CHAPTER 11
I KNOW YOU MORE
Na Ra melajukan mobilnya pelan. Ia terus memegangi perutnya yang masih sangat sakit. Ia tidak langsung pergi ke kantornya, tapi menuju Seoul Hospital menemui dokter Kim Joon Myeon. Dokter yang merawatnya selama ia di Korea. Ia terpaksa berbohong pada Kris dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia benci ketika orang lain memandang iba padanya, mengasihaninya.
Na Ra berjalan sedikit terseok ke ruangan Dr. Kim Joon Myeon. Ia mengetuk pintunya dengan tergesa dan tak lama kemudian muncul lah dokter muda dan tampan dengan senyum malaikatnya, mengingatkannya pada sosok Carlisle Cullen di Twilight.
“Annyeong haseyo, Na Ra-ya.” Ia tersenyum lembut.
“N-n-ee ann-nyeong o-oppa.” Na Ra menjawab dengan terbata dan bruggg, tubuhnya lunglai. Beruntung, Dr. Kim menahan tubuh Na Ra sehingga ia tidak jatuh ke lantai. Dr. Kim membantu Na Ra untuk berbaring di ranjang di ruang prakteknya. Pria itu memeriksa kondisi Na Ra.
“Na Ra-ya, kenapa bisa begini? Lihat tekanan darahmu begitu rendah.”
“Ah mollayo, Oppa.”
“Apa kau tidak meminum semua obat yang aku berikan, eoh?” Rasa khawatir jelas tergambar di wajah Dr. Kim.
“Well… Ginjalku sakit sekali, Oppa, setiap meminum obat-obatan itu. Aku tidak tahan.” Na Ra bersikeras.
“Itu hanya efek sementara. Kau harus meminumnya jika kau masih ingin bisa berjalan-jalan dengan bebas, atau kau ingin rawat intensif disini, eoh?” Dr. Kim tampak sedikit mengancam.
“Andwaeee andwae! Aku tidak mau, Oppa. Suho Oppa, jebal, help me, eoh.” Na Ra memanggil Dr. Kim dengan sapaan akrabnya.
“Maka turuti perkataanku!”
“Ne ne… Arrasseo, Oppa. Ingat, jangan katakan apapun pada Mom dan Dad. Mereka akan jauh lebih mengerikan jika tau keadaanku.”
“Kapan kau berhenti menjadi pemberontak, Lee Na Ra?”
“Sampai mereka memahamiku!” Na Ra berkata tegas.
…………………………………………………………………………
Kris memasuki lift. Ia hendak menutup pintu lift saat tangan seorang yeoja menahannya.
“Chankamman.” Yeoja itu dengan santai memasuki lift. Ia memamerkan senyum terbaiknya, menutupi hatinya yang meletup-letup setelah melihat adegan Kris dan Na Ra tadi. Sedangkan Kris hanya mengangguk bersikap sebiasa mungkin.
Keheningan tercipta diantara mereka. Hingga Kris sampai di lantai 15, ruang kerjanya. Yeoja itu mengikuti Kris hingga ke ruang kerjanya, membuat Kris jengah.
“Apa yang kau lakukan?” Kris bertanya dingin pada yeoja di depannya.
“Menemanimu kerja tentu saja.” Yeoja itu tersenyum manis.
“Tidak perlu!” Kris membalas ucapan yeoja itu tanpa melihat kearahnya.
“Ayolah Kris, aku bisa menjadi sekretarismu, asistenmu atau apapun.” Sooyoung merajuk sambil merangkul lengan Kris.
“Tidak perlu. Tuan Song sudah mengurus semuanya dengan baik. Dan jika kau tidak keberatan, Nn. Choi, silahkan keluar dari ruanganku, aku masih punya banyak pekerjaan!” Kris menunjuk ke arah pintu, membuat Sooyoung setengah mati menahan kesal.
“Atau aku perlu memanggilkan satpam untuk membantumu keluar dari sini?” Kris semakin menajamkan kata-katanya melihat Sooyoung yang tidak juga beranjak dari tempatnya.
Sooyoung akhirnya menuruti Kris. Ia sedikit takut melihat Kris yang begitu dingin seperti ini, sangat berbeda dengan Kris yang dulu. Tapi walau bagaimanapun juga ia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Kris lagi apapun caranya. Sooyoung pun melangkah keluar dan ketika di ambang pintu Kris memanggilnya.
“Soo Young!” Sooyoung berbalik dengan senyum berbinar menyangka bahwa Kris akan berubah pikiran.
“Jangan pernah kau datang kembali ke kantorku. Ingat kita sudah tidak punya hubungan apapun. Aku tidak mau orang-orang salah paham.”
Senyuman memudar dari wajah Sooyoung Ia menghentakkan kakinya dengan keras dan menutup pintu ruang kerja Kris dengan kasar. Kris menghempaskan tubuhnya ke sofa, mengacak-acak rambutnya.
“Gadis itu, kenapa harus muncul lagi?!”
…………………………………………………………………………
Sung Young mendecak kesal karena hujan yang mengguyur secara tiba-tiba. Ia berdiri di depan perpustakaan kampusnya sembari menatap air hujan yang sedang turun dengan rajinnya. Gadis itu merutuki dirinya sendiri karena lupa membawa payung hari ini. Jarak antara kampusnya dengan halte bis cukup jauh. Dalam hujan selebat itu tidak mungkin ia bisa menerobos.
Sung Young memutuskan untuk menunggu hujan reda. Ia duduk di bangku panjang yang ada di salah satu sisi teras perpustakaan itu. Beberapa kali ia tersenyum dan membungkuk pada pegawai kampus yang menyapanya.
Gadis itu merasakan getaran dari dalam tasnya. Segera ia buka benda itu dan menemukan ponselnya yang sedang menyala, menunjukkan adanya panggilan masuk.
“Yeoboseyo.” Ujar Sung Young sedikit keras, karena suara hujan yang cukup bising di tempat itu.
“Young-ah?” Terdengar suara berat seorang pria dari seberang sana.
“Ne, Jong In-ssi.” Sung Young menjawab lembut. Ada getaran tersendiri di dadanya karena mendengar suara Jong In.
“Neo oddiega?”
“Kampus.” Sung Young menjawab singkat. Ia menggembungkan pipinya pertanda kesal.
“Dimana?”
“Perpustakaan.” Sung Young menjawab lemas. Hujan yang turun semakin deras, membuat gadis itu hanya bisa menatap nanar ke depan.
Sementara itu Jong In tidak lagi mengeluarkan suara. Beberapa menit hingga membuat Sung Young heran.
“Jong In-ssi?” Sung Young bertanya. Menerka kenapa tiba-tiba pria itu berhenti berbicara.
“Ne? Lihatlah ke arah jam 10.” Jong In berkata singkat lalu memutus sambungan teleponnya. Sung Young hanya mengernyit pertanda ia bingung. Lalu sedetik kemudian di lihatnya ke arah jam 10 seperti yang Jong In perintahkan tadi. Matanya membulat seketika karena mendapati pemandangan yang mengagetkan di sana.
Dilihatnya Jong In keluar dari dalam mobilnya, yang terparkir tepat di depan parking area di dekat situ. Pria berkulit gelap itu memegang sebuah payung, membuatnya terlindung dari guyuran air hujan. Ia berlari ke arah Sung Young berada. Sementara gadis beriris hitam itu tak hentinya memandangi sosok Jong In yang sedang berlari ke arahnya. Ia masih heran bagaimana bisa Jong In berada di kampusnya.
“Annyeong?” Sapa Jong In lembut saat ia sudah sampai di depan Sung Young. Payungnya ia letakkan tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Neo? Bagaimana kau bisa ada di sini?” Sung Young masih takjub dengan pemandangan yang ada di depannya. Gadis itu masih saja mendongak menatap tubuh Jong In.
“Aku tau kau kehujanan. Dan secepat kilat aku langsung datang ke sini.” Jong In berkata singkat, sembari menyeka tetesan air yang sempat mendarat di rambut coklatnya.
“Mwo?” Sung Young membulatkan matanya lagi mendengar jawaban dari pria bermarga Kim itu.
“Haha. Lihatlah wajahmu, sangat lucu.” Jong In tertawa keras, membuat Sung Young menekuk wajahnya kesal.
“Waeyo? Berhenti tertawa, Tuan Menyebalkan!”
“Ne ne arraseo, Tuan Putri.” Jong In tersenyum lembut. Senyum yang bisa membuat wanita manapun akan bertekuk lutut pada pria itu. Namun Sung Young hanya menanggapinya dengan mendengus kesal.
“Jangan memanggilku seperti itu.”
“Ne ne. Sudah, jangan memberiku tatapan seperti itu.” Jong In memundurkan badannya, berpura-pura menjauh.
“Kau menyebalkan, Tuan Kim.”
“Ne, aku memang menyebalkan, Nona Shin.” Jong In melontarkan jawabannya sambil menatap Sung Young dalam-dalam. Pria itu seperti menyalurkan sesuatu lewat tatapannya. Yang dengan seketika membuat pipi Sung Young bersemu merah. Gadis itu lantas menangkupkan kedua tangannya di pipinya, mengusap-usap pelan seolah ia sedang kedinginan, mencoba untuk menutupi guratan warna merah yang terpeta jelas di sana.
Jong In yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum lembut. Ia tahu, Sung Young tidak kedinginan. Karena jelas gadis itu mengenakan sweater tebal dan syal yang melilit di lehernya.
Jong In berdiri dan memegang tangan Sung Young, menarik lembut tangan itu hingga si empunya ikut berdiri. Namun Sung Young hanya menatap Jong In dengan mata lebarnya.
“Mau ke mana?” Tanya gadis itu sedikit bingung,
“Tentu saja pergi dari sini. Atau kau ingin menginap di sini?”
“Ah, ne. Kajja.” Sung Young yang seperti baru saja sadar bahwa ia telah bertanya hal yang bodoh segera menarik tangan Jong In yang sedari tadi menggenggam tangannya.
“Dasar gadis aneh.” Jong In berujar sembari mengambil payung yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mendengar hal itu, Sung Young hanya mencibir ke arahnya.
Mereka berdua berjalan di bawah payung berwarna biru tua itu. Hujan yang masih deras mengguyur mengakibatkan percikan air di mana-mana. Membuat bagian bawah tubuh Sung Young dan Jong In terkena cipratan-cipratan itu.
Jong In yang menyadari bahwa gadis di sampingnya tengah sibuk melindungi diri dari guyuran air hujan, karena ukuran payung yang tidak cukup besar, segera menarik Sung Young mendekat ke tubuhnya. Sung Young yang menerima perlakuan pria berbibir tebal itu hanya bisa diam, karena dirasakannya pipinya mulai menghangat lagi, dan mungkin juga memerah seperti tadi.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil Jong In. Sung Young menepuk-nepukkan tangannya di kedua bahunya yang sedikit basah karena guyuran air hujan. Begitu juga Jong In yang sekali lagi mengusap tetesan air di rambut coklatnya.
Masih dalam diam, Jong In melajukan mobilnya keluar dari area kampus Sung Young. Hujan yang sedikit mereda membuat pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
“Young-ah, apa kau sudah makan?” Jong In bersuara, memecah keheningan yang tercipta di antara mereka berdua.
“Hmm, belum.” Sung Young menggeleng sembari menatap ke bawah, ke arah perutnya yang sedari tadi berbunyi pelan karena rasa lapar.
“Apa yang ingin kau makan saat ini? Kita mampir makan dulu.” Jong In melirik sekilas gadis yang duduk di sampingnya. Gadis itu terlihat berpikir sembari menggembungkan pipi nya yang chubby.
“Aku ingin masakan cina.” Sung Young tersenyum lebar ke arah Jong In.
“Baiklah.” Jong In tersenyum lalu menambah kecepatan laju mobilnya. Membuat Sung Young memekik tertahan karena itu.
…………………………………………………………………………
Na Ra terbangun dengan kondisi yang lebih baik keesokan harinya, setelah mendapatkan perawatan intensif dariJoonmyeon, tentu saja setelah ia mati-matian memohon pada orang yang sudah ia anggap sebagai oppanya itu agar ia tidak usah di opname. Rawat jalan saja seperti biasa. Na Ra memang mengalami maag akut juga anemia yang sering kali mengganggu kesehatannya. Hal yang paling ia benci di hidupnya adalah ketidakmampuannya untuk meredam rasa sakit itu kala penyakit-penyakit itu menyerangnya.
Ia mengalihkan pandangannya ke benda berwarna putih di nakasnya. Ia mengambil telfon genggamnya, ada 56 messages, dan 38 missed calls. Na Ra merasa pusing untuk membacanya maka ia memutuskan menekan tombol close dan bergegas mandi. Kepalanya terasa begitu pusing.
Setelah sarapan dan meminum semua obatnya, gadis itu buru-buru keluar apartment-nya, ia harus segera kembali ke kantornya mengurus izin cutinya.
Saat tiba di basement ia melihat sosok Kris ada di sana bersandar di mobilnya.
“Annyeong, Na Ra-ya?”
“Ah yee~ Annyeong, Kris-ah. Ada apa menemuiku pagi-pagi begini, hmm?”
“Apa kau baik-baik saja?” Kris malah balik melontarkan pertanyaan pada Na Ra.
“Tentu saja, memangnya aku kenapa? Ck! Kau saja belum menjawab pertanyaanku!”
“Anyi. Kau terlihat pucat sekali, kau sakit apa?”
“Gwenchana, Kris-ah. Khopjeomalgu (tidak usah kuatir).”
“Hari ini, apa kau ada waktu?”
“Um… Aku akan mengurus beberapa hal dikantorku, wae?”
“Berapa lama?” Kris kembali bertanya.
“Mungkin beberapa jam, wae wae?” Na Ra bertanya tidak sabar.
“Aku ingin kau menemaniku ke suatu tempat, bisa kah?” Mata Kris tampak sayu.
“Um… Eoddi?”
“Suatu tempat. Baiklah aku akan mengantarmu saja dan menunggumu selesai dengan urusanmu.” Kris menarik tangan Na Ra memaksanya memasuki mobilnya.
“Yak! Yak! Kris-ah, kau ini, apa kau tidak bekerja? Kau jangan konyol.” Na Ra memberontak.
Kris sudah duduk dibelakang kemudi. Ia memasangkan sabuk pengaman untuk Na Ra sehingga membuat jarak mereka sangat dekat. Na Ra terpaku dengan pandangan tajam Kris. Nafas pria jangkung itu bisa Na Ra rasakan menandakan betapa dekat jarak mereka.
“Ehm… Ppalli jalankan mobilnya!” Na Ra mencoba memecah kecanggungan yang membuat Kris terkejut dan segera berkonsentrasi dengan kemudinya.
…………………………………………………………………………
Kris benar-benar menepati janjinya untuk menunggu sampai Na Ra menyelesaikan semua urusannya, padahal itu menghabiskan waktu lebih dari empat jam. Kris bukan orang yang suka menunggu. Tapi, untuk seorang Lee Na Ra, hal itu adalah pengecualian.
Kris bersandar di jok mobilnya dengan earphone di telinganya saat Na Ra datang dan mengetuk kaca mobilnya.
“Eoh.” Kris membuka kaca mobilnya.
“Kau sudah selesai?”
“Ne.”
“Masuklah.”
Dan Kris pun kembali menyetir, pikirannya menerawang entah kemana, membuat suasana di mobil itu begitu sunyi karena tak sepatah katapun keluar dari mulut keduanya. Mobil Kris menyusuri padang rumput yang begitu panjang, perbukitan mengapit jalan yang mereka lalui.
Na Ra memilih diam dan menduga-duga dalam hatinya, ia lelah untuk membujuk agar Kris memberitahunya kemana mereka akan pergi.
Kris menghentikan mobilnya tepat di sisi bukit, begitu sepi, sejauh mata memandang hanya ada hamparan rumput hijau.
“Kita sudah sampai, turunlah.” Kris membuka pintu mobilnya diikuti Na Ra yang hanya bisa mengernyitkan dahi. Kris mengambil sebuket bunga lily putih di jok belakang mobilnya.
“Kris-ah, kita mau kemana?”
“Apa kau percaya padaku?”
“Ne?”
“Do you believe me?” Kris mengulangi perkataanya dalam bahasa Inggris.
“Yes, I do.”
“Kalau begitu percayalah padaku.”
Kris berjalan melewati Na Ra yang masih terheran-heran. Mereka berjalan menyusuri sebuah bukit, Na Ra sedikit terkejut karena ada ratusan atau mungkin ribuan anak tangga yang sepertinya menuju ke sebuah tempat. Kris terus berjalan di depan Na Ra, gadis itu mulai merasakan kelelahan, hal itu tergambar jelas dari peluh yang terus menetes diwajah cantiknya.
“Sebentar lagi, Lee Na Ra, kita akan sampai.”
Na Ra hanya mengangguk, itu sudah kesekian kalinya Kris mengatakan hal yang sama padanya, tapi mereka tak kunjung sampai.
Setelah empat puluh lima menit yang terasa begitu panjang mereka berdua sampai di sebuah area pemakaman. Na Ra mengikuti langkah kaki Kris, saat pemuda itu berhenti disebuah makam dan ia meletakkan buket bunga lily itu disana. Kris berjongkok dan mencium batu nisannya.
“Ni Hao, Ma?” (Kris berbicara dengan bahasa mandarinnya)
“Wo xiang ni, maaf baru sempat mengunjungimu lagi, Ma. Maaf… Aku tidak berniat untuk menjadi anak yang tidak berbakti, hanya saja, setiap kali aku mengunjungi Mama rasanya aku ingin menyusul Mama, pasti sangat damai terbaring dibawah sana?” Suara Kris terdengar parau, menahan tangis. Na Ra mengetahui satu lagi sisi diri Kris yang begitu rapuh, ia begitu kesepian.
“Ma, apa Mama bahagia? Tuhan tentu sangat menyayangi Mama, sampai-sampai ia mengambil Mama begitu cepat, mengambil Mama dariku. Aku… Aku sangat rindu pada Mama, kapan kita bisa bertemu, hmm?” Satu tetes air mata meluncur dari mata indah Kris, dan cepat-cepat pemuda itu menghapusnya, suaranya lebih bergetar.
“Ma, aku sudah menepati janjiku untuk tidak menangis saat Mama pergi, aku juga sudah menepati janjiku untuk membuat Papa bangga. Aku sudah menepati janjiku untuk menjadi anak yang baik, jadi sekarang bolehkah aku menangis, Ma? Rasanya sesak sekali.” Punggung Kris bergetar hebat, pria itu sudah tidak sanggup menahan lagi air matanya. Ia memang sudah berjanji pada ibunya untuk tidak menangis ketika ibunya meninggal dulu, membuat ayahnya bangga dan menjadi anak yang baik. Sekarang Kris menangis, melepas semua bebannya yang terasa begitu berat. Na Ra berjongkok di sebelah Kris mengusap lembut punggungnya, berharap bisa memberikan ketenangan.
Kris mengusap air matanya kasar, ia selalu rapuh jika mengingat ibunya.
“Mianhae.” Katanya dengan suara parau.
“Kenapa meminta maaf, hmm?” Na Ra memandang Kris begitu lembut dengan iris coklatnya, mengingatkan Kris pada mata ibunya dulu yang begitu teduh dan menenangkan.
“Membuatmu datang kemari dan melihatku seperti ini, aku merasa begitu tidak berguna… Aku—”
“Ssst.” Na Ra memeluk Kris, dan pemuda itu membalas pelukan yeoja di depannya itu, seolah dengan hal itu bebannya dapat terbagi, mengurangi sesak di dadanya, membuatnya lebih baik.
“Menangislah, saat kau ingin menangis, tertawalah saat kau ingin tertawa. Kau tidak perlu terus menerus menahannya, Kris-ah. Semua orang mempunyai batasnya masing-masing. Ibumu pasti sangat bangga melihatmu sekarang, jadi jangan buat ibumu kuatir di surga sana, kau harus hidup dengan lebih baik, arachi?”
Kris mengeratkan pelukannya pada Na Ra. Yeoja itu membelai lembut rambut pirang Kris, seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang sedang menangis.
“Gomawo.” Kris melepas pelukannya memandang ke dalam mata yeoja itu lagi. Dan berbalik menghadap batu nisan ibunya.
“Ma, aku membawa temanku. Namanya Lee Na Ra. Dia persis seperi Mama, setiap aku memandang ke dalam matanya, aku merasa bahwa Mama hidup lagi, hanya saja dalam tubuh yang berbeda.”
DEG! Perkataan Kris membuat Na Ra terkejut, jadi ini alasannya kenapa Kris bisa begitu mudah dekat dengannya, karena ia mirip dengan ibu Kris.
“Annyeonghaseyo, Lee Na Ra-imnida, bangapseumnida.” Na Ra membungkukkan badannya seolah-olah ia sedang berbicara dengan seseorang yang nyata.
“Nyonya Wu, Anda tidak perlu kuatir dengan Kris. Dia hidup dengan baik dan tentu saja dia bahagia. Dia akan menjalani hidupnya dengan jauhhh lebih baik. Nyonya Wu tidak perlu kuatir, jika Kris berbuat macam-macam aku yang akan menghukumnya mewakili Nyonya. Hehe.”
Perkataan Na Ra membuat Kris tersenyum, gadis ini benar-benar mirip dengan ibunya. Kris berdiri dan sekali lagi mencium batu nisan ibunya.
“Ma, aku pulang dulu. Aku berjanji akan sering-sering mengunjungi Mama. Mama beristirahatlah dengan tenang, wo ai ni.”
Kris berbalik dan bersiap pergi, tapi Na Ra masih tertegun ditempatnya.
“Kajja.” Kris menarik pelan tangan Na Ra.
“Eoh... Ne, Kris-ah.” Kris menggandeng tangan Na Ra sepanjang perjalanan pulang dari makam ibunya, menyusuri anak-anak tangga dan padang rumput yang luas itu. Ia begitu erat menggenggam tangan Na Ra seolah tak mau melepasnya walau hanya sebentar.