Young itu mendesah pelan, lalu menatapnya.
“Eonni, ingatkah saat aku bercerita bahwa aku pernah punya pacar?” Tanyanya.
“Ne.”
“Orang itu, Luhan.”
“MWO?” Na Ra berteriak tidak percaya. Bagaimana bisa adiknya pernah berpacaran dengan Luhan, pikirnya.
“Bagaimana bisa? Kalian?” Na Ra memelankan suaranya karena dilihatnya Sung Young menunduk lemah.
“Ceritakan pada Eonni, SEMUANYA!” Lanjut Na Ra karena Sung Young tetap diam, ia menekankan nada bicaranya pada kata terakhir yang ia ucapkan.
Sung Young yang mendengar itu lantas diam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya,
“Saat aku SMP, aku mengenal dia, Luhan. Lelaki tertampan yang ada di forum itu, perkumpulan remaja yang aku ikuti. Dia mendekatiku, dan dia berhasil membuatku jatuh cinta padanya karena semua sifat lembutnya. Dia cinta pertamaku, Eonni.” Sung Young tersenyum getir.
“Dia memintaku untuk menjadi pacarnya setelah dua minggu berkenalan. Waktu yang singkat bukan? Tapi tidak masalah bagi kami. Perbedaan umur yang sedikit jauh juga tak jadi masalah. Aku yang waktu itu duduk di bangku kelas 2 SMP, dan dia yang seorang siswa kelas 3 SMA,
“Hubungan kami berjalan sangat baik. Dan kupikir Luhan itu sangat manis. Aku sangat bahagia bisa memilikinya. Bahkan setelah setahun kami pacaran, ia berani datang ke rumahku dan berkenalan dengan orang tuaku.” Sung Young memandang ke langit-langit, seperti menerawang.
Sementara Na Ra di sampingnya menatap gadis itu lekat-lekat. Ia serasa seperti sedang menonton sebuah film.
“Semua orang yang melihat hubungan kami, selalu mengatakan bahwa mereka iri dengan kami. Mereka mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang sempurna. Dan satu lagi, Luhan selalu melakukan apapun yang aku mau. Tapi itu tidak membuatku lantas memintanya melakukan hal-hal yang kumau. Percayalah padaku Eonni, aku sangat menyayanginya saat itu,
“Anniversary kedua, semuanya masih manis. Anniversary ketiga, tak semanis lagi seperti yang orang-orang bayangkan. Sebulan sebelum itu Appa ku bangkrut, aku sudah pernah menceritakannya pada Eonni,” Sung Young mengerling kakaknya, dan gadis itu hanya mengangguk cepat,
“Aku sempat ingin merahasiakan semua itu dari Luhan, tapi tidak bisa, dia terlalu mengenalku. Jadilah dia tau semuanya tentang Appa. Aku tetap ceria di depannya, waktu itu, tapi sebenarnya aku merasa tidak bisa menanggung semuanya setelah Appa pergi. Aku mulai berpikir tentang keluargaku yang mungkin lambat laun akan semakin hancur. Dan itu semua membuatku berpikir kembali, tentang orang-orang di sekitar Luhan, terutama orang tuanya. Kudengar orang tua Luhan adalah orang yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Dan aku dengan keluargaku yang hancur? Mungkin seperti hal tak berguna di mata mereka.”
“Young-ah...” Na Ra menyela, namun dengan cepat Sung Young berbicara kembali.
“Dengan semua tekanan itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Waktu itu rasanya begitu sulit. Aku sangat menyayanginya, sangat.” Sung Young menangis. Air mata mulai membasahi pipinya. Na Ra mengusap punggung gadis itu pelan.
“Aku mengakhirinya di tempat favorit kami, tempat dia mengungkapkan perasaannya padaku, tempat kami berbagi perasaan satu sama lain. Aku masih bisa mengingat, dia pernah mengatakan sesuatu yang lucu, 'Young-ah, ini adalah tempat favorit kita, bagaimana jika kita menikah di sini beberapa tahun lagi?', dan itu membuatku tertawa.”
“Aku pergi dari hidupnya, karena memang saat itu aku, Eomma, dan Eonniku pindah ke tempat yang lebih kecil. Begitu juga dengan sekolahku, aku pindah ke sekolah yang lebih dekat dengan rumahku, Eonni ingat kan aku pernah menceritakannya?”
“Sejak itu aku tak pernah melihatnya lagi, apalagi mendengar kabarnya. Aku tak pernah barang sekali bertemu dengannya, sampai hari ini.” Sung Young menunduk menatap kakinya.
“Young-ah,”
“Ne?” Sung Young tak mengalihkan pandangannya.
“Kau masih mencintainya?” Na Ra bertanya, yang seketika membuat Sung Young tertegun. Gadis itu masih menunduk, dan ia diam selama beberapa saat.
“Mollayo, Eonni, mungkin saja.”
…………………………………………………………………………
Na Ra pulang dari apartment Sung Young setelah mendengar ceritanya. Ia baru menyadari betapa getir hidup adiknya itu, keluarga yang berantakan, harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup ditambah lagi harus meninggalkan kekasih yang sebenarnya masih sangat dicintainya, Luhan.
Mungkin Na Ra harus belajar banyak dari adiknya itu, belajar bagaimana harus bersyukur betapa hidupnya sudah sangat sempurna. Uang, mobil mewah, apartment, ia punya semua, semua yang ia inginkan dapat ia beli dengan mudah.
Tapi, jauh dilubuk hatinya ia juga begitu iri dengan Sung Young, iri akan bagaimana gadis itu setidaknya “PERNAH” merasakan kasih sayang utuh orang tuanya, serta kasih sayang namja yang begitu tulus mencintainya. Tidak seperti dirinya, dirinya yang hampir tidak tahu apa itu cinta. Sejak kecil ia tidak pernah punya banyak waktu dengan orang tuanya, mereka selalu sibuk dengan bisnis mereka. Ia tinggal hanya dengan pelayan-pelayan di rumahnya. Bahkan saat Natal tiba pun, orang tuanya tidak sempat pulang untuk sekadar memberinya ucapan Natal seperti orang tua lain pada umumnya.
Dan untuk urusan namja? Na Ra bahkan hampir melupakannya. Walaupun jika ia mau ia sudah bisa mempunyai namja-chingu. Siapa yang bisa menolak pesona Lee Na Ra? Namun sayang, hatinya sudah seperti membatu, menutup banyak pintu yang membuat cinta enggan datang ke hatinya.
Hari sudah mulai gelap, hujan mengguyur kota Seoul sepanjang hari, membuat Na Ra mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Matanya menyipit melihat seseorang yang ia kenal tampak sedang berdiri di bawah hujan. Orang itu tampak membiarkan rintik-rintik hujan membasahi tubuh sempurnanya, tanpa berusaha sedikitpun menghindar. Membiarkan tetes-tetes air itu mengalir di setiap inchi kulitnya. Na Ra menepikan mobilnya, mengambil payung di kursi belakang mobilnya dan berlari menghampiri lelaki itu.
“Kris-ah, apa yang kau lakukan disini?” Na Ra setengah berteriak karena suara hujan yang deras menenggelamkan suaranya. Sedangkan yang diajak bicara hanya menatap tajam ke arah Na Ra, matanya seoalah sedang meng X-ray Na Ra, membuat Na Ra sedikit gugup dibuatnya.
“Kris-ah ttarrawa (ikut aku)” Na Ra mengguncangkan lengan Kris pelan mengajak namja itu untuk setidaknya berteduh.
Kris masih terdiam ditempatnya. Na Ra yang kehilangan kesabaran menarik pria itu dengan paksa. Na Ra membukakan pintu mobil untuk Kris, memaksanya masuk ke dalamnya. Tetes-tetes air mengalir dari rambut Kris, membasahi setiap lekuk wajahnya. Kris menyandarkan kepalanya di kursi mobil, memejamkan matanya. Seolah sekujur tubuhnya yang basah sama sekali tidak mengganggunya. Na Ra hanya menatapnya heran, ia mengambil handuk di tasnya.
“Kris-ah pakai ini.” Na Ra menyodorkan handuk ditangannya. Kris masih tidak bergeming. Na Ra mendengus kesal dan akhirnya menyeka tetes-tetes air di wajah dan rambut Kris, tanpa bicara. Ia sudah kehabisan kesabaran mengajak bicara namja di depannya ini, Kris memang jarang bicara tapi kali ini, ia sudah keterlaluan. Ia mengabaikan Na Ra, tapi entah kenapa kata hati Na Ra mengatakan untuk tetap berada di sisi namja itu.
Kris masih terdiam, sementara Na Ra kini sudah mengusap tangan Kris, mencoba mengeringkan sisa-sisa air disana. Ia juga mengambil sweeternya dan memakaikannya untuk menyelimuti Kris. Na Ra menjalankan mobilnya lagi menuju apartment-nya. Kris masih terus menatap kosong ke jalanan di depannya. Sampai 10 menit kemudian mereka sudah sampai di apartment Na Ra.
Na Ra menggandeng Kris, menuntunnya seolah-olah takut Kris akan tersesat. Sampai di dalam apartment Na Ra, gadis itu segera masuk ke kamarnya, mengambil t-shirt dan celana yang Na Ra belikan untuk Sehun sebagai oleh-olehnya dari Prancis. Tapi, tampaknya Kris lebih membutuhkannya sekarang.
Gadis itu mengampiri Kris yang kini bediri ditepi jendela memandang ke luar, kedalam hujan yang makin deras, dengan tatapan kosong dan sekujur tubuh yang masih basah. Na Ra menyodorkan pakaian itu.
“Mandilah dan ganti pakaianmu, kau bisa sakit jika terus seperti ini.” Kris melirik Na Ra sekilas, mengangguk tanda mengerti, namun kembali menatap kosong ke dalam rinai hujan. Na Ra mendorong pria itu ke kamar mandi.
“Aku bilang ganti pakaianmu, kau bisa melanjutkan kegiatan merenung-mu itu nanti, setelah kau mandi dan mengganti bajumu.” Na Ra memaksa namja itu lagi. Kris sekali lagi akhirnya menuruti keinginan Na Ra.
Selang bermenit-menit yang terasa begitu lama, Kris keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut setengah basahnya, yang membuatnya terlihat begitu sexy. Ia menatap Na Ra yang sedang sibuk dengan buku2nya, novel2 karya Shakespeare, Ernest Hermingway hingga Dan Brown ada disana. Na Ra hampir tak menyadari keberadaan Kris sampai lelaki itu menghempaskan tubuhnya di sofa di dekat Na Ra.
“Eoh. Kau sudah selesai?” Kris mengangguk tanpa berbicara, lagi. Na Ra beranjak dari tempat duduknya, menuju dapur, membuatkan coklat panas untuk Kris. Ia meletakkan cangkir berisi coklat panas itu di depan Kris.
“Minumlah, coklat dapat memperbaiki moodmu.” dan Na Ra kembali tenggelam bersama buku-bukunya, seolah tidak ada seorang pun disana. Na Ra sedang berusaha menutupi rasa penasarannya terhadap sikap Kris yang begitu tak biasa, tapi ia tidak akan berkata apapun jika namja itu tidak menceritakannya. Na Ra bukan tipe orang yang suka mengurusi urusan orang lain.
Kris menyeruput pelan coklat panas itu, meletakkannya kembali, dan menatap Na Ra lagi yang sedang tenggelam diantara kisah-kisah di novel itu. Sikap cuek gadis ini sedikit membuat Kris kesal, normalnya orang lain akan menanyainya macam-macam tentang bagaimana atau kenapa ia bisa seperti ini, tapi gadis ini hanya menanyakan “Gwenchana?”. menyuruhnya mandi, ganti baju, dan membuatkannya coklat panas. Benar-benar gadis aneh, batin Kris.
“Na Ra-ya.” Kris akhirnya berbicara, dengan suara yang nyaris Na Ra tidak bisa mendengarnya.
“Eum?” Na Ra hanya menggumam menanggapi jawaban Kris.
“Gomawo.”
“Nope.” Na Ra akhirnya menurunkan bukunya, balik menatap Kris yang kini juga sedang asyik menatapnya.
Na Ra meletakkan telapak tangannya di dahi Kris, membuat pria itu sedikit terlonjak karena kaget dengan sensasi hangat yang Na Ra salurkan melalui tangannya. Sejujurnya dari tadi Kris begitu kedinginan, bibirnya pun sudah memucat.
“Syukurlah kau tidak demam, lain kali jika kau berniat menyiksa dirimu, carilah cara lain.” Na Ra berkata datar.
Kris memegang tangan Na Ra, memegang tangan hangat Na Ra, erat. Ia selalu senang menggenggam tangan Na Ra, begitu hangat dan menenangkan. Na Ra sedikit terlonjak dengan perlakuan Kris. Dan greeepp...
Kris memeluknya erat, membuat Na Ra membulatkan matanya dan kaget setengah mati, beruntung Kris tidak melihatnya.
“Ku mohon, biarkan seperti ini sepuluh— tidak, 5 menit saja seperti ini, bisakah?” Kris berkata dengan nada parau, Na Ra hanya mengangguk. Pelukan Kris semakin erat, ia menghirup aroma tubuh gadis itu dalamdalam, mencari kedamaian disana. Kris menenggelamkan kepalanya di bahu Na Ra, gadis itu hanya bisa menepuk-nepuk pelan punggung Kris. Mencoba memberinya ketenangan pada orang yang bahkan tidak tahu kenapa bersikap seperti ini.
Kris akhirnya melepaskan pelukannya pada Na Ra, menatap lekat wajah gadis blesteran itu dengan kedua mata elangnya.
“Neo... Apakah kita sudah pernah bertemu sebelumnya?” Kris menempelkan dahinya di dahi Na Ra.
“M-mwo?” Na Ra sedikit terbata menyadari jarak mereka yang kini begitu dekat.
“Aku rasa kita pernah bertemu, di satu tempat dan waktu yang entah dimana, tapi aku yakin kita pernah bertemu.” Kris berkata lirih masih dengan menempelkan dahinya di dahi Na Ra. Bisa Na Ra rasakan hembusan nafas berat Kris diwajahnya, hangat. Membuat Na Ra hampir lupa bagaimana berbicara, bagaimana menjawab pertanyaan Kris.
Na Ra memejamkan matanya, dia hampir lupa cara bernafas saat Kris memperlakukannya seperti sekarang ini. Kris kembali menenggelamkan kepalanya di rambut coklat yeoja itu. Dada Na Ra begitu bergemuruh, begitu juga dengan Kris. Jantung mereka berdetak jauh lebih cepat dibanding saat normal.
“Na Ra-ah?” Kris kembali memanggil nama yeoja bermarga Lee itu lembut, begitu lembut dan mematikan.
“N-ne, wae hmm?” Na Ra mengelus rambut Kris. Membuat namja itu memejamkan mata sejenak.
“Boleh aku tidur sebentar disini?” Kris menunjuk pangkuan Na Ra, membuat gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Hanya sebentar, kumohon.” Kris memohon. Baru kali ini Kris memohon seperti itu pada orang lain.
“Tentu. Tentu, Kris.” Na Ra mnyetujuinya dan Kris langsung berbaring di pangkuan Na Ra. Dengan spontan, entah mendapat dorongan dari mana, Na Ra mengusap pelan rambut Kris. Sentuhan hangatnya membuat namja itu terlelap. Tenggelam dalam kekalutannya sendiri.
…………………………………………………………………………
Flash Back
Kris sedang menikmati makan siangnya di sebuah restoran di dekat kantornya, saat sebuah suara yang begitu ia kenal memanggilnya.
“Wu Fan?” Suara seorang yeoja yang memanggilnya dengan nama Chinese-nya. Spontan Kris menoleh dan betapa terkejutnya ia saat sosok yeoja yang begitu ia kenal dan begitu ia tidak ingin temui muncul di hadapannya, dengan senyuman manis khasnya.
Kris tidak menjawab panggilan yeoja itu saat yeoja itu semakin dekat kearahnya dan langsung memeluknya, membuat Kris hampir tersedak.
“Bagaimana kabarmu? Ah jinjja, bogoshipo.” Yeoja itu memeluk Kris lagi, dan Kris sama sekali tidak membalas pelukan yeoja itu.
“Mau apa kau disini?” Nada dingin Kris terdengar begitu menyeramkan.
“Aigoo… Kau ini, apa kau tidak merindukanku, eoh? Ck! Apa kau sudah punya yeoja-chingu baru?” Gadis itu berdecak, pura-pura kesal.
“Itu bukan urusanmu, Choi Sooyoung.” Kris memalingkan wajahnya. Kembali mengaduk-aduk makanannya. Gadis itu Choi Sooyoung, mantan kekasih Kris.
“Hmm.. Kau masih marah padaku? “ Sooyoung bertanya dengan serius.
“Itu bukan hal yang penting untukmu, kita sudah tidak punya hubungan apapun!” Kris menekankan setiap kata-katanya.
“K-Kriss?” Gadis itu memanggil Kris dengan suara parau. Menahan tangis karena ia hampir saja meneteskan bulir kristal dari kedua matanya, menahan sesak karena namja dihadapannya bersikap begitu dingin.
Kris beranjak dari tempat duduknya, ingin segera meninggalkan restoran itu dan menghilang dari hadapan Sooyoung secepatnya. Saat Kris sudah diambang pintu Sooyoung berteriak dengan keras.
“Saranghae, Wu Yi Fan! Jeongmal... Hiks hiks.” Sooyoung tidak dapat menahan lagi air matanya yang sudah deras membasahi pipinya.
Kris menoleh sebentar, ingin rasanya ia berlari ke arah yeoja itu, memeluknya dan meredakan tangisnya. Tapi akal sehatnya berkata lain. Ia langsung berlalu meninggalkan tempat itu, menembus hujan yang deras, mengabaikan pandangan aneh orang-orang terhadapnya.
Diam-diam Kris menangis, hanya saja hal itu tidak tampak, karena air matanya bercampur dengan hujan, Membuat orangorang tidak tahu jika Kris sedang menangis. Tapi hatinya jauh lebih sakit setelah pertemuannya dengan Sooyoung tadi, seolah memori kelamnya kembali berputar hebat di otaknya.
Sooyoung, yeoja itu pernah menjadi kekasihnya selama dua tahun. Menemani kesehariannya, membuat hari-harinya begitu berwarna. Kris yang penuh tawa dan canda, bukan Kris yang begitu dingin seperti sekarang. Kris rela memberikan hidupnya untuk Sooyoung meletakkan semua kebahagiaanya pada diri yeoja itu. Tapi semua berubah ketika dengan terang-terangan Sooyoung memutuskannya, mengatakan bahwa ia sudah tidak lagi mencintainya karena seorang namja bernama Taecyeon.
Betapa hancur hati Kris saat itu, ia begitu terluka, ditambah lagi dengan kematian ibunya. Hidupnya bertambah kelam, hari-harinya ia habiskan dengan balapan liar dan mabuk-mabukan, seolah hidupnya sudah tidak berarti lagi, dan ia sungguh berharap ia mati saja saat itu.
Ayahnya memutuskan menikah lagi dengan Kim Cheonsa, wanita yang begitu lembut dan sabar, mengingatkannya pada almarhumah ibunya dulu. Walaupun pada awalnya Kris bersikap dingin dan tak peduli padanya, tapi lambat laun kehangatan kasih ibu tirinya meluluhkannya, membuatnya belajar begitu serius di Oxford hingga ia lulus dan menjadi pebisnis handal, penerus yang menjanjikan untuk Wu Corporation.
Tapi rasanya semua usahanya sia-sia dalam beberapa menit pertemuannya dengan Sooyoung. Wanita itu datang lagi. Membuka kembali luka hati yang sudah hampir sembuh itu.