Suasana yang damai di kafe Kang Joon mendamaikan para pelanggan setianya. Tapi tidak dengan seorang Luhan yang merasa frustasi sepanjang malam ini. Semua terlihat salah di matanya. Semua terasa salah baginya. Suara orang-orang yang mengobrol di dekatnya membuat kepalanya seolah-olah di hantam palu, alunan musik di kafe Kang Joon membuatnya semakin jengkel.
“Hyung, gwaenchana?” tanya Kang Joon yang memberi es kopi kepadanya.
Luhan meraih kopi itu, mengaduk dan menyeruputnya dengan pelan. “Uhm,” sahutnya kemudian. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil memejamkan mata,
“Kau mau memberitahuku apa yang mengganggu pikiranmu sepanjang malam ini, hyung?” Kang Joon bertanya lagi dengan pelan dan bahkan duduk di hadapannya.
“Tidak ada,”
“Lizzy Noona? Baekhyun hyung? Animyeon––”
Luhan membuka mata, mengangkat kepala dan menatap Kang Joon dengan berang. “Apa maksudmu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti itu?”
Kang Joon menelengkan bola kepalanya. “Sebaiknya kau pulang dan tenangkan dirimu. Kau boleh datang lagi setelah kau mendinginkan kepalamu. Semua pelangganku melihatmu dengan tatapan yang takut. Kau ingin membuat pelangganku kabur?”
“Kembali bekerja sebelum aku benar-benar menghancurkan kafemu.” Kata Luhan dengan nada penekanan yang berat.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
“Kau melamun lagi?”
Nana mengerjap, menatap Jongsuk yang duduk di hadapannya. “Mian, bisa oppa ulangi?”
Jongsuk mendesah dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang terdapat di samping ranjang Nana. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Jongsuk. Namun Nana hanya mendesah ringan.
Jongsuk mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Nana lurus-lurus. “Kau terlihat murung. Biasanya kau akan menjahiliku ketika aku pulang, dan kau akan marah-marah tidak jelas padaku. Wae?? Lihat kau sangat pucat sekali. Aku tidak akan mendesakmu dengan pertanyaan-pertanyaanku lagi. Lebih baik kau istirahat.” Jongsuk mengacak poni Nana dan kemudian ia berdiri untuk keluar dari kamar Nana. Namun, tangan kecil itu menarik kain bajunya.
“Oppa,”
Jongsuk kembali melihat adiknya yang tertunduk, kemudian ke tangan Nana yang bergelantungan di bajunya. “Wae?”
“Tidurlah bersamaku malam ini. Hanya malam ini saja,” Nana mengangkat wajahnya dan menatap Jongsuk.
“Aish, dasar anak manja,” Jongsuk mendekat kepada adiknya dan memeluk adiknya dengan hangat.
Aku ingin merasakan pelukan ini lebih lama lagi––
Nana hampir membasahi baju Jongsuk malam ini. Sesungguhnya ia ingin mencurahkan isi hatinya, menceritakan segala ketakutan di dalam dirinya. Namun entah kenapa lidahnya berubah menjadi keluh.
Jongsuk menempatkan Nana pada posisi tidurnya beserta dirinya. Nana langsung memiringkan tubuh, memeluk Jongsuk, menyembunyikan wajahnya di dada Jongsuk. Jongsuk menepuk-nepuk pundak Nana dengan pelan.
“Kau ingin aku bernyanyi untukmu?”
“Aniyo,” sahut Nana dengan suara yang terdengar seperti bisikan serak. “Suaramu jelek, hhe…”
“Aeii, Jinjja.”
“Haebwayo.” Suruh Nana yang seperti sudah akan terlelap.
“Shireo. Tadi kau sudah menghina suaraku. Sekarang kau ingin memintaku bernyanyi untukmu!? Tsk,”
Namun, sudah tidak ada lagi jawaban dari Nana. Jongsuk tersenyum dan ia bernyanyi pelan, berharap suaranya terdengar merdu di telinga adiknya. Nana juga tersenyum sebelum ia benar-benar terlelap dalam tidurnya. Jongsuk bernyanyi dengan sepenuh hati, selama bernyanyi ia terus membelai rambut Nana dengan halus, ia juga ikut memejamkan matanya. Akan tetapi, semakin lama suaranya menjadi terdengar bergetar. Jongsuk menangis memeluk adiknya.
.
“Ayah, apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?” tanya Jongsuk lewat telpon yang khawatir setengah mati. Jongsuk mendengar hembusan napas ayahnya yang terdengar sangat berat. Ia mendengar semua penjelasan ayahnya. Perlahan, Jongsuk menempelkan dahinya ke tembok, dan memejamkan kedua matanya.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Chanyeol duduk di sebelah tempat tidur Ibunya yang masih koma. Ia menggosok tangannya yang gemetar dan menggigit bibirnya yang kering. Air matanya yang meledak terus merembes keluar.
Ibu. Apa kau tahu? Sepanjang hariku akhir-akhir ini terus menangis. Sekarang, aku memanggil dua nama dalam bisikkanku. Tapi tidak ada jawaban dari siapapun. Aku mohon padamu bertahanlah.
Tangan kiri Chanyeol meraih pipi ibunya sedangkan tangan kanannya meraba hatinya yang menangis.
Hatiku sudah sangat hancur, aku sudah kehilangan gadis yang kucintai. Apa sekarang aku juga harus kehilanganmu? Kenapa nasibku seperti ini? Apa dosa yang kuperbuat begitu besar? Tapi kenapa harus kalian? Kenapa?
Chanyeol menangis tanpa isakan yang meningkat. Menyiksa hati, rasa sakit itu tak dapat ia torehkan dengan kata-kata. Air mata tak cukup untuk menutupi rasa sakit itu.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Keesok-esokan harinya, aura-aura kelulusan dan perpisahan sudah tercium dari dalam sekolah. Nana berjalan dengan sendirinya, memasuki sekolahnya.
“Nana,” pekik Eyoung dari kejauhan.
Nana menoleh dan melambai-lambai ke arahnya. Di sana juga ia mendapatkan sosok Lizzy.
“Oh, Lizzy,” gumamnya ketika Eyoung, Baekhyun, dan Lizzy tiba di hadapannya.
“Wae?”
“Ani. Apa kau masih marah padaku?”
“Untuk apa?” Lizzy berjalan mendahului teman-temannya.
“Tsk. Kau mendiamiku sudah satu minggu ini dan bertanya untuk apa? Aish, jinjja,” Nana bergumam pelan dan hanya bisa tertawa kecil.
“Kalian kenapa lagi?” tanya Baekhyun.
“Tidak ada,”
.
~
.
Di dalam kelas, Nana mengamati brosur-brosur perguruan tinggi yang berjejer rapi di meja guru. Teman sekelasnya mengambil brosur itu sambil terus berdebat universitas mana yang paling bagus.
“Eii, apa yang kau lihat? Bukankah kau bilang sudah pasti ke China?”
“China?” Nana memiringkan kepalanya dan meletakkan brosur yang ia baca ke tempatnya semula.
“Aku akan merindukanmu,” ucap Gaeun kemudian memeluk Nana dan memanyunkan bibirnya.
“Tsk, mwoya? Ayo kita jalan-jalan melihat-lihat seisi sekolah ini. Mengingat hal gila yang dulu-dulu!?”
“Kajja,” Gaeun dan Nana berjalan keluar kelas.
.
~
.
Di lapangan bola, Luhan duduk sendiri sambil memutar-mutar bola di tangannya.
“Sendirian saja?”
“Oh,” Luhan mendongakkan kepalanya. “Eyoung,”
Eyoung duduk di sebelah Luhan “Minum?” Eyoung menyodorkan sebotol air mineral dingin pada Luhan.
“Ada apa?” celaka. Luhan gagal menyembunyikan suara beratnya. Ia pun mengambil alih minuman yang disodorkan oleh Eyoung.
“Apa aku mengganggumu? Kalau begitu, aku pergi.” Eyoung hendak beranjak dari duduknya ketika tangan dingin itu menahan pergelangan tangannya.
“Bukan begitu. Aku juga bosan sendiri saja dari tadi,” bantahnya. “Di mana Gaeun dan Nana?” tanyanya kemudian.
Eyoung merasa ada gelagat aneh dari Luhan. Namun, ia tidak mau memusingkannya. “Sedang sibuk melihat-lihat brosur,” sahutnya.
“Kau tidak ikut dengan mereka?”
Eyoung menelengkan kepalanya dan tersenyum tipis.
“Wae?”
“Untuk apa? Aku akan melanjutkan study-ku di Jepang”
“Mwo?” Luhan menoleh kaget ke arah Eyoung.
“Wae?”
“Aniyo,” Luhan hanya termangu bingung.
“Hha..” Eyoung mendesah pelan. “Tidak terasa, sebentar lagi kita akan meninggalkan sekolah ini,” Eyoung mendongakkan kepalanya melihat sekeliling sekolahnya. Ia terlalu sibuk melihat-lihat, sehingga tidak menyadari jika Luhan sedari tadi hanya melihatnya.
Kau memang pandai menyembunyikan perasaan.
Luhan membuka tutup botol minumnya dan segera mendaratkan bibir botol ke bibirnya.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Gaeun mengerutkan keningnya sesaat, sembari mengumpulkan keberanian dirinya untuk bertanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”
”Aku? kau bisa lihat sendiri. Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah,” Gaeun tertawa kaku.
“Jika yang kau maksud–– Wae? Jika kau bertanya, apa aku menyukai Oppa-mu atau tidak, kurasa kau sudah tahu jawabannya. Aku sudah memaafkannya. Jadi kumohon jangan menyebut namanya di hadapanku lagi. Aku sedang berusaha untuk melupakan semuanya.” Nana mengangkat tangannya di depan wajah Gaeun lalu tersenyum kecil.
Gaeun diam sejenak dan tersenyum pada Nana dan berkata. “Yang kau perlukan hanyalah waktu.” Gaeun menyingkirkan tangan Nana. “Mungkin dengan waktu itu lah, kau sanggup menyembuhkan lukamu sendiri. Mungkin, hanya dengan waktulah kau bisa melupakan dia.”
Kya Lee Gaeun! Neo paboya. Bukan itu yang ingin kau katakan. Pabo pabo pabo.
Sementara batinnya memarahinya, Gaeun menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan.
“Dia telah membuatku hidup, tapi dia juga yang membuatku mati seketika. Oppa-mu, dia yang telah membuka hatiku, tapi dia jugalah yang menutup pintu hatiku untuk kebahagiaan lain yang bisa kuraih. Aku tak akan bisa melupakan semua kenanganku bersamanya, tapi aku pun tak bisa melupakan sakit hati ini. Aku tak tahu salahku di mana, mungkin aku memang terlalu naif atau mungkin kesalahanku hanya satu, yaitu menyukai orang yang salah.”
Gaeun tampak ingin membuka mulutnya dan mengatakan yang sebenarnya.
“Ah, tapi sudah lah, aku tidak mau memikirkannya lagi.”
Napas Gaeun tercekat.
“Apa pendapatmu?” tanya Nana pada Gaeun.
“Ne?” Gaeun mengembuskan napas beratnya dan berdeham pelan. “Apa?” tanyanya kemudian.
Nana tidak menjawab, karena ia memandangi Luhan dan Eyoung di lapangan bola. Gaeun pun ikut menoleh ke arah mata Nana.
“Hhe..” Gaeun tersenyum kecil.
“Wae?”
“Ani. Kurasa Luhan menyukai Eyoung?”
Nana mengalihkan pandangannya ke arah Gaeun dan kaget “Maksudmu?”
Gaeun tersenyum menoleh ke arah Luhan dan Eyoung sesaat sebelum menoleh ke arah Nana kembali.
.
** Flashback **
.
~Kang Joon kafe~
“Hha. Kenapa memanggilku ke sini?” Gaeun duduk di hadapan Luhan dengan mata yang sembab.
“Gwaenchana?”
“Uhm,”
“Gaeun noona,” Kangjoon melirik Luhan. “Ah,” kemudian menatap Luhan Nakal.
“Kabwa!” geram Luhan dengan rahang yang mengeras.
“Aratseo. Hehehe,” Kangjoon pergi meninggalkan Gaeun dan Luhan.
Gaeun melihatnya pun hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Apa? Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Gaeun..
“Apa aku boleh bertanya sesuatu tentang Eyoung?”
Gaeun memicingkan matanya dan juga menatapnya dengan serius “Oh..”
“Apa–– Apa Eyoung pernah bercerita siapa pria yang dia suka, atau apa kau tahu dia sedang menyukai seorang pria, ya intinya……”
Gaeun memandang Luhan lekat-lekat. Luhan mencoba menghapus yang ada di pikiran Gaeun “Jangan berpikir yang macam-macam. Aku hanya bertanya. Itu saja. Pernah atau tidak?”
Gaeun mengatur posisi duduknya “Tidak. Untuk masalah percintaan, dia sangat tertutup. Sangat-sangat tertutup. Entahlah, aku pun tidak pernah bertanya. Karena dia terlalu pandai dalam menyimpan perasaan. Terkadang, aku sulit untuk memahaminya.”
“Geurae?” Luhan bergeming, bahkan tak mengubah ekspresi wajahnya yang kaku.
“Gwaenchana?”
“Ne, Gwaenchana..”
.
~Ruang Menari Sekolah~
“Ah, lelah sekali.” Luhan berjalan dengan santai keluar dari ruangan olahraga menuju tangga. Tiba-tiba suara alunan musik menghentikan langkahnya. Luhan perlahan menuju sumber suara dan mengintip tiap jendela kaca di pintuyang ia lewati. Ia tersenyum kala berdiri di depan, melihat Eyoung dan Nana. Ketika tangannya tergerak membuka pintu, ia mendengar sebuah cerita yang harus mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam.
“Karna Chanyeol?”
Nana mengangguk pelan dan mematikan compact disc player-nya. “Aku terlambat menyadarinya. Sekarang aku malah berharap aku tidak perlu menyadarinya sama sekali, agar aku tidak perlu menanggung semua ini. Hhe. Aku memang bodoh, bodoh karena bisa jatuh cinta pada orang seperti itu, yang jelas-jelas hanya bermaksud memanfaatkanku.”
“Kita terlalu naif. Tak ada satupun dari kita yang terlalu pintar untuk menghindar dari cinta, karena pada akhirnya kita semua akan merasa terluka.”
“Kenapa aku tidak menyadari jika kau menyukai Luhan!? Aku jadi merasa bersalah karena menggoda Luhan dengan Gaeun di depanmu. Kau sangat pandai menyembunyikan perasaan. Apa kau menangis waktu di sungai Han itu, juga karena ingin meluapkan isi hatimu yang hancur?”
“Bagaimana kau bisa tahu, aku berada di sungai Han?” tanya Eyoung dengan terkejut.
“Hhe, waktu itu kami ingin menghampirimu, Tapi lirihanmu, lirihanmu melarang kami untuk menemuimu. Geureom,”
“Wae?”
“Sampai kapan kau akan menyimpannya?”
“Sampai perasaan itu hilang dengan sendirinya. Aku sedang mencoba untuk mengubah cinta menjadi selamat tinggal.”
“Wae?”
“Karena menginginkan dan berharap tapi tidak bisa memiliki. Aku tidak pernah belajar tentang cinta, tapi mengapa perasaan seperti ini datang padaku? Tapi selama aku bisa mengatasi diriku. Itu tidak masalah untukku.” Eyoung membuat seulas senyum di bibirnya.
“Apa kau yakin?”
“Nado meolla. Aku sedang mencobanya.”
Luhan tertegun berdiri di depan pintu ruangan itu, dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Ia mencoba mengatur ekspresinya untuk tidak tegang. Karena ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. Ia terus menarik dan mengembuskan napasnya yang tiba-tiba tercekat.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
“Ya!” Eyoung mengibas tangannya tepat di depan wajah Luhan. “Kau melamun?”
“A–– Aniya, aku hanya mengantuk.” Katanya yang berpura-pura menguap.
“Apa yang kalian lakukan berdua di sini?”
“Bersantai,” jawab Eyoung datar kepada Baekhyun dan Lizzy yang menghampiri mereka dengan begitu banyak snack.
“Nana dan Gaeun di mana?”
“Masih di kelas,”
“HYA!” Gaeun berteriak dari lantai dua gedung sekolah mereka dan melambai-lambai.
“Itu mereka,” Eyoung pun melambaikan tangannya dan menyuruh mereka untuk turun menghampiri mereka.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Udara sore ini sangat nyaman, mungkin bisa menenangkan pikiran orang-orang yang butuh kesendirian. Suasana sepi di danau yang kurang terurus juga menenangkan jiwa. Chanyeol duduk sendirian di danau, di mana tempatnya sering bersama Nana. Ia duduk bersandar di bawah pohon besar yang menutupinya dari sinar matahari sore.
Sesekali ia melempar batu ke arah danau kemudian mendengus pelan. Wajah sedih tidak lagi terdapat di wajahnya. Tidak. Itulah yang harus memang dilakukannya. Mencoba tegar melawan kesedihan dan penderitaannya. Sudah tiga hari ini Chanyeol mencoba menipu semua orang terdekatnya dengan senyum cerahnya. Tetapi tetap saja dia tidak dapat menipu dirinya sendiri.
.
~
.
Pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore berganti malam. Jongsuk keluar dari kamarnya dengan handuk yang masih tergantung di kepalanya. Ia berjalan menuju ruang televisi, tetapi ia mendapatkan Nana dan menghampirinya yang sedang berdiri meletakkan tabung obatnya ke atas meja dapur dengan tangan gemetar dan menarik napas kesal. Kepalanya terasa berat dan dadanya terasa nyeri.
“Gwaenchana?” sapa Jongsuk yang langsung berdiri di hadapan Nana.
Nana terlonjat kecil karena terkejut. “Oh,”
“Nana?” Jongsuk merengkuh bahu Nana dan menatap Nana lekat-lekat. Alisnya berkerut samar ketika ia merasa sekujur tubuh Nana gemetar. "Ya, Gwaenchana?"
"Kurasa aku harus duduk."
“Wae Geurae?” tanya Jong suk ketika menyadari adiknya tidak terlihat baik-baik saja. Ia menangkup pipi Nana dengan kedua tangannya dan menatap adiknya dengan cemas. Namun Nana tidak sempat menjawab, karena tepat pada saat itu kepalanya terkulai ke belakang dan ia sudah pasti akan terjatuh ke lantai jika Jongsuk tidak segera menahannya.
“YA!”
.
To Be Continue ^^
.