CHAPTER 8
WE MEET AGAIN
“You just don’t know how bad I am” Lee Na Ra
“Young-ah, bagaimana kabarmu?” Luhan
Ada banyak hal yang Kris tidak tahu soal Na Ra tapi itu tidak menghalanginya untuk terus mengasihi gadis itu.
Setelah tahun-tahun yang berat Luhan akhirnya bertemu kembali dengan Sung Young, gadis yang posisinya tak akan pernah tergantikan di lubuk hatinya. Lalu bagaimana dengan Kai?
Na Ra masih menggenggam tangan Kris begitu erat. Mereka berjalan menyusuri gang sempit itu dalam diam. Tanpa sepatah katapun. Na Ra masih sibuk mengatur nafasnya. Ia tidak menyangka jika ayah dan ibunya akan mengirimkan orang-orang mereka untuk menjemputnya pulang. Ia benci orang tuanya, mereka selalu memaksanya untuk melakukan yang mereka mau, membuatnya jengah hingga ia memutuskan kabur dan menetap di Korea.
“Kris-ah, bisa kita duduk disini?” Na Ra menunjuk ke sebuah bangku panjang di taman. Kris mengangguk.
“Eum, chamkamman.” Kris segera bangkit ketika Na Ra baru saja duduk.
“Neo, eodigga?” Na Ra setengah berteriak, tapi nampaknya Kris sudah tidak bisa mendengarnya, dan Na Ra memutuskan untuk berhenti berteriak. Ia menyandarkan kepalanya di kursi itu. Menenangkan hati dan pikirannya yang masih terus berkecamuk, ia tahu kalau orang tuanya tidak akan berhenti sampai disini. Mereka akan melakukan hal-hal yang jauh lebih buruk padanya sampai ia mau pulang, menuruti keinginan mereka.
Setelah sepuluh menit Kris akhirnya kembali dengan sebuah kantong plastik putih di tangan kirinya. Kris memberikan air mineral yang ada di dalam plastik itu pada Na Ra. Na Ra hanya mengangguk dan meminumnya hingga tersisa setengahnya.
“Gomawo.” kata Na Ra kemudian. Dan Kris hanya mengangguk lagi. Lalu ia berlutut di depan Na Ra, membuat Na Ra terlonjak kaget.
“Eh, kau mau apa?”
Kris tidak menjawab pertanyaan Na Ra. Ia melepaskan high heels yang Na Ra kenakan. Lalu mengoleskan gel di betis Na Ra dengan sedikit memijitnya. Na Ra pun hanya bisa diam karena sejujurnya kakinya memang pegal sekali setelah berlari-lari dan berkelahi dengan high heels itu.
“Aku rasa tuan Loubouttin harus membuatkan sepatu khusus untuk Nona Lee Na Ra.” Kris akhirnya bersuara.
“Mwo?”
“Iya, high heels khusus yang jauh lebih kuat untuk seseorang yang bisa merubuhkan tiga lelaki sekaligus dan berlari-lari sejauh ini dengan sepatu itu.” Na Ra tertawa mendengar lelucon Kris, tapi jujur saja Kris benar.
“Yak! Tuan Wu, kau menyindirku, eoh?”
“Ani. Apa aku tampak seperti orang yang suka menyindir?”
“Cih! Kau bahkan lebih dari itu.”
“Tapi aku tampan, kan?” Kris melontarkan leluconnya yang begitu garing, membuat Na Ra sekali lagi tertawa dibuatnya. Na Ra bahkan sudah hampir lupa cara tertawa seperti ini selain dengan adiknya, Sung Young. Ia bisa begitu lepas dengan Kris, seperti Kris adalah tempatnya bersandar, begitu nyaman.
“Na Ra-ah, aku tidak tahu jika kau ahli judo.” Kris akhirnya berkata, mengungkapkan rasa penasarannya.
“Well, ini rahasia kecil kita, arra?” Na Ra mengecilkan suaranya sambil meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. Membuat Kris mengernyitkan dahinya, dan mati-matian Kris menahan hasratnya untuk mencium bibir merah Na Ra yang menurutnya begitu menggiurkan, seperti candu. Ia ingin mengecupnya berkali-kali, merasakannya “lagi dan lagi”. Kris hampir gila dibuat oleh gadis satu ini. Tapi Kris segera mengendalikan dirinya, ia memundurkan wajahnya dan menyentil dahi Na Ra pelan.
“Yak! Nn.Lee itu terserah aku, eoh?” Jawab Kris sambil duduk santai di sebelah Na Ra. Na Ra hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan mendecak kesal, sambil mengusap-usap dahinya yang memerah karena ulah Kris.
Kris mengeluarkan ponselnya mengetik sebuah pesan dan memasukkannya lagi ke dalam saku celananya.
“Sebentar lagi kita akan dijemput.”
“Hmm? Dijemput?”
“Ne, aku sudah menyuruh orangku untuk menjemput kita disini, karena aku yakin kakimu bisa bengkak jika kita berjalan kembali ke sungai Han.”
“Kau terus saja menyindirku, Kris-ah. Kau menyebalkan.” Na Ra berbicara dan berpura-pura marah, yang membuat Kris begitu gemas dengan gadis ini. Karena ia justru terlihat begitu cute.
Tidak berapa lama, sebuah mobil Mercedes C-Class berhenti di depan mereka. Seorang lelaki bertubuh tegap keluar dari sana dan mempersilahkan Kris dan Na Ra masuk, mengantar mereka kembali ke tepi sungai Han untuk mengambil mobil mereka.
Setelah sampai Na Ra keluar dari mobil itu diikuti Kris.
“Kris-ah, mianhae. Aku sudah membuatmu repot hari ini, jeongmal mianhae.” Na Ra membungkukkan badannya beberapa kali di depan Kris.
“Sudahlah tidak apa-apa, Na Ra-ya. Gwenchana.”
“Aish.. Orang-orang itu menyebalkan sekali, lain kali aku akan menghajar mereka semua, ck!” Sisa-sisa emosi masih ada dalam diri Na Ra.
“Kau mengerikan sekali jika seperti itu. Jadilah gadis yang manis dengan senyum malaikatmu. Aku lebih suka Na Ra yang seperti itu, bukan Na Ra dengan kilatan mata penuh kebencian seperti beberapa jam yg lalu, arra?” Kris berbicara dengan nada yang begitu lembut dan menghanyutkan. Na Ra hanya bisa terdiam, ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa.
“Pulanglah, kita bisa bertemu lagi besok, eoh?” Kris berbicara lagi setelah Na Ra terdiam cukup lama.
“Ah, ne.”
Na Ra tak mengucapkan apa-apa lagi dan langsung berbalik memasuki mobilnya dan menyetir dengan kecepatan tinggi. Membuat Kris kembali heran dengan sikap Na Ra. Gadis ini begitu cepat berubah.
Na Ra berhenti di basement apartment-nya. Gadis itu menempelkan kepalanya di jendela mobil, memikirkan kata-kata Kris yang dua puluh menit lalu ia dengar.
“Kau mengerikan sekali jika seperti itu. Jadilah gadis yang manis dengan senyum malaikatmu. Aku lebih suka Na Ra yang seperti itu, bukan Na Ra dengan kilatan mata penuh kebencian seperti beberapa jam yg lalu, arra?”
Kata-kata itu membuat Na Ra merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia harus seperti itu di depan Kris? Tidak seharusnya Na Ra menunjukkan sisi buruknya pada Kris seperti itu.
“Kris-ah, kau hanya tidak tahu betapa buruknya aku. Aku bahkan bisa lebih buruk dari itu.” Na Ra memejamkan matanya dan membenturkan kepalanya beberapa kali di jendela mobilnya, kesal dengan dirinya sendiri.
…………………………………………………………………………
Shin Sung Young
Lee Na Ra :
Young-ah! Kelas terakhirmu hari ini sampai jam berapa?
Me :
3, waeyo?
Lee Na Ra :
Datanglah ke Grace Café setelah kau selesai. Ada Sehun juga.
Me :
Jinjjayo? Ah ne, aku akan ke sana :*
Aku turun dari bus lalu berjalan menyusuri trotoar yang sedang ramai. Mataku mengamati toko-toko yang berjajar di sepanjang trotoar. Dan di sana, kulihat sebuah bangunan berwarna biru langit dengan papan merah besar di atas pintunya yang lebar, Grace Café.
Aku masuk ke dalam kafe yang penuh dengan manusia itu. Kafe itu sangat luas. Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok Na Ra Eonni dan Sehun Oppa. Lalu kulihat seseorang melambai padaku. Ah itu mereka, batinku.
Aku berjalan sambil tersenyum lebar. Dan sekilas kulihat mereka bersama satu orang lagi, yang duduknya berlawanan arah dengan pandanganku. Siapa dia? Batinku.
“Eonni! Oppa!” Aku bercipika-cipiki-ria dengan Na Ra Eonni. Sehun oppa yang duduk berhadapan dengan Na Ra Eonni mencubit pipiku pelan, kebiasaannya.
“Luhan-ssi, ini adikku, Shin Sung Young.” Kudengar Eonni-ku berbicara cukup cepat. Dan refleks, aku menoleh mengikuti arah pandang kakakku. Aku menatap orang itu. Orang yang dipanggil Eonni-ku dengan nama “Luhan”.
Untuk sesaat aku tidak bisa mempercayai penglihatanku. Namun ketidakpercayaan itu luntur setelah dia mendongak menatapku. Senyumku hilang saat itu juga. Rasanya seperti ada air yang baru saja diambil dari samudra atlantik disiramkan begitu saja di kepalaku.
Aku terpaku di tempatku berdiri. Masih menatap pria itu. Dia membalas tatapanku dan tersenyum tipis. Namun otakku tidak cukup cepat menangkap hal itu karena rasa shock yang tanpa aba-aba menghantamku.
Dia... Luhan, Xi Luhan.
…………………………………………………………………………
Sung Young menatap lelaki di depannya itu tidak percaya. Ia masih tidak tau harus berbuat apa. Na Ra menarik tubuhnya hingga ia terduduk.
Gadis itu masih belum bisa mencerna. Lelaki yang duduk di depannya saat ini adalah Luhan. Luhan yang dulu miliknya.
Dan untuk sesaat, Sung Young merasakan berbagai gambaran masuk dalam otaknya. Semua kenangan tentang pria yang dulu sangat ia cintai itu. Masih bisa ia ingat dengan jelas, semua hal yang pernah dia lakukan bersama Luhan, bahkan kencan pertamanya dengan lelaki asal Cina itu.
“Kenapa kalian diam saja?” Sehun menatap kedua orang itu dengan pandangan bingung, begitu pula Na Ra.
“A-anyeong?” Tiba-tiba Luhan bersuara. Sung Young hanya mengangguk pelan lalu mengalihkan pandangannya. Ia menunduk, memperhatikan tasnya yang ada di dalam pangkuannya, sebenarnya tidak ada yang menarik di sana.
“Luhan ini adalah orang yang waktu itu pernah Eonni ceritakan, yang dari Cina, ingat?” Na Ra bertanya pada Sung Young. Sementara adiknya itu hanya tersenyum, senyum getir.
“Kau kenapa, Hyung?” Sehun bertanya pada Luhan.
“Ani, tidak apa-apa, Hun-ah.” Luhan tersenyum pada Sehun. Sung Young bisa mendengarnya, suara itu. Ia sangat merindukan suara itu, suara lembut yang dulu selalu ia dengar.
“Young-ah, kau mau pesan apa?” Na Ra bertanya pada adiknya yang masih diam.
“Yang biasanya.” Sung Young menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.
“Taro bubble tea?” Na Ra bertanya lagi dan kali ini Sung Young menjawabnya hanya dengan sebuah anggukan. Na Ra menatap adiknya sebentar. Ia tertegun, kenapa Young yang biasanya cerewet jadi diam seperti ini? Batinnya.
“Kau, Han-ah?” Na Ra mengalihkan pandangannya pada Luhan.
“Seperti biasa, Nn. Lee.” Luhan tersenyum pada Na Ra.
“Taro bubble tea?” Kini Sehun yang bertanya. Ia mengerutkan dahinya menatap Luhan dan Sung Young bergantian.
“Aku baru sadar kalian memiliki rasa bubble tea favorit yang sama. Haha, kebetulan yang lucu.” Sehun tertawa, tapi sebenarnya ia dan Na Ra sedang saling bertukar pandang. Mereka seperti berkomunikasi lewat pikiran. Satu yang sama dari pikiran mereka, apa yang terjadi pada Sung Young dan Luhan.
Sebenarnya Sung Young sudah bisa menebak, apa yang akan dipesan oleh Luhan. Taro bubble tea, adalah minuman favorit mereka. Jika mereka kencan, mereka akan sama-sama memesan minuman itu. Luhan menyukainya sejak kecil, tapi Sung Young mulai menyukai minuman itu karena Luhan. Dan sampai sekarang, ia masih menyukainya.
“Kalian kenapa diam saja? Aneh.” Sehun melahap sandwich-nya yang baru saja datang.
“Tidak apa-apa, Hun-ah.” Luhan bersuara lagi, sementara Sung Young hanya diam. Ia tidak tau harus bersikap seperti apa di depan Luhan.
“Young-ah, ige mwoya? Tidak biasanya kau diam seperti ini?”
“Gwenchanayo, Oppa.”
Dan akhirnya Na Ra dan Sehun membiarkan kedua orang di samping mereka itu berdiam diri. Sementara mereka asyik dengan santapan masing-masing.
“Aku ada meeting setengah jam lagi, ayo pulang.” Sehun berkata kepada tiga orang yang sedang bersamanya.
“Umm, gurrae.” Na Ra menjawab. Sung Young masih menunduk, sementara Luhan juga masih terdiam. Mereka berempat berdiri, sudah hendak pergi ketika tiba-tiba Luhan berbicara.
“Young-ah, bagaimana kabarmu?”
Na Ra dan Sehun menatap lelaki itu dengan pandangan bingung. Mereka benar-benar tidak mengerti. Apakah mereka sudah saling kenal? Itulah pertanyaan yang ada di otak Na Ra dan Sehun saat ini.
Sung Young terdiam beberapa saat, hingga akhirnya ia bersuara, “Aku baik, Oppa.”
…………………………………………………………………………
Flashback
Luhan membelai lembut rambut kekasihnya. Gadis itu, gadis yang sangat ia cintai, yang sekarang sedang terpejam di dalam pelukannya.
Mereka sedang duduk di atas kap mobil Luhan. Bersandar pada kaca mobil, ia memeluk hangat tubuh Sung Young. Malam itu, seperti biasa, mereka berhenti di tepi Sungai Han. Seperti ritual wajib, mereka melakukannya hampir setiap sore, sampai malam. Mereka akan saling mengobrol, membagi kekesalan maupun kebahagiaan yang mererka rasakan satu sama lain.
Luhan sangat mencintai Sung Young. Ia begitu menyayangi gadis yang lima tahun lebih muda darinya itu. Bahkan ia akan dengan senang hati memberikan apapun demi kebahagiaan Sung Young, apapun di dunia ini.
Seminggu yang lalu adalah hari jadi mereka yang ke-tiga. Ya, sudah tiga tahun Luhan menempatkan dirinya sebagai kekasih Sung Young. Semua orang memandang mereka sebagai pasangan yang sempurna. Sung Young yang seorang gadis pintar dan berbakat, berasal dari keluarga terpandang, memiliki seorang pacar yang tidak usah diragukan lagi ketampanannya, kepintarannya, yang juga berasal dari keluarga kaya raya. Bagi semua orang itu adalah hal yang sempurna.
Dan Luhan bahagia, ia merasa beruntung, memiliki Sung Young di sampingnya. Gadis itu sangat mengerti dirinya.
Berawal dari perkenalan mereka di sebuah forum remaja. Luhan sudah terpikat dengan Sung Young bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Saat itu ia memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis itu. Betapa tertariknya Luhan pada Sung Young, yang jauh lebih muda darinya. Dan hanya dalam waktu dua minggu, Luhan menyatakan perasaannya, di tempat ini, di Sungai Han.
“Young-ah, kau tidur?” Luhan mempererat pelukannya.
“Ani, Oppa. Waeyo?” Sung Young membuka matanya sekarang. Ia membenarkan letak kepalanya yang sedari tadi disandarkan di dada Luhan.
“Saranghaeyo.”
“Nado, Oppa. Nado saranghae.”
Mereka berdua diam. Luhan masih terus tersenyum. Tapi tanpa ia ketahui, Sung Young memendam sesuatu darinya. Dibalik senyum riang itu, Sung Young menderita. Luhan tau, bahwa bisnis ayah kekasihnya itu baru saja mengalami bangkrut, dan dia sebagai pacar yang baik selalu memberi dukungan. Ia tetap mencintai Sung Young, apapun yang terjadi. Tapi sayang, satu hal yang ia tak tahu dari kekasihnya, Sung Young tidak bisa menanggung beban lagi dan bahkan gadis itu diam-diam stres karena memikirkan bagaimana reaksi orangtua Luhan jika tau anak mereka berpacaran dengan seorang gadis yang keluarganya hancur seperti dia. Sung Young menangis pelan, tanpa Luhan tau.
“Oppa?” Sung Young berhasil menormalkan suaranya.
“Ne?” Luhan membelai rambutnya lagi tapi Sung Young menepis tangan Luhan dan bangkit.
“Mianhe.” Ia menunduk, memandang kakinya. Luhan menatapnya penuh tanda tanya.
“Waeyo? Ada apa, Young-ah?” Luhan memutar tubuh Sung Young sehingga menghadap ke arahnya.
“Mungkin aku ingin sendiri.” Sung Young menunduk, ia tidak berani memandang Luhan.
“Mwo? Ige mwoya? Apa yang kau bicarakan?” Luhan menatap gadis di depannya tidak percaya.
“Aku ingin kita putus.”
“Wae? Jangan bercanda, Young-ah! Itu tidak lucu.” Luhan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Ia tidak percaya dengan kata-kata yang barusan keluar dari mulut kekasihnya.
“Ani, Oppa. Aku tidak bercanda. Aku hanya ingin sendiri. Maka dari itu, lebih baik kita akhiri hubungan ini.”
“Young-ah, apa maksudmu? Apa salahku? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa alasanmu? Jelaskan padaku!” Emosi dalam diri Luhan membuncah. Tidak, ia tidak bisa kehilangan sosok perempuan di depannya ini, dia sangat mencintai Sung Young.
“Apa semua hal memerlukan alasan? Banyak hal yang tidak kau mengerti, Oppa. Jika kau mencintaiku, biarkan aku sendiri.” Luhan diam, dirasakannya matanya memanas. Dan dengan cepat, butiran kristal jatuh dari kedua matanya, membasahi pipinya. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya, jika harus berpisah dengan Sung Young. Ia begitu menyayangi gadis itu, sangat menyayanginya.
Luhan tetap tidak bisa berbicara, ia hanya menangis dan menatap Sung Young dengan pandangan sendu. Ia terlalu terkejut dengan apa yang Sung Young minta padanya, perpisahan.
Sejak malam itu, Luhan tidak pernah bertanya, apa alasan Sung Young sebenarnya. Ia terlalu memikirkan perasaan gadis itu. Biarlah, jika memang Sung Young bahagia tanpanya, karena apapun akan ia lakukan asal gadis yang ia cintai itu bisa bahagia. Apapun, meski ia harus menyakiti dirinya sendiri, akan tetap ia lakukan demi kebahagiaan Sung Young.
Dan sejak saat itu pula, Sung Young menghilang dari hidupnya, benar-benar menghilang. Ia mencoba menghubungi Sung Young tapi tak pernah tersambung. Ia datang ke rumah gadis itu, tapi tetangganya mengatakan bahwa ia dan keluarganya sudah pindah. Luhan juga mencari ke sekolah Sung Young, dan seperti yang ia perkirakan, gadis itu juga pindah dari sana.
Luhan seperti kehilangan semangatnya. Pekerjaannya hanya mengurung diri di apartment-nya. Setahun itu ia terpuruk, kuliahnya berantakan. Ia merasa sendirian tanpa Sung Young. Dia benar-benar merindukan gadis itu di sisinya.
Dan butuh waktu hampir dua tahun untuknya kembali bangkit, kembali menjadi dirinya yang ceria, yang disukai semua orang. Kembali menjadi Luhan yang sekarang.