Chanyeol mematung dalam keheningan di ruang tunggu unit gawat darurat. Tubuhnya penuh dengan keringat. Lizzy yang sedari tadi bersedih menghibur Ibu Nana, datang menghampiri Chanyeol. Pemuda itu mengangkat bola kepalanya dan melihat Lizzy sesaat.
Lizzy menghela napasnya dan menyandarkan punggungnya. “Aku menyesal dengan rencanaku sendiri. Aku menyesal yang telah sengaja mengenalkan dia padamu,” Lizzy diam sesaat dan mengatur napasnya yang tercekat. Karena sedari tadi ia berusaha menahan tangisnya, bibir dan suaranya menjadi bergetar.
“Jika aku tahu semua hanyalah guna memanfaatkannya, aku tidak akan pernah mau membantumu mendekatinya dan harus berpura-pura cemburu padanya––”
Mengingat kejadian ia bertengkar dengan Nana, membuat kepala Lizzy menjadi berat. “Aku akui, awalnya aku memang tertarik padamu, tapi aku melihat pandanganmu yang berbeda kepada Nana, aku pikir kau tertarik kepadanya, dan muncul lah ide gila itu. Jika saja aku punya indra keenam dan bisa membaca arti pandanganmu, mungkin semua tidak akan seperti ini. Aku membuat sahabatku terluka,” Lizzy mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Baekhyun menghampiri mereka berdua yang sedang berbicara serius. Lizzy melihat Baekhyun dan memilih untuk pergi dari situ. Ia lebih memilih berada di dekat Eyoung dan Luhan. Baekhyun tidak menyusul Lizzy, melainkan duduk di sebelah Chanyeol. Ia mengamati wajah pemuda itu dari samping, yang hanya diam. Ia juga bisa melihat Chanyeol yang sepertinya juga terpukul dengan peristiwa yang tidak diinginkan siapa pun.
“Aku tidak tahu cerita yang sebenarnya. Aku juga tidak tahu apa kau memang memanfaatkannya atau memang tulus kepadanya. Tapi kurasa setelah semua peristiwa ini, kau harus lebih bisa menjaga jarak dengannya. Sejujurnya aku sangat marah padamu. Mendengar semua cerita yang aku dengar tadi, aku tidak bisa menahan kesalku, maaf telah memukul wajahmu, tapi kurasa kau pantas mendapatkannya, mungkin bahkan lebih dari itu. Tapi aku akan menyimpan semua tenaga emosiku, karena aku lebih memikirkan keadaan Nana,”
Chanyeol sedikitpun tidak bereaksi. Perhatiannya penuh ke lantai, hiingga Ayah Nana menghampiri mereka. Lamunan pemuda itu membuyar. Baekhyun langsung sigap berdiri dan permisi meninggalkan Chanyeol dan Ayah Nana berdua. Sebelumnya Chanyeol juga ikut bangkit dari duduknya, sudah siap menerima amukan dari Ayah Nana.
“Apa sekarang kau bersedia menjauhi putriku?” suara Ayah Nana terputus-putus menahan kesedihan dan kekhawatirannya, juga kemarahan yang melandanya disaat bersamaan.
Chanyeol merasa lidahnya kaku untuk bergerak, suara tangis Ibu Nana di ujung ruangan ikut menyayat hatinya. “Choesonghamnida,” hanya kata itu yang mampu ia ucapkan saat ini. Sedikitpun ia tidak berani mendongakkan kepalanya untuk melawan tatapan Ayah Nana.
Ayah Nana mengajak Chanyeol duduk dan berbicara serius. Ayah Nana berdeham dan menghela napas. Setelah diam sejenak, Ayah Nana berkata pelan. “Ada sedikit masalah dengan jantung Nana.”
Chanyeol terkesiap dan dengan berani memandang ayah Nana dengan serius. “Masalah seperti apa?”
Chanyeol menunggu Ayah Nana melanjutkan ucapannya, Ayah Nana memandang Chanyeol dengan datar, namun Chanyeol tidak melihat sedikitpun ayah Nana menunjukkan tanda-tanda hendak melanjutkan kata-katanya.
“Ahjussi,” kali ini panggilan Chanyeol semakin serius, dan matanya menjadi memerah karena tidak sabar menunggu ayah Nana untuk membuka mulutnya. Ayah Nana memalingkan wajahnya dari Chanyeol.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Baekhyun, Eyoung dan Luhan berdiri di depan pintu ruang unit gawat darurat. Luhan yang terlihat tidak sabar untuk melihat pintu ruangan pintu itu terbuka, mondar-mandir di depan Baekhyun dan Eyoung. Dan sesekali mendesah pelan.
“Apa kau sudah menghubungi Gaeun??” tanya Baekhyun pada Luhan, dan membuat pria itu menghela napas jengkel.
“Naega wae??” jawab Luhan datar.
“Nanti biar aku saja yang menghubunginya,” timpal Eyoung dan melihat ke arah Luhan, Luhan pun membalas pandangan itu.
“Uhm,” Baekhyun mengangguk kecil, dan pandangannya tak henti-henti kepada Lizzy yang terus menghibur Ibu Nana. Ia pun mendekati mereka dan berlutut di depan Ibu Nana juga Lizzy. Ia juga ikut menenangkan Ibu Nana juga kekasihnya. “Dia akan baik-baik saja. Hhe..” Baekhyun mengembangkan senyumannya dengan tipis.
.
Luhan dan Eyoung melihat mereka. Kemudian kepala Luhan menoleh ke arah Eyoung.
“Biar aku yang menghubunginya,” bisiknya
“Kau yakin??” tanya Eyoung.
Luhan memegang bahu Eyoung dengan satu tangan. “Memangnya kenapa? Hhe. Dia memang menolakku secara tidak langsung dan tanpa aku mengutarakan perasaanku, setidaknya itu tidak membuatku malu di depannya. Seiring berjalannya waktu, perasaan ini akan hilang dengan sendirinya. Jangan khawatir.” Luhan tersenyum getir kepada Eyoung. Lalu, ia menundukkan kepalanya sesaat. Kemudian melihat ke arah Chanyeol dan ayah Nana yang berbicara sangat serius.
Eyoung melihat Luhan dari sudut ekor matanya melihat Luhan yang berada di posisi yang sama dengannya, membuat Eyoung benar-benar mengerti perasaan lelaki itu.
Kau mengharapkannya bahagia, sedangkan aku mengharapkanmu bahagia, kenapa kau malah bernasib yang sama denganku.
“Aku pikir dia yang pantas untuk Nana, ternyata aku salah, dia tidak lebih dari seorang ba––.”
Ucapan Luhan terhenti saat ruangan itu terbuka. Tidak hanya menghentikan percakapan Luhan dan Eyoung tapi juga Chanyeol dan Ayah Nana. Seorang dokter keluar dari sana, dan ia memandang ayah Nana, tanpa ekspresi sedikitpun. Tanpa berbicara apa-apa ia pergi ke ruangannya dan diikuti oleh Ayah Nana.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
“Choesonghamnida, aku seharusnya bisa memberikan kabar baik. Tapi––” Dokter tampan itu menghentikan ucapannya.
“Wae…yo?” tanya Ayah Nana dengan suara serak.
“Kali ini dia benar-benar harus segera mendapatkan jantung baru. Sedangkan untuk saat ini kami belum mendapatkan donor. Hanya obat itu yang menjaganya untuk sementara waktu, ia tidak boleh kelelahan. Karena nanti bisa berakibat fatal,” tegas dokter tersebut.
Ayah Nana tertunduk lesu, dokter itu memegang tangan Ayah Nana. “Aku akan berusaha sebisaku untuk mendapatkan donor itu secepatnya, aku tidak berjanji, tapi aku akan berusaha sebisaku.” Dokter itu meyakin ayah Nana.
“Aku berterimakasih,” Ayah Nana keluar dari ruangan dokter, dan siap untuk menjawab pertanyaan dari istri dan teman-teman putrinya.
“Eotteyo?” tanya Ibu Nana dengan sesegukan, tangannya menggenggam tangan ayah Nana dan berharap jawabannya adalah jika Nana baik-baik saja. Tapi Ibu sangat tahu dengan raut wajah suaminya itu, dan membuat tangisannya meledak di pelukan Ayah. Ayah mengusap punggung Ibu untuk menenangkannya. Matanya menatap Chanyeol dengan penuh kesedihan.
Apa yang harus aku lakukan? Apa? Apa? Apa? Apa aku harus mendonorkan jantungku padanya??
Sementara batinnya menjerit, Chanyeol memejamkan matanya kuat-kuat. Matanya memerah menahan kesedihan, ketika membalas tatapan ayah Nana.
Maafkan aku, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Aku ingin kalian menjaga Nana dan tidak membiarkannya kelelahan,” ucap Ayah Nana kepada teman-teman Nana tanpa penjelasan penuh dan dianggukan oleh teman-teman putrinya.
.
Chanyeol mengerjapkan matanya yang hampir mengeluarkan air dari sudut matanya. Ia mendekati Ayah Nana dengan ragu-ragu. Ia membungkukkan tubuhnya, sesaat kemudian ia menatap ayah Nana.
“Aku ada satu permintaan?”
Ibu Nana melepaskan pelukannya dari Ayah dan memandang Chanyeol dengan sedih, Chanyeol menahan kesedihannya ketika ia membalas pandangan ibu Nana.
“Ini permintaan terakhirku, aku mohon satu kali ini saja. Aku mohon,” Chanyeol menundukkan kepalanya, dengan rasa sesak menyerang dadanya.
“Apa?” tanya ayah Nana.
.
~
.
Nana dipindahkan ke rawat inapnya. Chanyeol masuk ke dalam untuk melihat Nana. Setelah ia menutup pintu kamar itu, berdirilah Chanyeol di situ dengan hati yang hancur. Di hadapan Nana yang terbaring belum sadarkan diri. Ia berjalan perlahan mendekati kasur Nana, ia menarik kursi dengan pelan dan duduk di samping Nana berbaring. Perlahan-lahan, diraihnya tangan mungil Nana dan digenggamnya dengan erat. Kemudian, menempelkan punggung tangan Nana ke dahinya. Tanpa sadar, ia menangis tanpa suara. Hatinya teriris perih, berusaha menahan diri untuk tidak menangis, namun ia gagal.
“Maafkan aku,” ucap begitu lirih dan bergetar. Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan, selain mengutuk dirinya sendiri.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Di tempat yang sama, Sehun juga duduk di sebelah tempat tidur seorang pasien yang terbaring belum sadarkan diri. Sehun terus mengusap-ngusap punggung tangan orang itu, Gaeun yang berdiri di dekat jendela sedang menerima telepon.
“Oh, sungguh aku tidak tahu apa-apa. Aku usahakan besok aku akan ke sana, karena sekarang aku juga sedang di rumah sakit––” Gaeun menatap pasien yang terbaring lemah di tempat tidur.
“Aku tidak berbohong. Aku berkata yang sebenarnya. Bibiku––– Ya. Apa yang kau bicarakan?!” suara Gaeun yang meninggi membuat Sehun meliriknya dengan dahi berkerut. Gaeun berjalan keluar dari kamar tersebut dengan telepon masih melekat di telinganya.
“Ya, Xiu Luhan–– A––apa?” Gaeun menjauhkan telepon dari telinganya dan menatap nanar dinding di hadapannya.
“Yeobeoseyo, yeobeoseyo, Gaeun, Lee Gaeun, GAEUN.” teriak luhan dari telepon Gaeun yang belum ditutup.
“Wae??”
Luhan yang belum menutup teleponnya mendengar suara Sehun langsung menjauhkan ponselnya dari telinga dan menelan salivanya. “Apa dia membohongiku?” Luhan menempelkan ponselnya kembali ke telinga.
“Gaeun, ada apa?”
“Oh, Ani,” Gaeun menggigit bibirnya.
“Apa kau sudah menghubungi Chanyeol hyung?”
“Sudah tapi mungkin dia tidak akan menjawabnya. Apa bibi sudah membaik?” Gaeun mengubah topik pembicaraan Sehun.
“Kurasa begitu. Tapi apa maksudmu Chanyeol hyung tidak akan menjawab?”
“Apa yang dikatakan dokter dengan kesehatan bibi?” lagi-lagi Gaeun mengalihkan pembicaraan.
“Tidak ada yang serius, semua anggota tubuhnya sehat-sehat saja. Ia hanya terlalu banyak pikiran,”
“Syukurlah,” Gaeun menghela napas lega.
Luhan yang sedari tadi mendengar percakapan Gaeun dan Sehun pun, mematikan ponselnya. “Ternyata kau benar di rumah sakit.” Ia menjejalkan benda ponselnya ke dalam saku jaketnya dan berdesis pelan. “Bibi? Chanyeol?” Luhan sedikit memiringkan kepalanya dan berpikir, lalu ia menelengkan kepalanya menyadarkan diri.
.
“Oppa,” Gaeun memanggil Sehun yang menyandarkan kepalanya di dinding dan memejamkan matanya karena lelah.
“Uhm..” jawab Sehun yang masih memejamkan matanya.
“Kita punya masalah lain.”
Sehun membuka matanya dan melirik Gaeun. “Apa?”
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Chanyeol tertidur di samping Nana hingga pagi, menjaga Nana semalaman. Inilah permintaan terakhir Chanyeol, karena setelah itu ia berjanji untuk tidak muncul di depan Nana lagi. Lizzy dan Eyoung memasuki kamar Nana, dan mereka kaget mendapatkan Chanyeol tertidur di kursi dan menggenggam tangan mungil Nana.
Chanyeol terbangun, karena Eyoung membuka tirai jendela dan membuat cahaya matahari pagi masuk ke kamar inap Nana, menyilaukan Chanyeol. Pemuda itu mengusap wajah dan menyatukan jiwanya yang belum sepenuhnya utuh. Lizzy lebih memilih diam sembari merapikan bunga yang terdapat di meja pinggir kasur Nana tanpa mempedulikan Chanyeol.
“Maaf membuatmu terbangun. Akan lebih baik jika kau terbangun dan pergi sebelum dia sadar. Pulanglah,” seru Eyoung dengan suara lembutnya.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Chanyeol bangkit dari duduknya. Ia membungkukkan tubuhnya ke Eyoung dan tak lupa kepada Lizzy yang membelakanginya. Sebelum ia keluar matanya melihat Nana, menatapnya dengan sayu. “Aku pergi dulu,”
Ketika Chanyeol hendak keluar Luhan masuk dan melihat Chanyeol. Ia menjadi meradang melihat keberadaan Chanyeol, yang ternyata masih belum pergi dari situ.
“Hhe. Kau ternyata memang tidak punya malu.” ucap Luhan dengan tersenyum sinis kemudian merubah wajahnya menjadi datar.
Lizzy menoleh ke belakang memandang Luhan dan Chanyeol bergantian. Eyoung memegang tangan Luhan.
“Geumanhae, jangan membuat masalah,”
Luhan menepis tangan Eyoung dan mengajak Chanyeol keluar dari kamar. Lizzy menutup pintu dan menghampiri Nana. Perlahan-lahan Nana siuman dan membuka matanya, Lizzy cepat menggenggam tangan sahabatnya itu. Napas Nana masih terasa berat, namun tak lagi terasa sesak seperi tadi malam. Ia melihat sekliling ruangan tersebut, cream room.
“Ah, rumah sakit lagi,” ucap Nana serak.
“Aphayo??” tanya Eyoung yang juga langsung mendekati Nana.
Lizzy juga hendak mengatakan dan bertanya sesuatu, namun suara keributan di luar membuat semua mata mereka menatap ke arah jendela dan melihat Luhan yang tengah bertengkar dengan Chanyeol di luar.
“Pergilah, kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan bukan?! Jangan pernah muncul lagi di hadapan kami.”
Chanyeol terhenyak saat ia melihat dari balik kaca, ia mendapatkan Nana sudah sadarkan diri. Lega sekaligus hancur, karna disaat inilah ia harus benar-benar membuat Nana membencinya dan menghancurkannya sekali lagi.
“Aku tahu,” Chanyeol menyelipkan tangannya ke saku dan mencoba untuk tidak peduli. “Kau benar, aku hanya membutuhkan uangnya. Tidak masalah bagiku kalau dia tidak menyukaiku, yang jelas aku sudah mendapatkan apa yang aku mau,” sebisa mungkin Chanyeol membunuh perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ia menerobos ke dalam sana dan berbicara pada Nana jika ia sangat mencintainya.
Namun…..
“Apalagi yang akan kau lakukan?” tanya Luhan dan mengikuti Chanyeol masuk ke dalam ruangan Nana, Luhan lega sekaligus terkejut karena mendapatkan Nana sudah siuman.
Chanyeol berdiri menantang Nana. “Kuharap kau segera melupakan semuanya. Di antara kita tidak perlu ada yang disesali, karena hubungan kita hanya dilandasi kebohongan belaka. Sekarang kau sudah tahu semuanya, bukan? Lupakan saja semuanya, anggap kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Begitu lebih baik, kita bisa melanjutkan hidup kita masing-masing.” Chanyeol membungkukkan tubuhnya sebentar dan melihat ujung mata Nana yang mengeluarkan airmata.
Dan hiduplah lebih lama lagi, demi dendammu dan dosaku
Chanyeol mencoba berpura-pura untuk tidak peduli. Tanpa perlu diusir lagi, ia segera mengangkat kakinya pergi dari situ. Langkahnya begitu mantap di koridor rumah sakit, meninggalkan mereka semua yang menatapnya dengan marah.
Setelah di tempat yang sepi, ia berharap tidak ada lagi yang melihatnya. Chanyeol memperlambat langkahnya yang semakin sempoyongan, hingga akhirnya ia jatuh berlutut ke bawah. Ia sungguh tidak tahan lagi, ia pun menangis tanpa suara dan terus memukul-mukul dadanya dengan kuat, karena hatinya menjerit penuh kesakitan.
.
tbc
.