Shin Sung Young
Aku menatap layar TV dengan bosan. Tidak ada yang menarik. Aku bosan di sini, sangat bosan. Aku merengek pada Na Ra Eonni dan meminta pulang, tapi dia malah marah padaku dan mengatakan bahwa aku tidak boleh pulang sebelum kakiku sembuh total.
“Tapi aku harus bekerja dan kuliah.” Sanggahku pagi tadi.
“Aku sudah mengirimkan surat keterangan dari rumah sakit ke kampus dan kantormu. Kedua pihak mengatakan kau boleh istirahat dulu sampai sembuh.” Ucap Na Ra Eonni, yang kusambut dengan dengusan tanda aku kesal padanya.
Aku mengambil kamera yang ada di meja kecil di sebelah ranjangku. Mulai kupotret segala benda yang ada di ruangan ini. Tapi rasanya kurang puas, aku ingin keluar dari kamar ini.
Lalu sebuah ide muncul di otakku. Kupencet tombol panggil perawat di seblah ranjangku, dan sesaat kemudian seorang suster separuh baya yang sudah tak asing bagiku masuk ke dalam ruanganku. Dia adalah suster yang selalu merawatku selama seminggu aku berada di sini.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona Shin?” Tanya suster itu.
“Bisa antarkan aku ke taman, ahjumma?” Aku bertanya padanya sembari tersenyum.
“Oh ne. Chamkkaman.”(tunggu) Suster itu keluar dan kembali tak lama kemudian membawa sebuah kursi roda. Ia membantuku untuk duduk di kursi roda itu, dan mulai mendorongku keluar ruangan. Tak lupa, aku membawa kameraku.
Suster itu membawaku turun tiga lantai dengan lift. Ia mendorong kursi rodaku pelan, melewati beberapa koridor.
Aku memicingkan mataku ketika melihat seseorang bertubuh tegap berjalan melawan arah denganku dari kejauhan. Ia tampak kesusahan melangkahkan kakinya.
“Ahjumma, bisa berhenti sebentar?” Aku bertanya dan suster itu berhenti mendorong kursi rodaku. Sementara sosok itu berjalan semakin dekat. Ia menatapku sekilas, langkahnya menjadi pelan saat ia mendapati aku tengah mengamatinya dengan lekat. Namun tak lama kemudian ia mempercepat lagi langkahanyaa, hendak berbelok ke koridor di depanku.
“Jong In-ssi!” Aku memanggilnya cukup keras, membuat pria berambut coklat itu menghentikan langkah besarnya.
“Ahjumma, boleh aku pergi sendiri? Gamsahamnida.” kataku pada suster itu sambil tersenyum. Ia mengangguk dan meninggalkanku.
Aku memutar kedua roda kursi rodaku menggunakan kedua tanganku. Setelah cukup dekat dengan Jong In akupun berhenti. Ia menatapku lekat. Sekarang bisa kulihat wajahnya penuh lebam. Apa dia berkelahi? Batinku. Pantas saja jalannya terseok tadi.
“Apa yang kau lakukan disini?” Aku bertanya padanya. Jangan heran kenapa tiba-tiba aku berani berbicara padanya. Na Ra Eonni sudah menceritakan semuanya padaku.
“Bukan urusanmu.” Ia menjawab ketus. Hatiku mencelos. Kutatap kamera yang ada dipangkuanku.
“Bagaimana kakimu?” Ia bertanya, membuatku mendongak.
“Gwenchana.” Jawabku, sembari tersenyum simpul.
“Tidakkah kau membenciku?” Ia bertanya lagi.
“Untuk apa? Eommaku selalu mengatakan bahwa aku tidak boleh membenci orang yang sudah baik padaku.” Jawabku, kulihat ia mengerutkan keningnya.
“Aku bukan orang baik. Dan aku tidak pernah berbaik hati padamu.”
“Ani, aku tau kau baik. Kalau kau orang jahat pasti kau tidak akan membawaku ke sini dan sudah meninggalkanku di tempat itu setelah menabrakku. Kalau kau tidak mengantarku ke rumah sakit pasti aku sudah mati di sana. Gomawo.” Kataku tertunduk.
“Tidak usah mendramatisir.” Tanggapnya, membuatku melebarkan mataku lalu tersenyum.
“Mianata, sudah membuatmu seperti ini." Ia berkata lagi.
“Gwenchana.” Jawabku.
Dan untuk beberapa saat kami hanya diam. Aku sibuk mengamati perban yang membalut kaki kananku, yang sebenarnya tidak ada hal menarik di sana.
“Jong In-ssi, bisa mengantarku ke taman?” Tanyaku hati-hati. Kulihat ia menatapku tajam untuk beberapa detik, lalu mengangguk, membuat senyumku berkembang.
…………………………………………………………………………
Lee Na Ra
Aku sedang di kantorku, mengerjakan setumpuk dokumen yang rasanya ingin kubakar saja. Namun aku berhenti berkutat dengan dokumen-dokumen itu ketika kurasakan ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.
Kris Wu :
Busy?
Me :
I’m working, wanna burn these shit documents -_-
Kris Wu :
I'll give you the fire then
Me :
Send me right now!
Kris Wu :
Look at the window now, and I'll throw you the fire
Aku membulatkan mataku ketika membaca pesan terakhir dari Kris. Lalu aku berjalan ke arah jendela dan melihat keluar. Taraaa! Kris Wu ada di sana berdiri manis di samping Audy-nya dengan tatapan dingin khasnya. Hanya saja hari ini dia tampak berbeda karena ada senyum manis terpahat di sana. Aku segera keluar dari gedung kantorku dan menghampirinya.
“Sejak kapan kau tahu aku bekerja di sini?” Aku langsung mencercanya dengan pertanyaan itu.
“Aku tau lebih dari itu” Dia menjawab misterius.
“Aigoo terserah kau saja, Tuan Sok Tau.” Dia mengangkat sebelah alisnya mendengar nickname- ku padanya. Kris hanya diam setelah itu tanpa memprotes sama sekali.
“Umm... Bagaimana Jong In-ssi?” Aku bertanya hati-hati.
“Baik-baik saja.” Dia menunduk memandang ujung sepatunya membuatku berspekulasi.
“Well… Aku rasa kau tidak baik-baik saja. Apa kau bertengkar lagi dengannya, hmm?” Aku menebak.
“Apa kau bisa membaca pikiran?” Kris tertawa renyah diikuti tawaku, belum pernah aku melihatnya bisa tertawa seperti ini. Rasanya nyaman sekali melihat senyuman itu, aku bahkan rasanya takut untuk berkedip, takut jikalau kedipan berikutanyaa senyuman itu sudah sirna begitu saja.
“Kau tau? Mungkin aku seharusnya menikahi Edward Cullen, hahaha.” Aku masih terus bercanda.
“Aish.. Bella Swan? Mau kau apakan dia.” Dia menanggapinya.
“Dia dengan Jacob. Kau tau Jacob Black, kurasa dia lebih baik.”
Dan kami malah terus sibuk bercanda membahas film Twilight, membuat cerita yang tidak sesuai dengan alur cerita milik Stephenie Meyer. Dari sini aku tau bahwa Kris juga menyukai Twilight. Dia suka membaca banyak buku, self-motivation book, juga tentang hobinya bermain basket hingga obsesinya menjadi seorang pemain NBA. Dia bercerita semuanya seperti kami sudah mengenal bertahun-tahun.
…………………………………………………………………………
Sung Young membidikkan kameranya di berbagai objek di taman itu. Ada beberapa manula yang tengah berjalan menggunakan tongkat, ada pula ibu-ibu dengan bayinya yang berada dalam gendongannya. Sung Young tersenyum mengingat ibunya. Ibunya yang sekarang sudah bahagia di surga.
Sung Young menurunkan kameranya dan melirik seseorang yang sedari tadi duduk di sampingnya, Jong In. Lelaki itu diam, entah mengamati apa. Ia tampak berkutat dengan pikirannya. Sung Young tersenyum lalu mengangkat kembali kameranya.
“Jong In-ssi!” Jong In yang merasa namanya di panggil menoleh, dan sedetik kemudian Sung Young membidik pemandangan itu. Tampaklah Jong In yang menoleh tanpa ekspresi dalam kameranya. Sung Young tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi.
“Kau berbakat. Lihatlah, kau sangat fotogenic.” Sung Young menunjukkan hasil jepretannya pada Jong In. Jong In hanya meliriknya sekilas lalu kembali meluruskan pandangannya ke depan, membuat Sung Young mendengus kesal.
“Jong In-ssi?” Sung Young memanggil pria di sebelahnya hati-hati.
“Boleh aku bertanya?” Lanjutnya karena lelaki itu diam saja.
“Mwo?” Tanggap Jong In tanpa mengalihkan pandangannya.
“Kenapa kau disini, hari ini?”
Jong In menoleh pada Sung Young, ia mengamati gadis itu sesaat. “Karena ini.” Ia menempatkan jari telunjuknya di depan wajahnya.
“Kenapa wajahmu bisa begitu?” Tanya Sung Young lagi, ada kekhawatiran dalam nada bicaranya.
“Kau tidak akan mau tau.”
Mereka berdua diam. Jong In seperti larut dalam pikirannya sendiri. Sung Young berkali-kali menoleh padanya. Diamatinya wajah Jong In yang penuh lebam.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Jong In tiba-tiba, membuat Sung Young terkejut dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Ne?”
“Apa yang kau lakukan di tempat itu? Memotret? Kau ini wartawan atau apa?”
Sung Young melebarkan matanya takjub karena diserang dengan berbagai pertanyaan.
“Iya, aku wartawan free-lance. Aku ke sana karena bosku ingin aku membuat berita tentang tempat itu.”
“Sebegitu berharganya-kah pekerjaanmu sehingga kau rela membahayakan dirimu sendiri?” Jong In menatap Sung Young lekat, membuat gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu?” Sung Young bertanya bingung pada Jong In. Jong In memandan gadis itu heran. Polos sekali gadis ini, batinnya.
“Tempat itu berbahaya untuk orang sepertimu.”
“Sepertiku?”
“Iya, gadis baik-baik sepertimu.”
“Umm. Jong In-ssi, seharusnya kau membayar apa yang telah kau lakukan padaku.” Sung Young melirik Jong In dengan pandangan sinis yang ia buat-buat.
“Mwo? Aku sudah membawamu ke rumah sakit, membayar biayanya, dan meminta maaf. Aku juga mengantarkan kameramu. Kurang apa lagi?” Jong In menatap Sung Young tajam.
“Itu kurang! Kau harus membayarnya dengan cara merawatku sampai aku sembuh.” Sung Young tersenyum jahil. Ia bisa melihat wajah Jong In yang sekarang tampak keheranan.
“Baiklah. Aku akan datang ke sini setiap hari, sampai kau sembuh. Puas, Nona Shin?” Ujar Jong In, yang sukses membuat mata Sung Young melebar maksimal. Mulut gadis itu terbuka dengan lucunya.
“MWO?” Tanyanya sedikit membentak. Tidak ia sangka Jong In bisa meng-iya-kan kata-katanya barusan. Ia hanya bermaksud untuk menjahili lelaki itu.
“Kau sendiri yang memintanya. Seorang Kim Jong In bukanlah pengecut, camkan itu.” Jong In berkata dengan santainya. Sung Young yang masih shock hanya bisa menatap pria itu dengan pandangan ngeri.
…………………………………………………………………………
Kim Jong In
Aku merebahkan tubuhku di kursi panjang yang sedari tadi kududuki. Kulihat Sung Young melirikku sekilas, lalu ia kembali sibuk dengan aktifitasnya memotret. Kuamati gadis itu. Kenapa dia bisa sangat ceria? Tak adakah beban di hidupnya?
Dia pasti sangat shock ketika kukatakan bahwa aku akan merawatnya sampai ia sembuh. Bukan apa-apa, aku hanya ingin bersamanya lebih lama. Entahlah, melihat wajahnya membuatku sejenak lupa dengan duniaku yang gelap. Gadis itu selalu menunjukkan senyumnya, berbanding terbalik denganku.
Aku memejamkan mataku. Kunikmati angin yang berhembus perlahan. Aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Aku memikirkan Eomma. Mungkin aku harus menjenguknya minggu depan. Tapi aku sangat malas jika harus bertemu ayah tiriku. Ya, siapa lagi kalau bukan ayah dari si pirang brengsek itu. Mereka berdua adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku membenci mereka, sangat. Terlebih si kulit pucat itu.
Eomma selalu menyebutnya di depanku. Menyebut bagaimana baiknya pria brengsek itu, membuatku smakin muak. Dan aku benci dia terus berada di sekitarku. Apa tujuannya sebenarnya. Tak tahukah dia bahwa aku sangat membencinya? Hah!
Beberapa menit berlalu, aku tetap memejamkan mataku. Namun ketika kurasakan angin yang cukup keras menerpa tubuhku, akupun membuka mata. Batapa herannya aku saat kulihat Sung Young merosot dalam duduknya. Kepalanya bersandar sedikit ke kanan. Kedua matanya terpejam. Tangannya masih memegang erat kamera yang ada di pangkuannya. Bisa-bisanya dia tertidur dalam posisi seperti itu.
Akupun bangkit. Tak ingin membangunkannya, kudorong kursi rodanya perlahan. Melewati beberapa koridor, naik tiga lantai, dan sampai di kamarnya.
Aku mengangkatnya perlahan, setelah sebelumnya mengambil kamera yang ada di pangkuannya. Sebisa mungkin aku tadik membuatnya terbangun. Kuamati wajah gadis itu. Bahkan dalam keadaan tertidur ia masih bisa tersenyum, benar-benar gadis yang aneh.
…………………………………………………………………………
Na Ra keluar dari mobil Kris, ia tidak berhenti tertawa sepanjang perjalanan dengan pria itu. Dia sangat cepat akrab dengan seseorang, itu hal biasa untuk Na Ra karena ia memang orang yang easy going. Tapi berbeda dengan Kris, bisa dekat dengan orang adalah hal yang sangat langka untuknya. Ia adalah pribadi yang tertutup semenjak kematian ibunya, ia bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menganggap ibu Jong In sebagai ibunya.
“Annyeong Na Ra-ah.” Kris mulai berbicara banmal pada Na Ra.
“Ne annyeong Tn.Wu. Ingat, kau tidak bisa jadi Edward.” Na Ra terus menggoda Kris.
“Nn. Lee, kau juga tidak akan bisa menjadi Mrs.Cullen.” Dan mereka tertawa lagi sampai Kris akhirnya melambaikan tangannya berpamitan pada Na Ra.
Na Ra berjalan masuk ke rumah sakit dan segera naik beberapa lantai untuk mencapai kamar adiknya. Ia hendak memasuki kamar Sung Young untuk memastikan keadaan gadis itu, saat ia melihat ada Jong In di sana sedang menatap Sung Young lekat. Lekat sekali sampai Na Ra berpikir Jong In akan menelan adiknya hidup-hidup.
Tapi ada yang berbeda dari wajah Jong In, ia nampak tersenyum, walaupun hanya sekilas. Senyum yang begitu tulus. Dan dari senyum itu Na Ra bisa menilai jika Jong In sebenarnya adalah orang yang baik.
Na Ra mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar Sung Young. Ia memutuskan untuk duduk dan menunggu di bangku di depan kamar Sung Young. Sampai akhirnya 10 menit kemudian Jong In keluar dari kamar Sung Young. Ia melemparkan senyum pada Jong In, lelaki itu membungkuk sopan.
Jong In masih berdiri di depan Na Ra, tanpa mengatakan sepatah katapun. Suasana begitu canggung diantara mereka.
“Jong In-ssi bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik, hmm?” Na Ra akhirnya bertanya tentang keadaan Jong In.
“Ne, gwenchana. Gomawo.” Na Ra mengangkat sebelah alisnya heran dengan jawaban Jong In.
“Gomawo? Untuk apa Jong In-ssi?”
“Aku berterima kasih untuk menanyakan keadaanku, itu hal yang langka bagiku.”
“Kau bercanda?”
“Tidak, aku serius, Na Ra-ssi. Itu hal yang langka. Yah, tidak banyak yang perduli padaku. Terlebih lagi sejak si pirang itu datang di kehidupanku.” Jong In berkata sangat dingin ketika membicarakan Kris.
“Um.. Maksudmu Kris-ah?” Na Ra bertanya hati-hati.
“Ah aku lupa kau dekat dengannya. Kau bahkan sudah menggunakan banmal dengannya. Mungkin kau akan segera menjadi kekasihnya, huh? Dia memang tau bagaimana memikat gadis cantik, kesayangan semua orang, sempurna di mata orang!” Jong In mencibir, Na Ra hanya menghembuskan nafas kasar mendengar penuturan Jong In, ada rasa benci yang begitu ketara disana.
“Anyi.. Kita berteman Jong In-ssi.” Na Ra mencoba tersenyum.
“Tapi apa yang kukatakan benar. Dia memang seperti apa yang aku katakana, kan? Bahkan Eomma-ku lebih menyayangi si pirang itu daripada aku, ck!” Jong In mendecakkan lidahnya, mencibir lagi. Na Ra hanya menyimak setiap perkataan Jong In tanpa mau menyelanya. Secara tidak langsung Jong In sudah mengungkapkan isi hatinya pada Na Ra, betapa ia sangat membenci Kris.
“Jong In-ssi?” Na Ra memanggil pria itu setelah keheningan tercipta diantara mereka.
“Hmm?” ia hanya menggumam.
“Aku tidak akan memberimu nasihat seperti orang yang sudah lama mengenalmu. Aku memang baru mengenalmu dan sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa lagi disini hanya saja-”
“Aku tidak meminta pendapatmu, Nn. Lee.” Jong In memotong kalimat Na Ra cepat.
“Aku belum selesai, Kim Jong In!” Na Ra berkata tegas, membuat Jong In sedikit terlonjak dengan nada bicara Na Ra, yang membuat Jong In diam dan mendengarkannya.
“Bukankah membenci seseorang begitu melelahkan? Kenapa kau terus-menerus membenci seseorang seperti ini? Bukankah dia saudaramu sendiri, hmm?”
“Mwo? Kau tau?”
“Ne, aku tahu, aku tahu kau bersaudara dengan Kris.”
“Cih! Pria itu! Aku bahkan malu mengetahui kenyataan bahwa dia adalah saudaraku dan-”
“Orang-orang mulai membandingkan kalian, geutji?” Kali ini Na Ra memotong perkataan Jong In yang membuat pria itu kembali terdiam.
“Kau tidak tahu betapa aku ingin mempunyai saudara tapi aku bahkan hampir mustahil mewujudkan keinginan itu. Sampai aku bertemu dengan Sung Young, dia seperti adik kecil bagiku, membuatku merasa lebih hidup dan membuatku merasa tidak sendirian.” Na Ra mendeskripsikan perasaanya pada Sung Young, yang membuat Jong In tersenyum setiap kali mengingat gadis itu, entah kenapa.
“Itu karena Nona Shin adalah orang yang menyenangkan! Tidak seperti si pirang itu.” Jong In berargumen.
“Kau membuat dirimu begitu membenci dirinya, sehingga kau menutup hatimu yang baik itu untuk mencoba menyayanginya. Kim Jong-in-ssi percayalah, membenci orang hanya akan terus menyakiti hatimu, membuatmu lelah sampai kau lupa bagaimana menikmati hidup.” Na Ra berkata panjang lebar. Jong In hanya menyandarkan kepalanya di tembok dingin rumah sakit.
“Aku tidak bermaksud mengguruimu atau menceramahimu, tapi pikirkanlah baik-baik, Jong In-ssi. Semoga harimu menyenangkan.” Na Ra membungkuk sopan di hadapan Jong In dan berlalu meninggalkannya sambil tersenyum. Kembali menjadi Na Ra dengan senyum baik hatinya, membuat Jong In tertegun padahal semenit yang lalu gadis ini berkata begitu dingin padanya.
Kepribadian Na Ra yang begitu rumit membuat Jong in berpikir begitu keras untuk menebak apa yang ada dalam pikiran gadis itu, tapi tentu saja ketertarikannya pada Na Ra tidak sebesar ketertarikannya pada Young…
**
thank you for reading ^^