“My heart just hurt, a lot” Lee Na Ra
Na Ra meletakkan tasnya asal di sofa apartemennya, ia lalu merebahkan tubuhnya disana. High heelsnya pun masih melekat di kaki jenjangnya. Ia menutup kepalanya mencoba mengurangi rasa nyeri di kepalanya. Tiba-tiba memori-memori masa lalunya berkelebat cepat dipikirannya, dimulai saat dia masih balita, ketika dia masih anak-anak dimana dia selalu menghabiskan natal seorang diri, saat dia pertama kali menginjakkan kakinya di Korea, juga pertemuan-pertemuannya dengan Se Hun, Lu Han, Young juga Kris dan Jong In.
Memori-memori itu membuat kepalanya semakin berputar hebat, ia bahkan menjambak keras rambutnya untuk sekedar mengurangi sakit kepalanya. Ia berniat untuk tidur saja tapi….
~Nal annaehaejwo…yeah.. geudaega salgoinneun gose nado hamkke deryeogajwo~~~
Belum sempat Na Ra memejamkan mata, ponselnya bordering. Dengan pandangan yang sedikit kabur, ia mengangkatnya tanpa melihat siapa yang memanggil.
“Eoh, yeoboseyo?”
“Na Ra-ah, gwenchana?”
“Eoh, Lu Han, wae?” Tanya Na Ra to the point.
“Apa kau sedang sakit? Suaramu terdengar berbeda.”
“Anyi… Nan gwenchana, ada apa menelfonku?”
“Eum… Bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Eoh, jigeum?”
“Itu jika kau tidak sibuk, tapi kali ini aku memaksa, jebal eoh eoh eoh?” suara Lu Han terdengar merajuk.”
“Aish… Arra, arra… Eoddi?”
“Tous Les Jours café! Kekekekk, ppalli ppalli!” Lu Han setengah berteriak.
“Aish, berisik! Arra…” Na Ra segera menjauhkan handphonenya dari telinganya dan menutup percakapannya dengan Lu Han.
Ia menyambar asal tas dan kunci mobilnya, mengabaikan sakit kepala yang begitu menyiksanya sedari tadi. Tak butuh waktu lama Na ra sudah sampai di café yang dituju, Tous Les Jours. Sebuah café bergaya eropa dengan makanan khas Prancis.
Lu Han langsung melambai pada Na Ra begitu ia melihat sosok gadis itu muncul di pintu café. Na Ra duduk di depan Lu Han dengan muka cemberut yang dibuat-buat, membuat Lu Han setengah mati menahan tawa.
“Pmmmpppffff…. Na Ra-ah, wae wae? Ppmmffff !” Lu Han masih terus memegangi perut dan mulutnya, agar ia tidak tertawa keras.
“Yak! Yak! Igwe mwoya? Kalau kau hanya menertawakanku aku mau pulang saja.” Na Ra sudah berdiri lagi dan bersiap pergi tapi Lu Han menarik lengan Na Ra dan memaksanya duduk lagi.
“Aish, mian… Begitu saja marah, ck!” Lu Han kali ini berhenti tertawa.
“Dasar rusa menyebalkan.”
“Mwo? Kenapa malah mengataiku. Ah… Sudahlah, tidak akan selesai jika berdebat denganmu, kau mau pesan apa, eoh?”
“Na Ra-ssi pasti akan memesan cappuccino dan Gateu nantais, kan?” Seorang pemuda dengan wajah seperti bayi menghampiri meja Lu Han dan Na Ra, ia menggunakan kaos biru tua berkerah, dan memegang buku catatan, siap untuk mencatat pesanan kliennya.
“Jangan sok tau, Byun Baek!” Lu Han mencibir lelaki itu.
“Aku benar kan, Na Ra-ssi ?”
“ Kau sudah hafal, Baek Hyun-ssi. Buatkan aku cappucino dan gateau nantais, ingat cappuccinonya—”
“Jangan terlalu manis, harus memakai gula rendah kalori, dan gateau nantaismu harus diberi tiga buah cherry utuh, matjo?” Baek Hyun menyelesaikan perkataan Na Ra tentang apa yang akan di pesannya.
“Woah! Byun Baek, kau hafal sekali pesanan Na Ra? Ckckck… Apa dia klien istimewa, eoh?” Lu Han memasang gaya seperti detektif.
“Rusa, berhentilah berkata yang tidak-tidak.” Na Ra menanggapi ledekan Lu Han.
“Anyi, Lu Han-ssi. Na Ra-ssi memang selalu memesan hal yang sama setiap datang kemari jadi bagaimana aku tidak hafal kekeke~” Baek Hyun mengusap-ngusap tengkuknya malu.
“Jinjja? Apa tidak membosankan memesan hal yang sama berulang-ulang?” Lu Han masih terus bertanya.
“Lu Han, Xiaosheng Lu, Rusa, jika kau masih berisik aku bersumpah kau harus menjadi rusa sungguhan di natal besok.”
“Gyahahahahahah.” ketiganya tertawa terbahak-bahak, mendengar ancaman konyol Na Ra kepada Lu Han.
“Aish… Sudah-sudah, kenapa jadi terus mengataiku? Yak, Byun Baek! Bawakan aku espresso dan croissant! Ppalli ppalli!” Lu Han setengah mendorong Baek Hyun agar pemuda itu segera membuatkan pesanan mereka.
“Yak yak! Tidak usah mendorong-dorongku!” Baek Hyun berpura-pura kesal.
Na Ra dan Lu Han memang sudah akrab dengan si pemilik café, Byun Baek Hyun. Hampir setiap hari mereka datang ke café Baek Hyun, biasanya mereka datang bertiga bersama Se Hun. Dan Na Ra selalu memesan hal yang sama setiap kali ia datang ke café itu, membuat Baek Hyun begitu hafal dengan apa yang akan di pesan nona muda itu.
Setelah Baek Hyun pergi untuk membuatkan pesanan mereka wajah Lu Han berubah serius, membuat Na Ra mengernyitkan dahinya, tapi ia sama sekali tidak mengeluarkan pertanyaan, ia hanya diam dan sesekali memijit pelipisnya, mengurangi sakit kepalanya. Keheningan pun tercipta diantara mereka, Lu Han masih tampak berfikir keras tentang hal yang akan ia bicarakan dengan Na Ra.
Tak butuh waktu lama, Baek Hyun datang dengan nampan berisi pesanan mereka.
“Na Ra-ssi rang Lu Han-ssi, silahkan dinikmati, panggil aku saja jika kalian masih butuh sesuatu.”
“OK! Gomawo Baek Hyun.” Na Ra mewakili Lu Han mengucapkan terima kasih pada Baek Hyun, dan Baek Hyun hanya melempar pandangan penuh tanya pada Na Ra melihat Lu Han yang masih termenung sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja café, gadis itu hanya menjawab pertanyaan penuh tanya Baek Hyun dengan mengedikkan bahu, pertanda dia tidak tahu apa-apa. Baek Hyun pun cukup paham dan ia langsung meninggalkan meja mereka berdua, memberi privasi pada kliennya untuk saling berbicara.
Na Ra mengangkat cangkir cappucinonya, menghirup wangi cappucinonya sebelum menyesapnya pelan. Ia masih membiarkan Lu Han berenang-renang dalam pikirannya, membiarkan suasana yang begitu sunyi tercipta diantara keduanya.
“Arghhh… Aku bisa gila!” Lu Han tiba-tiba berbicara sambil mengacak-ngacak rambutnya, membuat Na Ra mendongak dan melemparkan pandangan penuh tanya yang Lu Han tidak tahu.
“Minumlah espressomu, sebelum dingin.”
“Eoh? Ne, ne.” Lu Han dengan sedikit terburu-buru meminum espressonya. Lalu sedetik kemudian…
“Huwek huwek! Aigoo kenapa pahit sekali? Yak! Aku harus protes pada Byun Baek.” Lu Han sudah berdiri dengan sambil mengambil tissue untuk mengusap lidahnya yang masih begitu pahit karena efek espresso yang ditelannya dengan buru-buru tadi.
“Kau mau ke mana? ” Na Ra bertanya santai sambil memotong gateau nantais di depannya.
“Tentu saja protes pada Byun Baek. Dia membuatkanku espresso terpahit di dunia, menyebalkan.”
“Apa kau sudah berubah jadi babbo? Kau belum memasukkan gulanya.” Na Ra mengangkat bungkusan kertas berisi gula di depan wajahnya.
“Eh, jinjja ? Kekekek, aku lupa.” Lu Han kembali duduk dan memasukkan gula kedalam espressonya, mengaduk-ngaduknya asal dan meminumnya sampai setengahnya, mengabaikan betapa panasnya espresso itu.
“Ck…. Aku tau kau sedang kalut tapi bukan berarti kau harus meminum espresso panas itu sekali teguk, itu bisa membakar tenggorokanmu, ck! kenapa penyakit babbomu semakin akut,Mr. Lu?” Na Ra mencibir sikap ceroboh Lu Han. Pria chinese itu hanya mengangkat sebelah alisnya sambil meletakkan kembali cangkir espressonya yang tinggal berisi setengah saja.
“Kalut? Apa maksudmu?”
“Hanya orang kalut saja yang akan mengabaikan betapa panasnya espresso yang baru dibuat.” Na Ra berbicara dengan gayanya yang lebih santai, sambil memasukkan sepotong cherry ke mulutnya. Sementara Lu Han hanya diam sambil memandangi cangkir espressonya.
“Memandangi cangkirmu itu tidak akan menyelesaikan masalahmu.” Gadis itu menambahkan kalimatnya kali ini dengan nada serius.
“Jadi…” Lu Han mendongakkan kepalanya menatap gadis di depannya, ia menghentikan kalimatnya, menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat.
Na Ra tidak menyela kalimat Lu Han yang tertahan, gadis itu masih dengan santainya menikmati gateau nantais favoritnya, menunggu Lu Han mengatakan apa yang akan dia katakan, yang sebenarnya Na Ra sudah tau ke arah mana Lu Han akan bebicara.
“Jadi… Na Ra-yya, kau mengenal Youngie?”
“Youngie? Nugu? Ah maksudmu Shin Sung Young, geutji?”
Lu Han hanya mengangguk lemah, kembali menatap gelas espressonya dengan tatapan getir.
“Youngie… Itu panggilan sayangmu terhadapnya, hmm?” Kali ini Na Ra bertanya dengan nada menyelidik. Perkataan Na Ra sontak membuat Lu Han membulatkan matanya.
“Tidak perlu menatapku begitu, aku sudah tau.” Na Ra menjawab dengan santai lagi membuat Lu Han bingung.
“K-kau sud-sudah tau kalau dia…?”
“Mantan kekasihmu!” Na Ra menyelesaikan kalimat Lu Han.
“Da-darimana kau tau, Na Ra-yya?”Lu Han berkata dengan terbata-bata.
“Young sendiri yang memberitahukannya kepadaku, gadis itu bahkan tidak akan tahan menyimpan satupun rahasia dariku.”
“Aku… Aku—”
“Kau masih mencintainya?” Na Ra langsung bertanya pada inti permasalahan mereka dan disambut dengan anggukan cepat Lu Han. Gadis ini bukan org yang suka berbasa basi.
Suasana kembali hening. Na Ra masih asyik dengan gateau nantaisnya sementara Lu Han masih bergelut dengan pikirannya.
“Na Ra-yya, aku ingin meminta bantuanmu.” Lu Han akhirnya membuka suara, menguatkan hatinya untuk mengatakan hal ini.
“Bantuanku?”
“Eum… Bisakah kau membantuku kembali pada Young? Aku… Aku masih sangat mencintainya. Bertahun-tahun aku mencarinya, tapi tak pernah berhasil, dia bahkan pindah rumah dan mengganti nomor telfonnya, membuatku hampir gila karena tak kunjung bisa menemukannya. Na Ra-yya, dia sudah seperti separuh jiwaku, aku kehilangannya selama bertahun-tahun, dan kemarin aku sudah kembali menemukannya, tapi… bahkan dia tidak mau menatap mataku, hatiku sakit sekali!” suara Lu Han tercekat, tatapan matanya pun begitu sayu.
“Aku tidak bisa memaksakan perasaan seseorang, Lu Han.” Na Ra kembali ke kepribadiannya yang sedingin es, menjawab permohohonan Lu Han dengan nada datar seolah apa yang Lu Han katakan adalah hal tidak penting.
“Mwo? Jadi maksudmu?”
“Kau dan Young adalah urusan kalian, aku tidak mau ikut campur di dalamnya. Tidakkah kau berpikir melibatkanku dalam urusan kalian akan memperburuk masalah?”
“Tapi Na Ra-yya, Young itu sudah seperti adikmu, matjo? Dia akan mendengarkan semua ucapanmu, aku yakin itu.”
“Hanya karena dia adikku dan dia akan menuruti semua perkataanku, bukan berarti aku bisa memaksakan perasaannya. Dia manusia, Lu Han, bukan robot yang tidak punya perasaan. Apa kau sudah bertanya bagaimana perasaan Young sekarang terhadapmu?”
Lu Han menggeleng cepat, kepalanya masih tertunduk.
“Kenapa kau tidak bertanya langsung padanya? Kau hanya membuang-buang waktumu jika kau meminta bantuanku.”
“Tapi Young tidak mau bertemu denganku, dia menghindar dariku selama bertahun-tahun!” Lu Han meninggikan suaranya, kali ini Na Ra menatapnya dengan lebih tajam.
“Kau saja belum mencobanya tapi kau sudah berspekulasi macam-macam, menebak-nebak hal yang belum pasti.”
“Na Ra-yya, nae…”
“Young sudah dewasa, Lu Han, dia tau apa yang harus dia lakukan. Dia menghindarimu karena mungkin dia merasa dia tidak cukup mampu untuk bertemu denganmu. Apa kau pernah membayangkan berada di posisinya saat itu? Dia begitu tertekan oleh orang-orang disekitarnya, bahkan teman-teman yang ia percaya pun lambat laun menjauhinya. Mungkin aku sudah bunuh diri jika mengalami apa yang Young alami. Lu Han… berhentilah egois, kau juga harus memikirkan perasaan Young. Kalau kau masih begitu mencintainya maka kerjarlah cintanya, sampai kau berhasil, dan jikapun nanti kau gagal karena Young sudah punya orang lain atau perasaanya padamu berubah, setidaknya kau tidak akan menyesal karena kau sudah melakukan yang terbaik untuk memperjuangkan cintamu.” Na Ra menasehati Lu Han panjang lebar.
“Seseorang yang lain? Maksudmu, apa dia sudah mempunyai namjachingu?”
“Well aku—”
“AKU MENCINTAIMU!!!! SANGAT MENCINTAIMU TAPI KAU TERUS MENGABAIKANKU!!!!!” Belum sempat Na Ra menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba terdengar teriakan seorang gadis yang tampak sedang bertengkar dengan kekasihnya, air mata sudah menganak sungai di kedua pipi gadis itu. Teriakan gadis itu yang begitu keras membuat sesisi pengunjung cafe menoleh pada mereka.
“KAU DENGAR TIDAK AKU MENCINTAIMU! JADI KEMBALILAH PADAKU, APA SESULIT ITU?!” Gadis itu kini berdiri, rahangnya mengeras dan masih terus berteriak. Semua pengunjung café diam dan memandangi mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Sang pria yang diajak bicara masih tampak tenang duduk di kursi yang bersebrangan dengan si gadis. Tampak tidak merespon gadis yang sudah begitu emosi di depannya. Na Ra hanya menoleh sekilas dan kembali sibuk dengan Gateau dan Cappucinonya, ia bukan orang yang ingin tahu urusan orang lain.
“YAK! KRIS WU KAU DENGAR TIDAK, KAU MANUSIA ATAU BATU, HAH?” Gadis itu meneriakkan nama yang membuat Na Ra langsung berbalik dan memandang ke arah gadis yang berteriak tadi atau tepatnya pria pirang yang duduk membelakangi meja Na Ra.
“Kau dan aku sudah selesai tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, berhentilah mengajakku bertemu hanya untuk membicarakan hal-hal tidak berguna.”
Pria pirang yang duduk membelakangi Na Ra berkata dengan nada dingin yang begitu menusuk, ia berbicara seolah tanpa perasaan.
“YAK! WU YI FAN! NEO—!” Gadis yang sedari tadi berteriak itu adalah Soo Young yang nampaknya sudah siap untuk mengeluarkan sejuta umpatan, tapi umpatannya tertahan karena pria pirang yang tadi duduk di depannya memotong perkataan Soo Young.
“Aku tidak suka membuang waktuku untuk hal yang tidak berguna, jadi jika kau menemuiku untuk membicarakan hal seperti ini lagi, aku tidak akan mengabulkan keinginanmu, Nona Choi.” Kris kini berdiri dan berbalik, hendak pergi dari tempat itu. Dan betapa kagetnya Kris mendapati Lee Na Ra ada disana, sama terkejutnya dengannya. Kris masih berdiri di tempatnya ketika Soo Young masih meneriakkan kata-kata ungkapan hatinya pada Kris.
“TIDAK BERGUNA? MEMBUANG WAKTU? APA TAHUN-TAHUN BERSAMAKU DULU MEMBUANG WAKTUMU, HAH? JADI SETIAP KATA CINTA, SAYANG DAN WAKTU YANG KITA HABISKAN BERSAMA HANYA MEMBUANG WAKTUMU, BEGITU, KRIS??”
Bless… ucapan Soo Young seperti tebasan pedang yang tepat mengenai jantung Na Ra, begitu menyakitkan. Tapi anehnya Na Ra bahkan tidak mempu berbalik dan pergi dari tempat itu, seolah ada kekuatan besar yang memaksanya untuk tinggal disitu dan menyaksikan drama Soo Young dan Kris secara langsung.
Kris memandang lurus ke arah Na Ra seperti ia ingin mengucapkan banyak hal pada gadis itu tapi suaranya tercekat ditenggorokannya, ia hanya bisa memandang dengan tatapan nanar pada gadis yang akhir-akhir ini menjadi bagian terpenting di hidupnya.
“Kris-ah! Aku begitu mencintaimu, aku tahu aku sudah melakukan kesalahan di masa lalu dengan meninggalkanmu, tapi sekarang aku sudah sadar aku sepenuhnya sadar bahwa hanya kau lelaki yang cocok untukku, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia, jeongmal hiks hiks…” Soo Young berkata dengan deraian air mata yang semakin membasahi pipinya, membuat Kris mau tidak mau berbalik dan menatapnya. Ia paling tidak tahan melihat seorang gadis menangis di depannya. Kris berdiri di depan Soo Young yang kini berjongkok dan menenggelamkan wajahnya yang penuh air mata di lututnya, ia sudah tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Berhentilah menangis, kau tahu kan aku sangat benci melihat seorang gadis menangis di depanku.”
“Hiks… Hiks…” Soo Young masih terus menangis dan mengabaikan perkataan Kris. Kris akhirnya ikut berjongkok, dan berbicara pada Soo Young. Kali ini dengan nada yang lebih lembut.
“Soo… Kumohon berhentilah menangis, aku tidak suka melihatmu seperti ini. Kau gadis yang kuat.” Kris mengusap lembut rambut Soo Young, membuat gadis itu mendongak menyadari Kris ada di depannya. Soo Young mengusap air matanya dengan kasar.
“Hiks… Aku mencintaimu Kris aku—” Soo Young tak mampu melanjutkan kalimatnya. Gadis itu meraih tubuh Kris dan memeluknya erat. Sangat erat. Kris sangat terkejut dengan tindakan Soo Young, begitu juga Na Ra. Ia sudah tidak tahan lagi, rasa nyeri dikepalanya semakin terasa. Terlebih nyeri dihatinya. Setengah mati Na Ra berusaha melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Air matanya sudah di pelupuk mata tapi ia bersumpah ia tidak akan menangis untuk hal-hal seperti ini. Na Ra setengah berlari meninggalkan café itu mengabaikan pandangan aneh orang-orang terhadapnya.
“NA RA, LEE NA RA! KAU MAU KEMANA?! NA RA!!!” Lu Han yang menyadari kepergian Na Ra berteriak-teriak memanggil gadis itu tapi ia mengabaikannya. Saat Lu Han berlari untuk mengejarnya, Na Ra sudah melaju kencang mengendarai mobilnya meninggalkan café itu.
Kris yang mendengar teriakan Lu Han, segera melepaskan pelukan Soo Young. Hatinya begitu berkecamuk. Na Ra pasti sudah melihat semuanya, ia pasti salah paham. Kris pun bangkit dan pergi menyusul Na Ra, ia berjalan dengan tergesa-gesa.’
“Kris… Kris! Kau mau kemana?!” Soo Young setengah berlari menyusulnya, wajahnya masih dipenuhi air mata.
“Kris, BERHENTI!!” Soo Young kembali berteriak membuat Kris jengah dan berbalik.
“Choi Soo Young, berhentilah melakukan hal-hal konyol seperti ini. Kau hanya membuang waktumu dan menyakiti dirimu sendiri. Aku memang menyukaimu, mencintaimu, dan menyayangimu tapi itu dulu. Sekarang perasaanku terhadapmu sudah berubah.”
“Kau masih menyukaiku—tidak! Kau masih mencintaiku!!” Soo Young masih bersikeras.
“TIDAK!! Aku bersungguh-sungguh dengan perkataanku. Aku sudah tidak mempunyai perasaan apapun terhadapmu, bahkan aku sudah melupakan apa yang pernah terjadi di antara kita dulu, jadi kumohon berhentilah.”
“Aku tidak akan berhenti sampai kau kembali padaku. Kau udara bagiku, jadi bagaimana bisa aku hidup jika udara yang kubutuhkan tidak ada disisiku? Jawab aku Kris!!” Soo Young memegang pergelangan tangan Kris yang segera Kris tepis dengan sedikit kasar.
“Soo, aku bukan udara bagimu. Aku hanyalah angin yang kebetulan saja lewat dan berputar di sekitarmu. Tapi sekali angin itu pergi ia tidak akan pernah bisa kembali, dan selamanya akan begitu.”
“Kris tapi—”
Kali ini Kris mengabaikan panggilan Soo Young dan bergegas masuk ke mobilnya, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Lee Na Ra. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, berusaha mencari Na Ra yang bahkan ia sendiri tidak tahu di mana gadis itu berada. Ia hanya mengikuti kata hatinya dan begitu mendapati sebuah persimpangan ia membanting stirnya ke kanan, menuju ke danau Namgu. Entah kenapa ia memutuskan untuk pergi kesana. Sekali lagi ia hanya mengikuti kata hatinya.
………………………………………………………………………………..
CCCIIITTT!!!
Na Ra menginjak rem mobilnya dalam-dalam menimbulkan suara berdecit karena gesekan aspal dengan ban mobilnya. Pikiran gadis itu benar-benar kacau. Hati dan otaknya tidak dapat merasakan apapun selain rasa sakit yang begitu menyiksa, membuatnya sulit untuk bernafas. Ia segera melangkahkan kakinya keluar dan membanting pintu mobilnya keras-keras, lalu berjalan menuju ke batu besar yang ada di tepi danau.
Pandangannya sedikit terhalang oleh kabut yang menyelimuti tempat itu, padahal rembulan bersinar begitu terang. Na Ra melihat arlojinya, jam 11.43, sebentar lagi tengah malam. Gadis itu duduk di batu besar dan pandangannya langsung terarah ke hamparan air di depannya. Ia duduk di sana dan untuk beberapa detik ia hanya memandang kosong ke hamparan danau berkabut di depannya.
Ia ingin berteriak, menangis dan melakukan hal-hal yang biasa gadis seusianya lakukan ketika sedang patah hati, tapi semuanya tampak begitu sulit bagi Na Ra. Sekali lagi, suaranya seperti tercekat. Maka dengan kesal gadis itu mengambil asal kamera yang ada di tasnya, memotret apapun di depannya untuk menghilangkan kesal di hatinya. Tentu saja dia tidak mendapatkan objek yang menarik, hanya kegelapan dan kabut-kabut tebal yang bisa ditangkap kameranya.
Tapi, Na Ra tidak peduli ia terus memotret dan memotret. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang dibelakangnya yang mengawasinya. Memandangi punggung gadis itu terus menerus, sangat lekat. Bosan hanya memandanginya pria itu pun mendekat dan memanggil nama gadis itu.
“Lee Na Ra?”
To Be Continued
**
terima kasih untuk semua yang sudah membaca CROSS ROADS, bagi yang mungkin ingin chit chat dengan saya silahkan klik How To Know Me ^^